Koinonia dan Gereja

koinoniaBagi umat Kristiani, perikoresis yakni cinta kasih antara Bapa dan Putra dalam Tritunggal Maha­kudus menjadi model relasi antar manusia (persekutuan), dengan demikian koinonia sendiri menjadi ciri relasional antar manu­sia dalam Gereja. Koinonia yang sejak sediakala menjadi pola hidup ketiga Priba­di dalam Tritunggal, menginspirasi perse­kutuan umat yang terwujudnyatakan dalam Gereja. Tidak bisa dipungkiri selama bebera­pa abad Gereja sangat menekankan satu visi tentang hidup beragama yang agak individual dan kurang menegaskan dimen­si kolektif dari spiritualitas Kristiani. Yang diutamakan adalah doa dan kontemplasi pribadi. Keheningan dianggap lebih luhur dari percakapan, sehingga menyendiri di padang gurun menjadi sarana para pertapa untuk mengasingkan diri dari keramaian di kota, guna mencapai kesatuan dengan Tuhan, seturut pengalaman Santo Antonius Abbas (rahib ini dipandang sebagai perintis hidup bakti dalam tradisi Katolik).

Kita juga tidak boleh lupa Santa Theresia dan Santo Yohanes dari Salib yang mem­bahas sedalam-dalamnya perjalanan jiwa menuju kesatuan dengan Allah dalam kontemplasi pribadi. Demikian juga ajaran Ignasius dari Loyola dalam Latihan Roha­ninya (yang pada dasarnya menjadi latihan pribadi yang dijalankan dalam kesunyian). Buku Mengikuti Jejak Kristus yang diatri­busikan kepada Thomas a Kempis, yakni sebuah buku yang termasyhur dalam tradisi spiritual Gereja, mengutip pepatah dari pemikir Latin Seneka yang menga­takan dengan tegas: “Setiap kali aku ga­bung dengan manusia, aku pulang menjadi kurang manusiawi”. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam tradisi Gereja selama beberapa abad, perjalanan menuju Tuhan dan upaya untuk berkontemplasi sering diidentikkan dengan askese pribadi seseorang yang dilaksanakan dalam sua­sana hening dan sunyi. Singkat kata, untuk menjadi suci, adanya sesama di samping kita tidak menjadi terlalu penting karena yang mutlak adalah terutama sekali relasi pribadi antara saya dan Allah. Paling-paling saudara-saudari saya dapat diang­gap berguna sebagai sasaran amal bakti saya seturut dengan perintah untuk meng­asihi sesama, tetapi mereka belum dipan­dang sebagai teman seperjalanan untuk menuju Tuhan dalam suasana koinonia.

Tanpa melupakan pentingnya relasi personal dengan Allah, perlunya kehe­ningan dan doa dalam spiritualitas sese­orang, serta upaya personal untuk menjadi orang kudus, visi tradisional tersebut be­risiko untuk menjadi kurang seimbang, jika tidak disokong oleh dimensi kolektif kehi­dupan Kristiani. Kita tidak boleh lupa bahwa hidup Kristiani adalah sebuah peng­alaman yang kita jalankan dalam keber­samaan. Gereja Purba menunjukkan satu sikap komuniter yang sangat menyolok. Menurut Kisah Para Rasul, komunitas perdana di Yerusalem hidup “sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.”(Kis 4:32) Jadi, sejak awal mulanya, Gereja lebih menyerupai sebuah komunitas yang rukun dan saling mengasihi, daripada sebuah perkumpulan orang yang beraskese secara individualisis. Hal serupa bisa kita lihat dalam diri kelompok para murid yang hidup bersama dengan Yesus dan diutus berdua-dua, meskipun barangkali karya pewartaan mereka bisa menjangkau lebih banyak orang jika mereka diutus sendiri-sendiri (cfr. Mk 3:13-14; 6:6; Lk 10:1). Teolog Karl Rahner, mengatakan bahwa peristiwa Pantekosta juga merupakan sebuah peng­alaman yang bercorak komu­niter, saat para murid bersama Bunda Maria berkumpul bersama dan dalam per­sa­tuanlah mereka menerima pencurah­an Roh Kudus.

Istilah “Gereja” sendiri merujuk pada dimensi komuniter dan sikap persau­daraan. Kata Gereja berasal dari kata Yunani ekklesia yang berarti perkumpulan orang yang ikut berdiskusi bersama-sama di agora (halaman publik). Maka istilah Gereja sendiri menunjukkan bahwa umat Allah diidentifikasikan dengan sebuah entitas plural yang terdiri dari orang ba­nyak. Dalam hal ini Gereja bisa dikatakan “bercorak Trinitaris” dalam arti bahwa Gereja terdiri dari pribadi yang berbeda tetapi bersatu karena kasih timbal balik mereka, dan dengan demikian mencer­minkan pola hidup ketiga Pribadi dalam Tritunggal. Oleh karena itu, seorang Katolik tidak bisa menjadi diri sendiri dan menjadi pengikut Kristus jika tidak ber­ibadah dan menghayati imannya bersama dengan saudara-saudarinya. Perjalanan menuju Tuhan mesti ditempuh secara bersama-sama.

Kesadaran akan dimensi persekutuan dalam spiritualitas Kristiani menjadi sema­kin kuat pada jaman modern. Konsili Vati­kan II sangat menegaskan dimensi Gereja sebagai communio (persekutuan dalam bahasa Latin) di mana Gereja adalah tanda dan sarana persekutuan dengan Allah dan antara manusia. Gereja adalah Umat Allah di mana setiap anggota memiliki martabat yang sama dan memberi kontribusi untuk membangun Tubuh Kristus dalam se­mangat kesatuan. Maka dimensi komu­niter dan koinonia menjadi amat penting untuk menanggapi panggilan Kristiani dalam Gereja. Dalam Konstitusi Sacro­santum Concilium dikatakan juga bahwa liturgi, terutama sekali Ekaristi yang dihayati oleh umat dalam persekutuan, menjadi “Sumber dan Puncak” (fons et culmen dalam bhs. Latin) dari Kehidupan Kristiani. Hal tersebut menurut saya sangat menarik karena menyadarkan kita bahwa puncak dari kontemplasi dan kesatuan dengan Tuhan terjadi bukan dalam kesu­nyi­an, melainkan ketika kita hadir dalam perayaan bersama saudara-saudari kita seiman.

Pada awal Millennium ketiga, Santo Yohanes Paulus Kedua menulis di Surat Apostolik: “Novo Millennium Ineunte” bahwa Gereja memerlukan suatu “Spiri­tualitas Persekutuan (koinonia). Bagi beliau spiritualitas bukan lagi suatu upaya pribadi belaka, melainkan mesti dijalankan dalam persekutuan.Dengan demikian, seluruh spiritualitas, yakni upaya dan sarana-sarana untuk mencapai persatuan dengan Allah, dikaitkan erat oleh Paus dengan sebuah dimensi kolektif dikare­nakan kesatuan dengan Tuhan terjadi dalam Tubuh Kristus, yang terdiri dari se­mua anggotannya. Maka, saya mesti meme­lihara kekudusan saya sendiri, namun saya dipanggil juga untuk membantu saudara-saudari saya menjadi kudus bersama saya, karena kita sedang berjalan bersama.

Dalam dokumen yang sama Yohan­nes Paulus Kedua menegaskan juga bahwa Gereja adalah “Rumah dan Sekolah perse­kutuan.” Jika Gereja menjadi “rumah koinonia” dan kita diajak untuk menjadi “kudus bersama”, kontemplasi pribadi dalam kesunyian tidak cukup lagi. Kehe­ningan perlu diselingi oleh komunikasi dan percakapan dengan saudara-saudari kita yang intens dan mendalam (seperti dalam Tritunggal Mahakudus di mana komunikasi antarpribadi berjalan terus menerus, seturut dengan pernyataan peng­injil Yohanes “pada mulanya adalah Firman”,… bukan “keheningan”). Tentu yang dimaksud di sini bukan percakapan superfisial yang tidak punya arti, melain­kan sebuah komunikasi antarpribadi yang mendalam dan bertujuan untuk men­dukung perkembangan rohani orang lain. Menghayati spiritualitas kolektif seperti itu berarti bahwa kekayaan rohani dan pengalaman spiritual yang saya hayati berdasarkan upaya saya untuk mem­praktikkan Injil dalam keseharian tidak boleh saya sembunyikan dalam hati, melainkan mesti saya komunikasikan kepada saudara-saudara saya agar mereka juga maju dalam perjalanan rohani. Spiritualitas kolektif berarti juga kesediaan untuk mengoreksi dan membiarkan diri dikoreksi oleh saudara-saudari kita, demi perbaikan diri dan kesembuhan rohani seluruh Tubuh Kristus, bagaikan sebuah penyakit yang menyerang sebuah anggota tubuh, sekali disembuhkan membawa kesembuhan bagi seluruh tubuh.

Gereja sebagai “rumah koinonia” berarti juga memikirkan kembali fungsi dari otoritas (wewenang) dalam ko­mu­nitas Kristiani. Dalam Gereja seorang kepala terutama sekali menjadi hamba seluruh umat dan penyokong persau­daraan. Ide yang dipaparkan oleh Injil tentang batu karang atau fondasi me­nunjukkan bahwa dalam Gereja koi­nonia otoritas yang mempersatukan dan memperkokoh umat berada di posisi bawah, di tempat yang paling rendah dan tersembunyi dari seluruh bangunannya. Paus Fransiskus dengan sikap rendah hatinya sedang menunjukkan kepada kita fungsi ini perlu dijalankan. Dia sering menekankan desentralisasi dan subsi­diaritas (memper­cayakan peng­ambilan keputusan pada tingkat lokal), dengan meminta para uskup untuk mencari solusi di tempatnya sesuai dengan situasi lokal. Kemudian, Fran­siskus telah menetapkan sebuah dewan Kardinal sebagai badan konsultatif agar beliau tidak mengambil keputusan seorang diri (badan konsultatif ini sering disebut C9). Dia juga telah mengadakan konsultasi kepada seluruh umat di seluruh dunia guna mengumpulkan data dan masukan dari umat dalam rangka memper­siapkan kedua Sinode mengenai Keluarga yang dise­lesaikan tahun lalu dan disim­pulkan dalam anjuran apostolik Amoris Laetitia. Dalam dokumen tersebut, Paus ingin agar keluarga-keluarga menjadi aktif dalam mengambil keputusan mengenai hidup mereka sendiri seturut dengan hati nurani mereka yang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Menurut berita terkini, Sri Paus akan menetapkan juga sebuah komisi untuk menjajaki kemungkinan untuk merestui pelayanan diakonat bagi perem­puan, agar peranan perempuan dalam Gereja semakin dihargai. Semuanya ini menunjukkan bagaimana dalam Gereja koi­nonia semua anggota mengambil pe­ran­an aktif untuk membangun Tubuh Kristus.

Konsekuensi dari sebuah visi tentang Gereja koinonia seperti ini adalah bahwa semua struktur gereja, termasuk Dewan Paroki, komunitas lokal dan kelompok kategorial akan menjalankan fungsinya seturut fitrah mereka jika di dalam kelompok itu pun semangat persaudaraan dihayati dengan sungguh-sungguh. Komunitas tersebut perlu mengutamakan kasih timbal balik antara anggotannya. Proses untuk mengambil keputusan perlu melibatkan semua pihak, yang memiliki martabat yang sama. Tentu, prosesnya akan menambah rumit karena menerima komando dari atas jauh lebih mudah dan cepat daripada mencari solusi bersama melalui musyawarah, namun hasil dari keputusan yang diambil bersama-sama akan jauh lebih efektif dan berpengaruh (selain menjadi juga selaras dengan spirit Pancasila yang kita semua junjung ting­gi…). Kemudian, tentu kita semua harus semakin rela untuk saling me­nerima dan saling mengampuni dalam semangat belas kasih. Saling meng­ampuni adalah syarat mutlak untuk membangun koinonia yang se­sung­guhnya.

Kalau demikian, Gereja, pada ting­kat lokal dan juga global, makin menja­di diri sendiri: Tubuh Kristus. Dan Tubuh Kristus itu tidak tinggal sekedar sebuah realitas untuk diimani saja, melainkan akan menjadi kenyataan yang kelihatan di tengah dunia. Oleh karena itu Yohanes Paulus II berani menggambarkan Gereja tidak hanya sebagai “rumah”, melainkan sebagai juga “sekolah persekutuan.” Sekolah adalah tempat bagi orang lain dapat belajar. Semoga dunia, yang begitu menderita dan terluka karena banyak­nya perpecahan dan konflik, dapat belajar dari Gereja untuk semakin ber­satu dalam persaudaraan. Ini tanggung­jawab dan PR kita bersama.

P. Matteo Rebecchi, SX
Imam Misionaris Xaverian,
Pastor Rekan Paroki St. Maria Diangkat ke Surga Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.

Tinggalkan Balasan