Allah Tidak Meninggalkan Umat-Nya (RENUNGAN: Minggu Adven II ,10 Desember 2017)

Allah Tidak Meninggalkan Umat-Nya
Hari Minggu Adven II (10 Desember 2017)
Yes 40:1-5,9-11; 2Ptr 3:8-14; Mrk 1:1-8

Beberapa dari kita mungkin pernah mengalami keadaan yang amat berat atau ketidak-berdayaan. Suatu ketika seseorang tidak dapat berbuat lain kecuali menerima dan hidup dalam keadaan tertentu itu. Ia tidak dapat mengubahnya. Pasti keadaan seperti ini tidak menyenangkan, merupakan beban yang amat sulit untuk ditanggung. Misalnya, bawahan yang selalu ditekan tetapi tidak bisa melawan. Orang yang melakukan kesalahan dan harus menanggung akibatnya, orang yang divonis dokter bahwa penyakitnya tidak mungkin lagi disembuhkan, dan lain sebagainya. Bagi orang yang berada dalam keadaan yang demikian, kata-kata atau sapaan yang bersahabat, menghibur dan meneguhkan dapat dirasakan dan dialami sebagai kekuatan yang sangat besar untuk membangkitkan dan membesarkan pengharapan.

Umat Allah Perjanjian Lama yang dituju oleh pewartaan nabi Yesaya adalah umat yang hidup dalam keadaan tidak berdaya itu. Mereka hidup sebagai orang buangan di Babilonia. Mereka tidak mempunyai kenisah, tidak mempunyai tanah air, dan tidak mempunyai harga diri lagi. Dan yang lebih berat lagi, mereka mepertanyakan dan meragukan keyakinan yang sempai saat itu mereka pegang dengan teguh. Apakah benar Allah menyayangi mereka? Apakah benar Allah masih memberikan kesempatan untuk membangun masa depan mereka yang baru? Bagi mereka, firman Tuhan yang disampaikan dengan perantaraan nabi Yesaya terasa sangat indah dan menggembirakan. “Hiburkanlah-hiburkanlah umat-Ku. Tenangkanlah hati Yerusalem bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni” (Yes 40:1-2). Pengampunan dan pembebasan ini dilaksanakan bagi mereka oleh Tuhan yang menyatakan kemulian-Nya.

Dapat dibayangkan bahwa karya Allah itu berhasil membangkitkan kembali keyakinan umat bahwa Allah tidak meninggalkan mereka. Sebaliknya mereka diberi kesempatan lagi untuk mengalami kemuliaan Tuhan yang dahulu menyertai mereka dalam perjalanan ke luar dari negeri perbudakan masuk ke tanah terjanji dan menghimpun mereka menjadi umat Allah. Ini jelas dari ayat-ayat selanjutnya. Yerusalem yang sebelumnya adalah pendengar kabar gembira pembebasan, selanjutnya menjadi pembawa kabar baik yang harus dinyatakan kepada kota-kota yang lain.

Tidak keliru kiranya kalau dikatakan bahwa sebenarnya umat manusia juga berada dalam ketidak-berdayaan. Hal itu tampak dalam bentuk permusuhan, persaingan, ketidak-adilan, dan lain sebagainya. Karena itu seluruh umat manusia seperti rumput yang menjadi kering dan bunga yang menjadi layu. Sabda Allah yang diwartakan pada hari ini menyadarkan kita akan ketidak-berdayaan kita secara mendasar. Sekaligus sabda itu mengumandangkan kabar gembira, kabar pengharapan. Ini ditegaskan pada awal injil Markus. “Inilah awal kabar gembira tentang Yesus Kristus. Anak Allah.” Seruan Nabi Yesaya kembali diulangi oleh Yohanes Pemandi pada masa Yesus agar orang-orang mempersiapkan batin, membuka diri ke jalan pertobatan, dan siap menyambut kedatangan sang Juru Selamat. Yesus kabar gembira itu sendiri akan membaptis kita dengan Roh Kudus, yang akan selalu membarui dan mengubah hidup kita. Roh Kudus akan membuat kita yang tidak berdaya ini, mampu mendengar kabar gembira dan selanjunya menjadikan kita pembawa kabar gembira yang sama bagi dunia, sambil menantikan langit yang baru dan bumi yang baru. (GEMA)

HARI MINGGU ADVEN II –B, 10 DESEMBER 2017

Tinggalkan Balasan