Amanat Agung: Mewartakan Kabar Sukacita

Amanat Agung: Mewartakan Kabar Sukacita

Kalau kita memeras seluruh Perjanjian Baru menjadi satu ayat, mungkin yang keluar adalah satu nats terkenal dari Injil Yohanes. “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan  beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16 TB2). Seluruh narasi kekristenan sepanjang sejarah, tidak lain dan tidak bukan sebenarnya adalah kisah tentang penjabaran nats pokok ini dalam sejarah yang selalu berubah. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang begitu mengasihi dunia. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal. Kekristenan adalah kisah tentang orang percaya dan membuat orang percaya.

Untuk membuat “setiap orang” – artinya seluruh umat manusia, tidak hanya kini dan di sini, tetapi juga yang kemudian dan di sana – percaya kepada Anak Tunggal Bapa, perlulah ada gerakan yang membawa Dia kepada setiap makhluk mengarungi zaman. Seperti Paulus berujar, “Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar? Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?  Dan bagaimana orang dapat memberitakan-Nya, jika tidak diutus?” (Rm. 10:14-15). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, menempatkan karya pewartaan Kabar Gembira kepada segala makhluk ini sebagai perutusan pokok dari Gereja semesta. Hidup Gereja praktis tidak bisa dipisahkan dari karya pewartaan Injil atau Kabar Gembira. Setelah Gereja sendiri lahir  dari  pewartaan   Injil  dari  Yesus  dan  keduabelas   rasul,  pada gilirannya,  Gereja  sendiri  mesti  mewartakan  Injil  “dengan  mengutus para pewarta Injil. Gereja meletakkan dalam bibir-bibir mereka Sabda yang menyelamatkan” (EN 15).

Setelah kisah kebangkitan dan penampakan Yesus kepada para murid, keempat Injil dengan caranya masing-masing menyampaikan perintah perutusan.  Injil  Matius  mempunyai  Amanat  Agung  yang  menjadi misi Gereja sepanjang masa, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan  segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:19-20). Perintah yang mirip bisa kita temukan dalam Injil Markus. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Injil keempat memang  tidak mempunyai  perintah  penginjilan  dalam  bentuk yang eksplisit. Tetapi, rumusan yang ada pada akhir Injil Yohanes sebenarnya mengandaikan   (akan)  terjadinya  karya  pewartaan   Injil.  “Memang masih banyak tanda mukjizat lain yang diperbuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tertulis dalam kitab ini, tetapi hal-hal ini telah ditulis, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya  karena percaya,  kamu  memperoleh  hidup dalam  nama- Nya” (Yoh. 20:30-31 Terjemahan Pribadi). Dengan dicatat atau ditulis (Yun: graphein), kisah tentang Yesus menjadi terbekukan, terbukukan dan terbakukan; dan dengan demikian tersedia bagi para pewarta yang nantinya akan membawa kisah tersebut kepada setiap orang di setiap zaman dan tempat.

Lalu bagaimana dengan Injil ketiga, yaitu Injil Lukas? Injil ini meru- muskannya dengan agak berbeda. “Dalam nama-Nya berita tentang pertobatan untuk pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa,  mulai  dari  Yerusalem.  Kamulah  saksi-saksi  dari  semuanya ini” (Luk. 24:47-48). Buku kedua Lukas, yaitu Kisah Para Rasul, menyatakannya dengan cara yang agak berbeda, tetapi lebih terperinci. “Tetapi,  kamu  akan  menerima  kuasa  bilamana  Roh  Kudus  turun  ke atas kamu, dan kamu akan menjadi  saksi-saksi-Ku  di Yerusalem  dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai  ke ujung bumi”  (Kis. 1:8). Pewartaan Kabar Sukacita akan mulai dari Yerusalem, kemudian ke seluruh Yudea dan Samaria; dan dari situ “ke ujung bumi,” sebuah lokasi yang tidak tahu di mana persisnya.

Dari Yerusalem ke Ujung Bumi

Kisah bagaimana para murid Kristus pertama melaksanakan tugas perutusan  ini sebenarnya  diceritakan  dalam  Kisah  Para  Rasul.  Kisah Para Rasul sebenarnya merupakan sebuah kisah kesaksian tentang perkembangan  Gereja dan perutusannya.  Teks yang sudah dikutip diatas, yaitu Kis. 1:8 sebenarnya boleh dipandang sebagai teks programatis, yang  merumuskan  dengan  singkat  program  kerja  Kisah  Para  Rasul.

Dengan demikian, seluruh Kisah Para Rasul, tidak lain dan tidak bukan sebenarnya merupakan penjabaran dari program kerja itu.

Perutusan menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi mengandaikan tiga hal yang berkaitan satu sama lain.

  1. Ada gerakan ke luar Palestina b. Ada tokoh yang melaksanakan
  2. Ada pertemuan dengan budaya-budaya non-Yahudi

Gerakan Ke Luar  Palestina

Palestina bukan “ujung bumi;” demikian juga “ujung bumi” bukan Palestina. Artinya, kalau tugas menjadi saksi Kristus mau dilaksanakan, mesti  ada gerakan  ke luar dari  Palestina.  Harus ada gerakan  jemput bola. Para pewarta tidak bisa hanya tinggal di Yerusalem dan menunggu orang-orang dari “ujung bumi” datang dan mendengarkan kisah tentang Yesus. Mereka tidak bisa bersikap seperti para rabi Yahudi yang hanya menunggu sampai mereka didatangi oleh anak-anak  muda yang mau belajar tentang Taurat.

Memang  ada kesempatan  tertentu,  seperti  misalnya  hari  Pentakosta, “di Yerusalem tinggal orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit” (Kis. 2:5). Tetapi, hal ini tidak banyak artinya bagi pewartaan  Injil, karena yang datang ke sana adalah orang-orang Yahudi yang memang  mempunyai  kewajiban  untuk datang  berziarah ke Yerusalem  tiga kali dalam setahun  (bdk.  Ul. 16:1-17;  Kel. 23:14-19). Padahal yang dimaksud dengan pewartaan sampai ke ujung bumi adalah pewartaan yang juga menjangkau orang non-Yahudi yang berada di luar Palestina. Oleh karena itu, memang tidak ada cara lain. Kalau kesaksian akan Yesus mau dialamatkan kepada mereka, kegiatan misi keluar mesti dijalankan.

Dalam Kisah Para Rasul kita menemukan  gambaran  tentang gerakan misionaris ini. Kita bisa amati beberapa teks tertentu. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta (Kis. 2:14-40) dan di Serambi Salomo (Kis. 3:11-26), serta di hadapan Mahkamah Agama (Kis. 4:1-22) merupakan kesaksian para rasul pertama di Yerusalem. Kemudian pecahlah penganiayaan atas Jemaat.  Penganiayaan  ini memaksa orang Kristiani  untuk keluar dari Yerusalem. “Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap Jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh  daerah Yudea dan Samaria”  (Kis.  8:1b).  Tetapi,  penganiayaan ini ternyata menjadi blessing in disguise, karena orang Kristiani tidak sekedar melarikan diri dari Yerusalem, tetapi juga memberitakan  Injil di tempat mereka berada. “Mereka yang tersebar itu menjelajahi seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis. 8:4).

Mulai dari sini gerak keluar untuk mewartakan Injil berjalan terus semakin meluas, meninggalkan pusatnya, Yerusalem. Barnabas dan Saulus sampai di Antiokhia (Kis. 11:19-30). Gerakan mereka kemudian merambah ke beberapa provinsi Romawi di Asia Kecil (Kis. 13:1-14:28; 15:40-16:8).  Dari sana para misionaris awal ini menyeberang  ke tanah Yunani, ke Makedonia dan Akhaya (16:9-19.22). Kis. mengakhiri narasi misionarisnya  dengan  menceritakan  kisah Paulus di Roma (Kis.  27:1-28:31). Orang banyak menafsirkan bahwa Roma adalah “ujung bumi”. OK lah…silahkan saja. Yang jelas, menurut Rm. 15:24,28 Paulus sebenarnya masih ingin mengunjungi Spanyol.

Sang  Eksekutor

Program menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi seperti digariskan oleh Kis. 1:8 membutuhkan  pelaksana.  Siapa yang akan berangkat  ke ujung  bumi  ini?  Siapa  orangnya?  Ada  beberapa  orang  yang  tampil sebagai pewarta Injil. Filipus, salah seorang dari tujuh diakon (lihat Kis.6:5), membawa dan mewartakan Injil ke Samaria (Kis. 8:4-25). Kemudian kita juga temukan nama Barnabas (Kis. 13:2) yang ditunjuk Allah untuk menjadi pewarta Kabar Sukacita. Tetapi, di antara semua itu, ada tokoh yang  mengejutkan.  Siapa yang  menduga  kalau  sang  pelaksana  karya misioner ini adalah seorang mantan “penganiaya Jemaat” (bdk. Flp. 3:6;1Tim. 1:13) yang bernama Paulus atau Saulus.

Sulit dibayangkan bahwa seorang “yang nafasnya penuh ancaman dan pembunuhan atas murid-murid Tuhan” (bdk. Kis. 9:1) ternyata kemudian berbalik  180  derajat  menjadi  seorang  pewarta  iman  yang  tangguh. Hal ini hanya bisa terjadi jika memang ada suatu kekuatan besar yang campur tangan dalam kehidupan Paulus. Kisah Para Rasul memang menceritakan bagaimana Paulus mengalami sebuah pengalaman rohani yang mencekam, yang akhirnya mengubah seluruh hidupnya.  Sampai tiga  kali  pengalaman  Paulus  ini  diceritakan  dalam  Kis.  (Kis.  9:1-19a;22:6-16;  26:12-23).  Tidak  lain dan  tidak  bukan,  Allah  sendirilah  yang campur tangan di sini. “Orang  ini adalah alat pilihan  bagi-Ku  untuk memberitakan nama-Ku di hadapan bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel” (Kis. 9:15).

Dalam  perjalanan  selanjutnya,  kita  tetap  melihat  bagaimana  Allah sendiri,   melalui   Roh  Kudus,  mengarahkan   semua  perjalanan   misi yang dilaksanakan oleh Paulus. Dalam Kis. 13:2 Roh Kudus berkata, “Khususkanlah  Barnabas  dan  Saulus  bagi-Ku  untuk  tugas yang  telah Kutentukan bagi mereka.” Karena disuruh Roh Kudus, mereka berangkat ke Seleukia dan dari situ mereka berlayar ke Siprus (Kis. 13:4). Narasi singkat  dalam  Kis.  16:6-10  menggambarkan   bagaimana  Roh  secara eksplisit menentukan perjalanan misi mereka.

Kisah Para Rasul sendiri merekam kisah-kisah perjalanan misi Paulus untuk memberitakan Injil.

  • Perjalanan I : Kis. 13:4-14:28 mungkin tahun 45-58
  • Perjalanan II : Kis. 15:36-18:23 mungkin tahun 48-50
  • Perjalanan III : Kis. 18:23-21:17 mungkin sekitar 52-58
  • Perjalanan IV (ke Roma): Kis. 21:15-28:31 mungkin sekitar 60 M

Kisah perjalanan ini tidak terungkap dalam surat-surat Paulus. Tetapi, sebenarnya hal ini tidak amat mengherankan. Paulus banyak mendirikan Jemaat  di  banyak  tempat.  Tetapi,  Paulus  tidak  bisa  terus  bersama mereka.  Oleh karena itu, tidak lama setelah Jemaat setempat  berdiri dan pemimpin  lokal ditunjuk,  Paulus beranjak  ke tempat lain untuk melanjutkan tugasnya mewartakan Injil kepada segala bangsa. Kadang kala Jemaat baru yang ia tinggalkan harus berhadapan dengan beberapa hal yang ketika Paulus ada bersama mereka belum muncul sebagai masalah. Karena tidak atau kurang tahu bagaimana memecahkan persoalan  tersebut,  para pemimpin  Jemaat mungkin  bertanya kepada Paulus yang sudah dalam perjalanan. Paulus lalu menanggapinya dengan surat.  Dengan demikian,  isi surat Paulus memang  sebenarnya  sangat terbatas, yaitu menanggapi  persoalan yang dihadapi oleh Jemaat dari sudut pandang  iman  Kristiani.  Satu  kekecualian  adalah  Surat  Roma, karena Jemaat Roma tidak didirikan oleh Paulus.

Dalam diri Paulus, tugas pewartaan ke ujung bumi mendapatkan pelaksananya.  Tentu saja, Paulus bukan satu-satunya  misionaris abad pertama   yang   berkeliling   mewartakan   Injil.   Tetapi,   sebagaimana kita tahu, di balik semua itu, kita bertemu  dengan  Roh Kudus yang memainkan  peranan  amat  penting.  Dialah  kuasa  dari  tempat  tinggi yang dianugerahkan kepada para rasul agar mereka dapat menjalankan tugas pewartaannya (bdk. Luk. 24:49; Kis. 1:8). Kisah Para Rasul di satu pihak memang bercerita tentang Roh Kudus yang mendampingi Jemaat perdana; tetapi di lain pihak, juga merupakan kisah tentang perjalanan para rasul, khususnya Paulus dalam mewujudkan karya pewartaan Injil ke dunia yang lebih luas.

Pertemuan dengan Budaya Non-Yahudi

Paulus sendiri meyakini bahwa Allah menghendakinya untuk pergi mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. “…Allah, telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh anugerah- Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi…” (Gal. 1:15-16) atau kepada “orang-orang  yang tidak bersunat”  (Gal. 2:9). Situasi ini membawa tiga konsekuensi penting: (1) Paulus harus pergi ke luar Palestina,  (2)  itu  berarti  bahwa  dia  harus  bertemu  dengan  budaya- budaya serta tradisi religius non-Yahudi, (3) maka metode pewartaannya pun mesti berbeda.

Konsekuensi pertama sudah diuraikan di atas, maka tidak akan diulang di sini. Konsekuensi kedua merupakan soal besar, dan sampai sekarang masih merupakan salah satu pokok diskusi teologis dalam pemikiran tentang karya misioner. Berkaitan dengan hal ini, kekristenan awal menghadapi persoalan yang khas. Pertama-tama mesti disadari bahwa Jemaat Kristiani awal adalah orang-orang Yahudi yang tentu saja hidup menurut hukum dan budaya mereka. Di sini segera muncul persoalan: apakah menurut tradisi hukum Yahudi, pertemuan antara para pewarta yang adalah orang Yahudi dengan orang-orang non-Yahudi bisa dibenar- kan atau dimungkinkan? Apakah pertemuan seperti ini tidak membuat orang Yahudi menjadi najis?

Dua teks dari Kisah Para Rasul baik dikutip di sini. Dalam Kis. 10 kita menemukan kisah panjang yang dalam Alkitab kita diberi judul “Petrus dan Kornelius.” Kisah ini bisa dibagi menjadi empat bagian:

  • Ay. 1-8: Penglihatan  Kornelius  di  Kaisarea. Dalam  penglihatan malaikat menyuruh Kornelius untuk memanggil Petrus yang sedang berada di Yope.
  • Ay. 9-18: Penglihatan Petrus. Petrus melihat benda seperti kain lebar diturunkan ke tanah. Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang. Kita tidak tahu binatang apa saja yang ada di sana, tetapi dari jawaban Petrus kita bisa menduga bahwa yang ada di sana adalah binatang najis. Ketika diperintahkan untuk menyembelih dan memakannya, Petrus menolak karena binatang itu haram. Tetapi, suara dari sorga mengatakan, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau  nyatakan  haram”  (ay.  15).  Dikatakan  bahwa  hal  itu terjadi sampai tiga kali.
  • Ay. 19-23: Petrus dan utusan Kornelius. Saat Petrus sedang mere- nungkan pengalamannya, utusan Kornelius datang dan mengutarakan maksudnya untuk membawa Petrus ke Kaisarea.
  • Ay. 24-43: Pertemuan  Petrus  dan  Kornelius.  Petrus  sadar  bahwa sebenar-nya  ia  sebagai  orang  Yahudi  tidak  boleh  bergaul  dengan orang non-Yahudi, tetapi karena Allah yang memerintahkannya maka ia lakukan  (ay.  28).  Petrus akhirnya  menyadari  bahwa  keselamatan Allah melalui Yesus Kristus juga diperuntukkan  bangsa-bangsa  lain. “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?” (ay. 47).

Pembaptisan Kornelius oleh Petrus merupakan peristiwa penting bagi perkembangan Jemaat. Petrus adalah wakil Jemaat Yerusalem yang merupakan Gereja Induk. Sementara Kornelius adalah seorang Roma, seorang non-Yahudi. Dalam Kis. 11:1-18 diceritakan bahwa Petrus mempertanggungjawabkan  baptisan Kornelius di hadapan orang-orang bersunat di Yerusalem. “Jadi, jika Allah memberikan karunia yang sama kepada  mereka  seperti  kepada  kita  pada  waktu  kita  percaya  kepada Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah Dia?” (ay. 17). Dengan demikian,  pembaptisan  Kornelius  merupakan  legitimasi  dari Gereja Induk untuk mewartakan kabar sukacita kepada bangsa-bangsa lain. Allah memang  menghendaki  demikian.  Dengan demikian,  jalan menuju  perutusan  kepada  bangsa-bangsa  mendapatkan  lampu  hijau dari Gereja Yerusalem.

Tidak hanya itu. Pengalaman  Petrus yang mendapatkan  penglihatan (ay. 9-18) memberi solusi pada satu persoalan yang meski sederhana, tetapi bisa amat merepotkan. Ketika para pewarta Kristiani berangkat keluar meninggalkan dunia Yahudi dan masuk dunia asing, mau tidak mau mereka juga harus hidup menurut gaya dunia asing itu. Bisa diba- yangkan bahwa soal makanan yang kosher menjadi persoalan tersendiri bagi  mereka.  Dalam situasi  seperti  itu, suara dari surga pada ay.  15 memberikan pemecahan bagi persoalan makanan ini. Dengan demiki- an, tidak ada lagi masalah bagi orang Kristiani Yahudi untuk bertemu dan bergaul, atau makan bersama dengan orang-0rang non-Yahudi.

Dengan demikian satu dimensi dari ketegangan antara budaya Yahudi dengan  budaya  asing  terselesaikan.  Dari  pihak  hukum  dan  tradisi Yahudi kini tidak ada lagi keberatan untuk menerima orang asing. Satu teks lagi yang juga mesti dipertimbangkan adalah Kis. 15:1-21 yang diberi judul Sidang di Yerusalem. Pertemuan ini seringkali disebut juga konsili pertama dalam Gereja. Dalam pertemuan ini, sekali lagi konflik budaya menjadi pokok perdebatan.

Sampai  saat itu kekristenan  masih  melekat  kuat pada agama Yahudi dengan segala macam tradisinya, termasuk Hukum Taurat. Di beberapa tempat – terutama di bagian awal Kis. – kita melihat bagaimana para rasul  berkhotbah  di  Bait  Suci.  Tampaknya  mereka  masih  berdoa  di Bait Suci walau kemudian mereka melanjutkan persekutuan mereka (memecahkan  roti) di rumah masing-masing.  Oleh karena itu, ketika orang non-Yahudi  akan menjadi Kristiani, pertanyaan yang mendasar adalah: apakah mereka juga masih harus menjalankan kewajiban- kewajiban Hukum Taurat? Secara konkret pertanyaannya adalah: apakah orang-orang  non-Yahudi yang menjadi Kristiani harus juga menjalani sunat dan  mengikuti  Hukum  Musa?  Inilah yang  didiskusikan  dalam Konsili Yerusalem ini.

Kita bisa mendengar gema pertentangan itu dalam Kis. 15. Kita mendengar ada kelompok yang mengatakan“Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan” (Kis. 15:1) “Orang-orang   bukan   Yahudi   harus   disunat   dan  diwajibkan   untuk menuruti hukum Musa” (Kis. 15:5)Nanti Paulus masih harus berhadapan dengan masalah semacam ini seperti terungkap dalam suratnya kepada Jemaat Galatia.

Persoalan ini sebenarnya bukan sekedar persoalan budaya, tetapi juga mempunyai  implikasi  amat  penting  bagi  iman  keyakinan  Kristiani. Yang menjadi pokok masalah adalah apa atau siapakah yang sebenarnya memberi keselamatan? Kristus atau Hukum Taurat? Jika untuk menjadi Kristiani orang harus disunat, itu berarti bahwa Kristus belum cukup untuk   keselamatan   manusia.   Tetapi,   sebaliknya,   jika   keselamatan datang dari Kristus, Hukum Taurat dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Pertentangan antara Kristus dan Hukum Taurat seperti bisa kita lihat, juga mewarnai surat Galatia dan surat Roma.

Dalam Konsili Yerusalem, Petrus dengan jelas mengatakan,“Hai Saudara-saudara,  kamu tahu bahwa sejak semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya dengan perantaraanku bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya. Allah, yang mengenal hati manusia, memberi kesaksian untuk mereka dengan mengaruniakan Roh Kudus kepada mereka sama seperti kepada kita, dan Ia sama sekali tidak membeda-bedakan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid  itu suatu gandar yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri? Sebaliknya, kita percaya bahwa melalui anugerah Tuhan Yesus Kristus kita akan diselamatkan sama seperti mereka juga.” Yakobus yang waktu itu menjadi pemimpin Gereja Yerusalem akhirnya memutuskan bahwa “Sebab itu aku berpendapat bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa  lain yang berbalik kepada Allah, tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari hal-hal yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah” (Kis. 15:19-20).

Dengan  Konsili  Yerusalem  ini, persoalan  mengenai  sunat  bagi orang non-Yahudi  praktis  selesai.  Secara  teologis  dan  teoretis,  pewartaan kepada bangsa-bangsa lain dengan segala konsekuensinya mendapat peneguhan dalam Konsili Yerusalem. Kini segalanya sudah siap. Orang yang mendapatkan tugas sudah ada, restu dan lampu hijau dari Gereja Induk sudah diberikan. Yang tersisa sekarang adalah pelaksanaannya.

Di sinilah konsekuensi yang ketiga perlu diperhatikan. Masuk ke dalam dunia yang sama sekali berbeda, menuntut cara bergaul yang perbedaan juga.  Lain ladang  lain belalang,  lain lubuk  lain ikannya,  begitu  kata orang. Ketika para pewarta masih berkeliling di sekitar tanah Palestina, “di seluruh Yudea dan Samaria”, mereka tidak menemui banyak kesulitan berarti karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang kebudayaan dan tradisi religius yang sama. Mari kita lihat. Pokok  utama pewartaan  Kristiani  kepada orang-orang  Yahudi  adalah bahwa Yesus Kristus merupakan pemenuhan janji dan harapan Israel. Hal ini bisa ditangkap dan dipahami, meskipun tidak selalu diterima, oleh orang-orang yang ada di Yudea dan Samaria. Tetapi, tidak demikian halnya ketika mereka berhadapan dengan orang-orang  non-Yahudi  di tanah asing. Kitab Suci Ibrani tidak mereka kenal; Hukum Taurat tidak mereka  kenal.  Pengharapan  Israel  akan  mesias  sang  pembebas  juga tidak mereka kenal. Oleh karena itu, gagasan Yesus sebagai pemenuhan pengharapan Israel sama sekali tidak laku ‘dijual’ kepada bangsa-bangsa non-Yahudi karena mereka memang sama sekali tidak paham tentang hal itu. Oleh karena itu, supaya pewartaan  Kabar Gembira bisa tetap berjalan, mesti dicari jalan lain.

Kisah Para Rasul sebenarnya mempunyai sebuah kisah yang persis menggambarkan pertemuan antara kekristenan yang baru muncul dan bergerak dengan alam pikir Yunani. Dalam kisah itu, kita bisa merasakan strategi genius yang dijalankan Paulus ketika ia bermisi di luar Palestina. Dalam Kis. 17:16-34 kita melihat bagaimana Paulus berdebat dengan para tokoh Yunani di Areopagus. Dalam konteks ini, Atena bisa dipandang pusat dari pewartaan ke ‘ujung bumi’, pusat dunia kafir! Ini adalah dunia non-Yahudi!  Pertemuan  bersejarah  antara  Paulus dengan  para filosof Atena ini bisa dipandang  sebagai  pertemuan  simbolik  antara budaya Barat dengan budaya Timur.

Sebenarnya menarik kalau kita bisa menikmati pengalaman Paulus di Areopagus ini. Tetapi, karena perikop ini akan digunakan sebagai bahan permenungan Minggu III BKSN tahun 2018 ini, maka pembahasan atas perikop yang sangat inspiratif ini akan diletakkan agak ke belakang.

Di Ujung Bumi: Gereja di Indonesia, Gereja di Asia

Tugas perutusan yang diserahkan oleh Yesus Kristus kepada murid-murid- Nya belum berakhir. Dalam setiap dokumen Gereja yang dikeluarkan, ajakan  untuk  tetap  mewartakan  Injil  pasti  terus  dikumandangkan. Para murid Kristus di mana pun mereka berada terus didorong untuk mewartakan  Kabar Sukacita dalam  konteks  hidup mereka.  Demikian juga  kita.  Umat  Kristiani  di  Indonesia  juga  tidak  ketinggalan  diajak untuk tetap bersemangat dalam mewartakan Injil.

Kita berada di Asia, dan Gereja Asia mempunyai ciri khas tertentu. Dengan penduduk yang mencapai dua per tiga dari enam miliar pendu- duk dunia, Asia merupakan benua yang paling banyak dihuni. Asia juga merupakan  benua yang luar biasa luas, merentang dari Terusan Suez yang memisahkan benua Asia dan Afrika sampai dengan Selat Bering, Laut Jepang, dan Laut Cina Timur; dari Siberia sampai dengan Samudera Hindia. Secara tradisional, Asia dibagi menjadi lima daerah:2 Asia Tengah (misalnya,  Tajikistan,  Turkmekistan,  Uzbekistan),  Asia Timur (seperti Cina, Jepang, Korea, Taiwan), Asia Selatan (India, Bangladesh, Pakistan, Nepal, Srilangka), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Kambodia, Filipina, Laos, Vietnam), dan Asia Barat yang mencakup negara-negara Timur Tengah. Dari paparan ini, bisa dibayangkan bahwa Asia memang diwarnai oleh pluralisme. Ada pluralisme dalam bidang linguistik, etnik, politik, kultural, dan tentu saja religius.

Tuhan kita Yesus Kristus lahir dan dibesarkan di benua Asia, di daerah kecil di sebelah barat Asia. Dan sebenarnya, selain kekristenan, agama-agama besar di dunia seperti  misalnya,  Yudaisme,  Islam, dan Hindu, serta juga tradisi kerohanian lain, seperti, Buddha, Tao, Konghucu, Shinto, dan yang lain lagi, juga lahir di Asia (bdk. Ecclesia in Asia 6).

Ironi terbesar bagi kekristenan adalah bahwa meskipun kekristenan lahir di Asia, ia kembali ke benua asalnya sebagai agama asing, atau bahkan lebih buruk, agama dari mereka yang menjajah Asia, yang merupakan benua tempat kelahiran kekristenan  itu sendiri. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang ini, masih banyak orang Asia yang menganggap kekristenan sebagai agama penjajah.

Dalam suasana yang sedemikian itu, bisa dibayangkan bahwa perutusan mewartakan Kabar Sukacita mesti memperhitungkan  banyak hal agar bisa dilaksanakan  dan  menghasilkan  buah.  Justru  karena  menyadari bahwa  bagaimanapun  tugas  pewartaan  ini  merupakan  suatu  tugas, yang  sekarang  ini  mendesak  untuk  dijalankan,  suatu  keharusan  dan hal yang agung, para bapa uskup Asia secara khusus berkumpul untuk membicarakan hal ini. Dalam Sidang Paripurna FABC I di Taipei, Taiwan tanggal 27 April 1974 ditelurkan sebuah pernyataan sidang berjudul “Pewartaan  Injil di Asia Zaman  Sekarang.”  Tanpa harus menguraikan panjang lebar pernyataan sidang FABC tersebut, dapatlah kita katakan bahwa mempertimbangkan situasi Asia yang plural itu, karya pewartaan injil  harus diadakan  dengan  cara  berdialog  dengan  situasi  setempat. Secara khusus ditegaskan bahwa pewartaan Injil di Asia mesti menempuh dialog rangkap tiga atau triple dialogue, yaitu dialog dengan bangsa- bangsa  Asia,  khususnya  mereka  yang  miskin  dan  tersingkir;  dialog dengan budaya-budaya  Asia (kontekstualisasi  dan interkulturasi),  dan dialog dengan agama-agama lain (dialog antar-agama atau antar-iman).

Gereja  Indonesia  adalah  bagian  dari  Gereja  di  Asia.  Uniknya,  kalau kita memperhatikan Indonesia sebenarnya boleh dipandang sebagai miniatur benua Asia. Sebagaimana benua Asia, Indonesia juga diwarnai oleh kemajemukan. Kemajemukan dari segi budaya dan dari segi agama – walaupun secara resmi Pemerintah Indonesia hanya menerima enam agama menjadi ciri kehidupan Gereja di Indonesia. Tentang kemajemukan ini, Pater John Prior dari STFK Ledalero  melukiskan,  “Politely ask to photograph half a dozen Indonesians hailing from different islands, and you will not immediately recognize them as coming from a single nation”.

Selain itu, mesti diakui juga bahwa kemiskinan atau jurang antara yang miskin dan yang kaya rasanya juga menjadi masalah di Indonesia. Kalau demikian,  maka tidak keliru jika dikatakan  bahwa pewartaan  Injil di Indonesia kiranya juga mesti memperhatikan triple dialogue ini.

Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan: BKSN 2018

Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2018 ini mengambil tema “Mewartakan Kabar Gembira dalam  Kemajemukan.”  Seperti  sudah dikatakan  sebe- lumnya, selama empat tahun (2017-2020) BKSN akan merenungkan “Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman” sebagai tema besar. “Mewartakan Injil” menjadi fokus utama, sementara untuk tahun 2018 ini, kekhasannya terletak pada kata “kemajemukan.” Dengan demikian, tema BKSN 2018 ini sungguh sesuai dengan situasi Gereja Indonesia yang di satu pihak, tetap dipanggil dan didorong untuk mewartakan Kabar Sukacita; tetapi di lain pihak, hidup dalam kemajemukan, sebuah situasi yang menuntut perhatian khusus.

Karena situasi yang mirip ini, maka arahan FABC berkaitan dengan triple dialogue yang mesti mengiringi perutusan pewartaan Kabar Sukacita, kiranya juga relevan untuk Gereja Indonesia.  Oleh karena itu, dalam BKSN  tahun  ini  kita akan  merenungkan  panggilan  mewartakan  Injil dengan memperhatikan triple dialogue ini. Berturut-turut kita akan merenungkan:

  1. Dialog dalam kemajemukan kaya – miskin
  2. Dialog dalam kemajemukan budaya
  3. Dialog dalam kemajemukan agama

Kemudian untuk yang keempat? Marilah kita menyadari bahwa kekristenan  sendiri  merupakan  sesuatu  yang  majemuk.   Jika  Anda sempat sampai ke Gereja Makam Suci di Yerusalem, di sanalah Anda akan melihat sesuatu yang sangat ironis. Justru di tempat di mana Yesus pernah dimakamkan,  di sana terlihat perpecahan  para pengikut-Nya. Oleh karena  itu, pada minggu  IV BKSN,  kita merenungkan  bersama kemajemukan yang de facto terdapat dalam Tubuh Kristus atau Gereja sendiri.

Untuk pendalaman Kitab Suci di masing-masing minggu, beberapa teks bisa ditawarkan.

Minggu I              : dialog dengan kemiskinan (Mat. 14:13-21)

Minggu II            : dialog dengan budaya  (Mat. 1:18-25)

Minggu III           : dialog dengan agama lain (Mrk. 9:38-41)

Minggu IV           : dialog dengan Gereja lain (Yoh. 17:20-23)

Pada bagian berikut ini, teks-teks ini akan diperdalam untuk memper- jelas bagaimana masing-masing teks bisa berperan dalam mengolah tema-tema  mingguan.  Harus diakui  bahwa  teks-teks  yang dipilih  ini tidak langsung jelas berkaitan dengan tema yang sedang direnungkan. Mengapa demikian? Karena tema-tema yang dibicarakan dalam masing- masing pertemuan sebenarnya merupakan refleksi kemudian yang dihasilkan dalam perjalanan Gereja atau boleh dikatakan bahwa tema- tema itu adalah tema-tema modern, kecuali misalnya tema kemiskinan. Dialog dengan kebudayaan atau dengan agama lain, bukanlah keprihatinan  utama  Gereja  Awal.  Tidak  mengherankan  kalau  untuk tema-tema tersebut sulit atau tidak bisa ditemukan teks-teks alkitabiah yang langsung berkaitan dengan tema. ***

Tinggalkan Balasan