Bersaksi Melalui Profesi (Majalah Gema, Edisi Maret 2017)

kulit gema 2017 Maret EditSaudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Allah, yang sempurna dan penuh bahagia, berencana membagikan kebaikan-Nya dengan menciptakan manusia agar manusia ikut ambil bagian dalam kebahagiaan-Nya. Untuk rencana inilah Allah menciptakan manusia seturut gambar dan rupa-Nya, yakni Allah yang dalam rencana kasih-Nya telah menciptakan dunia sebagai pendukung kehidupan manusia. Memang sebagai gambar Allah, manusia diciptakan unik yang memiliki perbedaan satu sama lain. Namun, keunikan manusia dalam berbagai dimensi keberadaan hidupnya tidaklah menghapus hakekat keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, melainkan melengkapi dan mengukuhkan kesatuan dengan seluruh manusia dan kesatuan dengan Allah. Kesatuan seluruh manusia ini nyata dalam karya manusia yang adalah tindakan langsung dari manusia sebagai citra Allah dalam kesadaran sebagai rekan kerja Allah untuk melanjutkan karya penciptaan, memelihara bumi dan segala isinya (Bdk. Kej 1:28; GS 34; CA 31).

Demikianlah manusia, melalui pekerjaan ataupun profesi yang digeluti, menghargai dan saling melengkapi anugerah-anugerah dan talenta-talenta yang berbeda yang diterima dari Pencipta. Apabila manusia dalam persatuan dengan Yesus, Tukang kayu dari Nasaret dan Yang Tersalib di Golgota, menerima jerih payah pekerjaan (Bdk. Kej 3:14-19), manusia boleh dikatakan bekerja bersama dengan Putera Allah dalam karya penebusan-Nya. Manusia membuktikan diri sebagai murid Kristus dalam profesi yang harus di­lak­sanakan hari demi hari, memikul salibnya (Bdk. LE 27). Karenanya, profesi yang digeluti sehari-hari, selain menjadi sarana pengudusan juga merupakan sarana untuk bersaksi tentang kebenaran dan kebaikan Allah dalam Kristus, Tuhan.

Edisi GEMA bulan ini mengangkat tema “BERSAKSI MELALUI PROFESI”. Profesi yang digeluti pada bidang hukum, kesehatan, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik, dll., tidak dapat dipisahkan panggilan kaum beriman sebagai murid Kristus untuk memberi kesaksian tentang keselamatan yang dibawa oleh Kristus yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.

Selamat memasuki Masa Prapaskah: masa pengendalian diri, pembaruan diri, dan pertobatan yang memampukan kita untuk semakin berani memberi kesaksian melalui setiap profesi yang kita geluti, bahwa Kristus yang kita sembah dan muliakan adalah Tuhan yang menyelamatkan kita dan semua orang. Selamat membaca!

Jadikan Profesi Jalan Bersaksi

fokus,ananto,1
Dr. Ananto Pratikno Sp.OG, Mars

Dr. Ananto Pratikno Sp.OG, Mars
Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan RS. Yos Sudarso, Padang.

Selama dua belas tahun sebagai dokter spesialis kandungan dan kebidanan di RS Yos Sudarso Padang, saya mendapat banyak kesempatan untuk bersaksi. Saya merasa, meskipun kecil telah men­jadi ‘garam dan terang dunia’. Sebenarnya, yang saya lakukan ada­lah hal biasa saja dalam menja­lankan profesi sebagai dokter, tetapi bagi orang lain, terutama pasien dan ke­luar­ganya, mungkin merupakan se­suatu yang luar biasa.

Sebagai dokter spesialis kan­dung­an ber­agama Katolik, saya mem­punyai komitmen men­jaga dan melin­dungi kehidupan. Beberapa pasien yang berkonsultasi ada yang me­minta saya meme­nuhi per­minta­annya atau keluarganya untuk meng­gugurkan kandungan/aborsi. Tentu saja hal itu saya tolak, karena berten­tangan de­ngan iman Katolik dan nilai-nilai ke­hi­­dupan. Dalam situasi demikian, saya ber­usaha memberi motivasi dan “pen­cerahan” kepada pasien dan keluar­ganya agar mem­batalkan rencananya. Hanya saja, perlu waktu lebih lama bagi saya untuk memberikan penjelasan dan ‘penya­­­daran’, setidaknya butuh waktu setengah jam.

Pasien yang datang kepada saya dari berbagai latar belakang. Ada pasangan suami-istri (pasutri) yang merasa cukup mem­punyai dua anak, kalau terlanjur hamil ada juga yang meminta untuk digu­gurkan, karena kehamilan anak ketiga dianggap sebagai beban. Saat mengha­dapi mereka, saya kerap berse­loroh agar lebih rileks. Saya katakan kepada mereka, “Kita ini harus berusaha surga, bukan ke neraka”. Mulanya, mereka sulit me­nger­ti dan tidak langsung mene­rima penjelasan dan bujukan saya. Maka masih dalam berseloroh, saya katakan bahwa suami adalah imam keluarga; kalau suami masuk neraka, istri ikutan juga masuk neraka, sebab keduanya bersepakat menggu­gurkan kandungan. Berseloroh seperti ini merupakan cara saya berko­munikasi dengan pasien agar konsultasi bisa lebih efektif. Namun, prinsip-prinsip penting saya tetap sampai­kan. Sebagai dokter, saya juga terikat dengan sum­pah/janji profesi untuk meno­long pasien tanpa membeda-bedakan perbe­daan apa pun latar belakang sese­orang.

Saya akui, sering ada cerita miring tentang profesi dokter karena diandaikan layaknya pedagang yang berupaya ‘balik modal’, karena saat belajar kedokteran lebih lama dan butuh dana besar lalu memasang tarif yang mahal. Bagi saya, kalau hal itu dilakukan seorang dokter berarti mence­derai sum­pah/janji pro­fesinya. Kalau ada di antara pasien yang tidak mampu, malah saya meng­gratiskan. Pasien yang lebih mampu bisa membantu atau subsidi pasien yang tidak mampu. Biaya pendidikan dokter me­mang mahal, tetapi untunglah ada subsidi pemerintah dan beasiswa dari instansi tertentu. Kalau melulu memi­kirkan ‘balik modal’, sebaik­nya jangan menjadi dokterlah, tetapi lebih cocok menjadi pengusaha! Hingga saat ini, saya satu-satunya dokter spesialis kandungan dan kebi­danan beragama Katolik di Padang. Saya terus berusaha meningkatkan mu­tu/kualitas pelayanan dengan mele­burkan diri, ikut dalam aktivitas organi­sasi profesi, bekerjasama dengan rekan sejawat, mengikuti pelatih­an, seminar, kursus yang dapat mening­katkan kua­litas diri dan keteram­pilan. Agar kete­rampilan dan kemampuan medis saya selalu aktual, setiap tahun, saya mesti mengumpulkan 50 Satuan Kredit Profesi (SKP). Sejalan dengan sum­pah/janji profesi, saya berkomitmen meladeni dan melayani semua pasien dengan tangan terbuka tanpa mem­beda-bedakan. Untuk mengemban tugas perutusan sebagai saksi Kristus, melalui profesi ini saya berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada sesama.

Tidak hanya itu, untuk membekali diri terutama yang berkaitan dengan rohani, selain doa, saya ikut dalam group online Komunitas Dei Verbum/Sabda Ilahi (KDV). Anggota KDV wajib membaca tiga bab kutipan Kitab Suci setiap hari. Ada kutipan ‘ayat emas’, bila ada hal yang belum dimengerti, dapat berkon­sultasi kepada Romo lewat group online tersebut. Saya berharap iman saya semakin bertum­buh setelah membaca dan mempe­lajari Kitab Suci. Awalnya, terasa berat, namun saya berpikir, kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi saya mendengarkan Sabda Tuhan?

Saya berusaha man­faatkan di sela-sela waktu untuk Tuhan dengan membaca Kitab Suci, seti­daknya tiga puluh menit setiap hari. Saya mau meli­batkan Tuhan agar dapat meman­faatkan tangan, pikiran, badan saya saat bekerja; apalagi banyak peris­tiwa ‘ajaib’ dalam pekerjaan. Ada kela­hiran yang diper­kirakan lewat operasi caesar, ternyata ibu bersang­kutan bisa melahirkan normal. Atau tatkala mene­mukan janin dalam posisi melintang – sehingga menyulitkan persa­linan – bebe­rapa hari setelah sang ibu berdoa khusuk kepada Bunda Pem­bantu Abadi ternyata dalam posisi ba­gus, siap bersalin tanpa operasi. Sungguh luar biasa dan ajaib kuasa Tuhan.

Jangan Malu Akui Imanmu

fokus,hotman,5
Hot­man Pandapotan Siahaan, SH

Setelah mengikuti pendi­dikan profesi advokat atau peng­acara pada awal tahun 2013, Hot­man Pandapotan Siahaan, SH (29) magang sebagai pengacara di Ma­tama Law Firm Padang. Hotman lulus ujian profesi advokat di awal tahun 2014 dan dilantik sebagai pengacara di Peng­adilan Tinggi Sumatera Barat (2015).

Hotman mengaku, pilihan hidupnya sebagai penga­cara cukuplah unik. Mu­lanya, ia bercita-cita men­jadi ten­tara. Te­tapi, Tu­han me­nuntun lang­kah­nya ke jalan lain, supaya menjadi penegak hukum. Saat kuliah di Fakultas Hukum Uni­ver­sitas Ta­man Sis­wa (Tam­sis) Padang minatnya men­ja­di penegak hukum se­makin bulat dan kuat. Ia merasa terpanggil untuk terjun ke bidang ini. Terlebih ke­tika se­orang saudara kan­dungnya terbentur masa­lah di tempat kerja. Sau­daranya ditu­duh mela­kukan penggelapan se­hing­ga Hotman terpanggil untuk mene­gakkan kebenaran. Maju tak gentar membela yang benar itulah tekadnya. Berkat ilmu dan talenta yang dimi­likinya, meskipun masih tahap belajar Hotman berhasil mem­bantu saudara itu dari aspek hukum sehingga lepas dari masalah karena tuduhan penggelapan itu memang tidak benar. Hotman semakin mantap untuk menjadi pengacara.

Menurut Hotman, pilihan profesi sebagai pengacara yang kini dijala­ninya bersan­­darkan pada ke­inginannya mem­berikan pencerahan dengan penyu­luhan hukum dan membantu masya­rakat yang mem­butuhkan ban­tuan hukum. “Ba­nyak warga masya­rakat yang masih awam dengan hukum,” ujarnya.

Sela­ma tiga tahun terakhir menja­lani profesi pengacara, Hotman banyak membela masyarakat kecil dalam bentuk non-ligitasi (tidak masuk ke pengadilan) daripada dalam bentuk litigasi (masuk ke peng­adilan). Ada beberapa masya­rakat kecil yang mendatangi Hotman ke kediaman­nya atau melalui telepon untuk berkon­sultasi permasalahan hukum yang mereka hadapi. Hotman memberikan konsultasi hukum secara pro bono (bebas biaya), tanpa meminta fee – selayaknya pengacara profesional. Meskipun setiap kali konsultasi ada hitung-hitungannya, tetapi Hotman tidak melakukannya, terutama untuk masyarakat kecil. “Saya berasal dari keluarga biasa-biasa saja sehingga bisa merasakan yang mereka alami,” imbuhnya.

Hotman menyadari dalam menja­lani profesinya tidak akan pernah lepas dari jati dirinya sebagai orang Katolik. Dalam setiap kegiatan berkaitan dengan pro­fesinya, bagi Hotman adalah bagian dari sebagai saksi Kristus. “Saya tidak pernah minder atau malu atas pilihan iman Katolik saya, baik di pergaulan sehari-hari maupun di tengah sesama rekan pengacara yang mayo­ritas dari kalangan Muslim. Saat berhadapan dengan klien saya, yang ham­pir seratus persen dari kalangan Muslim, kalau mereka menanyakan agama saya, tidak malu dan tidak ragu saya katakan bahwa saya beragama Katolik,” ungkap Hotman.

Hotman punya pengalaman menarik saat berjumpa dengan Wakil Bupati dan makan bersama dengan anggota Musya­warah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat. Ia tidak malu dan tidak ragu-ragu membuat Tanda Salib di depan mereka. Meskipun mungkin mereka heran atau merasa tabu, Hotman tidak memedulikannya. “Bagi saya, Tanda Salib itu salah satu inti ajaran iman Katolik. Maka di mana pun dan dalam peker­jaan apa pun, saya tidak lupa membuat tanda keme­nang­an ter­sebut. Orang­tua saya meng­ajarkan: jangan pernah malu atas iman­mu, apa­lagi men­jual imanmu! Saya ingat pesan orang­tua itu, untuk tidak malu sebagai saksi Kristus, karena imanlah yang menolong saya,” lan­jutnya.

Selain pesan dan nasihat orangtua, dalam membawa pengajaran Kristus dalam kehidup­annya, Hotman juga menjadikan Sepuluh Perintah Allah dan Sabda Bahagia Yesus di Bukit sebagai pedoman dan ­inspirasi dalam berelasi dengan Tuhan dan sesama. Hotman sadar semuanya itu mengandung risiko, namun mesti dijalani. Hotman sadar betul bahwa setiap pengikut Kristus mengem­ban amanah, “ … karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku­perin­tahkan kepadamu. Dan, ketahui­lah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (bdk. Mat. 28:19-20).

Antara Tuntutan Profesi dan Bersaksi

Banyak teks Kitab Suci dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru berbicara tentang kerja dan pekerjaan. Di antaranya: 
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, …” (bdk. Yoh.6:27); atau 2 Tes 3:1-15, “ … jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan …”.
Dan, masih banyak lagi kutipan tentang kerja dan pekerjaan.

Selain itu, juga ada istilah profesi yang kerap disa­maartikan dengan pekerjaan, meski sebenarnya berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Tentang peristilahan profesi ini juga banyak pendapat ahli dan awam. Kerja, pekerjaan, maupun profesi bisa menjadi sarana bersaksi.

fokus,heru susanto,1
Agustinus Heru Susanto, S.Pd

Guru Bahasa Indonesia SMA Santa Maria Pekanbaru sejak tahun 2001, Agustinus Heru Susanto, S.Pd. meng­ungkapkan pemahamannya, “Peker­jaan selalu berkaitan dengan uang. Kita bekerja untuk mendapatkan upah/gaji, sementara profesi berkaitan dengan profesionalitas (kemampuan dan kom­petensi yang ada dalam diri masing-masing) yang diak­tualkan dalam ‘bagai­mana seseorang bekerja?’ Profesi membutuhkan pendi­dikan yang komplit. Menurut saya, pekerjaan bagian dari profesi.”

Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1995) ini meng­ungkap ‘status guru’ yang disandang­nya mengandung pengertian pekerjaan dan profesi. “Bekerja secara profesional, didukung kemampuan dan kompetensi yang ada. Profesi mempunyai pengakuan kemasyarakatan, dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan janji atau ikrar profesi,” ucap Heru yang pernah mengajar di SMP Yosef Arnoldi, Bagan­batu (1999-2000).

Heru pernah tiga tahun sebagai guru SMP Yos Sudarso, Magenang – kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Tengah (1996-1999) – ini memaknai profesi dan pekerjaan sebagai guru, “Guru sebagai suatu panggilan hidup. Saya bekerja tidak hanya bekerja sebagai guru. Mulanya, saya memang masih meraba-raba dalam melakoninya. Awalnya mendapatkan upah/gaji. Belum pikirkan tentang profesionalitas, apalagi peningkatan kompetensi. Saya pernah setahun masuk dalam dunia pemasaran dalam kelompok Kompas Gramedia. Bukan bagian editor maupun kewartawanan, tetapi di bagian pemasaran. Merasa tidak cocok, saya pindah ke dunia pendidikan yang sesung­guhnya. Saya mulai memahami dunia keguruan dan profesi guru. Saya mulai mengerti kepuasan sebagai guru.”

Heru yang pernah tiga bulan mengajar di SMP Santa Maria Pekanbaru ini mengaku adanya ‘tuntutan’ terhadap pro­fesi guru, yakni digugu dan ditiru. “Banyak aspek diperhatikan, disorot terhadap guru; karena figur gurulah yang berdiri di depan para siswa, sehingga segala tingkah laku dan tindak-tanduknya diperhatikan dan dinilai. Banyak penilaian terhadap figur guru, baik saat mengajar di depan para siswa maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya digugu dan ditiru, seorang guru Katolik mengemban tang­gungjawab sebagai saksi Kristus,” ujarnya.

Dari pengalaman hidupnya, Heru menuturkan, guru Katolik tugasnya tidak hanya ‘transfer ilmu’, namun punya tang­gungjawab lebih dalam lagi, yakni menyebarkan Kabar Gembira tentang Tuhan Yesus. “Hal ini bukan hal sepele! Guru Katolik mesti terlibat langsung dalam hidup ber­masyarakat dan komu­nitas Katolik. Guru Katolik harus punya segalanya, termasuk iman yang kuat. Bagaimana mau menyebarkan Kabar Gembira, bila ia tidak punya iman yang kuat?! Dalam kehidupan saya misalnya, selain di lingkup sekolah, saya juga harus terlibat aktif di gereja/paroki sebagai salah satu anggota Dewan Pastoral Paroki (DPP), lingkup komu­nitas Katolik sesuai kemampuan dan talenta yang Tuhan berikan,” tukasnya.

Di lingkungan luar kegerejaan, Heru banyak bersosialisasi dengan kehi­dupan masyarakat di sekitar rumahnya. Saat menjadi warga Kompleks Peru­mahan Permata Bukit Raya, Kulim, Pekanbaru (2004), belum ada tradisi warga Katolik berkunjung ke rumah warga Muslim yang merayakan Idul Fitri/Lebaran. “Awalnya, ada kesulitan mereka menerima keluarga saya. Saya berinisiatif bersila­turahmi ke rumah warga Muslim. Perlahan, keberadaan keluarga saya dapat diterima, mereka mulai mengenal agama Katolik, bahkan bersilaturahmi ke rumah saat natalan. Saya tidak segan turut membantu penggalian tanah pekuburan saat ada tetangga yang meninggal dunia. Mereka sempat heran, koq mau?! Kesaksian dimulai dari hal-hal yang dipandang sepele yang dapat ‘mengubah’ pemikiran umat lain tentang agama Katolik. Selama ini, warga Katolik dianggap membatasi diri,” ungkap Heru lagi.

fokus,beatrix,1
Beatrix Berlina PS – (duduk tengah-mengangkat jari) bersama rekan sejawat di Kejari Padang

Melalui profesi sebagai jaksa fung­sional pula, Beatrix Berlina PS (35) bersaksi sebagai umat Katolik. Sebelum ditempatkan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang, sejak 3 September 2009, ia ditugaskan di Kejari Simpang Empat, Pasaman Barat. Ia mendapat beasiswa Kejaksaan Agung (Kejagung) menempuh pendidikan di Universitas Indonesia (2010). Dua tahun lamanya, ia berdinas di Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Kejagung. Lulus strata dua (S2), ia ditempatkan di Kejari Padang.

Di lingkungan peker­jaannya, Lina satu-satunya jaksa yang tidak berhijab. “Satu-satunya yang Katolik. Saya terbiasa hidup di tengah sesama yang berbeda keya­kin­an. Sejak sekolah dasar (SD), saya mengecap pendidikan di seko­lah negeri, apalagi ayah saya polisi sehing­ga sering pindah sekolah. Di tengah sesama rekan jaksa, saya menye­suaikan diri. Yang paling berat bila dalam bulan puasa. Saya ikut-ikutan puasa juga. Di tempat kerja, saya tidak memilih-milih teman, supel. Teman pun tidak terlalu membedakan, walau terka­dang men­candai saya. Misalnya, kalau sudah azan, saya pasti diajak. Saya menang­gapinya sambil bercanda juga,” tutur Lina.

Sebenarnya, rekan sejawat tahu bahwa Lina beragama Katolik, namun mereka tetap mencandainya. Sesekali, ada di antara mereka yang bertanya soal perbedaan antara Katolik dan Protestan. “Mereka juga tahu ada puasa dalam agama Katolik. Mereka ingin tahu bagaimana orang Katolik berpuasa. Ada pula yang menanyakan, apakah benar, kalau beribadah menggunakan nyanyian, bahkan hingga menangis-nangis sebagai­mana sempat mereka tonton di televisi? Kadang, yang bikin geli, mereka pingin tahu, bagaimana rasanya makan daging babi – yang diharamkan dalam agama mereka,” tukasnya kepada Gema.

Biasanya, Lina akan memberikan tanggapan bila dirinya mampu menjawab pertanyaan yang dianggapnya ringan; namun kalau ada yang berat, dirinya ‘utang’ penjelasan. Lina berupaya ‘melunasi’ utang penjelasan tersebut dengan mengontak tantenya, seorang prodiakon di Jakarta. Setelah puas mendapat penjelasan tantenya, Lina segera ‘membayar’ utang penjelasan tersebut. Lina mencontohkan, kalau memang dalam agama Katolik tidak boleh bercerai, mengapa banyak juga di pengadilan negeri di sini (Padang) yang mengajukan gugatan cerai?! Setelah itu, bagaimana statusnya? Bagaimana dengan anak-anak mereka? Dan, banyak lagi. Kadang, rekannya juga bertanya, “Kenapa kalau meninggal dunia memakai peti mati dan diisi barang-barang orang yang meninggal? Kenapa diberi pakaian dan didandani?” Lina mengaku kerepotan menang­gapi berbagai pertanyaan tersebut. “Itulah repotnya kalau jadi satu-satunya yang Katolik di sini (Kejari Padang-red.), apala­gi pengetahuan agama (Katolik) saya tidak banyak dan mendalam. Meski demikian, saya tidak mau asal jawab. Soalnya bisa membuat sudut pandang mereka bisa berpikir aneh kelak. Me­nya­dari ‘keku­rangan’ pema­haman tentang agama Ka­tolik, saya mencari sumber belajar, termasuk aplikasi e-Katolik. Setiap hari, saya bisa mendengar renungan harian. Isinya sungguh menggugah, misalnya ada riwayat orang kudus, inspi­rasi hidup, dan seba­gainya. Aplikasi tersebut sungguh membantu saya untuk lebih memahami seluk-beluk ajaran agama Katolik. Jujur, saya kurang mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang ada, con­tohnya perkumpulan untuk pendalaman iman,” tukasnya. Beranjak dari ‘keku­rangan’ yang dimiliki dan kesulitan yang dihadapi saat muncul pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan ajaran agama Katolik, Lina merasa perlu belajar agama lagi. Terkadang, muncul per­tanyaan-perta­nyaan tidak diduga, misalnya “kenapa pastor tidak menikah? Lantas, bagaimana caranya menahan keinginan biologis mereka – karena bagaimana pun mereka lelaki normal?” Lina mengaku bingung juga menanggapi pertanyaan tersebut. Menjadi berbeda di tengah lingkungan berbeda keyakinan memang berat, apalagi mau bersaksi dan menjadi ‘garam dan terang dunia’. “Saat meng­hadiri undangan mewakili kantor, pan­dangan mereka menatap saya yang tidak mengenakan tutup kepala dan rok pendek membuat grogi dan risih juga. Jadi pusat perhatian. Meskipun satu, tetapi ada di mana-mana. Kini, saya sudah terbiasa,” ujarnya.

Meskipun demikian, Lina mengaku bangga sebagai orang Katolik. “Ajaran Katolik memang mantap! Misalnya, dalam hal makanan haram. Dalam ajaran kita, bukan makanan yang masuk itu haram, tetapi apa yang kita keluarkan dari mulutlah yang mengharamkan. Begitu­pun dalam hal berpuasa, kita membasuh muka dan membasahi rambut agar kelihatan cerah, dan sebagainya. Teman-teman seprofesi sudah terbiasa dengan keberadaan dan tanggapan-tanggapan saya. Tetapi, saya tetap merasakan adanya perbedaan itu, walaupun tidak dikatakan. Saat Natal misalnya, hanya satu dari banyak teman yang memberikan ucapan selamat Natal. Namun, saya sudah terbiasa, sehingga tidak terlalu memikir­kannya,” tandasnya.

A. Bambang Sagurung
A. Bambang Sagurung

Lain lagi penuturan wartawan Ta­bloid Puailiggoubat, A. Bambang Sagurung (32). Dari pengalamannya, lewat profesi wartawan yang ditekuninya sejak tahun 2006, ia mempunyai banyak kesempatan bersaksi. Mahasiswa tingkat akhir Universitas Eka Sakti (Unes) Padang ini juga menjadi kontributor media online padangmedia.com (2012) dan kontributor Lembaga Kantor Berita Nasional AntaraTV Sumatera Barat (2016). Sebagaimana diakuinya, orang Mentawai pada umumnya tidak begitu mengetahui dunia jurnalistik sehingga tidak tertarik menekuninya. “Kalaupun ada, terutama generasi muda Mentawai yang tertarik, namun tidak ingin masuk ke dalamnya lebih jauh,” ucap Bambang.

Bambang menuturkan, menjadi seorang wartawan di Kepulauan Mentawai – yang masih dalam perkembangan – mem­berikan banyak pelajaran dan tantangan. “Saat masyarakat tahu saya wartawan, semua uneg-uneg terkait dengan pembangunan, pendidikan, kesehatan; baik dari tingkat dusun hingga kabupaten, mereka sampaikan kepada wartawan. Ibaratnya, wartawan tempat mereka bersuara. Tatkala saya menemui berbagai nara sumber dan melakukan liputan, saya banyak mengenal dan melihat kondisi mereka. Tetapi, dari sekian banyak orang yang suka dan terbuka terhadap wartawan, juga ada pihak yang tidak suka dan tidak senang dengan kehadiran wartawan. Tentu, ter­utama dari orang-orang yang borok dan bobroknya tidak ingin diketahui publik saat tugas kewartawanan,” ungkap Bam­bang.

Selain itu, ada pula di tengah masya­rakat yang menganggap profesi wartawan ibarat ‘anjing pelacak’ – suka mengendus. Kadangkala, (calon) nara sumber yang tidak baik tersebut kenal dekat dengan wartawan bersangkutan. Anggapan lainnya, terutama dari kalangan pejabat, kontraktor dan yang merasa kepen­tingan­nya terganggu menganggap wartawan suka mencari ‘amplop’. Padahal, tidak semua wartawan dapat ‘diukur’ dengan amplop, karena taat dan patuh pada kode etik jurnalistik.

Tatkala tugas bersama dengan warta­wan dari agama lain, sempat terasa minimnya wartawan Katolik di ling­kungan ini, Ranah Minang. Hal tersebut muncul, sambung Bambang, saat liputan bernuansa keagamaan maupun tokoh agama. Ketika berdiskusi atau bertemu bersama sembari menunggu nara sumber terkait persoalan agama. “Ini hal menjadi sangat sensitif. Kadang saat teman wartawan lain yang tidak dapat membe­dakan tugas dan emosi muncul. Tak heran, akan muncul pertanyaan, siapa saja dan agama apa saja wartawan yang ikut melakukan liputan. Namun, banyak juga teman dari daerah dan agama lain menghargai dan toleran. Saat liputan hari besar agama Katolik, ketika wartawan datang meliput, biasanya mereka akan menanyakan apa saja yang boleh dan tidak boleh difoto saat di luar dan dalam gereja. Saya berikan penjelasan. Ini kesempatan berharga bagi saya. Rekan wartawan yang pernah dan sering liputan bersama tahu saya Katolik,” ujarnya.

Anggota Aliansi Jurnalis Indepen­den (AJI) sejak tahun 2010 ini meng­anggap pertanyaan sesama wartawan dari agama lain merupakan kesempatan bersaksi. Mereka bertanya banyak hal, misalnya mengapa orang Katolik menyem­bah patung? Kenapa ditata perayaan ada gabungan adat dan budaya? Kenapa babi tidak diharamkan? Bahkan, ada kalanya yang mengajak pindah agama. Bambang berusaha memberikan penjelasan dengan kalimat sesederhananya dan dapat dimengerti, serta tidak membuat ketersinggungan. Banyak motivasi pena­nya, antara lain menambah pengetahuan dan pengalaman, mendapat jawaban keingintahuan, namun ada pula yang bertanya pingin menjebak.

Di sisi lain, bagi Bambang, hal itu merupakan batu ujian untuk dapat menjelaskan, menjawab, menanggapi pertanyaan-per­ta­nyaan seperti itu. “Secara tidak langsung, mereka membuat saya mesti terus mempelajari ajaran iman saya dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka, saya lebih banyak berdoa, lebih meng­aktifkan diri dalam kegiatan keagamaan, berdiskusi dengan orang yang lebih paham tentang agama Katolik, serta lebih banyak membaca buku rohani. Sebenarnya, ‘tantangan’ bersaksi seperti ini telah saya alami sebelum menjadi wartawan, terlebih di saat banyak bergaul dengan teman tidak seiman di luar Mentawai. Saat ‘ujian’ muncul, ada rasa keinginan belajar terutama menanggapi pertanyaan yang sulit dan tidak bisa dijelaskan. Diskusi tentang hal yang tidak diketahui biasanya saya lakukan tatkala dalam perjalanan bersama pastor, katekis ketika melakukan kunjungan pastoral,” kata Bambang.

Profesi:  Sarana untuk Bersaksi

DSC_0320,P. Henrikus Ngambut Oba
P. Henrikus Ngambut Oba, Pr.

P. Henrikus Ngambut Oba, Pr.
Pastor Rekan Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang.
(Diolah dari wawancara)

Pentinglah bagi kita mema­hami apa itu martyria? Alasan­nya, pertama, mar­tureo, berarti saya bersaksi, saya menyaksikan sendiri. Menyak­sikan apa? Melihat atau mengalami sendiri. Dalam konteks ini, yakni para murid Yesus yang bersaksi. Para murid melihat dan mengalami peristiwa mesianik lalu memba­gikan peng­alamannya itu. Kedua, martyria atau kesaksian mengenai Yesus yang mereka (para murid) saksikan. Itu berarti, pengenalan pada (figur) Yesus, seperti ajaran-Nya dan semua yang dilakukan-Nya. Kalau tahun ini (2017) sebagai Tahun Martyria, berarti bagai­mana kita mewartakan Yesus Kristus? Ber­arti butir kedua tentang obyek yang diwar­takan.

Ketiga, martirion, penyem­bahan. Apa yang menjadi ‘buah’ hubungan subyek dan obyek atau hubungan saya dengan Yesus Kristus? Itulah yang kita wartakan. Saya sebagai orang Katolik yang mengimani dan menyembah Yesus, kita berdoa kepada-Nya. Secara umum itu adalah karunia (misalnya, karunia mengajar, mewartakan Injil, pela­yan­an, penyembuhan, mengadakan mukjizat, dan sebagainya). Semua hal ini didahului penyembahan antara subyek dan obyek, ada kaitan langsung. Maka, tidak ada penyem­bahan, kalau tidak ada karunia. Tidak cukup kita hanya berdoa saja. Berkaitan martirion, berarti ada penyembahan dan akibatnya. Keempat, marturumai, semacam sumpah, janji setia. Maksudnya, tatkala kita mewar­takan (Yesus) adalah yang benar, maka yang kita lakukan adalah sungguh benar, sesuai dengan ajaran-Nya yang kita imani. Hal itu sesuai yang dikatakan Santo Paulus, “Saya bersumpah, bahwa yang saya katakan berdasarkan apa yang Yesus katakan!”

Kelima, martus, yaitu orang (subyek) yang memberi kesaksian. Siapa saksi dalam seluruh perjalanan tentang Kristus, yakni Allah Tritunggal. Begitupun dengan para Rasul yang menyaksikan seluruh perjalanan tentang Kristus. Martus selanjutnya adalah Bapa Gereja, terakhir adalah kita dalam aneka bentuk, misalnya saksi sejarah, saksi hukum, saksi etis – melalui tindakan. Santo Stefanus adalah saksi dalam pengertian etis, termasuk para martir – memberi kesaksian melalui tindak­­an dan perilaku yang benar tentang Yesus.

Terkait dengan profesi, menjadi guru misalnya, sudahkan lewat profesi ini seseorang bersaksi tentang Yesus? Apakah profesi (guru) telah memberikan kesaksian atau mengimplementasikan ajaran Yesus? Kalau ya, berarti barulah dapat dikatakan profesi guru tersebut membawa kesaksian. Kalau tidak, tentu tidak bisa dikatakan sebagai profesi yang membawa kesaksian. Apakah profesi tersebut menopang dan dalam kerangka sarana kesaksian? Kalau dari segi etis, pada dasarnya bila semua profesi umat Katolik menghayati nilai-nilai kristiani, nilai kekatolikan, pastilah itu sebuah kesaksian. Tetapi, bukan berarti, bukan karena Katolik sehingga semua yang dilakukan merupakan kesaksian. Itu belum pasti. Tergantung, sesuai atau tidak dengan nilai dan ajaran Kristus. Tidak bisa semua tindakan orang Katolik dipandang sebagai kesaksian. Umat Katolik yang tidak baik kehidupannya dan tidak sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa Kristus bukanlah saksi Kristus.

Dalam semua profesi, contohnya seorang pengacara Katolik (penegak hukum) yang berlaku adil, jujur, mene­gakkan keadilan, membela yang benar sangat menjadi martus, yang memberikan kesaksian. Itu menjadi bagian penghayatan dan pengamalan iman. Sederhananya, semua profesi adalah bagi­an dari sarana untuk memberi kesaksian tentang siapa Yesus itu! Agar kita sungguh bisa meng­hidupi profesi pada jalur yang benar (on the track), bekerjalah, lihat, dan berbi­caralah lewat hati nurani. Hati nurani kita tahu yang salah dan benar. Dengan mengikuti hati nuraninya orang tidak salah dan punya kehendak untuk mengikutinya. Tuhan adalah takaran akhir dari moral. Itu berarti, semuanya ber­sumber dari Allah sen­diri, soal baik dan tidak baik. Untuk mengasah ketajam hati nurani perlu pembinaan. Maka, pentinglah berdoa, berefleksi dan mengevaluasi diri. Un­tuk profesi, muncul pertanyaan, apakah saya telah menjalani profesi ini dengan baik dan benar? Sebagai guru misalnya, apakah telah mengikuti atur­an dan tidak melakukan pelang­garan profesi? Keguruan tidak akan per­nah berten­tangan dengan prinsip dan nilai kris­tiani serta hati nurani. Itulah lang­kah pertama.

Selanjutnya, bacalah Kitab Suci, dengarlah ajaran Gereja, merayakan sakramen-sakramen, dan sebagainya. Gereja telah memberikan segalanya, supaya umat berada dalam jalurnya (on the track). Masalahnya, apakah umat memanfaatkan semua sarana ter­sebut, termasuk di Keuskupan Padang di Tahun Kesaksian (Martyria) ini? Kadang, kehendak diri kita lemah tat­kala menghadapi godaan dan ‘da­ging’ lebih kuat. Maka, perlu pem­bia­saan hidup positif dan selalu men­jauh­kan diri dari hal-hal negatif! (hrd)

Tinggalkan Balasan