“JANGAN JADI ORANG MUNAFIK” (Renungan Minggu Biasa XXVI/1 Oktober 2917)

JANGAN JADI ORANG MUNAFIK
Hari Minggu Biasa XXVI (1 Oktober 2917)
Yes 18:25-28; Flp 2:1-11;
Mat 21:28-32

MUNGKIN kita pernah mendengar ungkapan: “Saya kutuk kamu sampai tujuh keturunan”. Anak, cucu, cicit yang tidak tahu apa-apa, harus ikut menanggung akibat kesalahan nenek moyangnya. Dalam tradisi Yahudi juga terdapat hal seperti itu, bahwa Allah akan membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya sampai pada keturunan yang ketiga dan keempat. Kesalahan nenek moyang diwarisi anak cucu karena itu hukuman kepada nenek moyang harus ditanggung juga sampai ke anak cucu.

Nabi Yeremia yang berkarya jauh sebelum kedatangan Yesus, sudah mulai menentang ajaran tradisional tersebut dengan menubuatkan bahwa di masa depan suatu ajaran baru akan berlaku, yakni setiap orang akan mati atas kesalahannya sendiri. Nabi Yehezkiel pun mendukung ajaran baru ini dengan menandaskan bahwa keselamatan dan kebinasaan manusia tidak tergantung pada nenek moyangnya, tetapi ditentukan oleh dirinya sendiri. Siapa berbuat benar, akan menyelamatkan nyawanya sendiri, sebaliknya siapa berbuat salah, ia akan membinasakan nyawanya sendiri. Setiap orang bertanggung jawab hanya atas dirinya sendiri. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan orangtuanya.

Sebaliknya ayah tidak akan turut menang­gung dosa anaknya. Bahkan lebih lanjut nabi Yehezkiel menegaskan bahwa keselamatan dan kebinasaan manusia tidak ditentukan oleh perbuatan nenek moyangnya di masa lampau, tetapi oleh perbuatannya di masa kini. Bacaan kedua yang kita dengarkan hari ini merupakan penggalan dari rentetan nasihat Paulus kepada jemaat di Filipi. Pertama-tama St. Paulus menasehatkan jemaat di Filipi supaya hidup berpadanan dengan Injil Kristus. Kemudian secara khusus Paulus menasehati mereka supaya teguh berjuang demi iman. Jadi pada bacaan kedua hari ini Paulus membicarakan dua hal penting yang harus diusahakan oleh jemaat Filipi, yaitu persatuan dan kerendahan hati. Kedua hal ini memang berkaitan erat, karena itu Paulus membi­carakannya bersama-sama. Menurut Paulus, orang Kristen yang hidup dalam Kristus harus sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan. Hal ini hanya dapat terwujud jika setiap orang Kristen tidak mencari kepentingannya sendiri, tetapi memperhatikan kepentingan orang lain juga. Jika orang Kristen sungguh hidup berpadanan dengan Injil Kristus atau hidup dalam Kristus, tentu akan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. Sama seperti Kristus Yesus yang telah mengosongkan dan merendahkan diri sampai mati di kayu salib demi kepentingan manusia, demikian pula setiap orang Kristen harus mengosongkan dan merendahkan diri demi kepentingan sesama.

Bagi Paulus orang Kristen telah mati dan bangkit dengan Kristus, karena itu sebenarnya bukan lagi ia sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam dia. Perumpamaan tentang dua anak ini hanya terdapat dalam Injil Matius. Dalam perumpamaan ini Yesus mengontraskan ketaatan verbal anak sulung dengan ketaatan faktual si bungsu. Secara formal anak sulung menyatakan ketaatan kepada bapaknya dengan menjawab: “Baik bapak”, tetapi ia tidak melakukan kehendak bapaknya. Seba­liknya secara formal anak yang bungsu menyatakan ketidaktaatannya dengan menjawab: “Aku tidak mau”, tetapi kemudian ia menyesal lalu melakukan kehendak bapaknya. Dengan perumpamaan ini Yesus mau mengontraskan kesalehan palsu imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi dengan pertobatan sejati pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal.

Para pemimpin bangsa Yahudi memuliakan Allah dengan bibirnya, tetapi hati mereka jauh dari Allah. Mereka mengajarkan hukum Taurat, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Karena itu Yesus menyebut mereka orang-orang munafik. Sebaliknya para pemungut cukai dan perempuan sundal yang dicap sebagai orang berdosa, justru dengan tulus mencari kebenaran. Karena itu Yesus menegaskan bahwa mereka akan mendahului orang-orang munafik itu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Supaya dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah, orang harus melakukan kehendak Allah; tidak cukup hanya menyebut nama-Nya atau hanya men­dengarkan firman-Nya, tetapi juga harus melakukan kehendak-Nya.

Tinggalkan Balasan