Allah Sumber Koinonia Gereja
Tahun koinonia yang sedang kita hayati di keuskupan Padang merupakan sebuah kesempatan emas untuk menyelami salah satu unsur terpenting dalam iman kita sebagai umat Katolik. Koinonia atau persekutuan dalam bahasa Indonesia, dan communio dalam bahasa Latin, merupakan salah satu ciri dari komunitas para pengikut Kristus. Seorang bapa Gereja, Tertullianus, melaporkan dalam bukunya Apologeticum bahwa anggota Gereja purba dikenal oleh orang pagan bukan dari cara berdoa atau dari ritual tertentu yang mereka jalankan untuk menghayati keagamaan mereka, melainkan mereka dikenal dari kasih timbal balik yang mereka hidupi. Kaum pagan mengatakan: “lihatlah mereka (orang Kristiani) bagaimana saling mengasihi sehingga mereka rela mati satu demi yang lain!” Sesungguhnya kasih timbal balikmenjadi pola berelasi khas di komunitas purba itu. Oleh karena itu, kasih timbal balik atau koinonia, menjadi ciri dan “kartu nama” yang memperkenalkan anggota Gereja ke luar.
Saat ini banyak instansi di luar Gereja berbicara tentang persekutuan. Banyak kelompok menyebut diri “paguyuban”, “persatuan” atau memakai istilah lain yang merujuk pada suatu pola berelasi yang harmonis dan kondusif di antara para anggotanya. Kita tahu juga bahwa kerja sama dan semangat gotong-royong terbukti lebih efektif daripada bekerja sendiri. Semua perusahaan modern merancang managementnya agar team work dapat diimplementasikan demi produksi yang lebih menguntungkan. Motto negara Indonesia juga, Bhinneka Tunggal Ika, merujuk pada konsep koinonia: yakni berbeda namun bersatu. Adanya juga PBB dan segala upaya untuk berdiplomasi serta bekerja sama antara negara-negara demi mengatasi konflik dan memperjuangkan perdamaian merupakan salah satu pegejawantahan dari semangat koinonia. Semuanya ini membuktikan bahwa manusia cenderung untuk mencari kesatuan dan persaudaraan, atau, dengan kata lain, bahwa manusia adalah “homo hominis socius”, yakni makluk yang merealisasikan diri hanya jika berelasi dan bersatu dalam persaudaraan dengan manusia lain. Kita juga tidak boleh lupa bahwa kita semua lahir dalam konteks plural yaitu keluarga kita masing-masing yang terdiri dari bapa, ibu dan saudara-saudari kita. Maka kita terlahir dalam konteks koinonia dan akibatnya, kita membutuhkan koinonia untuk hidup.
Jika kita anggap benar bahwa ciri dari Gereja adalah persekutuan dan juga bahwa manusia selalu mendambakan persaudaraan, kita dapat bertanya kepada diri sendiri dari sumber manakah muncul kerinduan akan koinonia yang tertanam di dalam hati manusia. Jawabannya adalah bahwa hasrat akan persekutuan ini bersumber pada Allah Pencipta sendiri: manusia ingin mencapai koinonia karena Allah Pencipta adalah koinonia”. Iman kepercayaan Kristiani mengatakan bahwa Tuhan itu Esa, yakni Tuhan adalah satu. Namun sejak awal mula Gereja, iman Kristiani tidak hanya berhenti pada kesimpulan bahwa kesatuan Allah itu adalah homogenitas atau keseragaman, seakan-akan Allah itu dapat digambarkan sebagai sebuah batu monolitik yang sama bentuk dan isinya di setiap sisinya. Allah, menurut iman Kristiani, adalah satu, namun terdiri dari tiga pribadi yang berbeda yakni; Bapa, Putra dan Roh Kudus. Maka selain bersatu, Trinitas juga berciri plural dan berbeda satu dari yang lain. (Lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 254). Dan perbedaan ini bukan perbedaan semu, melainkan merupakan perbedaan yang sesungguhnya.
Menurut ajaran Gereja, ketiga Pribadi yang berbeda itu bersatu karena mereka mengambil bagian dari hakikat ke-Allah-an yang sama. Hal ini sudah diakui oleh Gereja sejak masa purba. Menurut ajaran Konsili Nicea (tahun 325), Putra adalah sehakikat dengan Bapa, sedangkan Konsili Konstantinopel (tahun 381) menyatakan bahwa Roh Kudus adalah Tuhan, sehakikat dengan Bapa dan Putra. (Lih. KGK 242, 245).Namun ada satu elemen penting lainnya yang menjadi sumber kesatuan dan keesaan Allah selain kodrat mereka yang sehakikat. Elemen ini adalah cinta kasih. Maka, ketiga Pribadi dalam Trinitas bersatu bukan “hanya” karena ketiga pribadi itu sehakikat, melainkan juga karena mereka saling mengasihi (kata teknis dalam bahasa Yunani yang mengungkapkan cinta kasih timbal balik dalam Tritunggal adalah perikoresis) sehingga mereka dipersatukan oleh kasih sejak sediakala. Kita bisa berkesimpulan bahwa ketiga Pribadi yang sungguh berbeda itu menjadi satu karena kodrat mereka sama, namun juga karena mereka berkoinonia, yakni karena mereka dipersatukan oleh kasih. Hal ini disampaikan oleh Yohanes dalam suratnya dengan mengatakan bahwa “Allah adalah kasih”(1 Yoh 4: 8).
Menurut saya, “Allah Koinonia” seperti ini merupakan suatu ciri yang hanya dimiliki oleh iman Kristiani. Hanya Allah “ala Kristiani” menawarkan salah satu visi tentang Tuhan yang plural namun sekaligus bersatu karena kasih. Dan visi tentang Allah seperti ini memiliki akibat yang banyak. Konsekuensi pertama dari visi tentang Allah Tritunggal seperti ini adalah bahwa Allah menciptakan jagat raya yang bercorak “Tritunggal”, sehingga semuanya di alam semesta plural dan sekaligus bersatu. Itu berarti bahwa, semua unsur dalam ciptaan beragam dan berbeda, namun diciptakan untuk berelasi secara harmonis dengan semuanya yang lain. Semuanya berbeda dan dipersatukan oleh kasih. Air memberi diri kepada laut yang akan mengembalikan air itu untuk diturunkan sekali lagi ke bumi. Setiap makhluk memberi diri untuk dimakan agar makhluk lain dapat hidup. Matahari membakar isinya sendiri demi memancarkan energinya di tata surya agar segala makhluk dapat hidup di bumi. Singkat kata, alam semesta juga berkoinonia, yakni terdiri dari unsur yang berbeda namun bersatu, karena diciptakan oleh Allah Tritunggal.
Selain jagat raya yang bercorak trinitaris, koinonia Ilahi menjadi juga model bagi relasi antar manusia. Kita semua menyadari bahwa hidup bersama orang lain tidak mudah. Hal ini kita alami dalam keluarga kita masing-masing di mana perbedaan karakter dan sikap menjadikan relasi antarmanusia retak dan kurang harmonis. Hal yang sama kita alami di kantor, di sekolah, di tempat kerja, bahkan di dalam Dewan Pastoral Paroki atau lingkup Gereja. Kita sering menarik kesimpulan bahwa keragaman merupakan hambatan untuk membangun kesatuan, sehingga kita mudah putus asa dan berkesimpulan bahwa persaudaraan itu mustahil sebab kita berbeda. Namun, justru Tritunggal Mahakudus menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk melampaui visi seperti ini. Mereka juga berbeda. Mereka juga tidak sama. Bapa lain dari Putra dan sebaliknya. Perbedaan itu sungguh riil. Namun mereka tidak berkonflik, bahkan mereka mampu menjadikan “kebhinnekaan” mereka sebagai suatu kekayaan untuk saling melengkapi dan memperkaya. Perbedaan dalam Tritunggal Mahakudus tidak menghalangi cinta kasih. Ternyata, kasih timbal balik dalam Tritunggal Mahakudus mampu mengubah perbedaan itu menjadi positif. Kesatuan Tritunggal Mahakudus bagaikan sebuah taman di mana warna bunga-bunganya yang beragam menjadi cirinya yang elok. Perbedaan itu, tidak menakutkan lagi, malah menjadi sumber kebahagiaan dan keindahan.
Jika demikian, kita juga, sebagai anak-anak dari Allah yang berkoinonia ini, dapat belajar untuk saling mengasihi. Memang kita semua berbeda. Latar belakang kita tidak sama. Kita juga mudah tersinggung dan gampang dilukai oleh perilaku orang lain. Namun kita punya model Tritunggal Mahakudus dan dari situlah kita dapat memperoleh teladan dan kekuatan untuk percaya bahwa perbedaan itu bukan hambatan untuk saling mengasihi. Kita harus belajar dari Ketiga anggota Trinitas untuk menjadi mampu berelasi dengan saudara-saudari kita. Maka tidak usah lagi menjadi takut jika lingkup hidup kita terdiri dari pria dan wanita, dari anggota yang sukunya berbeda, dari orang yang beda usia. Kita tidak boleh putus asa ketika menghadapi orang yang karakternya atau latar belakang budayanya berbeda. Kita mesti berkeras dalam percaya bahwa kasih timbal balik mampu mengatasi semuanya ini dan menjadikannya materi untuk saling memperkaya. Karena model Tritunggal itu, seorang Kristiani seharusnya menjadi orang yang tidak takut menghadapi perbedaan. Pengikut Kristus yang sejati adalah orang yang terbuka terhadap setiap sesama, mampu menghargai setiap perbedaan suku, bangsa, jenis kelamin, jenjang sosial, profesi dan agama. Di Surat kepada Jemaat di Galatia, Santo Paulus berkesimpulan bahwa dalam Gereja: “Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”. (Gal3: 28)
P. Matteo Rebecchi, SX
Imam Misionaris Xaverian,
Pastor Rekan Paroki St. Maria Diangkat ke Surga Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.