MENELADAN BAPA ABRAHAM (Renungan MINGGU PRAPASKAH II-a)

MENELADAN BAPA ABRAHAM
Hari Minggu Prapaskah II (12 Maret 2017)
Kej 12:1-4a; 2Tim 1:8b-10;
Mat 17:1-9

OLEH TIGA agama monotheis, yaitu: Yahudi, Kristen, dan Islam, Abram atau Abraham dipandang sebagai “bapa kaum beriman”. Semua penganut ketiga agama tersebut dianjurkan untuk meneladani Abraham dalam hal iman kepercayaan kepada Tuhan. Bagaimana hebatnya iman kepercayaan Abraham ini dilukiskan dengan bagus antara lain dalam kisah panggilannya untuk meninggalkan negeri dan keluarganya. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Tuhan memerintahkan kepada Abram untuk meninggalkan negeri keluarganya dan pergi ke suatu negeri yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya. Tuhan berjanji bahwa jika Abram melaksanakan perintah tersebut, maka Tuhan akan membuat Abram menjadi bangsa yang besar, akan membuat namanya menjadi masyur dan akan membuat dia menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Meskipun disertai dengan sejumlah janji yang menggiurkan, perintah Tuhan ini tidak mudah untuk dilaksanakan oleh Abram. Pertama, Abram dan keluarganya telah lama menetap dan telah hidup bahagia di tanah yang kini telah mereka tempati tersebut. Kedua, janji Tuhan kepada Abram sangat sulit untuk diwujudkan. Karena Sarai, istrinya itu mandul dan mereka berdua sudah tua. Abram sudah berumur tujuh puluh lima tahun. Bagaimana mungkin Abram dan Sarai, yang tidak mempunyai anak, dapat menjadi bangsa yang besar? Namun demikian, tanpa keberatan sedikit pun, Abram pergi sesuai dengan perintah Tuhan kepadanya, sebab ia percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Di sinilah terletak kehebatan iman kepercayaan Abram kepada Tuhan.

Timotius adalah anak buah Paulus yang bersama dengannya bekerja untuk Allah dalam pemberitaan Injil Kristus. Jika Paulus berhalangan, Timotius diutus Paulus untuk menguatkan hati dan menasehati jemaat tentang iman. Ketika Timotius sedang bertugas di Efesus dan mengalami banyak kesulitan di sana akibat ulah pengajar-pengajar sesat, Paulus menasehatinya untuk tetap mengobarkan karunia Allah yang ada padanya oleh penumpangan tangan Paulus atasnya. Paulus mengingatkan Timotius atas imannya yang tulus ikhlas kepada Allah yang memberikan bukan Roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban. Selanjutnya Paulus mendorong Timotius agar tidak malu bersaksi tentang Tuhan Yesus Kristus, juga agar tidak karena Paulus yang sedang dipenjarakan, melainkan ikut menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah.

Menurut Paulus, Timotius harus ingat baik-baik bahwa Allah sendirilah yang telah menyelamatkan dan memanggil mereka dengan panggilan kudus untuk menjadi pengikut Kristus Yesus, khususnya untuk menjadi pemberita Injil. Karena itu baik Paulus maupun Timotius harus siap menderita dan malu, sebab mereka berdua tahu kepada siapa percaya. Supaya Timotius mempunyai pegangan mengenai ajaran ajaran yang sehat, ia harus berpegang pada segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Paulus kepadanya. Singkatnya, Timotius harus memelihara harta indah yang telah dipercayakan oleh Allah kepadanya dan Paulus melalui Roh Kudus yang diam di dalam mereka.

Kisah tentang penampakan kemuliaan Yesus kepada ketiga murid-Nya yang kita dengarkan hari ini ditempatkan persis sesudah kisah tentang pemberitaan pertama Yesus mengenai penderitaan dan kematian-Nya. Dengan demikian nampak jelas bahwa ada hubungan sangat erat antara kedua kisah tersebut. Ketika Yesus menubuatkan penderitaan dan kematian-Nya kepada para murid, Petrus sama sekali tidak bisa menerima hal itu. Keberatan Petrus ini masuk akal, sebab menurut dia, Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, maka tentu tidak mungkin Allah akan membiarkan hal itu terjadi. Pasti Allah akan menjauhkan penderitaan dan kematian itu dari Yesus.

Manusia memang sulit untuk menerima kenyataan penderitaan dan kematian, apalagi jika menyangkut tokoh yang diharapkan. Tetapi seperti kata Yesaya, rancangan dan jalan Allah tidak sama dengan rancangan dan jalan manusia. Karena itu Petrus berkeberatan atas nubuat tersebut. Yesus menegur keras dia, sebab dia hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia, bukan apa yang dipikirkan Allah. Yesus sengaja meperlihatkan kemuliaan-Nya kepada ketiga murid-Nya itu, supaya mereka tidak kecil hati mendengar nubuat Yesus tentang penderitaan dan kematian-Nya. Namun demikian, mereka harus ingat bahwa kemuliaan itu baru akan terlaksana sesudah kebangkitan Yesus, dan tentu saja sesudah penderitaan dan kematian-Nya.

Pada umumnya manusia sulit sekali untuk menerima kenyataan penderitaan, apalagi kematian. Padahal Yesus menuntut para pengikut-Nya untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti jalan hidup-Nya. Yesus memang menjanjiklan kebangkitan dan kemuliaan kepada para pengikut-Nya, tetapi janji itu baru dalam bentuk harapan. Maka dalam hal ini sangat dibutuhkan kedalaman iman, sama seperti yang dimiliki oleh Abram. (sw)

Ekaristi Minggu Prapaskah II, 8 Maret 2020

Tinggalkan Balasan