Gereja: Ibu Kaum Marginal (Majalah Gema Edisi Agustus 2016)
Gereja: Ibu Kaum Marginal
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Kerap kali kaum marginal dikategorikan sebagai masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat. Dan memang benar demikian. Kaum marginal diidentikkan dengan orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah, anak jalanan, para penyandang cacat, penderita penyakit HIV dan AIDS, masyarakat tradisional, korban perdagangan manusia, korban kekerasan domestik, remaja yang mengalami konflik dengan hukum, buruh tani, pekerja seks, dan lainnya. Mereka terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk kebijakan dan program pemerintah yang tidak berpihak. Maka kaum marginal adalah kaum miskin dan kaum yang tidak diperhitungkan dalam masyarakat.
Paus Fransiskus beberapa kali menekankan tentang keberadaan dan keberpihakan Gereja terhadap kaum marginal. Keberpihakan Gereja terhadap kaum marginal tanpa meninggalkan kelompok lainnya berakar pada Kristus yang mengindentikkan dirinya dengan mereka. Santo Paulus mengungkapkan: “Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberi penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu, jika satu orang menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut dihormati” (1 Kor. 12:24b-26).
Bersumber dari apa yang dituliskan oleh Paulus, juga masih banyak tulisan lain dari Kitab Suci, Gereja dipanggil untuk memperhatikan dan mengangkat martabat kaum marginal. Sebagai ibu, Gereja, dengan kasih yang ada padanya, turut merasakan penderitaan kaum marginal, dan dengan berbagai cara melepaskan anak-anaknya dari lilitan penderitaan itu. Bagaimanakah Gereja memainkan perannya sebagai ibu bagi kaum marginal?
GEMA edisi bulan ini mengangkat tema: “Gereja: Ibu Kaum Marginal”. Tema ini hendak menggambarkan bagaimana Gereja sebagai keuskupan, paroki, stasi ataupun melalui anggota-anggotanya melayani dengan penuh kerahiman kaum marginal yang ada.
Selamat membaca!
Menilik Kehidupan “Kampung Kusta”
DI BAGANSIAPIAPI, Riau, sekitar tiga kilo meter dari pusat paroki, terdapat “kampung kusta”. Meskipun bernama “kampung”, tetapi bukan seperti kampung umumnya. Yang ada hanya rumah “penampungan” atau tempat rehabilitasi. Penghuni “rumah penampungan” ini penderita kusta (empat lelaki dan tiga perempuan) telah berusia lanjut. Mereka “diasingkan” tetapi tidak terasing, karena ada banyak pihak yang mempedulikan.
Gereja Katolik sedari dulu tidak pernah memencilkan mereka, malah sebaliknya memberikan perhatian besar. Dalam pelayanan kesehatan misalnya, Klinik Fatima Bagansiapiapi memperhatikan ketersediaan obat-obatan untuk mereka. Pelayanan rohani pun mereka dapatkan. Tokoh umat Katolik setempat, Yusuf Muji Sutrisno menuturkan pastor juga menyelenggarakan Perayaan Ekaristi di perkampungan ini. Umat pun kerap melakukan kunjungan sosial ke sini. Sekolah Bintang Laut, khususnya SMA Bintang Laut, sering ‘membawa’ murid Katolik ke perkampungan ini agar mengenal kehidupan mereka. Kelompok masyarakat Tionghoa di sekitar perkampungan ini kerap membawakan makanan maupun bantuan sembako,” ucapnya.
Sekarang, jumlah penghuni perkampungan semakin lama semakin berkurang. Yusuf menuturkan, ada penghuni yang telah berpuluh tahun mengalami “pengasingan” ini, misalnya Maria/Chua A Ngo (85) dan Johanes/Dhiu Tiong Khi (78). Keduanya mendiami kampung kusta sejak berusia 12 tahun. Salah satu keluarga penderita kusta, Lea, keponakan Maria sering datang untuk memasak bagi penderita kusta ini.
Walaupun dalam keterbatasan waktu dengan jadwal kegiatan yang sedemikian padat, saat kunjungan pastoral ke Paroki St. Petrus dan Paulus Bagansiapiapi, awal Juni 2016, Bapa Uskup menyempatkan diri berkunjung dan menyapa penderita kusta ini. Kehadiran Bapa Uskup (‘cu kau – bahasa Hokian), pastor (‘sing hu – Hokian), suster atau perawat (‘ko niu – Hokian) membawa kegembiraan tersendiri bagi mereka. Para penghuni sangat fasih menyebutkan Syahadat (Aku Percaya), doa Bapa Kami dan Salam Maria dalam bahasa Hokian. Mereka menyanyikan lagu Kudus, Anak Domba Allah dalam bahasa Latin. Yusuf mengakui, ada kendala di perkampung kusta ini misalnya gangguan keamanan.
Dukungan Warga
Hal senada disampaikan dokter di Klinik Fatima yang berdinas sejak 1 Januari 2016, dr. Benny Murdani Halim (29). Ia mengungkap, penderita kusta yang ditangani kliniknya tinggal di dua rumah penampungan yang dibangun di atas tanah paroki. Di tempat ini, sambungnya, terdapat gereja tua dan area pemakaman. Para penghuni rumah penampungan ini berusia lanjut, di atas 65 tahun. Di kompleks ini dulu dihuni banyak penderita kusta. Sehari-hari, mereka bertanam jeruk bali, untuk keperluan hidup sekaligus mengisi aktivitas harian. “Kami memperhatikan kebutuhan kesehatan mereka. Operasional Klinik Fatima disokong oleh Yayasan Salus Infirmorum yang berpusat di Pekanbaru,” ucap Benny.
Benny gembira dengan perhatian dan kepedulian umat Katolik Bagansiapiapi. Pada waktu tertentu ada doa lingkungan termasuk di lingkungan kompleks kusta. Sebulan sekali, mereka pun ikut serta dalam Perayaan Ekaristi di gereja lama. Berkaitan kusta dianggap penyakit kutukan Tuhan, kami berupaya mensosialisasikan seluk-beluk kusta kepada masyarakat. Penyakit kusta tidak aktif lagi apabila pasien meminum obat secara rutin. Hasilnya, ketakutan yang pernah ada semakin memudar, buktinya bila masih ada sentimen negatif, tentunya jeruk bali jualan mereka tidak laku dijual apalagi dimakan. Sekali waktu, umat di sekitar perkampungan kusta juga ‘menyambangi’ para penghuni dan masuk ke dalam rumah mereka. Memang, kalau kurang pendidikan dan sosialisasi, muncullah ketakutan terhadap mereka ini,” ungkap Benny.
Benny mengakui ada kendala dalam melayani para penderita kusta ini terutama berkaitan dengan ketersediaan obat-obatan . “Kami mengalami keterbatasan pasokan obat untuk mereka. Dalam hal perawatan, ada kesamaan antara penderita kusta dan tuberculosis (TBC). Prinsip pengobatannya harus terus-menerus dan tak boleh terputus selama sembilan bulan. Sempat terputus minum obat, harus diulang dari awal lagi. Obat mereka tidak dijual bebas di apotek. Obat dicari ke puskesmas tidak ada. Pasokan obat tergantung distribusi yang diatur dinas kesehatan kota. Saat dihubungi ke dinas, sambung Benny, disampaikan pasokan obat berasal dari propinsi dan Dinas Kesehatan.
Menurut Benny, penderita kusta butuh penanganan khusus. Luka kronis mesti diamputasi untuk pengobatan selanjutnya. Ia tak memungkiri bila ada di antara mereka menyadari keadaan fisiknya, menutup dan mengucilkan diri, ataupun stigma negatif yang masih kuat di tengah masyarakat. Maka, menurut Benny, penting dukungan dari warga yang telah memahami kusta untuk tidak memberi ‘stempel’ najis serta mengucilkan mereka.
Terima Kasih, Kami Dipedulikan
Sejak tujuh tahun lalu, saya berumur enam tahunan, saya mulai tinggal di Panti Asuhan Santo Leo Padang. Waktu itu, saya tidak tahu alasannya sehingga sampai ‘terdampar’ di panti ini.
Dari cerita yang saya dengar, saya ‘dititipkan’ oleh tante ke panti ini, karena beliau tak sanggup lagi mengurus saya. Beliau juga mempunyai tiga anak, tinggal di kawasan Banuaran, Padang. Katanya, saya kerap bertengkar dengan anak bungsunya, sehingga nenek menyarankan agar tante ‘menitipkan’ saya ke panti ini. Pertama kali tinggal di panti ini, saya tidak betah dan sering minta pulang ke rumah.
Saya lahir di Padang, 7 Juli 2003. Saya anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Aloysius Saabangan dan Rosmawati Sabojiat. Keluarga saya ada di Gotab, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Mungkin, karena kondisi orangtua serba susah waktu itu, saya dititipkan pada tante di Padang, tetapi tante pun juga mengalami hal yang sama. Kini, saya duduk di kelas VIII SMP Frater Padang. Saya bercita-cita menjadi dokter. Sewaktu saya SD, sesekali tante masih mengunjungi saya di panti, namun akhir-akhir ini tidak lagi. Dengan orangtua di kampung, saya masih berkontak, bahkan akhir Desember 2015 lalu, saya pulang kampung. Saya senang sekali berada di tengah-tengah mereka. Mama juga sudah tiga kali ke Padang untuk membezuk saya di panti. Selama tujuh tahun di panti, dengan suster pengawasnya silih-berganti, masing-masing punya cara berbeda dalam “memperlakukan” kami, saya senang. Namun, ada kalanya sedih tatkala melihat teman yang bisa bersama orangtuanya ke mana-mana, sementara saya dan teman-teman di panti ini, jauh bahkan terpisah dengan orangtua. Meskipun pada awalnya tinggal di panti ini berat, namun, saya kini menjadi terbiasa. Saya bahkan bersyukur bisa tinggal di sini. Di panti asuhan ini jadwal kegiatan harian sangat ketat dan disiplin. Saya sadari semua peraturan tersebut akan berguna untuk saya di masa depan. Biarlah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang di kemudian hari.
Saya menjalani kegiatan harian, mulai dari bangun pagi hingga istirahat malam pukul sembilan malam dilanjutkan doa malam. Sekali waktu, saya dan teman di panti terhibur juga bila ada kunjungan dari keluarga umat maupun organisasi/perkumpulan ke panti. Mereka sangat memperhatikan dan peduli terhadap kami.
(Sebagaimana dituturkan oleh Friska Saabangan kepada GEMA)
Menjadi Gereja yang Merakyat dan Berbuat
Ejon Jeronimus bersama lima (5) temannya spontan bertindak kalau mendengar dan tahu sesamanya “berkesusahan” minta bantuan. Mereka berenam bergerak dengan pola “organisasi tanpa bentuk” (OTB). Kalau menemukan sesama yang perlu dibantu, misalnya perlu perawatan di rumah sakit, mereka membantu mengurus BPJS atau Jamkesmas. Kalau harus mengeluarkan uang untuk membantu pasien atau keluarganya, warga Paroki Santo Yosef Duri, Riau ini beriuran semampunya.
Ketika mereka mendengar ada anak yang kesulitan dengan urusan pendidikan (sekolah) mereka pun bertindak. Setelah mendata kebenaran yang menjadi kebutuhan anak itu, seperti uang pembangunan, uang sekolah, baju seragam, sampai alat-alat sekolah, mereka membantu semampunya. Bantuan sosial yang sifatnya karitatif lainnya tak terhitung lagi jumlahnya, mereka juga tidak ingat nama-nama orang yang telah dibantunya. Bantuan mereka tidak hanya ke perorangan, tetapi juga ke lembaga atau institusi seperti panti asuhan.Alasan mereka berenam bertindak demikian, katanya untuk mengikuti kata hati dan tuntutan jiwa, tergerak oleh belaskasihan. Apa yang dilakukan mantan Ketua Stasi Santo Fransiskus Sejahtera bersama teman-temannya ini bersifat spontan, tidak terencana – apalagi terorganisir. “Semuanya bersifat insidentil”, katanya.
Memperhatikan, mempedulikan, dan melayani sesama yang kurang beruntung secara ekonomi, dan kurang dipedulikan orang lain dilakukan Ejon sejak kuliah di Akademi Optik di Jakarta Selatan (1986-1989), sekitar tiga puluh tahun silam. Saat itu, ia bergabung dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen. Menurut Ejon, kaum marjinal (pinggiran) ini bukan saja dipinggirkan karena miskin harta, tetapi juga aspek sumber dayanya. Kaum pinggiran umumnya hidup di bawah tekanan pihak yang lebih kuat dan berkuasa, termasuk juga organisasi keagamaan.
Pesan Kitab Suci, dalam Injil, keteladanan hidup Tuhan Yesus menggugah Ejon untuk lebih mengasihi sesamanya tanpa syarat. Spirit itu yang terus dijaganya hingga kini. Ia mengajak beberapa teman yang sepandangan dan seide untuk ‘menghadirkan’ Gereja yang sungguh merakyat, berbuat dan melayani tidak hanya di sekitar altar. Selain melakukan ‘aksi sosial’, Ejon tidak lupa membaca Firman Tuhan.
Ejon dan teman-temannya terpanggil untuk menunjukkan iman lewat perbuatan-perbuatan konkrit. Bila kabar tentang orang yang perlu dibantu sampai ke telinga mereka, segera mereka mengecek kebenarannya. Mereka mengaku bukanlah kelompok orang yang kaya atau mampu secara materi/keuangan. Mereka menyebut diri sebagai kumpulan orang peduli terhadap sesama, mereka punya semangat dan keyakinan bahwa Tuhan pun akan campur tangan dengan yang mereka lakukan. Bantuan mereka tidak hanya bersifat karitatif, namun juga yang bersifat memberdayakan dan memandirikan. Kalau ada lowongan pekerjaan, kami turut memfasilitasi. “Orang terpinggirkan – tidak diabaikan itu ada di dalam kelompok agama, suku, ras, golongan apa pun,” tukas Ejon. Dari pengalaman memperhatikan sesama-seiman, mereka belum mendapatkan jawaban pertanyaan: “Siapa yang mau melayani umat Katolik yang tidak bisa ke gereja ketika fajar tiba?” Menurut Ejon, mereka adalah kaum terpinggirkan, karena alasan perut sehingga tidak bisa berminggu (ke gereja) atau jarang aktif di lingkungan/kring. “Tindakan riil apa yang bisa diberikan Gereja (kita) untuk membantu mereka?” katanya.
Dalam ‘bakti sosial’ ini mereka menganut prinsip “melakukan yang bisa”. Kalau ada ikan, mereka memberikan ikan, kalau ada pancing mereka memberikan pancing. Kalau ada dana mereka berikan, kalau tak ada dana, mereka berikan tenaganya. Semua itu mereka lakukan dengan ikhlas dan senyum. “Kami berharap, langkah kecil kami ini menginspirasi kelompok lainnya, baik kategorial maupun teritorial; sehingga kita sungguh menjadi Gereja yang berbuat dan merakyat,” lanjutnya. Ejon mengaku pernah berdialog dengan pastor paroki tentang ‘karya pelayanan’ mereka ini. Menurut Ejon, pastor menegaskan, karya pelayanan ini merupakan ladang dan tugas awam Katolik. Pastor pun berharap semakin banyak awam Katolik yang mengikuti langkah kelompok kecil ini. Pastor paroki St. Yosef, Duri silih berganti, namun jawabannya hampir sama. Pengalaman di lapangan sungguh sangat beragam dan ‘memperkaya’ kehidupan iman mereka. Sedemikian berwarna kehidupan yang dialami para janda, pemulung, keluarga yang menanggung kepala keluarga yang sakit, dan sebagainya. Menurut Ejon, pelayanan “OTB” ini tidak bermaksud menggantikan peran Seksi Sosial Paroki (SSP). Bila SSP mempunyai program kerja dan anggaran tahunan, mereka lebih spontanitas dan reaktif. “Dari pengalaman ini, saya merasa bahagia karena bisa membantu sesama yang sering luput dari perhatian sesamanya,” katanya.
Mempedulikan yang Terpinggirkan
“Option for the poor” atau peduli terhadap yang miskin menjadi lahan pelayanan Gereja. Sejalan dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG) iman pun diwujudkan dalam perbuatan. Sebab bila iman tanpa perbuatan adalah mati. Sejauh manakah hal tersebut dilaksanakan oleh Gereja?
Di Paroki St. Maria Auxilium Christianorum, Sikabaluan, Mentawai, sejumlah warga Orang Muda Katolik (OMK) dan ibu-ibu Katolik memperhatikan beberapa orang tua berumur lanjut (teteu) yang sebatang kara dan kurang mendapat perhatian keluarganya. Seksi Sosial OMK Paroki yang juga anggota Seksi Kepemudaan Dewan Pastoral Paroki (DPP), Martina Rika Siribere, Amd.Keb. (30) menuturkan, “Dua tahun terakhir, kami memperhatikan teteu yang tidak bisa berjalan lagi atau kalaupun masih bisa berjalan, tinggal di rumah tak layak huni dan tidak dihiraukan anak-anaknya.”
Rika melanjutkan, OMK dan ibu-ibu Katolik melayani enam teteu. “Kami memandikan dan mengganti pakaian teteu, melengkapi sprei dan selimut untuk mereka agar tidak kedinginan di malam hari, juga memberikan makanan. Kami membersihkan kamar teteu yang tak terurus. Kalau kediaman teteu tidak layak pakai, kami hanya bisa menggantinya dengan dinding papan baru, supaya angin malam tidak masuk ke dalam,” ungkapnya. ‘Bakti sosial’ bagi para teteu mereka lakukan usai pertemuan OMK dan doa Koronka. “Dalam pelayanan ini, kami selalu berkoordinasi dengan pastor paroki. Bila waktu lowong, pastor pun ikut serta dalam rombongan ini. Niat kami ikhlas memperhatikan teteu ini, apalagi ada di antara warga OMK yang juga mempunyai teteu. Kami menyadari, suatu saat manusia akan menua dan juga membutuhkan bantuan orang lain. Ada kegembiraan saat kedatangan kami ditunggu-tunggu teteu dan diterima dengan penuh suka cita,” ungkap Rika.
Bekali Keterampilan
Kepedulian dan pelayanan bagi umat serta masyarakat di Kepulauan Mentawai ini sejalan dengan visi-misi para suster dari Institut Mater Amabilis (ALI). Selama lebih dua puluh lima tahun pelayanan di Kepulauan Mentawai (Sikakap, Muara Siberut, Muara Sikabaluan), Sr. Olga Martina, ALI (63) mengungkapkan, kemiskinan terjadi bila ayah atau suami tiada lagi – apalagi ibu atau istri sangat tergantung kepada kepala keluarga. Istri yang ditinggal mati suami, akan ‘kembali’ ke sukunya, anak-anak diambil dan diasuh kerabat suami yang juga mempunyai tanggungan keluarga, sehingga banyak anak menderita sejak kecil. Anak-anak ini sering kurang perhatian.
Suster ALI kelahiran Sawahlunto 27 Maret 1953 ini tidak memungkiri ada juga janda yang tidak ‘pulang’ ke sukunya atau menikah lagi, namun lebih memilih merawat anaknya sendiri (single parent). Dari situasi itulah, institut ALI getol melakukan langkah pemberdayaan perempuan, membekali perempuan muda dengan keterampilan. Di Muara Sikabaluan, pernah ada Kursus Keterampilan Wanita Katolik (KKWK). Namun, tidak semua orangtua bersedia ‘menyekolahkan’ anaknya di KKWK, karena merasa tidak ada yang membantunya di kampung. “KKWK ini penting sebagai bekal kehidupan perempuan Katolik di Mentawai. Sayangnya, seiring ‘perpindahan’ layanan ALI ke paroki lain, sejak tahun 2008, KKWK sepi peminat hingga tidak beroperasi lagi,” ujarnya.
Demi Masa Depan
Kepedulian terhadap masa depan generasi muda, khususnya anak perempuan Katolik, juga menjadi visi-misi dan kharisma Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih dari Maria Bunda Berbelas Kasih (SCMM). Kongregasi ini mendirikan Panti Asuhan Puteri St. Leo, Padang, sejak tahun 1985. Staf Panti Asuhan St. Leo yang juga melayani poliklinik St. Elisabeth, Padang, Odilia Manao, SCMM (41) menuturkan keberadaan panti ini diresmikan 1 Juli 1993 dalam naungan Yayasan St. Maria milik kongregasi. Sr. Odilia menuturkan anak perempuan adalah cikal bakal ‘jantung keluarga’ kelak. Keluarga yang baik juga sangat bergantung pada ibu. Maka sekeluar dari panti ini, mereka bermoral, mandiri, disiplin, dan jujur. Sr. Odilia mengakui masih banyak anak di luar panti yang patut dan pantas diperhatikan atau dipedulikan. Di pantinya, dulu, sebelum direnovasi usai gempa 30 September 2009, terbatas daya tampungnya. Saat itu, semuanya serba terbatas dan sederhana. Kini, kondisi panti lebih baik dan dapat menampung lima puluh anak. Sekarang, terdapat 13 anak perempuan. Sr. Odilia bergembira karena banyak pihak bermurah hati dan peduli dengan panti asuhan ini. “Donatur menyalurkan sumbangan dalam bentuk barang dan dana untuk pembayaran uang sekolah penghuni. Bila ada anak mereka yang berulang tahun merayakannya bersama penghuni panti,” ucap Sr. Odilia.
Perhatikan Kelompok Difabel
Lain lagi dengan penanganan anak berkebutuhan khusus (difabel) di Sekolah Luar Biasa (SLB) Santa Lusia, Rumbai, Paroki St. Paulus, Pekanbaru, Riau. Sr. Silvia Siregar, KSFL (54) menyatakan, “Kami menangani anak cacat mental, dengan intellegence quotient (IQ) di bawah rata-rata. Kini di SLB kami, ada 12 anak; mereka tetap tinggal bersama orangtuanya.” Anak berkebutuhan khusus misalnya tuna netra (buta), tuna rungu (bisu-tuli), cacat tubuh, autis, cacat ganda, tuna mental. Di Rumbai, kami menangani anak cacat mental, autis, tuna rungu. Usia anak SLB sangat bervariasi, 5-18 tahun. Dengan pengalaman panjang tersebut, Sr. Silvia melihat beragam perlakuan orangtua terhadap anak ‘berkebutuhan khusus’. Ada anak yang diperlakukan baik sekali, ada pula karena faktor ekonomi kurang mendapat perhatian. Karena itulah, terkadang anak diantar dan terkadang tidak diantar ke sekolah. “Pernah muncul rencana keuskupan membangun asrama bagi anak berkebutuhan khusus ini, sehingga transportasi tidak lagi menjadi masalah, namun rencana itu belum terealisir. Penanganan anak berkebutuhan khusus memang butuh biaya lebih besar dan penanganan ekstra. Pendampingan yang luar biasa. Dari usia awal hingga tiga puluh tahun, mereka belum tentu bisa mandiri,” ungkap Sr. Silvia.
Di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang, para petugas pembagi komuni (prodiakon) rutin setiap minggu membezuk dan membagikan komuni kudus kepada umat yang sakit dan berusia lanjut. Rata-rata mereka telah uzur, ada yang pikun, tidak bisa berbicara karena stroke, ada pula hanya bisa bicara, tetapi terbaring di tempat tidur. Menurut Koordinator Prodiakon Paroki Katedral, Eko Heri Siswanto (57) kini 93 umat Katolik yang dilayani. “Kami datang ke rumah-rumah, melayani orang tua, jompo, maupun sakit. Kami mensyaratkan, hosti diterima dalam keadaan pantas dan bersih, meskipun terkadang saat kami datang mereka belum siap” ucapnya berbagi pengalaman.
Dalam keadaan seperti itu, sambung Eko, prodiakon ikut menolong para lansia tersebut. Adakalanya, malah prodiakon yang membangunkan para lansia itu. Terkadang, ada yang berkelakuan manja dan perangainya seperti kanak-kanak. Eko melihat pentingnya peran dan perhatian anggota keluarga para penerima komuni itu dalam menyiapkan diri dan batinnya. “Umumnya, para lansia senang dan terhibur saat ada kunjungan prodiakon, bahkan mereka ingin kami berlama-lama.,” katanya.
Setelah pensiun (2009), Tjoanto Gozali dan istri bersama rekan legioner rutin memperhatikan warga binaan di lembaga pemasyarakatan (LP) Pekanbaru. Selama tujuh tahun “keluar masuk” LP Dewasa dan Anak-anak Gobah, Tjoanto merasa para warga binaan itu, apa pun agamanya membutuhkan pendampingan iman. Kini ada 90-an warga binaan dan tahanan di LP Dewasa, 40-an penghuni di LP Perempuan (30 orang) dan Anak-anak (10). Sepuluh orang dari antara mereka beragama Katolik.
Setiap Sabtu pagi pada minggu pertama, kedua, ketiga, dan kelima, mengunjungi LP tersebut. Selama sembilan puluh menit, mulai pukul sembilan pagi, rombongan legioner membezuk warga binaan dan tahanan, di sebuah ‘Gereja’ – ruangan khusus di LP mengadakan ibadat ekumenis. Pada saat Natal dan Paskah, pastor ikut serta dalam rombongan ini, pada kesempatan tertentu pula ada anggota DPP juga turut serta dalam rombongan ini. “Semoga kunjungan kami menguatkan iman mereka pada Tuhan Yesus dan membawa perubahan dalam kehidupan mereka, tidak lagi berbuat kriminal atau kejahatan,” katanya.
Beberapa penghuni, lanjut Tjoanto setelah bebas tetap mengontak mereka. Dari pelayanan ke LP selama ini, Tjoanto melihat adanya keinginan umat untuk mempedulikan mereka. Hanya saja, jadwal kunjungan tidak memungkinkan mereka yang bekerja. Pada moment tertentu, kami kebanjiran titipan kue untuk penghuni LP. “Itu artinya banyak umat yang peduli dan memberi hati kepada kelompok terpinggirkan ini,” katanya.
Masih Banyak Orang Baik
P. Ganda Jaya Nababan, Pr.
Pastor Rekan Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang.
Saya mengamati, dewasa ini muncul kecenderungan semakin banyak orang yang asyik dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Banyak orang bersikap tidak mengacuhkan sesama, bersikap apatis, bahkan mulai melupakan sesamanya. Kalaupun ada orang yang peduli dengan sesamanya hanya sebatas sapaan ‘hallo’. Sesama bukan dimengerti sebagaimana kutipan Kitab Suci Injil Lukas 10:25-37.
Siapa sesamaku sesungguhnya? Inilah pertanyaan reflektif yang mendalam, karena mengandung nilai persaudaraan, penghargaan nilai martabat manusia, gambaran citra Allah. Jadi, bukan hanya sebatas “hallo!” Sesamaku adalah saudaraku, sahabatku, temanku, umatku. Ada nilai cinta, kasih, perhatian, caritas pastoralis, dan sebagainya. Selanjutnya muncul pertanyaan, “Masih adakah orang baik sekarang ini?” Saya yakin, masih banyak orang baik. Berikutnya pertanyaan, “Masihkah banyak orang baik yang tergerak hatinya?” Saya pun yakin, masih banyak yang tergerak dan tersentuh hatinya, mau berbagi kasih.
Dalam Injil Lukas 10:25-37, dikisahkan orang Samaria yang ikhlas, peduli, tidak hitung-hitungan atau kalkulatif. Kisah ini hendaknya juga menginspirasi kita dalam kehidupan dan memperlakukan sesama. Secara khusus, saya berharap di Paroki Katedral, umat dan gembala mempunyai semangat kasih serta mempraktikkannya terhadap orang miskin dan terpinggirkan. Saya selalu meyakini, setiap orang mempunyai hati dan rasa untuk menolong sesama yang miskin dan terpinggirkan itu. Tidak hanya berwacana dan berkhotbah, saya pribadi pun telah melakukannya sewaktu berpastoral di Paroki St. Maria A Fatima Pekanbaru. Saat itu, saya menangani seorang ibu berstatus janda, tidak memiliki rumah, dan sedang mengidap suatu penyakit. Hati saya tergerak belaskasihan padanya dan membawanya ke rumah sakit untuk penanganan penyakit yang dideritanya.
Karena penanganan penyakit tersebut membutuhkan dana cukup besar, sementara saya tidak mempunyai uang banyak, saya mengajak dan mengetuk hati teman-teman di line media sosial saya. Ternyata, sungguh luar biasa, banyak teman mau peduli dan mengulurkan bantuan. Ternyata masih banyak orang baik dan tergerak hatinya di dunia ini. Sentuhan kasih yang sungguh luar biasa. Dari keyakinan tersebut, makanya dalam seruan, ajakan, khotbah, renungan, retret, bimbingan rohani harus selalu ditekankan kepedulian terhadap sesama yang berkekurangan, marginal, terpinggirkan. Pokok iman kita adalah kasih. Iman tanpa perbuatan adalah mati. Itu bukan sebatas omongan dan wacana, tetapi dipraktikkan! Seorang gembala umat yang omong dan praktik peduli sesama, saya yakin akan didengarkan umat untuk berbuat baik pada sesama.
Diakui, di kalangan awam, terkadang masih suka hitung-hitungan, kalkulatif bila berbuat kasih. Di satu sisi, di antara awam tidak terlalu percaya bila awam lainnya (bisa) berbuat kasih pada sesama yang menderita, miskin, terpinggirkan. Kalau tidak atas nama pastor, biasanya kurang diperhatikan dan kurang yakin sepenuhnya. Namun, bila pastor yang menanganinya lebih dipercaya. Tentu saja, banyak awam yang mau bergerak, walau mungkin awam lainnya kurang begitu mempercayai ‘aksi peduli’ sesama. Awam pun cerdas dan bisa menilai; atau mungkin ada pengalaman kurang mengenakkan sebelumnya atau ada awam yang dianggap memanfaatkan situasi. Atau, seseorang yang berbuat kasih dipandang punya tendensi tertentu, misalnya agar dianggap punya solidaritas pada sesama, cari nama, dan sebagainya. Idealnya, perhatian dan kepedulian sesama hendaknya tulus, ikhlas, tidak mengharap sesuatu (pujian), tidak ada hitung-hitungan/kalkulatif – karena kasih itu mestinya berkesinambungan. Untuk berbuat kasih pada sesama, tidaklah cukup satu, dua, tiga kali. Perhatian dan kepedulian, perbuatan kasih, cinta, pertolongan didasarkan pada iman kita. Suatu kepuasan dan kebahagiaan kita bila melihat mereka yang dipedulikan mengalami kebahagiaan juga, bukan karena kekayaan, kehebatan, dan sebagainya. Dengan satu keyakinan, Tuhan akan memberi berlimpah-limpah kepada orang yang mau peduli dan mau berbagi. Tuhan juga akan memberi petunjuk dan jalan.
Sebagai kumpulan orang yang percaya kepada Kristus, Gereja menaruh perhatian terhadap kalangan ‘pinggiran’. Di pemerintahan, ada mesin birokrasi, sekarang dengan reformasi dan revolusi mental; demikian pula halnya dengan Dewan Pastoral Paroki (DPP), hendaknya juga sama. Reformasi dan revolusi di DPP bermula dari pastor parokinya sehingga berimbas ke bawah terutama untuk semakin mempedulikan kaum pinggiran ini. Pembenahan pelayanan dari ‘atas’ pasti akan disokong sepenuhnya oleh umat. Kelak, kita bisa berharap, ada gerak bersama di tingkat keuskupan lebih memperhatikan kalangan ‘pinggiran’ ini, terlebih-lebih di tahun kerahiman Ilahi ini. Kita selalu diajak untuk berbelas kasih dan bersaudara dengan siapa saja, terutama mereka yang miskin, “dipinggirkan” – tidak diabaikan. (hrd)