DAMAI SEJAHTERA MANUSIA (Renungan, Hari Minggu Paskah VI, 1 Mei 2016)
DAMAI SEJAHTERA MANUSIA
Hari Minggu Paskah VI (1 Mei 2016)
Kis 15:2,22-29; Why 21:10-14,22-23;
BACAAN INJIL hari ini membicarakan sebagian Khotbah Perpisahan Yesus dengan para murid-Nya. Pada bagian akhir khotbahnya Yesus memberikan anugerah istimewa pada para murid yaitu damai sejahtera. Mengalami hidup yang damai sejahtera merupakan kerinduan setiap manusia. Tetapi bagaimana kenyataannya? Berbicara tentang kedamaian, rasanya menjadi kurang bermakna kalau kita sedang membaca koran dan menonton televisi. Keduanya memberitakan realitas hidup manusia yang tercabik-cabik oleh peperangan, kekerasan, dan tindakan kriminalitas lainnya. Apakah bukan merupakan suatu kepura-puraan, seperti nabi-nabi palsu yang keras-keras meneriakkan damai, tetapi nyatanya tidak ada kedamaian.
Yang menjadi masalah utama, meskipun manusia menyadari bahwa kedamaian merupakan kebutuhan, namun antara kerinduan dan kenyataan tidaklah sesuai. Sabda Kitab Suci sendiri dapat berisi sesuatu yang sepertinya paradoks berupa sesuatu yang bertentangan. Di satu sisi Yesus menjanjikan damai, tetapi di lain pihak Yesus pun mengatakan bahwa Dia bukan datang untuk membawa damai di atas bumi. “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Mat 10:34). Sesuatu yang bertentangan. Di dalam Perayaan Ekaristi kita saling membagikan salam damai. Betulkah kita sudah berdamai dengan saudara kita?
Untuk memahami arti sabda Yesus itu kita perlu membuka Kitab Suci Perjanjian Lama. Menurut Perjanjian Lama, damai sejahtera berarti “shalom”, selamat. Damai secara biblis berarti semuanya berjalan teratur, baik dan selaras. Manusia hidup bahagia, tentram sehingga beranak cucu dengan aman dan sentosa serta didukung oleh tanah yang subur dan makmur. Tetapi kedamaian tidak hanya harmonis dengan alam, diri sendiri dan sesama, tetapi yang lebih pokok adalah kesatuan dengan Allah. Dalam konteks ini kedamaian dipahami sebagai buah karya keselamatan Allah di tengah-tengah kehidupan manusia.
Damai yang berarti kedamaian inilah yang juga diwartakan oleh Yesus Kristus. “Damai sejahera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh 14:27). Damai sejahtera atau keselamatan terjadi karena dalam Yesus Kristus manusia bersatu dengan Allahnya. Dalam hal ini Paulus lebih tegas lagi. Pewartaannya sangat singkat tetapi padat. “Yesus Kristus adalah damai sejahtera kita” (Ef 2:14). Ia juga telah menciptakan keduanya (orang Kristen yang bersunat dan orang Kristen bukan Yahudi yang tidak bersunat) menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu” (Ef 2:14-16). Kristus adalah damai sejahtera kita, karena melalui Dia kita dipersatukan dengan Bapa dalam Roh. Yesus Kristus sendirilah yang menjadi raja damai. Maka kalau Yesus menganugerahkan damai sejahtera itu berarti Yesus memberikan hidup-Nya sendiri untuk keselamatan kita. Dalam arti inilah damai sejahtera ini mengatasi segala pemikiran kita dan membuat hati dan pikiran kita selaras dengan kehendak Kristus, serta mebuat kita dapat bertahan dalam kesulitan dan tantangan.
Kalau Injil mengartikan damai sejahtera sebagai karya keselamatan Allah yang terwujud di dalam hidup Yesus Kristus, bagaimana kedamaian itu dihayati di dalam kehidupan? Tentu dapat beraneka bentuk. Damai merupakan suatu gerakan di dalam hidup kita yang bersifat dua arah, ke dalam berarti hati kita sendiri yang berusaha bebas dari segala kebingungan, kekhawatiran dan ketakutan. Dasar gerakan itu bersumber pada tindakan Allah yang berkarya di tengah-tengah kehidupan kita. Damai sejahtera dalam arti itulah yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Dunia di dalam pemikiran Yohanes berarti segala macam situasi yang anti Allah, dosa merajalela, kebencian dan kematian menghancurkan kehidupan. Maka hanya dalam kesatuan dengan hidup Kristuslah kita dapat mengalami arti damai sejahtera yang sesungguhnya. Berjuang demi tegaknya kedamaian di tengah-tengah kita merupakan panggilan hidup setiap jemaat beriman. Panggilan menjadi pewarta dan pelaksana kedamaian perlu kita hayati melalui kesaksian hidup kita sehari-hari, entah dalam keluarga, dalam lingkungan kerja, masyarakat dan lingkungan Gereja kita. Mencintai kedamaian berarti memperjuangkan kehidupan. Di samping itu kita perlu juga melibatkan diri atau paling sedikit bersedia mendukung kelompok-kelompok yang hidupnya diabaikan untuk memperjuangkan perdamaian dalam kehidupan bersama.
EKARISTI HARI INI: MINGGU PASKAH VI, 1 MEI 2016 …KLIK DI SINI!