Gema: Sarana untuk Merasul (Majalah Gema Edisi Desember 2016)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Pada waktu tertentu GEMA mempunyai nilai strategis dan penting dalam pewartaan dan pembinaan iman di keuskupan kita. Melalui berbagai informasi dari keuskupan maupun dari Gereja Universal, katekese, renungan Kitab Suci, dll, para pengurus Gereja dan para pembaca merasakan manfaat yang besar dengan kehadiran GEMA setiap bulannya. Bahkan dalam arti tertentu majalah GEMA menjadi “oleh-oleh” bagi para pengurus Gereja ketika pendalaman iman, kunjungan umat atau kunjungan orang sakit. Singkat kata majalah ini disadari oleh sebagian pembaca telah menjadi sarana yang mempererat persekutuan antar paroki di keuskupan kita.
Lima puluh tahun sudah berlalu. Banyak tangan yang terulur dari orang-orang yang menyalurkan berbagai bantuan sehingga majalah ini dapat terbit setiap bulan. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung perkembangan media komunikasi, majalah yang dikelola oleh Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Padang ini dituntut untuk berbenah diri secara serius dalam kesadaran bahwa orang-orang yang bekerja di dalamnya dengan tanggung jawab, kedisiplinan serta kemauan pribadi untuk memperkembangkan kualitas diri dan pengetahuannya.
Memasuki usia emasnya, GEMA edisi kali ini mencoba memaparkan harapan para imam dan para pembaca agar majalah Gema semakin mumpuni sebagai sarana untuk merasul. Isi, bentuk dan tampilan yang kurang menarik menjadi alasan kuat untuk membaharui majalah GEMA agar lebih baik dan sungguh menjadi milik umat: “Satu GEMA satu Keluarga”. Juga sangat diharapkan kerja sama yang baik dengan paroki-paroki yang tersebar di tiga wilayah Riau, Sumbar dan Mentawai, baik dalam tulisan maupun dalam mensosialisasikan majalah GEMA yang memuat arah perjalanan Gereja, sangat diperlukan. Sembari menghaturkan terima kasih kepada berbagai pihak dan para pembaca setia GEMA yang telah menjadikan majalah GEMA sebagai sarana untuk merasul di tengah umat demi terwujudnya GEREJA YANG MANDIRI DAN BERBUAH, kami juga menghaturkan Selamat Natal 25 Desember 2016 dan Tahun Baru 1 Januari 2017.
Selamat membaca!
Merasul dengan GEMA
Disarikan dari wawancara dengan Elisabeth Megatjuatja,
pengedar perdana Suara Paroki hingga Majalah GEMA
Tidak mudah bagi saya untuk mengingat-ingat kejadian lima puluh tahun silam. Namun, dalam usia saya yang kini menapaki enam puluh sembilan tahun, Majalah GEMA adalah ‘lanjutan’ dari Majalah ‘Suara Paroki’ yang diterbitkan pada era Pastor Silvano Laurenzi, SX (alm.), akhir tahun 1966.
Sejak masa muda, hingga beranjak tua, saya merasul melalui majalah ini dengan menjadi pengedarnya. Seingat saya, penerbitan ‘Suara Paroki’ tidak luput dari jasa Yap Tjin Seng bersama mertuanya yang berdomisili di Jalan Pasar Borong. Merekalah yang sibuk dalam proses pencetakan di Pastoran Paroki Katedral waktu itu. Tentu saja, kala itu, format majalah sangat sederhana, dengan kertas biasa, dan mesin cetak stensilan. Ketersediaan naskah dan proses produksi banyak ditangani Yap Tjin Seng, Oei Tjiaoe Tjun – mertua Yap Tjin Seng – dan Oei Tjin Tjoe.
Saya ‘berkenalan’ dengan Suara Paroki selepas Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Xaverius Padang. Tamat SPG (1966), saya mengajar di SD Agnes. Sebagai legioner dalam Presidium Ratu Para Rasul (RPR), salah satu tugas kami mendistribusikan majalah Suara Paroki. Saya mendapat jatah 20 buku untuk diedarkan di kawasan Pulau Karam dan sekitarnya. Umat waktu itu membayar langganan dengan sumbangan sukarela. Setelah uang pengganti ongkos cetak terkumpul kami setorkan kepada Yap Tjin Seng. Waktu itu, ada 12 legioner satu presidium, sebagian besar guru, antara lain Mien Siauw, Maria Siauw, Loan, dan lain-lain. Saat itu, Antonius Sudjono adalah Ketua Presidium RPR. Para legioner juga menjajaki jumlah umat di Paroki Katedral Padang yang bisa direkrut sebagai pelanggan.
Kami mengalami suka-duka selama sebagai ‘distributor’ Suara Paroki. Kami senang, kalau bertemu umat yang dengan senang hati menerima majalah, namun sedih manakala umat yang kami kunjungi menolaknya. Seturut perjalanan waktu, kesibukan sebagai guru semakin bertambah, saya mengatur waktu agar tetap dapat melayani melalui majalah ini. Kalau mengajar pagi, sorenya saya membagikan majalah atau sebaliknya. Tatkala beberapa legioner pindah domisili dan akhirnya Presidium RPR bubar, aktivitas pengedaran pun terhenti.
Selama lima tahun saya jalani tugas pengedaran Suara Paroki (1966-1971). Boleh dikatakan, peredaran Suara Paroki sangat terbantu oleh para legioner. Bagi kami, majalah ini menjadi sarana merasul dan mewarta. Setelah itu, saya vakum, karena menikah dan sibuk mengurusi anak. Setelah anak-anak agak besar, sekitar tahun 1986, saya kembali membantu distribusi Suara Paroki. Saat ulang tahun ke-25 (1991), saya tercatat sebagai pengedar terbanyak di Kota Padang dengan lebih dari 40 pelanggan. Bagi saya, walau pelayanan ini sebesar biji sesawi, saya menjalankannya dengan tulus ikhlas. Bahkan saya tidak hanya melayani di rayon sendiri, tetapi sampai lintas rayon. Banyak pengalaman yang saya dapatkan saat mengedarkan Majalah GEMA. Penerimaan setiap orang berbeda; ada yang antusias, tetapi ada juga sebaliknya.
Berkaitan dengan isi, saya dapat mengerti dan memahami ada perbedaan dulu dan kini di dalam majalah ini. Yang pasti, kini isinya lebih bervariasi dibandingkan dulu. Saya menilai positif keberadaan majalah ini sampai di usia emasnya (setengah abad). Biasalah kalau ada kritik sekaligus saran. Kalau kritik membangun, dan masuk akal, tentulah mesti diterima. Saya senang membaca rubrik Renjana Sabda bisa sebagai inspirasi khotbah mingguan. Begitupun dengan rubrik Ragam Info saya bisa mengetahui berita Gereja Universal. Saya mengusulkan agar menambah porsi iklan sehingga bisa meringankan biaya, sebab tidak cukup hanya mengandalkan dari para pelanggan.
Suara Para Ujung Tombak
Pekan pertama setiap bulan adalah saat-saat yang ditunggu pengedar/agen dan pembaca Majalah GEMA. Adakalanya, majalah terlambat sampai. Berikut tanggapan, komentar dari pengedar, mantan pengedar dan pembacanya.
DP Tarihoran berlangganan GEMA sejak tahun 2012 melalui pastor paroki St. Yosef, Duri. “Saya tertarik dengan isinya dan membantu pengedarannya di Stasi St. Fransiskus Asisi, Sejahtera, sejak tahun 2015. Saat itu, saya ketua stasi. Saya ingin umat mengetahui informasi di keuskupan Padang, isinya relevan dan selalu baru,” ujarnya.
Tarihoran melayani 28 pelanggan. Di stasinya (Sejahtera) 24 pelanggan dan 4 pelanggan di Stasi A Deo. Sebagai pengedar, Tarihoran gembira. Semakin banyak umat berlangganan. “Dukanya, saat GEMA dibawa ke gereja untuk dibagikan, tidak semua pelanggan hadir, sehingga harus menyimpan dan membawa lagi minggu berikutnya,” tuturnya.
Sejak awal mengedarkan majalah ini, Tarihoran mendengar komentar dari pembaca yang tertarik dengan berita atau isi yang dimuat. “Informasi yang dimuat sudah relevan dengan kehidupan menggereja. Dari GEMA, kita mengetahui situasi paroki lain. GEMA menjadi sumber pengetahuan menggereja. Semoga GEMA semakin bergaung ke pelosok, menyapa umat sekeuskupan,” pungkasnya. Mantan pengedar yang kini menjadi pembaca setia GEMA, Engeline Rekman (61) menilai isi dan penampilan majalah ini sudah bagus! Engeline menyoroti ‘isi’ majalah yang tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. “Saya tidak tahu, apakah ada atau tidak hubungannya dengan kurangnya umat berlangganan majalah ini; atau memang disebabkan kurangnya minat baca di kalangan umat?! Majalah GEMA berkisar rohani, pelanggannya pun itu-itu saja dan sulit bertambah,” ucapnya.
Urusan baca-membaca bacaan rohani, termasuk GEMA, sambung Engeline, terpulang pada minat dan kesukaan seseorang. “Bahkan, ada yang tidak mau sama sekali membacanya, namun ada pula yang senang. Ada yang merasakan banyak manfaatnya, mengetahui informasi seputar Gereja. Saya sendiri betah dan selalu menunggu kehadiran GEMA. Saya suka rubrik Lintas Peristiwa yang memuat berita paroki, rubrik Kesehatan dan Renjana Sabda yang bisa menjadi bahan khotbah atau homili,” tuturnya.
Siap Membantu!
Sementara itu, pengedar GEMA di Stasi Sungaipenuh, Paroki St. Maria Assumpta, Kayu Aro, Gunawan Chandra, SE (57) menuturkan suka-duka yang dialaminya. Mulanya, ia ‘ditugaskan’ ketua stasi (2005) membantu pengedaran majalah ini. “Tanpa banyak pertimbangan lagi, saya bersedia, tanpa terasa, telah sebelas tahun saya menangani peredaran GEMA di Sungaipenuh. Hanya saja, jumlah pelanggan berkurang. Pertama kali 25 orang, kini 13 orang. Mereka yang berhenti beralasan, sibuk mencari nafkah sehingga lelah tidak ada waktu lagi membaca.
Bagi Gunawan, menjadi pengedar GEMA adalah panggilan jiwanya. “Saya mau menyokong kegiatan menggereja dan memasyarakat di Sungaipenuh. Mengedarkan GEMA buktinya. Saya lakukan tulus-ikhlas. Jujur saya risau, karena belum terlihat di antara OMK di sini bersedia melanjutkan pelayanan sosial ini di Sungaipenuh,” ucapnya.
Gunawan mengusulkan berita GEMA tidak melulu dari Padang. “Sebaiknya berita kegiatan di pelosok dimuat. Kemajuan setiap paroki atau stasi hendaknya diekspos! Sempat muncul ide agar berita kegiatan tidak hanya dimuat di GEMA, tetapi juga di internet atau website Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Padang, karena media cetak punya kelemahan,” ungkapnya.
Gunawan melihat pentingnya pelibatan Orang Muda Katolik (OMK), sebagai penghubung atau penulis naskah di paroki dan stasi. “Bagi mereka yang pernah mengikuti pelatihan jurnalistik, mestilah diberdayakan. Hanya saja, kalau di Sungaipenuh, OMK umumnya meninggalkan kota ini untuk melanjutkan pendidikan,” katanya.
Mantan pengedar GEMA di Stasi Selatpanjang, Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai yang kini berdomisili di Bagansiapiapi, Harry Utomo (50) berkisah pengalamannya mengedarkan GEMA sejak Oktober 1999. Ia mengedarkan 10 eksemplar. Sejak pindah tugas ke Bagansiapiapi, 19 Januari 2015, pengedaran GEMA di Selatpanjang digantikan adik iparnya. Selama lima belas tahun sebagai pengedar, Harry mengaku beroleh pengalaman suka-duka. “Mulanya, saya mengalami kesulitan mengajak teman-teman agar terbiasa membaca GEMA. Tetapi, dengan pendekatan dan penyadaran, akhirnya teman-teman tertarik berlangganan. Saya sampaikan, berlangganan GEMA merupakan salah satu cara membantu keuskupan, sekaligus secara tidak langsung, pembaca mendapatkan pelajaran iman,” katanya.
Harry mengusulkan ada rubrik “Umat Bertanya” tentang seputar iman dan Gereja. Bagi Harry, ada hal yang membuatnya bangga dan bersyukur. “Pembaca GEMA, terbantu dalam hal iman. Dengan membaca rubrik Renjana Sabda GEMA, mereka tidak kesulitan saat ‘bertugas’ di gereja memberi renungan. GEMA membantu umat dalam menambah wawasan tentang iman dan Gereja Katolik,” tandasnya.
Membantu Selagi Kuat
Sementara itu, pengedar GEMA di Paroki St. Petrus dan Paulus, Bagansiapiapi, Riau, JB Sianipar – 68 tahun mengaku masih sanggup dan kuat mengedarkan GEMA kepada 35 pelanggan. “Saya siap membantu pengedaran majalah keuskupan ini. Belum semua umat dari 90-an keluarga di Bagansiapiapi berlangganan. Ada pembaca yang mengundurkan diri, saya segera mencari penggantinya. Ada kesan, kurang kesadaran umat terhadap fungsi majalah ini sebagai sarana pengembangan iman,” katanya.
Sianipar menyoroti keterlambatan majalah ini ke tangannya. “GEMA sampai di tangan saya pada minggu ketiga setiap bulan. Saya berharap bisa lebih cepat, sehingga tidak basi sampai ke tangan pembaca. Saya belum mendengar kritik langsung pembaca, menurut mereka isi majalah cukup bagus. Namun, banyak umat yang mengaku minat bacanya rendah, sehingga berhenti berlangganan,” tukasnya lagi.
Hampir senada dinyatakan pengedar GEMA di Paroki St. Petrus Apostolus, Padangpanjang, Dominika Nel Agustin br. Situmorang (36). Hampir sepuluh tahun guru SD Fransiskus ini mengedarkan GEMA kepada 15 pembaca di Padangpanjang. “Sebagai pengedar, terkadang, saya mesti bolak-balik ke rumah pelanggan, karena orangnya tidak di tempat. Begitupun saat ditunggui di gereja, tidak datang, sehingga pembayaran langganan kerap terlambat. Saya tidak puas dengan jumlah pelanggan. Semoga di tahun 2017, ada tambahan pelanggan. Saya akan promosikan ke rayon,” ucap Nel.
Nel mengungkap, dari ujaran lepas pembaca, ternyata lewat GEMA, umat pembaca mengetahui kabar dan situasi di paroki-paroki Keuskupan Padang. Mereka suka tulisan pendalaman iman dan kesehatan. Isinya sudah memadai dan bagus. Saya pribadi suka berita kegiatan paroki atau stasi. Penilaian saya, GEMA bagus dan mantap!” tukasnya. Lain lagi pengalaman pengedar GEMA sejak tahun 2013 di Paroki St. Paulus, Pekanbaru, Riau, Sr. Leonisia da Costa, FCJM (43). Ia melihat GEMA sangat diterima umat di stasi-stasi. Pembaca umumnya senang dengan rubrik Renjana Sabda. Memang, baru 35 pelanggan yang ditanganinya. “Pembaca mengusulkan berita kegiatan stasi atau parokinya dimuatkan ke GEMA. Saya berkonsentrasi pada tugas pengedaran, sehingga bingung pihak mana yang menjadi ‘penghubung’ ke redaksi. Saya pernah menyarankan agar ada suster di Kota Batak yang berminat menulis untuk memedomani tema bulanan, tetapi belum ada kelanjutannya,” ujarnya.
Suster Leoni mengaku ada permasalahan distribusi ke stasi dan pembayarannya. “Bila pelanggan dari stasi belum atau tidak membayar menjadi tanggungan paroki. Masih banyak pelanggan di stasi yang tidak melaksanakan kewajibannya; mereka menerima majalah, tetapi pembayarannya sulit. Bila dilihat dari jumlah umat, belum sebanding dengan yang berlangganan. Saya kerap menawarkan GEMA, namun kerap pula dibanding-bandingkan dengan internet yang lebih cepat dan aktual. Selalu pula saya tanggapi, memang benar, tetapi kita juga harus menghargai hasil refleksi tulisan orang keuskupan. Tetapi, kebanyakan jawabannya demikian yang muncul,” tuturnya.
Pengedar lainnya, Ngadi Turnip (53) mengakui sangat minimnya jumlah pelanggan di stasinya, Stasi Solok, Paroki St. Barbara, Sawahlunto. Walaupun telah lebih sepuluh tahun bantu mengedarkan GEMA, Turnip hanya berhasil menggaet 9 pelanggan. Hal itu bukan karena faktor ekonomi, tetapi rendahnya minat baca. “Para pelanggan, umumnya antusias menerima kehadiran GEMA setiap bulan. Sembilan pelanggan ini memuji isi dan penampilan GEMA. Mereka umumnya suka rubrik Kesehatan, Renjana Sabda – karena menjadi bahan untuk khotbah di stasi. Pembayaran tagihan langganan pun lancar,” ucapnya.
Umat Semakin Mengenal
Sementara itu, GEMA semakin dikenal di Kuasi Paroki St. Antonius Padua, Taluk Kuantan, Riau lewat uluran tangan dan inisiatif Fransiska Meidiana (49) sejak tiga tahun terakhir. Saat ‘berstatus’ Stasi Taluk Kuantan, Mei kerap terlambat mendapat informasi GEMA. Majalah ini dikirimkan redaksi ke Pastoran Paroki St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Air Molek. “Karena kerap terlambat, saya berinisiatif GEMA dikirimkan langsung ke rumah saya di Taluk Kuantan. Sejak itulah, GEMA tidak lagi telat sampai ke tangan pembaca. Saya usulkan, pengiriman GEMA lewat ekspedisi dan diinformasikan, sehingga saya segera menjemputnya,” ungkapnya.
Selama tiga tahun melayani pelanggan, Mei berhasil mendongkrak jumlah pelanggan GEMA di Taluk Kuantan. Sebelumnya tidak sampai sepuluh, kini menjadi 34 pelanggan. “Saya mendatangi satu per satu calon pelanggan. Kami, umat di stasi (kini, Kuasi Paroki) masih banyak belum berlangganan. Saya juga menawarkannya ke stasi lain, karena di tempat kami sda 13 stasi. Saya mengusulkan, agar ada halaman berwarna sehingga menarik minat (calon) pelanggan,” tukasnya.
Suara Para Pemerhati
P. Theodorus Sitinjak, OFMCap
Pastor Paroki St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Air Molek, Riau
Keuskupan Padang beruntung mempunyai majalah rohani tingkat keuskupan, Majalah GEMA. Majalah GEMA menjadi saluran informasi dan tulisan bermutu (termasuk katekese). Alangkah baiknya tiap pemuka umat memiliki media keuskupan ini sehingga menunjang pelayanannya. Ada rubrik bahan inspirasi khotbah bagi para imam dan awam – pemimpin umat. Saya merasa karya pewartaan ini baik di teruskan.
Selama ini, di paroki kami dikirim 24 eksemplar Majalah GEMA, sesuai permintaan. Jumlah ini masih sedikit dibandingkan banyak umat atau pengurus Gereja. Petugas sekretariat pun tidak tahu sebab minimnya pelanggan, karena ia hanya sebagai penyalur. Saya membayangkan, 24 pelanggan itu antusias menunggu kedatangan majalah ini setiap awal bulan. “Mengapa hanya 24 pelanggan?” Sangat tidak sebanding dengan banyaknya umat dan stasi.
Mungkin, GEMA kurang disosialisasikan dan diperparah dengan rendahnya budaya dan minat membaca di kalangan umat Katolik. Dalam rapat pleno DPP, majalah GEMA kami perkenalkan, tetapi tidak ada kelanjutannya. Saya berjanji, saat rapat pleno DPP mendatang saya akan mensosialisasikan lagi manfaat Majalah GEMA. Saya juga mengusulkan di Majalah GEMA ada rubrik Katekese, dengan lingkup lebih luas. Banyak hal tentang Gereja Katolik bisa ‘dikatekesekan’.
Kevin Audrino Budiman
OMK Paroki St. Maria A Fatima Pekanbaru
Sebagai pembaca, sesekali saya menulis untuk GEMA. Umat Keuskupan Padang pantas bersyukur ada majalah GEMA yang bisa menjadi media informasi. Untuk itu kita berhutang terima kasih pada para pendirinya, mulai saat masih bernama “Suara Paroki” di kalangan umat Paroki Katedral Padang. Beberapa nama yang punya andil antara lain P. Silvano Laurensi, SX, P. Stefano Coronesse, SX, P. Frans Halim, Pr, dan Sr. Agnes Syukur, SCMM, P. Rodolfo Ciroi, dan para penerusnya hingga sekarang.
Tentu, dalam setengah abad usianya, banyak transformasi yang sudah dilakukan GEMA, terutama kualitas kontennya, editing, pencetakan, dan sebagainya. Tetapi, saya masih mengharapkan isi majalah GEMA lebih “membumi”, lebih banyak lagi liputan tentang realitas kehidupan menggereja di paroki-paroki Keuskupan Padang, baik tantangan yang dihadapi, perkembangan yang dicapai, maupun tulisan-tulisan berisi arah pergerakan setiap paroki. Selain itu, di era digital ini sudah selayaknya GEMA memiliki edisi digital, entah itu gratis ataupun berbayar. Terakhir, saya berharap promosi GEMA kembali digalakkan di setiap keluarga, “1 keluarga 1 GEMA”.
Yohana Maria – pembaca majalah Gema, berdomisili di Rayon St. Clara, Teluk Nibung, Paroki St. Maria Bunda Yesus, Padang
Setelah ‘terputus’ delapan tahunan tidak membaca GEMA, Tuhan pun membawa arah langkah kaki saya ke Redaksi GEMA (1/11). Sepertinya ada yang ‘membimbing’ langkah kaki ini hingga berjumpa dengan staf redaksi. Tuhan Yesuslah yang menuntun langkah saya ke kantor Komisi Komsos.
Sebelumnya, lebih dari dua puluh tahunan – saat bekerja di salah satu hotel di Padang, saya pelanggan dan pembaca setia GEMA. Setelah pensiun langganan terhenti, kini di usia 76 tahun terajut kembali. Saya gemar membaca dan menonton tayangan berbau rohani walaupun penglihatan semakin kabur. Meskipun demikian, minat saya untuk membaca majalah GEMA tidak berkurang. Saya pun berlangganan GEMA lagi. Saya ingin ‘menikmati’ semua isinya, selain mendengarkan acara rohani di radio milik Keuskupan Padang. Saya tidak mau ketinggalan kabar, berita, informasi, dan pendalaman iman acara rohani, baik di majalah GEMA, televisi, dan radio.
Lewat GEMA, saya bisa menambah pemahaman dan pendalaman iman; sehingga dapat mengetahui perkembangan Gereja di keuskupan maupun internasional.
Suara Sebagian Gembala
Propinsial Serikat Misionaris Xaverian (SX) Indonesia, P. Antonius Wahyudianto, SX mengenal GEMA sekitar Juni 1992. Saat itu, ia mulai menjalani Tahun Orientasi Misioner (TOM) di Paroki St. Maria Diangkat ke Surga, Siberut-Mentawai. “Di pastoran, saya selalu ‘melahap’ habis isinya. Demikian pula sisipan GEMA berbahasa Mentawai “Laggai Simaeru”. Sayangnya, sisipan tersebut “wafat” dan tiada rimbanya. Sisipan ini membantu saya mengenal budaya dan literasi lokal, memampukan saya belajar bahasa Mentawai dengan baik dan benar, sekitar 3 bulan pertama hingga lancar menulis dan berujar,” ungkapnya.
P. Anton berkomentar, “Berkaitan isi dan penampilan GEMA, sudah cukup baik, tetap up-to-date dan mencerahkan, di antaranya; “Ruang Liturgi”, “Kesehatan”, “Pojok keluarga” dan “Opini”. Namun, perlu ada halaman berwarna, misalnya “Fokus” atau “Lintas Peristiwa”. Penampilan halaman berwarna lebih berbicara, apalagi kalau terbitnya sebulan sekali! Saya tahu, dengan menambah warna akan menambah biaya. Namun, kalau banyak iklan dan pendapatan, apa salahnya menambah halaman warna di usia ke-50 ini!”
Kepada redaksi GEMA, P. Anton berharap tetaplah menyalakan api semangat untuk mencari, menemukan, dan membuat berita dengan tulisan yang inspiratif dan edukatif; khususnya menambah rubrik kesaksian hidup orang kecil (lintas iman) atau perjuangan kaum marjinal-tersisihkan-terpinggirkan di luar lingkungan/wilayah Gereja. Kepada pembaca GEMA, terutama umat Keuskupan Padang P. Anton berharap tetap mempunyai “sense of belonging” (rasa memiliki) dan menyayanginya sebagai majalah keluarga umat beriman Katolik Keuskupan Padang.
Pastor Rekan Paroki St. Yosef, Duri, Riau, P. Ardianus B. Meman, Pr menuturkan dirinya rutin membaca GEMA, sejak pertengahan Juni 2011. “Satu bulan sebelum melayani umat di Duri, ketika di wisma keuskupan, saya mendapati GEMA. Penampilan GEMA semakin menarik, setidaknya kualitas kertas dan isinya. Bukan hanya memuat berita paroki di keuskupan ini, tetapi juga pengetahuan iman, sehingga menambah khazanah iman pembacanya. GEMA salah satu sarana berkatekese tentang iman Katolik. P. Ardy mengusulkan untuk ‘memperdalam’ lagi sisi katekese, menyangkut ajaran iman dan moral.
P. Ardy mendengar keluhan umat karena terlambat menerima. “Kalau bisa, awal bulan GEMA sudah sampai. Sebagai sarana pewartaan iman, selayaknya umat peduli demikian pula para imam hendaknya mendorong umat berlangganan Majalah GEMA,” tandasnya.
Nilai Positif
Lain lagi ‘perkenalan’ mantan pastor rekan di Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai dan Paroki St. Petrus dan Paulus, Bagansiapiapi yang sejak 15 Februari 2016 ‘berdinas’ di Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru, P. Klitus da Gomez, Pr (45). Pastor Il – panggilannya, merasa ada nilai positif dari GEMA, meskipun ada sisi-sisi yang perlu dimodifikasi agar lebih indah dan menarik minat baca. Saya mengusulkan tulisan pengalaman hidup konkret umat di berbagai paroki/stasi perlu ditampilkan, agar umat merasa sumber tulisan GEMA bukan hanya milik penulis saja, tetapi juga dapat mengikutsertakan diri mereka. Selain itu ada nilai dan kearifan lokal yang perlu mendapat perhatian,” ucapnya.
P. Il berpendapat isi GEMA semakin baik dan menarik. Pemikiran penulis, sambungnya, mengungkapkan sebuah tema bertolak dari realitas hidup beriman dengan pendasaran pada metodologi spesifik ilmu yang dimiliki – bersumber pada Sabda Allah. “Terkait perwajahan GEMA, dapat diatur dan dibuat semakin menarik. Saya mengusulkan ada penulis tetap di ruang-ruang khusus untuk memberi ‘sari gandum’ bagi umat yang berguna bagi perbendaharaan hidup rohani umat,” ungkapnya.
Pastor Il mengakui arus modernisasi menjadikan media sosial dan internet semakin dominan ketimbang media cetak. Agar tetap eksis, GEMA harus berkiprah pada kemajuan dunia, namun tetap merujuk pada nilai-nilai Kitab Suci. “Pengelola GEMA dapat merancang penulisan yang lebih memadai dan menyentuh hati umat. Sebagai gembala umat, para pastor punya peran penting. Tema-tema tertentu dapat dikupas para pastor agar turut merasakan dan menjadi bagian dari karya keuskupan ini.
Para Mantan Bersuara
Selama 50 tahun GEMA – “menggema” silih berganti para personil yang menanganinya. Ada yang bertahan hingga kini – ada yang “resign” (pindah), ada yang berbayar – ada pula yang suka rela (volunteer).
Mantan tenaga perwajahan (setting-layout) GEMA, Andreas Kho berharap di usia ke-50 ini, GEMA semakin diminati keluarga Katolik. Moto “Satu Keluarga Satu GEMA” terwujud. Membandingkan waktu dulu dan kini, GEMA masih tampil biasa-biasa saja. Tidak ada sesuatu yang terlalu menonjol.
Sebagai mantan setting-layouter, Andreas melihat perlunya perhatian terhadap ukuran kertas, karena berpengaruh pada tata letak, untuk ‘memainkan’ posisi foto atau kolom-kolom teks. Ukuran kertas GEMA kurang ideal? Masalah ideal ataupun kecocokan tergantung selera pembaca. “Mungkin ada pertimbangan sisi ekonomisnya dibuat ukuran yang sudah ada hingga kini. Kalau mau mengubah penampilan, bisa dipikirkan alternatif sebagaimana majalah Hidup contohnya,” katanya.
Tentang isi, Andreas menilai sudah baik. Ia mengusulkan ada rubrik baru sesuai perkembangan, agar lebih konkrit dan sesuai kehidupan dan kebutuhan umat. Khusus rubrik Beranda Orang Muda (BOM) hendaknya lebih diperdalam, bukan hanya menampilkan kegiatan orang muda, tetapi terlebih masalah orang muda dan solusi permasalahannya,” tukasnya.
Mantan pengasuh rubrik Seputar Pendidikan, (1992-1994), Drs. Bangun Lukas Lubis (52) masih menyimpan kliping berkas tulisannya. Lubis yang kini guru SMA Katolik Xaverius Padang ini mengenang, saat itu, dirinya masih staf di kantor administrator (kini: Pelaksana Kegiatan Yayasan/PKY) Yayasan Prayoga Padang. Merujuk pada pengalamannya, Lubis melihat peran penting media tulis atau cetak di zaman kini. Meski telah di era digital dan media on-line, Lubis masih yakin media cetak menjangkau cukup banyak pembacanya. “Demikian pula GEMA di tengah arus gempuran media digital dan on-line, punya peran penting di tengah umat Keuskupan Padang,” ungkapnya.
Sebagai mantan ‘orang dalam’, Lubis memandang penting menjalankan visi-misinya sebagai media pewartaan kepada seluruh umat Katolik. Di ulang tahun emas ini, saya berharap GEMA menjalin kerjasama dengan banyak pihak dan bersinergi, baik dengan paroki maupun lembaga-yayasan-komisi keuskupan. Saya selalu ‘memantau’ terbitan GEMA. Tampilannya masih perlu dibenahi, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami, karena bahasa yang digunakan selama ini, terasa berat bagi sebagian besar pembaca.
Mantan redaktur bahasa, Maria Adriana (67) mengaku tidak rutin lagi membaca GEMA. Berkaitan isi GEMA, menurutnya sudah cukup memadai untuk sebuah majalah rohani. Saat sebagai redaktur bahasa, saya mesti banyak belajar lagi tata bahasa, perkembangan dan kemajuan bahasa tulis maupun tuturan. Tampaknya mudah, tetapi setelah disusun menjadi kalimat dan paragraf, tidak bisa dipandang sepele!
Ia suka rubrik Pojok Keluarga – rubrik yang pernah ditanganinya. Ia menilai, isi rubrik ini melulu pernyataan (statement) belum berbagi pengalaman. Isi rubrik Pojok Keluarga akan lebih menarik bila ditampilkan dari pengalaman nara sumber. “Saya kagum, GEMA tetap eksis, meski hanya ditangani beberapa orang. Dulu, cukup ‘ramai’ redakturnya,” ungkapnya.
Mantan Delkomsos P. Rodolfo Ciroi, SX (77) menyatakan masih menikmati sajian GEMA. Penilaian saya, GEMA cukup baik, isinya bagus, karena memberikan pandangan dan mengembangkan suatu tema, menginformasikan aneka kegiatan di Keuskupan Padang. Meskipun mengikuti perkembangan GEMA, saya tidak tahu, apakah moto “Satu Keluarga – Satu GEMA” sudah tercapai atau belum? Terkait misi GEMA sebagai sarana pewartaan dan pengembangan iman, penambah pengetahuan iman Katolik telah dilakukan, tampak dalam tema-tema bulanan.
P. Ciroi menyatakan kebanggaannya sebagai orang yang pernah menjadi bagian GEMA. Secara khusus, Ciroi memberikan perhatian pada aspek grafis atau perwajahan, tata letak. “Saya berharap aspek ini mendapat perhatian dan bisa ditingkatkan. Aspek grafis, masih tampil begitu-begitu saja, belum ada perkembangan yang menonjol. Hal ini penting, agar pembaca tertarik untuk membaca GEMA. Selain itu penting promosi. Saya ingat, saat sebagai Delkomsos, masih kecil uang pelanggan sehingga banyak disubsidi dari keuskupan. Saat itu, saya merasa umat belum begitu tertarik berlangganan GEMA. Sekarang, saya tidak tahu lagi! Saya merasa, GEMA belum dianggap oleh para imam, sehingga kurang ada dukungan dari pastor. Minimnya dukungan pastor maupun pengurus paroki, berdampak kepada umat; jumlah pelanggan pun terbatas, parahnya lagi, tidak begitu dirindukan kehadirannya,” tandasnya mengakhiri. (hrd)