Bersaksi Melalui Profesi (Majalah Gema, Edisi Maret 2017)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Allah, yang sempurna dan penuh bahagia, berencana membagikan kebaikan-Nya dengan menciptakan manusia agar manusia ikut ambil bagian dalam kebahagiaan-Nya. Untuk rencana inilah Allah menciptakan manusia seturut gambar dan rupa-Nya, yakni Allah yang dalam rencana kasih-Nya telah menciptakan dunia sebagai pendukung kehidupan manusia. Memang sebagai gambar Allah, manusia diciptakan unik yang memiliki perbedaan satu sama lain. Namun, keunikan manusia dalam berbagai dimensi keberadaan hidupnya tidaklah menghapus hakekat keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, melainkan melengkapi dan mengukuhkan kesatuan dengan seluruh manusia dan kesatuan dengan Allah. Kesatuan seluruh manusia ini nyata dalam karya manusia yang adalah tindakan langsung dari manusia sebagai citra Allah dalam kesadaran sebagai rekan kerja Allah untuk melanjutkan karya penciptaan, memelihara bumi dan segala isinya (Bdk. Kej 1:28; GS 34; CA 31).
Demikianlah manusia, melalui pekerjaan ataupun profesi yang digeluti, menghargai dan saling melengkapi anugerah-anugerah dan talenta-talenta yang berbeda yang diterima dari Pencipta. Apabila manusia dalam persatuan dengan Yesus, Tukang kayu dari Nasaret dan Yang Tersalib di Golgota, menerima jerih payah pekerjaan (Bdk. Kej 3:14-19), manusia boleh dikatakan bekerja bersama dengan Putera Allah dalam karya penebusan-Nya. Manusia membuktikan diri sebagai murid Kristus dalam profesi yang harus dilaksanakan hari demi hari, memikul salibnya (Bdk. LE 27). Karenanya, profesi yang digeluti sehari-hari, selain menjadi sarana pengudusan juga merupakan sarana untuk bersaksi tentang kebenaran dan kebaikan Allah dalam Kristus, Tuhan.
Edisi GEMA bulan ini mengangkat tema “BERSAKSI MELALUI PROFESI”. Profesi yang digeluti pada bidang hukum, kesehatan, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik, dll., tidak dapat dipisahkan panggilan kaum beriman sebagai murid Kristus untuk memberi kesaksian tentang keselamatan yang dibawa oleh Kristus yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.
Selamat memasuki Masa Prapaskah: masa pengendalian diri, pembaruan diri, dan pertobatan yang memampukan kita untuk semakin berani memberi kesaksian melalui setiap profesi yang kita geluti, bahwa Kristus yang kita sembah dan muliakan adalah Tuhan yang menyelamatkan kita dan semua orang. Selamat membaca!
Jadikan Profesi Jalan Bersaksi
Dr. Ananto Pratikno Sp.OG, Mars
Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan RS. Yos Sudarso, Padang.
Selama dua belas tahun sebagai dokter spesialis kandungan dan kebidanan di RS Yos Sudarso Padang, saya mendapat banyak kesempatan untuk bersaksi. Saya merasa, meskipun kecil telah menjadi ‘garam dan terang dunia’. Sebenarnya, yang saya lakukan adalah hal biasa saja dalam menjalankan profesi sebagai dokter, tetapi bagi orang lain, terutama pasien dan keluarganya, mungkin merupakan sesuatu yang luar biasa.
Sebagai dokter spesialis kandungan beragama Katolik, saya mempunyai komitmen menjaga dan melindungi kehidupan. Beberapa pasien yang berkonsultasi ada yang meminta saya memenuhi permintaannya atau keluarganya untuk menggugurkan kandungan/aborsi. Tentu saja hal itu saya tolak, karena bertentangan dengan iman Katolik dan nilai-nilai kehidupan. Dalam situasi demikian, saya berusaha memberi motivasi dan “pencerahan” kepada pasien dan keluarganya agar membatalkan rencananya. Hanya saja, perlu waktu lebih lama bagi saya untuk memberikan penjelasan dan ‘penyadaran’, setidaknya butuh waktu setengah jam.
Pasien yang datang kepada saya dari berbagai latar belakang. Ada pasangan suami-istri (pasutri) yang merasa cukup mempunyai dua anak, kalau terlanjur hamil ada juga yang meminta untuk digugurkan, karena kehamilan anak ketiga dianggap sebagai beban. Saat menghadapi mereka, saya kerap berseloroh agar lebih rileks. Saya katakan kepada mereka, “Kita ini harus berusaha surga, bukan ke neraka”. Mulanya, mereka sulit mengerti dan tidak langsung menerima penjelasan dan bujukan saya. Maka masih dalam berseloroh, saya katakan bahwa suami adalah imam keluarga; kalau suami masuk neraka, istri ikutan juga masuk neraka, sebab keduanya bersepakat menggugurkan kandungan. Berseloroh seperti ini merupakan cara saya berkomunikasi dengan pasien agar konsultasi bisa lebih efektif. Namun, prinsip-prinsip penting saya tetap sampaikan. Sebagai dokter, saya juga terikat dengan sumpah/janji profesi untuk menolong pasien tanpa membeda-bedakan perbedaan apa pun latar belakang seseorang.
Saya akui, sering ada cerita miring tentang profesi dokter karena diandaikan layaknya pedagang yang berupaya ‘balik modal’, karena saat belajar kedokteran lebih lama dan butuh dana besar lalu memasang tarif yang mahal. Bagi saya, kalau hal itu dilakukan seorang dokter berarti mencederai sumpah/janji profesinya. Kalau ada di antara pasien yang tidak mampu, malah saya menggratiskan. Pasien yang lebih mampu bisa membantu atau subsidi pasien yang tidak mampu. Biaya pendidikan dokter memang mahal, tetapi untunglah ada subsidi pemerintah dan beasiswa dari instansi tertentu. Kalau melulu memikirkan ‘balik modal’, sebaiknya jangan menjadi dokterlah, tetapi lebih cocok menjadi pengusaha! Hingga saat ini, saya satu-satunya dokter spesialis kandungan dan kebidanan beragama Katolik di Padang. Saya terus berusaha meningkatkan mutu/kualitas pelayanan dengan meleburkan diri, ikut dalam aktivitas organisasi profesi, bekerjasama dengan rekan sejawat, mengikuti pelatihan, seminar, kursus yang dapat meningkatkan kualitas diri dan keterampilan. Agar keterampilan dan kemampuan medis saya selalu aktual, setiap tahun, saya mesti mengumpulkan 50 Satuan Kredit Profesi (SKP). Sejalan dengan sumpah/janji profesi, saya berkomitmen meladeni dan melayani semua pasien dengan tangan terbuka tanpa membeda-bedakan. Untuk mengemban tugas perutusan sebagai saksi Kristus, melalui profesi ini saya berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada sesama.
Tidak hanya itu, untuk membekali diri terutama yang berkaitan dengan rohani, selain doa, saya ikut dalam group online Komunitas Dei Verbum/Sabda Ilahi (KDV). Anggota KDV wajib membaca tiga bab kutipan Kitab Suci setiap hari. Ada kutipan ‘ayat emas’, bila ada hal yang belum dimengerti, dapat berkonsultasi kepada Romo lewat group online tersebut. Saya berharap iman saya semakin bertumbuh setelah membaca dan mempelajari Kitab Suci. Awalnya, terasa berat, namun saya berpikir, kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi saya mendengarkan Sabda Tuhan?
Saya berusaha manfaatkan di sela-sela waktu untuk Tuhan dengan membaca Kitab Suci, setidaknya tiga puluh menit setiap hari. Saya mau melibatkan Tuhan agar dapat memanfaatkan tangan, pikiran, badan saya saat bekerja; apalagi banyak peristiwa ‘ajaib’ dalam pekerjaan. Ada kelahiran yang diperkirakan lewat operasi caesar, ternyata ibu bersangkutan bisa melahirkan normal. Atau tatkala menemukan janin dalam posisi melintang – sehingga menyulitkan persalinan – beberapa hari setelah sang ibu berdoa khusuk kepada Bunda Pembantu Abadi ternyata dalam posisi bagus, siap bersalin tanpa operasi. Sungguh luar biasa dan ajaib kuasa Tuhan.
Jangan Malu Akui Imanmu
Setelah mengikuti pendidikan profesi advokat atau pengacara pada awal tahun 2013, Hotman Pandapotan Siahaan, SH (29) magang sebagai pengacara di Matama Law Firm Padang. Hotman lulus ujian profesi advokat di awal tahun 2014 dan dilantik sebagai pengacara di Pengadilan Tinggi Sumatera Barat (2015).
Hotman mengaku, pilihan hidupnya sebagai pengacara cukuplah unik. Mulanya, ia bercita-cita menjadi tentara. Tetapi, Tuhan menuntun langkahnya ke jalan lain, supaya menjadi penegak hukum. Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa (Tamsis) Padang minatnya menjadi penegak hukum semakin bulat dan kuat. Ia merasa terpanggil untuk terjun ke bidang ini. Terlebih ketika seorang saudara kandungnya terbentur masalah di tempat kerja. Saudaranya dituduh melakukan penggelapan sehingga Hotman terpanggil untuk menegakkan kebenaran. Maju tak gentar membela yang benar itulah tekadnya. Berkat ilmu dan talenta yang dimilikinya, meskipun masih tahap belajar Hotman berhasil membantu saudara itu dari aspek hukum sehingga lepas dari masalah karena tuduhan penggelapan itu memang tidak benar. Hotman semakin mantap untuk menjadi pengacara.
Menurut Hotman, pilihan profesi sebagai pengacara yang kini dijalaninya bersandarkan pada keinginannya memberikan pencerahan dengan penyuluhan hukum dan membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum. “Banyak warga masyarakat yang masih awam dengan hukum,” ujarnya.
Selama tiga tahun terakhir menjalani profesi pengacara, Hotman banyak membela masyarakat kecil dalam bentuk non-ligitasi (tidak masuk ke pengadilan) daripada dalam bentuk litigasi (masuk ke pengadilan). Ada beberapa masyarakat kecil yang mendatangi Hotman ke kediamannya atau melalui telepon untuk berkonsultasi permasalahan hukum yang mereka hadapi. Hotman memberikan konsultasi hukum secara pro bono (bebas biaya), tanpa meminta fee – selayaknya pengacara profesional. Meskipun setiap kali konsultasi ada hitung-hitungannya, tetapi Hotman tidak melakukannya, terutama untuk masyarakat kecil. “Saya berasal dari keluarga biasa-biasa saja sehingga bisa merasakan yang mereka alami,” imbuhnya.
Hotman menyadari dalam menjalani profesinya tidak akan pernah lepas dari jati dirinya sebagai orang Katolik. Dalam setiap kegiatan berkaitan dengan profesinya, bagi Hotman adalah bagian dari sebagai saksi Kristus. “Saya tidak pernah minder atau malu atas pilihan iman Katolik saya, baik di pergaulan sehari-hari maupun di tengah sesama rekan pengacara yang mayoritas dari kalangan Muslim. Saat berhadapan dengan klien saya, yang hampir seratus persen dari kalangan Muslim, kalau mereka menanyakan agama saya, tidak malu dan tidak ragu saya katakan bahwa saya beragama Katolik,” ungkap Hotman.
Hotman punya pengalaman menarik saat berjumpa dengan Wakil Bupati dan makan bersama dengan anggota Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat. Ia tidak malu dan tidak ragu-ragu membuat Tanda Salib di depan mereka. Meskipun mungkin mereka heran atau merasa tabu, Hotman tidak memedulikannya. “Bagi saya, Tanda Salib itu salah satu inti ajaran iman Katolik. Maka di mana pun dan dalam pekerjaan apa pun, saya tidak lupa membuat tanda kemenangan tersebut. Orangtua saya mengajarkan: jangan pernah malu atas imanmu, apalagi menjual imanmu! Saya ingat pesan orangtua itu, untuk tidak malu sebagai saksi Kristus, karena imanlah yang menolong saya,” lanjutnya.
Selain pesan dan nasihat orangtua, dalam membawa pengajaran Kristus dalam kehidupannya, Hotman juga menjadikan Sepuluh Perintah Allah dan Sabda Bahagia Yesus di Bukit sebagai pedoman dan inspirasi dalam berelasi dengan Tuhan dan sesama. Hotman sadar semuanya itu mengandung risiko, namun mesti dijalani. Hotman sadar betul bahwa setiap pengikut Kristus mengemban amanah, “ … karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan, ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (bdk. Mat. 28:19-20).
Antara Tuntutan Profesi dan Bersaksi
Banyak teks Kitab Suci dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru berbicara tentang kerja dan pekerjaan. Di antaranya:
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, …” (bdk. Yoh.6:27); atau 2 Tes 3:1-15, “ … jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan …”.
Dan, masih banyak lagi kutipan tentang kerja dan pekerjaan.
Selain itu, juga ada istilah profesi yang kerap disamaartikan dengan pekerjaan, meski sebenarnya berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Tentang peristilahan profesi ini juga banyak pendapat ahli dan awam. Kerja, pekerjaan, maupun profesi bisa menjadi sarana bersaksi.
Guru Bahasa Indonesia SMA Santa Maria Pekanbaru sejak tahun 2001, Agustinus Heru Susanto, S.Pd. mengungkapkan pemahamannya, “Pekerjaan selalu berkaitan dengan uang. Kita bekerja untuk mendapatkan upah/gaji, sementara profesi berkaitan dengan profesionalitas (kemampuan dan kompetensi yang ada dalam diri masing-masing) yang diaktualkan dalam ‘bagaimana seseorang bekerja?’ Profesi membutuhkan pendidikan yang komplit. Menurut saya, pekerjaan bagian dari profesi.”
Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1995) ini mengungkap ‘status guru’ yang disandangnya mengandung pengertian pekerjaan dan profesi. “Bekerja secara profesional, didukung kemampuan dan kompetensi yang ada. Profesi mempunyai pengakuan kemasyarakatan, dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan janji atau ikrar profesi,” ucap Heru yang pernah mengajar di SMP Yosef Arnoldi, Baganbatu (1999-2000).
Heru pernah tiga tahun sebagai guru SMP Yos Sudarso, Magenang – kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Tengah (1996-1999) – ini memaknai profesi dan pekerjaan sebagai guru, “Guru sebagai suatu panggilan hidup. Saya bekerja tidak hanya bekerja sebagai guru. Mulanya, saya memang masih meraba-raba dalam melakoninya. Awalnya mendapatkan upah/gaji. Belum pikirkan tentang profesionalitas, apalagi peningkatan kompetensi. Saya pernah setahun masuk dalam dunia pemasaran dalam kelompok Kompas Gramedia. Bukan bagian editor maupun kewartawanan, tetapi di bagian pemasaran. Merasa tidak cocok, saya pindah ke dunia pendidikan yang sesungguhnya. Saya mulai memahami dunia keguruan dan profesi guru. Saya mulai mengerti kepuasan sebagai guru.”
Heru yang pernah tiga bulan mengajar di SMP Santa Maria Pekanbaru ini mengaku adanya ‘tuntutan’ terhadap profesi guru, yakni digugu dan ditiru. “Banyak aspek diperhatikan, disorot terhadap guru; karena figur gurulah yang berdiri di depan para siswa, sehingga segala tingkah laku dan tindak-tanduknya diperhatikan dan dinilai. Banyak penilaian terhadap figur guru, baik saat mengajar di depan para siswa maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya digugu dan ditiru, seorang guru Katolik mengemban tanggungjawab sebagai saksi Kristus,” ujarnya.
Dari pengalaman hidupnya, Heru menuturkan, guru Katolik tugasnya tidak hanya ‘transfer ilmu’, namun punya tanggungjawab lebih dalam lagi, yakni menyebarkan Kabar Gembira tentang Tuhan Yesus. “Hal ini bukan hal sepele! Guru Katolik mesti terlibat langsung dalam hidup bermasyarakat dan komunitas Katolik. Guru Katolik harus punya segalanya, termasuk iman yang kuat. Bagaimana mau menyebarkan Kabar Gembira, bila ia tidak punya iman yang kuat?! Dalam kehidupan saya misalnya, selain di lingkup sekolah, saya juga harus terlibat aktif di gereja/paroki sebagai salah satu anggota Dewan Pastoral Paroki (DPP), lingkup komunitas Katolik sesuai kemampuan dan talenta yang Tuhan berikan,” tukasnya.
Di lingkungan luar kegerejaan, Heru banyak bersosialisasi dengan kehidupan masyarakat di sekitar rumahnya. Saat menjadi warga Kompleks Perumahan Permata Bukit Raya, Kulim, Pekanbaru (2004), belum ada tradisi warga Katolik berkunjung ke rumah warga Muslim yang merayakan Idul Fitri/Lebaran. “Awalnya, ada kesulitan mereka menerima keluarga saya. Saya berinisiatif bersilaturahmi ke rumah warga Muslim. Perlahan, keberadaan keluarga saya dapat diterima, mereka mulai mengenal agama Katolik, bahkan bersilaturahmi ke rumah saat natalan. Saya tidak segan turut membantu penggalian tanah pekuburan saat ada tetangga yang meninggal dunia. Mereka sempat heran, koq mau?! Kesaksian dimulai dari hal-hal yang dipandang sepele yang dapat ‘mengubah’ pemikiran umat lain tentang agama Katolik. Selama ini, warga Katolik dianggap membatasi diri,” ungkap Heru lagi.
Melalui profesi sebagai jaksa fungsional pula, Beatrix Berlina PS (35) bersaksi sebagai umat Katolik. Sebelum ditempatkan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang, sejak 3 September 2009, ia ditugaskan di Kejari Simpang Empat, Pasaman Barat. Ia mendapat beasiswa Kejaksaan Agung (Kejagung) menempuh pendidikan di Universitas Indonesia (2010). Dua tahun lamanya, ia berdinas di Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Kejagung. Lulus strata dua (S2), ia ditempatkan di Kejari Padang.
Di lingkungan pekerjaannya, Lina satu-satunya jaksa yang tidak berhijab. “Satu-satunya yang Katolik. Saya terbiasa hidup di tengah sesama yang berbeda keyakinan. Sejak sekolah dasar (SD), saya mengecap pendidikan di sekolah negeri, apalagi ayah saya polisi sehingga sering pindah sekolah. Di tengah sesama rekan jaksa, saya menyesuaikan diri. Yang paling berat bila dalam bulan puasa. Saya ikut-ikutan puasa juga. Di tempat kerja, saya tidak memilih-milih teman, supel. Teman pun tidak terlalu membedakan, walau terkadang mencandai saya. Misalnya, kalau sudah azan, saya pasti diajak. Saya menanggapinya sambil bercanda juga,” tutur Lina.
Sebenarnya, rekan sejawat tahu bahwa Lina beragama Katolik, namun mereka tetap mencandainya. Sesekali, ada di antara mereka yang bertanya soal perbedaan antara Katolik dan Protestan. “Mereka juga tahu ada puasa dalam agama Katolik. Mereka ingin tahu bagaimana orang Katolik berpuasa. Ada pula yang menanyakan, apakah benar, kalau beribadah menggunakan nyanyian, bahkan hingga menangis-nangis sebagaimana sempat mereka tonton di televisi? Kadang, yang bikin geli, mereka pingin tahu, bagaimana rasanya makan daging babi – yang diharamkan dalam agama mereka,” tukasnya kepada Gema.
Biasanya, Lina akan memberikan tanggapan bila dirinya mampu menjawab pertanyaan yang dianggapnya ringan; namun kalau ada yang berat, dirinya ‘utang’ penjelasan. Lina berupaya ‘melunasi’ utang penjelasan tersebut dengan mengontak tantenya, seorang prodiakon di Jakarta. Setelah puas mendapat penjelasan tantenya, Lina segera ‘membayar’ utang penjelasan tersebut. Lina mencontohkan, kalau memang dalam agama Katolik tidak boleh bercerai, mengapa banyak juga di pengadilan negeri di sini (Padang) yang mengajukan gugatan cerai?! Setelah itu, bagaimana statusnya? Bagaimana dengan anak-anak mereka? Dan, banyak lagi. Kadang, rekannya juga bertanya, “Kenapa kalau meninggal dunia memakai peti mati dan diisi barang-barang orang yang meninggal? Kenapa diberi pakaian dan didandani?” Lina mengaku kerepotan menanggapi berbagai pertanyaan tersebut. “Itulah repotnya kalau jadi satu-satunya yang Katolik di sini (Kejari Padang-red.), apalagi pengetahuan agama (Katolik) saya tidak banyak dan mendalam. Meski demikian, saya tidak mau asal jawab. Soalnya bisa membuat sudut pandang mereka bisa berpikir aneh kelak. Menyadari ‘kekurangan’ pemahaman tentang agama Katolik, saya mencari sumber belajar, termasuk aplikasi e-Katolik. Setiap hari, saya bisa mendengar renungan harian. Isinya sungguh menggugah, misalnya ada riwayat orang kudus, inspirasi hidup, dan sebagainya. Aplikasi tersebut sungguh membantu saya untuk lebih memahami seluk-beluk ajaran agama Katolik. Jujur, saya kurang mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang ada, contohnya perkumpulan untuk pendalaman iman,” tukasnya. Beranjak dari ‘kekurangan’ yang dimiliki dan kesulitan yang dihadapi saat muncul pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan ajaran agama Katolik, Lina merasa perlu belajar agama lagi. Terkadang, muncul pertanyaan-pertanyaan tidak diduga, misalnya “kenapa pastor tidak menikah? Lantas, bagaimana caranya menahan keinginan biologis mereka – karena bagaimana pun mereka lelaki normal?” Lina mengaku bingung juga menanggapi pertanyaan tersebut. Menjadi berbeda di tengah lingkungan berbeda keyakinan memang berat, apalagi mau bersaksi dan menjadi ‘garam dan terang dunia’. “Saat menghadiri undangan mewakili kantor, pandangan mereka menatap saya yang tidak mengenakan tutup kepala dan rok pendek membuat grogi dan risih juga. Jadi pusat perhatian. Meskipun satu, tetapi ada di mana-mana. Kini, saya sudah terbiasa,” ujarnya.
Meskipun demikian, Lina mengaku bangga sebagai orang Katolik. “Ajaran Katolik memang mantap! Misalnya, dalam hal makanan haram. Dalam ajaran kita, bukan makanan yang masuk itu haram, tetapi apa yang kita keluarkan dari mulutlah yang mengharamkan. Begitupun dalam hal berpuasa, kita membasuh muka dan membasahi rambut agar kelihatan cerah, dan sebagainya. Teman-teman seprofesi sudah terbiasa dengan keberadaan dan tanggapan-tanggapan saya. Tetapi, saya tetap merasakan adanya perbedaan itu, walaupun tidak dikatakan. Saat Natal misalnya, hanya satu dari banyak teman yang memberikan ucapan selamat Natal. Namun, saya sudah terbiasa, sehingga tidak terlalu memikirkannya,” tandasnya.
Lain lagi penuturan wartawan Tabloid Puailiggoubat, A. Bambang Sagurung (32). Dari pengalamannya, lewat profesi wartawan yang ditekuninya sejak tahun 2006, ia mempunyai banyak kesempatan bersaksi. Mahasiswa tingkat akhir Universitas Eka Sakti (Unes) Padang ini juga menjadi kontributor media online padangmedia.com (2012) dan kontributor Lembaga Kantor Berita Nasional AntaraTV Sumatera Barat (2016). Sebagaimana diakuinya, orang Mentawai pada umumnya tidak begitu mengetahui dunia jurnalistik sehingga tidak tertarik menekuninya. “Kalaupun ada, terutama generasi muda Mentawai yang tertarik, namun tidak ingin masuk ke dalamnya lebih jauh,” ucap Bambang.
Bambang menuturkan, menjadi seorang wartawan di Kepulauan Mentawai – yang masih dalam perkembangan – memberikan banyak pelajaran dan tantangan. “Saat masyarakat tahu saya wartawan, semua uneg-uneg terkait dengan pembangunan, pendidikan, kesehatan; baik dari tingkat dusun hingga kabupaten, mereka sampaikan kepada wartawan. Ibaratnya, wartawan tempat mereka bersuara. Tatkala saya menemui berbagai nara sumber dan melakukan liputan, saya banyak mengenal dan melihat kondisi mereka. Tetapi, dari sekian banyak orang yang suka dan terbuka terhadap wartawan, juga ada pihak yang tidak suka dan tidak senang dengan kehadiran wartawan. Tentu, terutama dari orang-orang yang borok dan bobroknya tidak ingin diketahui publik saat tugas kewartawanan,” ungkap Bambang.
Selain itu, ada pula di tengah masyarakat yang menganggap profesi wartawan ibarat ‘anjing pelacak’ – suka mengendus. Kadangkala, (calon) nara sumber yang tidak baik tersebut kenal dekat dengan wartawan bersangkutan. Anggapan lainnya, terutama dari kalangan pejabat, kontraktor dan yang merasa kepentingannya terganggu menganggap wartawan suka mencari ‘amplop’. Padahal, tidak semua wartawan dapat ‘diukur’ dengan amplop, karena taat dan patuh pada kode etik jurnalistik.
Tatkala tugas bersama dengan wartawan dari agama lain, sempat terasa minimnya wartawan Katolik di lingkungan ini, Ranah Minang. Hal tersebut muncul, sambung Bambang, saat liputan bernuansa keagamaan maupun tokoh agama. Ketika berdiskusi atau bertemu bersama sembari menunggu nara sumber terkait persoalan agama. “Ini hal menjadi sangat sensitif. Kadang saat teman wartawan lain yang tidak dapat membedakan tugas dan emosi muncul. Tak heran, akan muncul pertanyaan, siapa saja dan agama apa saja wartawan yang ikut melakukan liputan. Namun, banyak juga teman dari daerah dan agama lain menghargai dan toleran. Saat liputan hari besar agama Katolik, ketika wartawan datang meliput, biasanya mereka akan menanyakan apa saja yang boleh dan tidak boleh difoto saat di luar dan dalam gereja. Saya berikan penjelasan. Ini kesempatan berharga bagi saya. Rekan wartawan yang pernah dan sering liputan bersama tahu saya Katolik,” ujarnya.
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak tahun 2010 ini menganggap pertanyaan sesama wartawan dari agama lain merupakan kesempatan bersaksi. Mereka bertanya banyak hal, misalnya mengapa orang Katolik menyembah patung? Kenapa ditata perayaan ada gabungan adat dan budaya? Kenapa babi tidak diharamkan? Bahkan, ada kalanya yang mengajak pindah agama. Bambang berusaha memberikan penjelasan dengan kalimat sesederhananya dan dapat dimengerti, serta tidak membuat ketersinggungan. Banyak motivasi penanya, antara lain menambah pengetahuan dan pengalaman, mendapat jawaban keingintahuan, namun ada pula yang bertanya pingin menjebak.
Di sisi lain, bagi Bambang, hal itu merupakan batu ujian untuk dapat menjelaskan, menjawab, menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu. “Secara tidak langsung, mereka membuat saya mesti terus mempelajari ajaran iman saya dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka, saya lebih banyak berdoa, lebih mengaktifkan diri dalam kegiatan keagamaan, berdiskusi dengan orang yang lebih paham tentang agama Katolik, serta lebih banyak membaca buku rohani. Sebenarnya, ‘tantangan’ bersaksi seperti ini telah saya alami sebelum menjadi wartawan, terlebih di saat banyak bergaul dengan teman tidak seiman di luar Mentawai. Saat ‘ujian’ muncul, ada rasa keinginan belajar terutama menanggapi pertanyaan yang sulit dan tidak bisa dijelaskan. Diskusi tentang hal yang tidak diketahui biasanya saya lakukan tatkala dalam perjalanan bersama pastor, katekis ketika melakukan kunjungan pastoral,” kata Bambang.
Profesi: Sarana untuk Bersaksi
P. Henrikus Ngambut Oba, Pr.
Pastor Rekan Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang.
(Diolah dari wawancara)
Pentinglah bagi kita memahami apa itu martyria? Alasannya, pertama, martureo, berarti saya bersaksi, saya menyaksikan sendiri. Menyaksikan apa? Melihat atau mengalami sendiri. Dalam konteks ini, yakni para murid Yesus yang bersaksi. Para murid melihat dan mengalami peristiwa mesianik lalu membagikan pengalamannya itu. Kedua, martyria atau kesaksian mengenai Yesus yang mereka (para murid) saksikan. Itu berarti, pengenalan pada (figur) Yesus, seperti ajaran-Nya dan semua yang dilakukan-Nya. Kalau tahun ini (2017) sebagai Tahun Martyria, berarti bagaimana kita mewartakan Yesus Kristus? Berarti butir kedua tentang obyek yang diwartakan.
Ketiga, martirion, penyembahan. Apa yang menjadi ‘buah’ hubungan subyek dan obyek atau hubungan saya dengan Yesus Kristus? Itulah yang kita wartakan. Saya sebagai orang Katolik yang mengimani dan menyembah Yesus, kita berdoa kepada-Nya. Secara umum itu adalah karunia (misalnya, karunia mengajar, mewartakan Injil, pelayanan, penyembuhan, mengadakan mukjizat, dan sebagainya). Semua hal ini didahului penyembahan antara subyek dan obyek, ada kaitan langsung. Maka, tidak ada penyembahan, kalau tidak ada karunia. Tidak cukup kita hanya berdoa saja. Berkaitan martirion, berarti ada penyembahan dan akibatnya. Keempat, marturumai, semacam sumpah, janji setia. Maksudnya, tatkala kita mewartakan (Yesus) adalah yang benar, maka yang kita lakukan adalah sungguh benar, sesuai dengan ajaran-Nya yang kita imani. Hal itu sesuai yang dikatakan Santo Paulus, “Saya bersumpah, bahwa yang saya katakan berdasarkan apa yang Yesus katakan!”
Kelima, martus, yaitu orang (subyek) yang memberi kesaksian. Siapa saksi dalam seluruh perjalanan tentang Kristus, yakni Allah Tritunggal. Begitupun dengan para Rasul yang menyaksikan seluruh perjalanan tentang Kristus. Martus selanjutnya adalah Bapa Gereja, terakhir adalah kita dalam aneka bentuk, misalnya saksi sejarah, saksi hukum, saksi etis – melalui tindakan. Santo Stefanus adalah saksi dalam pengertian etis, termasuk para martir – memberi kesaksian melalui tindakan dan perilaku yang benar tentang Yesus.
Terkait dengan profesi, menjadi guru misalnya, sudahkan lewat profesi ini seseorang bersaksi tentang Yesus? Apakah profesi (guru) telah memberikan kesaksian atau mengimplementasikan ajaran Yesus? Kalau ya, berarti barulah dapat dikatakan profesi guru tersebut membawa kesaksian. Kalau tidak, tentu tidak bisa dikatakan sebagai profesi yang membawa kesaksian. Apakah profesi tersebut menopang dan dalam kerangka sarana kesaksian? Kalau dari segi etis, pada dasarnya bila semua profesi umat Katolik menghayati nilai-nilai kristiani, nilai kekatolikan, pastilah itu sebuah kesaksian. Tetapi, bukan berarti, bukan karena Katolik sehingga semua yang dilakukan merupakan kesaksian. Itu belum pasti. Tergantung, sesuai atau tidak dengan nilai dan ajaran Kristus. Tidak bisa semua tindakan orang Katolik dipandang sebagai kesaksian. Umat Katolik yang tidak baik kehidupannya dan tidak sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa Kristus bukanlah saksi Kristus.
Dalam semua profesi, contohnya seorang pengacara Katolik (penegak hukum) yang berlaku adil, jujur, menegakkan keadilan, membela yang benar sangat menjadi martus, yang memberikan kesaksian. Itu menjadi bagian penghayatan dan pengamalan iman. Sederhananya, semua profesi adalah bagian dari sarana untuk memberi kesaksian tentang siapa Yesus itu! Agar kita sungguh bisa menghidupi profesi pada jalur yang benar (on the track), bekerjalah, lihat, dan berbicaralah lewat hati nurani. Hati nurani kita tahu yang salah dan benar. Dengan mengikuti hati nuraninya orang tidak salah dan punya kehendak untuk mengikutinya. Tuhan adalah takaran akhir dari moral. Itu berarti, semuanya bersumber dari Allah sendiri, soal baik dan tidak baik. Untuk mengasah ketajam hati nurani perlu pembinaan. Maka, pentinglah berdoa, berefleksi dan mengevaluasi diri. Untuk profesi, muncul pertanyaan, apakah saya telah menjalani profesi ini dengan baik dan benar? Sebagai guru misalnya, apakah telah mengikuti aturan dan tidak melakukan pelanggaran profesi? Keguruan tidak akan pernah bertentangan dengan prinsip dan nilai kristiani serta hati nurani. Itulah langkah pertama.
Selanjutnya, bacalah Kitab Suci, dengarlah ajaran Gereja, merayakan sakramen-sakramen, dan sebagainya. Gereja telah memberikan segalanya, supaya umat berada dalam jalurnya (on the track). Masalahnya, apakah umat memanfaatkan semua sarana tersebut, termasuk di Keuskupan Padang di Tahun Kesaksian (Martyria) ini? Kadang, kehendak diri kita lemah tatkala menghadapi godaan dan ‘daging’ lebih kuat. Maka, perlu pembiasaan hidup positif dan selalu menjauhkan diri dari hal-hal negatif! (hrd)