Ekaristi: Sumber Kekuatan Hidupku (Majalah Mekar Edisi Juni 2016)
SAMBUT KOMUNI KUDUS NOMOR SATU!
Yosef namanya. Ia tinggal di sebuah desa terpencil. Pelayanan dari seorang imam ke desanya sekali dalam dua bulan. Maka selama 60 hari ia dan keluarganya, juga 40 keluarga lain menunggu kehadiran Yesus dalam Sakramen Ekaristi. Mereka menjadi sebuah komunitas kristiani yang hidup dalam suasana rukun dan kekeluargaan. Jika tidak merayakan Ekaristi, maka hari Minggu lain diisi dengan Ibadat Sabda bersama petugas awam (katekis) yang telah ditunjuk oleh pastor.
Yosef sangat bahagia dapat menyambut Tubuh Kristus dan bersatu dengan-Nya. Bagi Yosef menyambut komuni adalah nomor satu. Setelah menyambut komuni, Ia merasa Yesus tinggal dalam hati dan seluruh dirinya, sehingga segala sesuatu yang dilakukannya haruslah yang menyenangkan hati Yesus. Ia takut melukai hati Yesus dan membuat-Nya kecewa. Semoga teman-teman pencinta Mekar juga rindu dan rajin menyambut Yesus dalam Komuni Kudus. Marilah kita berperilaku baik setiap hari agar Yesus bahagia tinggal dalam diri kita, seperti puisi Yosef ini ya…
Yesus yang manis…
Aku merindukan-Mu setiap waktu
Kusambut Engkau dalam Ekaristi
Agar hidupku aman dan hatiku suci
Yesus yang manis…
Tinggallah di hidupku setiap hari
Bahkan dalam mimpi-mimpiku
Kuingin Engkau selalu menyertai. Amin.
AMBIL SECUKUPNYA
Rudolfo bermaksud memperbaiki kebiasaannya yang selalu mengambil nasi dalam jumlah banyak baik pada saat sarapan pagi, makan siang ataupun makan malam. Saat makan, ia selalu menyisakan nasi yang diambilnya, sehingga nasi itu terbuang dengan sia-sia. Sebenarnya Ibu sudah sering menegur Rudolfo agar mengambil nasi secukupnya, kalau masih lapar dapat menambah lagi.
“Capek Bu, kalau harus bolak-balik mengambil nasinya”, jawab Rudolfo saat ditegur Ibu.
“Tetapi kamu selalu tidak pernah menghabiskan nasi yang kamu ambil, Fo! Tidak baik membuang-buang nasi! Banyak orang yang berkekurangan di sekitar kita”, jawab Ibu.
Walaupun sudah ditegur begitu, Rudolfo selalu saja mengambil nasi dalam jumlah yang banyak. Tidak peduli bahwa ia tidak akan dapat menghabiskan nasi yang telah diambilnya. Suatu hari Rudolfo menonton sebuah berita di televisi. Berita itu mengatakan bahwa masih banyak anak yang kekurangan gizi dan kelaparan. Rudolfo melihat tayangan gambar di televisi yang memperlihatkan anak-anak yang perutnya buncit dan berbadan kurus karena kekurangan gizi dan kelaparan.
“Aku ini sungguh beruntung! Selama ini aku selalu membuang makanan yang kudapatkan setiap hari. Aku akan mencoba mengambil nasi secukupnya di saat makan”, kata Rudolfo mensyukuri rejeki yang telah ia peroleh. Ia teringat akan sikapnya yang selama ini tidak pernah menghabiskan nasi.
Pada suatu hari, saat makan pagi, Rudolfo mencoba untuk melaksanakan niatnya itu.
“Wah… mengapa aku mengambil nasi banyak sekali?”, kata Rudolfo tersadar saat akan memakan nasi yang ada di piringnya. Ia tidak dapat menguranginya lagi karena sudah tercampur dengan lauk pauk. Dengan susah payah Rudolfo berusaha menghabiskan nasinya itu, namun tetap saja masih bersisa.
Siang hari saat makan siang, Rudolfo mencoba mengambil sedikit nasi. “Hmm… sepertinya kurang, kutambah sedikit lagi ah!”, kata Rudolfo, lalu menyendok lagi nasi yang ada di tempat nasi.
Saat akan makan ia baru tahu kalau nasi yang diambilnya kebanyakan. Ia jengkel dengan dirinya yang tidak bisa menahan diri.
“Ah… gagal lagi!”, keluh Rudolfo.
Sering Rudolfo mengalami kegagalan. Ia hampir putus asa. Tetapi karena teringat pada tayangan orang kelaparan di televisi, semangatnya bangkit kembali.
“Aku harus bisa! Aku harus menghargai rejeki yang Tuhan berikan”, kata Rudolfo.
Rudolfo terus berusaha dan berkali-kali juga ia gagal. “Sepertinya aku harus meminta bantuan pada Ibu”, ujar Rudolfo dalam hati.
Rudolfo kemudian meminta bantuan pada Ibunya untuk mengambilkan nasi pada saat jam-jam makan.
“Bu, tolong ambilkan nasiku secukupnya ya?”, pinta Rudolfo sembari menyerahkan piring pada Ibunya.
“Tumben kamu minta bantuan Ibu, Fo!”, kata Ibu.
“Sekali-sekali kan boleh, Bu”, goda Rudolfo. Rudolfo tidak menceritakan maksudnya pada Ibu.
Hampir satu minggu, Ibu membantunya mengambilkan nasi.
“Mengapa beberapa hari ini kamu selalu meminta Ibu untuk mengambilkan nasimu, Fo? Tidak biasa kamu begitu”, tanya Ibu penasaran. Karena ditanya oleh Ibu, Rudolfo akhirnya menceritakan tentang keinginannya untuk merubah kebiasaan mengambil nasi dalam porsi banyak di saat makan, tetapi tidak pernah menghabiskan nasi yang telah diambil.
“Jika Ibu yang selalu mengambilkan nasi untukmu, kapan kamu dapat menghentikan kebiasaanmu itu, Fo?”, tanya Ibu.
“Kalau aku sendiri yang mengambil, nanti aku tidak bisa menahan diri untuk mengambil banyak, Bu”, jawab Rudolfo.
“Makanya mulai sekarang kamu harus mencoba”, kata Ibu memberi semangat.
Rudolfo mencoba mengambil nasi sendiri. Ia mengambil sedikit nasi, lalu duduk makan di meja makan.
“Uuff… hampir saja aku tidak dapat menahan diri”, kata Rudolfo lega.
Kali ini ia berhasil mengambil sedikit nasi.
Esok paginya karena terburu-buru berangkat sekolah, Rudolfo mengambil nasi untuk sarapan tanpa memperhatikan apakah banyak atau sedikit nasi yang diambilnya.
“Nasimu kok tidak dihabiskan, Fo?”, tegur Ibu saat melihat nasi tersisa di piring Rudolfo.
“Aku sudah terlambat, Bu! Aku mengambil nasi kebanyakan lagi”, kata Rudolfo kecewa. Sepulang sekolah, ia buru-buru mencari Ibunya.
“Bu, aku mau minta tolong”, kata Rudolfo setelah menjumpai Ibunya yang sedang menata meja makan.
“Minta tolong apa, Fo?”, tanya Ibu dengan suara lembut.
“Nanti saat aku mengambil nasi untuk makan siang, aku mohon Ibu menemaniku”, ujar Rudolfo.
“Mengapa harus diawasi, Fo?”, tanya Ibu heran.
“Agar aku tidak mengambil nasi dalam porsi yang banyak. Tolong ya, Bu?”, pinta Rudolfo.
Ibu menyanggupi permintaan Rudolfo. Ibu ingin membantu Rudolfo agar dapat mengambil nasi dalam porsi yang cukup.
“Terimakasih, Bu, hari ini aku dapat mengambil nasi dalam porsi yang cukup”, kata Rudolfo.
“Sebenarnya sih, menurut Ibu sebaiknya kamu mengambil nasi tanpa harus Ibu awasi. Karena sudah beberapa hari ini Ibu jadi satpam mengawasimu, tentunya sedikit banyak kamu mulai terbiasa mengambil nasi secukupnya”, ujar Ibu.
“Baiklah, Bu! Aku akan mencobanya”, jawab Rudolfo dengan bersemangat.
Rudolfo semakin berusaha keras untuk mengambil nasi secukupnya atas usahanya sendiri. Beberapa hari yang lalu ia memang dibantu oleh Ibu, sekarang ia harus mampu sendiri, begitu tekadnya dalam hati. Berkat kegigihan dan kesabaran, akhirnya Rudolfo dapat mengambil nasi dalam porsi yang cukup.
“Hore…aku berhasi!”, teriak Rudolfo gembira. Sudah beberapa kali ia berhasil mengambil nasi dalam porsi yang cukup. Ia tidak akan pernah lagi menyisakan nasi di piringnya karena kebanyakan mengambil. Ibu juga ikut senang karena tidak perlu lagi menegur Rudolfo yang tidak menghabiskan nasinya.