KBG : Dipanggil Untuk Bertindak (Majalah Gema, Edisi Maret 2016)

kulit gema 2016 Maret EditSaudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Alangkah indahnya bila keluarga-keluarga Katolik, yang berdomisili berdekatan, saling mengenal satu sama lain. Dan dengan tekun dan rendah hati mereka bersekutu di dalam iman, harapan dan kasih. Meskipun jumlah mereka sedikit, dan disebut sebagai kaum minoritas, namun karena cara hidup mereka yang benar, mereka disegani, dihormati dan didengarkan dalam berbagai solusi permasalahan di sekitar atau di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Hal inilah yang menjadi impian banyak orang terhadap keberadaan Gereja dewasa ini.
Ketika Gereja berusaha mendefinisikan dirinya, Gereja menyadari bahwa dia tidak dibentuk untuk diri sendiri melainkan dikuduskan dan diutus oleh Allah untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Hal ini tampak dalam Konsili Vatikan II yang menegaskan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang di sekitar, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Seharusnya tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.
Edisi Gema bulan ini menurunkan tema: “KBG Dipanggil Untuk Bertindak”. Ada harapan yang kuat agar keluarga-keluarga Katolik yang hidup berdekatan sebagai komunitas basis gerejani tanpa ketakutan atau “alergi” untuk bertindak sesuai dengan yang dibutuhkan yakni; memerangi kelaparan, kebodohan serta penyakit-penyakit sebagai pemenuhan undangan Kristus : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Bdk. Mat 25:40).
Selamat Hari Raya Paskah! Selamat menjalani kehidupan baru bersama Kristus yang telah mempersatukan kita sebagai Gereja-Nya.
Selamat membaca!

Merawat Persekutuan 

Fokus,Rosmida Siboro,2Saya Rosmida br. Siboro. Saya menjadi ketua rayon St. Yusuf IV A, Pasir Parupuk Tabing, Paroki St. Fransiskus Asisi Padang sejak Januari 2013. Jumlah warga rayon kami 29 keluarga (atau 91 jiwa). Dari segi mata pencarian, mayo­ritas warga kami sebagai buruh bangun­an, pemulung atau pe­mungut sampah/ba­rang bekas, serta usaha rumah tangga. Kehidupan mereka sederhana dan penghasilan pun pas-pasan. Bahkan, keberapa KK di antaranya termasuk kate­gori kurang mampu (dari segi eko­nomi). Selain itu, cukup ba­nyak perem­puan berstatus janda di rayon ini.
Dari 29 keluarga war­ga rayon ini, hanya 15 keluarga yang leng­kap ang­gota ke­luar­ganya. Sele­bihnya, ke­luarga itu tidak mem­punyai kepala ke­luar­ga (suami atau ayah). Karena situ­asi inilah, mungkin yang menye­bab­kan tidak semua keluarga itu aktif di rayon.
Di tengah kehidupan warga yang serba sederhana dan pas-pasan ini, sebagai komunitas umat beriman kami mengadakan pertemuan rutin setiap minggu kedua. Per­temuan kami laku­kan malam hari, sekitar pukul 19.30 WIB. Dari segi kehadiran dalam per­temuan bulanan ini lebih banyak di­hadiri kaum perempuan daripada laki-laki. Kaum bapak yang hadir paling-paling hanya 2-3 orang saja. Kebanyakan kaum bapak jarang hadir dengan berbagai alasan, ter­utama karena peker­jaan. Akti­vitas doa Rosario di rayon ini setiap Mei dan Oktober tidak jauh berbeda dengan pertemuan bulanan.
Warga yang aktif di rayon sekitar 18 keluarga. Selaku ketua rayon, saya selalu mengajak warga yang tidak aktif, se­andainya mereka memiliki per­soalan atau kesulitan silahkan datang supaya kami bisa bersama-sama mem­bantu me­nemukan jalan ke­luar­nya. Sebagai ketua, saya berusaha tidak kenal lelah, untuk terus mengajak warga agar meluangkan waktu hadir dalam pertemuan rayon. Saya lakukan pen­dekatan pribadi terhadap mereka de­ngan mengunjunginya. Umumnya, mereka menerima dan menanggapi baik kunjungan itu. Mereka pun berjanji akan datang pada pertemuan ber­ikutnya. Saya berharap mereka seti­daknya bisa hadir saat pertemuan di kala Natal dan Paskah.
Rasa penat, capek, kelelahan saya terobati bila warga tersebut memenuhi janjinya menghadiri pertemuan rayon. Menjadi ketua rayon menurut saya mesti dija­lankan dengan penuh tanggung jawab, sabar, dan ikhlas. Lihat saja, kadang hujan lebat, pulang kerja sudah menjelang malam, belum sempat minum harus pergi lagi untuk meng­hadiri per­temuan warga. Menjadi pengurus, apalagi dalam jabatan ketua tanggung jawab­nya berat. Saya pun berusaha jeli melihat situasi dan persoalan yang dihadapi waga rayon. Saya bersyukur mendapatkan du­kungan dari sebagian warga rayon meskipun baru dari sesama kaum perempuan (ibu-ibu). Mereka sa­dar akan tanggung jawabnya sebagai umat Katolik. Saya juga memaklumi ren­dahnya kehadiran kaum bapak dalam perte­muan rayon. Banyak kepala keluarga yang bekerja menjadi buruh bangunan dan pemu­lung, pulangnya sudah menjelang malam. Tentu saja badan lelah sehingga merasa tidak mampu lagi atau mungkin malas mengikuti perte­muan rayon.
Saya pun tidak mem­biar­kan me­reka, tetapi selalu menja­lin komu­nikasi, kontak, dan hubungan baik. Seba­gai pengurus saya berusaha kompak dengan mereka. Bagi saya, tidak ada sakit hati, tersinggung, apalagi den­dam! Bagi saya hidup itu ibarat roda, suatu saat di atas dan di saat lain di bawah. Kehadiran warga dalam pertemuan rayon pun demikian.
Secara manusiawi, saya akui ada kekecewaaan, terutama ketika warga yang hadir dalam pertemuan sedikit. Hal ini membuat kurang bersemangat. Tetapi kekecewaan terobati di saat banyak warga yang hadir. Warga pun umumnya juga bersemangat. Saya gembira dan segala keresahan terobati bila warga rayon memberikan du­kungannya kepada pengurus, mes­kipun mereka sendiri banyak ke­ku­rangan. Saya contohkan, saat pem­bagian bingkisan Natal, rayon kami hanya mendapat 10 paket, sementara warga yang pantas dibantu pun banyak. Pengurus ber­inisiatif memecah 10 paket itu menjadi 25 paket. Warga rayon kami pun tidak memper­masalahkan kebij­akan ini. Saya pun terhibur dan lebih berse­mangat. Sebagai pengurus, saya ber­usaha memberikan yang terbaik kepada mereka. Saya berusaha dengan sabar “merawat” persekutuan ini, meskipun saya sendiri banyak keterbatasan. ***

Walau Terbatas, Spontan Bertindak

Fokus,Sahril Sabar Sihotang,2Telah lebih empat puluh dua bu­lan, saya menjadi Ketua Kring St. Antonius, Wilayah Simpang Padang, Paroki St. Yosef, Duri, Riau. Anggota kring ini 47 keluarga (200-an jiwa). Akhir-akhir ini, kerap terjadi perpindahan warga yang tidak jelas, karena mereka tidak melapor. Itulah yang mendorong pengurus kring melakukan pendataan ulang pada warganya. Data warga yang ada tidak bisa digunakan, karena tidak up to date lagi. Kalau ada urusan ke pastor barulah mereka meminta surat dari peng­urus kring.
Kendala lain adalah pekerjaan warga kring. Jadwal kerja warga tidak seragam. Ada warga yang bekerja hampir 24 jam. Pengurus kring berusaha memberikan perhatian kepada warganya semaksimal mungkin, walau dari keadaan pengurus kring juga serba terbatas. Pada usia 58 tahun, saya merasa tidak selincah dulu lagi. Idealnya ada yang membantu, yang lebih muda dan punya ide-ide baru yang segar. Akhirnya, kami menjalankan tugas pelayanan dalam rutinitas, tidak banyak kemajuan dan perkembangan. Aktivitas kring biasanya mulai berlangsung di bulan Februari-November, setiap Rabu, berupa pertemuan ibadat sabda. Selain saya, ada beberapa teman yang membantu me­mim­pin Ibadat Sabda. Untuk menye­marakkan pertemuan kring, ada variasi kegiatan arisan kecil-kecilan.
Kehadiran 80 persen warga kring dalam pertemuan tiap Rabu malam inilah yang mendukung semangat pengurus kring. Saya masih bertahan, karena dukungan umat pun masih bertahan pada pengurus ini. Saya melihat kehidupan sesama warga terjalin, bertolong-tolongan dalam suka mau­pun duka. Bila ada kabar tentang salah satu warga, pengurus menin­dak­lanjutinya dengan menghubungi warga di rumahnya masing-masing. Meski­pun di kring ini tidak ada organisasi kematian, maka bila ada kemalangan atau berita duka, spontan segera menyebar ke sesama warga. Pengurus kring jeli dengan kondisi umat, mi­salnya ada anggota keluarga warga yang lemah, tidak mampu lagi bekerja, dan sebagainya. Maka, pengurus dan warga kring berusaha mering­ankan ‘beban’ keluarga yang berduka. Sua­sana saling mendukung sungguh terasa di kring ini. Kalaupun tidak bisa diikuti semua warga saat duka tersebut, na­mun cukup banyak yang punya waktu datang memberikan penghi­buran, termasuk uang duka yang dikumpulkan spontan. Walau SDM dan kehidupan ekonomi warga di kring ini ‘terbatas’ namun dalam hal bertindak spontan bergerak, tidak diragukan lagi. Sungguh terasa persatuan warga dalam kring. (Disarikan dari wawancara dengan Syahril Sabar Sihotang)

Rayonku Memedulikanku

Fokus,Fransisca Efi Tri Zebua,1Fransisca Efi Tri Zebua (20) merasa mendapatkan perhatian dari warga rayonnya. Pada Desember 2015, warga dan pengurus membezuk ibunya yang sakit. Perhatian tidak hanya dalam bentuk doa, tetapi juga bantuan dana untuk membeli obat. “Saya tak menyangka, besarnya perhatian dan kepedulian warga serta pengurus rayon terhadap kami. Sungguh terasa kekom­pakan, kebersamaan dan persatuan!” ucap warga Rayon St. Yachinta Stasi Pasar Usang Paroki Santo Fransiskus Assisi Padang.
Setahun sebelumnya, per­tengahan tahun 2014, Efi juga merasakan perhatian dan kepedulian warga dan pengurus rayon. Saat itu, sebelum berkuliah di Akademi Perekam Infor­masi dan Kesehatan (Apikes) Iris Padang warga rayon ikut membantu dalam pengurusan ikatan dinasnya dengan RS Yos Sudarso Padang. Karena memang aktif di rayon, Ketua Rayon St. Yachinta memuluskan pengurusan surat kete­rangan rayon – salah satu syarat yang diminta rumah sakit.
Sewaktu berdo­misili di Pasar Usang, hingga tamat SMA (pertengahan 2014), saya aktif dalam kegiatan rayon. Di rayon, ada kegiatan doa Rosario (Mei dan Oktober) di rumah umat. Ia juga aktif kegiatan jalan salib di gereja, pen­dalaman Kitab Suci dan pertemuan lainnya. Efi tak pernah absen berpar­tisipasi dalam kegiatan Paskah dan Natal, sebagai petugas atau kegiatan kesenian bersama anggota lain rayon ini. Efi sungguh merasakan keakraban, sesama warga rayon saling mengenal. Jika ada anggota rayon yang baru atau kurang aktif, pastilah akan dikunjungi, diajak untuk bergabung dalam kegiatan rayon. Ada 33 keluarga dalam rayon ini.

Semangat Berkomunitas Basis

Semangat hidup ko­mu­nitas basis (kombas) ada dalam dokumen Konsili Vatikan II. Da­lam dokumen tentang Gereja ditemukan kalimat “Allah ber­maksud menguduskan dan menye­lamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi, hendak membentuk mereka menjadi satu umat …” (Lumen Gentium, Artikel 9).
Allah mencip­takan manusia bukan untuk hidup sendiri-sendiri, tetapi untuk membentuk kesatuan sosial, de­mi­kian pula Ia berkenan mengu­duskan dan menye­lamatkan manusia bukan sendiri-sendiri, tanpa hubungan apa pun dengan yang lain, me­lainkan Ia ber­kenan menja­dikan mereka satu umat, yang meng­akui Dia dalam kebenaran, dan melayani Dia dengan Suci” (Gaudium et Spes, artikel 32).
Istilah kombas (Komunitas Basis) juga muncul dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) I Tahun 2000. Kombas menjadi pilihan pastoral yang dikem­bangkan di Indonesia. Bahkan sebagai tindak lanjut hasil SAGKI dibentuk Lembaga Pelayanan Komunitas Basis (LPKB), untuk membantu tumbuh dan berkem­bangnya kombas di Indonesia. Kombas merupakan paguyuban murid Yesus yang dijiwai visi Kristus, yakni ter­wujudnya Kerajaan Allah, yang tampak dalam persaudaraan sejati. Kombas bergema ke Keuskupan Padang. Sebagai tindak lanjut hasil Musyawarah Pastoral (Muspas) Keuskupan Padang Tahun 2011, tahun 2016 dicanangkan sebagai Tahun Persekutuan/Koinonia, salah satunya persekutuan kombas.
DSC_5699,Fokus,Martinus KiwanMantan peserta Muspas 2011 dari Paroki Santa Maria Bunda Yesus, Padang, Martinus Kiwan, S.Pd. (45) melihat ada kemajuan cukup berarti akan hidup bersama dalam satu komunitas basis. “Buktinya, beberapa rayon yang belum ‘hidup’ sebelumnya, kini mulai bergerak, meski belum maksimal sebagaimana diidealkan atau dicita-citakan. Memang butuh waktu untuk berproses dan pendampingan. Saya juga melihat pada kerinduan berkumpul umat dan sumber daya manusia (misalnya pengurus rayon, umat basis, dan sebagainya),” ungkap Martin.
Berkaitan dengan kerinduan berkumpul serta SDM, Martin melihat masih rendahnya kerinduan umat paroki di perkotaan, karena situasi dan kesibukan kerja. Berbeda dan ber­banding terbalik dengan umat basis di pinggiran maupun pedalaman, kerin­duan berkumpul tinggi tetapi SDM-nya terbatas. Martin men­contohkan, umat di daerah Sungai Pisang, wilayah terujung selatan Paroki St. Maria Bunda Yesus, Padang. “Umatnya penuh semangat berkumpul, namun di sisi lain ada keterbatasan. Di pusat paroki, terdapat sejumlah rayon, dan banyak orang yang begitu aktif dalam kelompok kategorial, tetapi tidak ‘bergerak’ di rayonnya. Mungkin, hal tersebut berkaitan dengan perasaan pertemanan,” ujarnya.
Maka, kalau ada kegiatan berbasis rayon atau komunitas umat basis harus jalan, apa pun halangannya dicarikan solusinya. Petugas liturgi dari rayon mi­salnya, ada yang dapat atau kurang dapat melaksanakannya tetap dilakukan. Mau tak mau, warga rayon akan kembali ke basisnya. Petugas liturgi tidak hanya ‘dila­koni’ orang tertentu saja. Posisi apa pun di dewan pastoral paroki (DPP) atau kelompok kategorial mana pun, sambung Martin, umat ber­sangkutan harus kembali ke basisnya. Anggota DPP dapat menjadi ‘motor penggerak’ dina­mika kombas. Keseharian kita ada dalam persekutuan basis.
Momentum pencanangan Tahun Koinonia menurut warga rayon Xa­verius, Wilayah Paulinus ini mesti dibarengi upaya katekese dan gerakan rayon secara aktif. Martin prihatin melihat anggota DPP tidak aktif dan terlibat di rayonnya, tidak ‘kembali’ ke rayonnya. Bukan berarti kelompok kategorial tidak penting, karena lebih bersifat fung­sional, tetapi aktivis tersebut menjadi penyemangat di ra­yon/­lingkungan/kringnya. Ia mengaku mengidolakan gambaran cara hidup jemaat perdana (bdk. Kis 2:41-47) pada kombas yang ada sekarang. “Memang beda konteks kala itu dengan situasi kini. Di kota, tentu ada perhatian, sapaan, kepedulian. Perhatian tidak harus dalam bentuk materi. Kalau diteliti, banyak sesama kita kesepian dalam keramaian padahal satu Gereja, dalam satu lingkungan/kring. Mem­prihatinkan bila ada umat yang lebih aktif dalam kelompok kategorial tetapi tidak mengenal saudara seiman yang menjadi tetangga terdekatnya. Saya berharap umat tidak hanya bersekutu lingkungan intern Gereja, tetapi juga membangun persekutuan dengan umat beragama lain atau persekutuan insani,” tukasnya.

Tingkatkan Pemahaman
Mantan peserta Muspas 2011 dari Paroki St. Ignatius, Pasir Pengaraian, Riau, Banus Bernad Silaban (45) menyatakan pencanangan Tahun 2016 sebagai Tahun Koinonia merupakan cara dan upaya agar umat Katolik di Keuskupan Padang fokus serta mempunyai pemahaman lebih jernih tentang persekutuan. “Perlu upaya peningkatan pemahaman lewat serangkaian sosialisasi maupun katekese. Akan lebih konkrit dan nyata bila pelayanan beriringan dengan persekutuan. Menurut saya, tanpa pelayanan, persekutuan menjadi kurang bermakna. Kita makin memahami persekutuan dalam hidup bersama, baik dalam keluarga maupun dalam kelompok teritorial,” ucapnya.
Wakil Ketua Stasi St. Maria Assumpta, Batas, Pasir Pengaraian ini menekankan pentingnya pelayanan dalam persekutuan hidup, termasuk dalam kelompok basis. Petani di Kecamatan Tambusai, Rokan Hulu, Pasir Pengaraian ini menyoroti hidup persekutuan umat di tingkat basis di tempatnya masih jauh dari yang diharapkan. Menurutnya, persekutuan dan pelayanan mesti menyentuh umat di tingkat akar rumput (grass root). Tidak hanya aktivitas teritorial, persekutuan hidup pun bisa ber­lang­sung dalam aktivitas kategorial. Di stasinya, ada kelompok Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Remaja (BIR), Orang Muda Katolik (OMK), kegiatan Minggu Gembira.
Silaban menyorot pentingnya proses regenerasi kepengurusan dalam kelompok basis. Tidak selalu mudah, sehingga pengurus lama tetap tampil. Pembinaan pengurus baru pun belum fokus, padahal pengurus stasi, wilayah, lingkungan, rayon atau sebutan lainnya merupakan ujung terdepan pem­bangunan umat. Idealnya, pembinaan tersebut berjenjang, misalnya kursus dasar untuk yang baru terpilih, kursus lanjutan untuk yang melanjutkan periode kepemim­pinannya. “Upaya ini perlu dan penting! Sebenarnya, siapa pun bisa menjadi pengurus, namun belum tentu yang terpilih mempunyai kemampuan dan pengalaman! Kalau pemahaman pengurus saja tentang hidup meng­gereja dan bersekutu masih minim, apalagi di kalangan umat atau warganya,” tandasnya.
Fokus,Erita Yohana Gurning,1Gambaran kondisi komunitas basis diungkap Ketua Lingkungan St. Yusuf, Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai, Erita Yohana Gurning (42). Ketua lingkungan sejak September 2013 ini mengungkap dinamika lingkungannya, cukup aktif namun jangkauan wilayahnya luas, dari Jaya Mukti ke Blingtung. “Lingkungan ini ‘dibagi’ dalam tiga satuan komunitas basis gerejani (KBG); yakni KBG Henrikus (33 keluarga), KBG Agus­tinus (18 keluarga), dan KBG Yustinus (18 keluarga). Satuan terkecil hingga tingkat ‘akar rumput’ atau basis di Paroki Dumai dinamakan KBG. Semen­tara di paroki lain bernama rayon, lingkungan, atau kring.
Beberapa keluarga, terutama di Blingtung, mengalami kesulitan hadir kalau ada pertemuan malam hari, karena jauh domisilinya. Untuk lingkungan sekitar Jaya Mukti, Dumai, warga cukup aktif. Di lingkungan ini terdapat 63 keluarga, ada yang berdomisili terkonsentrasi di satu tempat, seperti di Jaya Mukti, namun ada juga yang satu-satu. Faktor jarak yang jauh, pertemuan malam hari, dan kerawanan lainnya menjadi kesulitan kami berkumpul bersama,” ucap Erita.

Lebih Kuat
Dengan kondisi tersebut, pihaknya berencana memekarkan satu KBG lagi, namun wacana tersebut diurungkan. Warga lingkungan yang bekerja pada beberapa perusahaan bekerja pola shift-an, banyak yang berstatus keluarga muda atau baru menikah, dan sulit menemukan waktu berkumpul bersama. Namun, Erita merasa aneh melihat fenomena di tempat lain berlatar belakang marga. “Untuk pertemuan kelompok marga, ada keterikatan umat untuk memaksakan diri terikat. Sepertinya organisasi marga orang Batak lebih kuat ikatannya. Dianggap sebagai suatu keharusan. Khawatir kalau terkena sanksi bila tidak ikut arisan marga misalnya. Tak heran ada pemandangan, mereka hadir walau terkadang diadakan malam hari, membawa anak kecil, suami bekerja malam, meng­gunakan sepeda motor menuju lokasi. Kondisinya berbeda kalau diadakan pertemuan lingkungan maupun KBG, tidak (selalu) hadir, karena merasa tidak ada sanksinya,” tuturnya.
Erita menyatakan pastor paroki dan katekis telah mengetahui permasalahan dan kesulitan yang dialami lingkungannya. Peme­cahannya berupa pengaturan jadwal kegiatan; misalnya saat doa Rosario diadakan di tiap KBG, Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) di tingkat lingkungan. “Belum terlaksana dengan baik. Parahnya, ada di antara ketua KBG bersantai ria. Sepertinya ketua lingkungan mestilah orang yang sigap dan siap sedia bergerak, bahkan kalau perlu terjun langsung ke lapangan, misalnya menarik dana paroki mandiri, aksi sosial kematian, dan sebagainya. Sebenarnya, lebih kecil wilayah pelayanan akan lebih memungkinkan pengurus memerhatikan umat, seba­gaimana jemaat perdana,” tu­turnya. Istri Yustinus Sutrisno ini men­dapati kesulitan baru tatkala berencana memekarkan KBG di lingkungannya. “Banyak di antara umat yang merasa tidak mampu menjadi pemimpin, sehingga tatkala memilih pemimpin KBG, banyak yang tidak bersedia, merasa tidak mampu. Hal sama juga terjadi saat pemilihan ketua ling­kungan. Banyak alasan dikemukakan, antara lain sibuk dengan pekerjaan, waktu terbatas, tidak punya kemampuan memimpin, dan sebagainya. Kalau kini di tiap KBG ada ketuanya, mungkin ada yang merasa terpaksa,” tukasnya lagi.
Sebagai ketua lingkungan, Erita mempunyai gambaran ideal suatu lingkungan. “Setiap umat mempunyai kesadaran, hadir pertemuan bila diundang, terlibat aktif tanpa harus pilah-pilih. Maka, penting adanya kesadaran, tidak egois, memberikan hati-perhatian-waktu. Patut disadari, dalam hidup, kita saling membutuhkan dan tidak bisa hidup sendirian. Hidup bermasyarakat, baik dengan sesama seiman, maupun berkeyakinan lain. Pendekatan pribadi terus diupayakan dalam langkah penyadaran ini. Omong dan obrol saat menjemput dana paroki mandiri, berkirim pesan singkat (SMS). Adakalanya berhasil, adakalanya mesti terus diupayakan. Mungkin ada di antara umat yang tidak menganggap penting keberadaan lingkungan ataupun KBG. Kadangkala terpikir, saya merasa ciut nyali, merasa rendah diri, dan sebagainya. Tetapi, saya renungkan juga dan membesarkan hati sendiri,” ujarnya.

Ada Peningkatan
Fokus,Tintin Sumarni Deli,3Lain lagi pengalaman Ketua Rayon St. Aloysius 1 (Kali Kecil III) Paroki Katedral St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang, Laurensia Miriam Tintin Sumarni Deli (49). Terpilih sebagai ketua rayon sejak tahun 2012, Tintin merasa cukup memahami situasi 17 keluarga warganya. Gempa besar yang melanda Sumatera Barat 30 September 2009 berdampak pada jumlah warga rayon ini. Kini tinggal 60-an warganya, sebelumnya cukup banyak. “Banyak warga rayon ini pindah domisili karena takut, trauma, dengan gempa,” katanya.
Hingga kini, pertemuan bulanan rayon setiap Kamis malam minggu pertama tetap diadakan, kehadiran warga tercatat. Dulu, sebelum adanya pencatatan kehadiran warga, sedikit yang hadir, kini sebaliknya. Tintin menyatakan, “Ada perubahan, ada peningkatan jumlah kehadiran warga rayon ini. Awalnya, sempat muncul pertanyaan tentang pencatatan keha­diran ini. Setelah penjelasan, warga memahaminya, malah tambah berse­mangat hadir. Bila berhalangan hadir, warga segera mengabari pengurus rayon atau saya mencari tahu keti­dakhadiran warga bersangkutan setelah pertemuan rayon berlangsung. Karena situasi tempat, tidak semua warga bisa menyediakan rumahnya sebagai tempat pertemuan. Selama ini di rumah saya dan bendahara rayon. Doa Rosario hanya bisa diselenggarakan empat kali sebulan atau sekali seminggu. Itu pun, kami harus mempertimbangkan untuk memilih waktu yang tepat sehingga bisa berkumpul bersama.”
Ada hal menarik tentang per­temuan rayon. Sebelum pertemuan dimulai, banyak suara warga muncul, namun tatkala dimulai, suasana menjadi hening dan diam seribu bahasa. Sangat kontras. “Mereka sungkan ditanya-tanya, apalagi saat pendalaman iman.
Namun, kini, tampak keberanian dari warga untuk membagikan (sharing) pengalamannya. Kalau diminta menafsirkan kutipan Kitab Suci, tampaknya sulit, tetapi warga lebih suka dan berani mengisahkan pengalaman hidupnya yang mem­punyai padanan dengan isi Kitab Suci. Pemandu pertemuan memang diha­rapkan jeli menggalang partisipasi warga,” tuturnya.
Selain itu, Tintin menambahkan, ada warganya kurang mau datang ke pertemuan rayon karena pekerjaan, mendampingi anak belajar. Ia pun mendapati di antara anak warga yang hadir karena ditugaskan guru agama Katolik atau katekis. “Tidak hanya dalam pertemuan rayon, hubungan baik pengurus dengan warga maupun se­sama warga rayon ber­langsung har­monis, saling memer­hatikan. Bila ada musibah, kemalangan (sakit, me­ninggal) diperhatikan. Domisili warga rayon ini di dalam gang sempit, namun tidak sempit hatinya. Ada kedekatan hati,” tandas­nya. 

Harus Keluar dari Zona Nyaman

21-abel

P. Abel Maia, Pr
Pastor Paroki Santa Maria Auxilium Christianorum, Sikabaluan, Mentawai (Diolah dari wawancara)

Sehubungan dengan pen­canangan tahun 2016 sebagai Tahun Koinonia atau Per­sekutuan, kami di Paroki Santa Maria Auxilium Christianorum Sikabaluan, Men­tawai memusatkan perhatian persekutuan secara teritorial. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan memerhatikan persekutuan secara kategorial. Kelompok kategorial di paroki Sikabaluan tidaklah sebanyak dan beragam sebagaimana di paroki lainnya. Hal ini telah diper­cakapkan dalam pertemuan Dewan Pastoral Paroki (DPP).
Mengapa secara teritorial? Karena di Paroki Sikabaluan wilayah pelayanan sedemikian luas, meliputi dua kecamatan (Siberut Utara dan Siberut Barat). Tentang bentuk kegiatan, tentulah yang sesuai dan cocok untuk paroki ini adalah secara teritorial. Persekutuan kate­gorial, misalnya Orang Muda Katolik, misdinar, Bina Iman Remaja (BIR) telah biasa dilakukan. Di sini, khasnya teritorial atau kewilayahan.
Kami telah membentuk satuan perwilayah agar pelayanan semakin lancar. Semakin kecil kelompok atau wilayah, tentulah persekutuan semakin kecil dan juga semakin kenal. Ada empat wilayah, yakni: barat (meliputi daerah Simalegi, Simatalu), tengah (Sikabaluan dan sekitarnya), utara (Sigapokna dan sekitarnya), timur (Malancan dan sekitarnya).
Berkaitan dengan pemahaman hidup bersekutu umat di paroki ini, sepenglihatan saya selama lebih lima tahun melayani umat di sini tidak serta-merta berjalan baik. Upaya ini terus berproses dan membutuhkan penja­jakan guna mencari bentuk yang pas dan cocok dalam konteks hidup persekutuan. Kadang, wilayah atau medan menjadi kesulitan untuk membentuk persekutuan koinonia yang sesungguhnya. Selama ini masih sporadis. Dengan hasil Musyawarah Pastoral (Muspas) Tahun 2011, maka yang sporadis tersebut perlahan-lahan kita persatukan, tidak ‘bermain sendiri’, namun hidup sebagai satu komunitas.
Dalam konteks di Mentawai, meski kehadiran Gereja sudah sekian lama, namun semangat, mentalitas, pemahaman dan pengertian umat atas hidup persekutuan masih minim. Yang perlu dilakukan adalah sosialisasi dan upaya katekese. Tentu, tidak bisa dalam waktu sekejap, dalam proses menjadi, ada dasar untuk terus dikembangkan. Di Mentawai itu unik, perlu kerja keras untuk membangun persekutuan karena tidak gampang. Kita harus terus bekerja keras untuk itu, karena ada kesulitan berhubungan dengan relasi satu sama lain, antar kampung, maupun antar suku. Persekutuan harus dibangun, diperkuat, dipertajam agar jadi sungguh komunitas yang solid, unggul, dan militan.
Idealnya, dasar dari persekutuan adalah menghidupi Tritunggal di dalam komunitas, dalam kebersamaan, dalam cinta. Gereja secara teologis biblis berpegang pada Trinitas. Persekutuan Trinitas menjadi dasar pijakan kehidupan Gereja hidup berkomunio. Gereja belajar dari komunitas yang dibangun Yesus yakni komunitas alternatif – mem­perte­mukan para murid yang bervariasi latar belakang. Kisah para rasul dan jemaat perdana menjadi contoh konkrit. Inilah yang mendasari Gereja berkomunitas dan bersekutu.
Pemahaman umat perlulah digali dan dipertajam melalui katekese. Umat paroki mesti membangun sikap berani keluar dari zona aman, nyaman dalam dirinya (lingkungan) sendiri. Kalau belum ada kemampuan, niat, spiritualitas keluar dari zona aman akan merasa dirinya hebat atau lemah sama sekali. Dalam membangun persekutuan, umat mesti hidup alturistik, keluar dari zona aman dan nyaman menuju pada orang lain, berani mengambil resiko – misalnya pengosongan diri Yesus (bdk. Fil 2:1-11; Yoh 1:14). Yesus tidak membuat dirinya setara dengan Allah, pengo­songan diri-Nya dapat memberi kehidupan dirinya untuk orang lain. Gereja harus kuat, altruistik, tidak pada posisi bertahan, defensif, dan meka­nis membela diri. Gereja itu hidup ber­sama dan untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.
Agar pencanangan sebagai Tahun Koinonia tidak sebatas kegiatan, maka upaya yang dilakukan sesuai dengan kemampuan yang ada. Kegiatan dapat dilakukan, tetapi mesti ditopang aspek lain; misalnya tenaga, sarana dan prasarana. Lebih penting lagi adalah kesadaran memulai dari diri sendiri. Bila telah ada kesadaran dan ‘revolusi mental’, pastilah akan lebih memu­dahkan kita berkegiatan. Kalau tidak, masih mentalitas diri sendiri, kegiatan menjadi sebatas formalitas, tidak membawa makna apa pun kepada orang. Intinya, harus dibangun kesadaran dari diri sendiri hidup berkomunitas.  (hrd)

Tinggalkan Balasan