JANGAN SUKA JALAN PINTAS

JANGAN SUKA JALAN PINTAS
Hari Minggu Prapaskah I/A
Kej 2:7-9, 3:1-7; Rm 5:12-19;
Mat 4:1-11

BACAAN PERTAMA hari ini tentang kejatuhan Adam dan Hawa. Hal ini mengingatkan kita betapa lemahnya manusia berhadapan dengan bujukan atau rayuan. Apalagi di zaman sekarang kita pun hidup dikerumuni oleh berbagai macam godaan, bujukan, dan iming-iming. Berbagai tawaran atau bujukan itu bisa kita jumpai lewat iklan-iklan, baik melalui televisi, maupun media iklan di sepanjang jalan, dan lain-lain. Orang yang terkena bujukan, bagai tak berdaya, selain mengikuti bujukan itu. Betapa telah jutaan orang terbujuk untuk mengkonsumsi mie isntan yang murah dan cepat saji, dan juga bujukan rokok. Itulah kenyataan bahwa di dunia ini memang ada bujukan-bujukan, seperti yang juga dialami oleh Adam dan Hawa.

Pada dasarnya semua ciptaan itu baik adanya, termasuk manusia. Tetapi mengapa terjadi kejahatan? Biasanya bujukan itu selalu mulai dengan hal-hal yang baik dan menjawab keinginan manusia. Yang dialami oleh Adam dan Hawa dan juga yang dialami oleh Yesus merupakan peristiwa sehari-hari yang sangat menyentuh kehidupan manusia. Bujukan setan kepada Adam dan Hawa mulai dengan membangkitkan keinginan untuk menikmati buah, yang katanya akan membuat mereka menyerupai Allah. Memang betul manusia diciptakan secitra dengan Allah. Adam dan Hawa akan semakin menyerupai Allah. Tentu saja hal ini merupakan keinginan manusia dan ini tidak jelek. Sesungguhnya manusia yang semakin menyerupai Allah itu juga dikehendaki Allah. Hanya saja untuk sampai ke sana harus melalui jalan setapak demi setapak. Bujukan setan mengajak Adam dan Hawa untuk menjadi serupa dengan Allah adalah melalui jalan pintas, jalan tanpa susah payah. Bujukan setan selalu secara halus menawarkan jalan pintas.

Bujukan setan selalu menawarkan hal-hal yang baik dan menyembunyikan hal-hal yang jelek. Nyatanya setan tidak mengatakan akibat dari makan buah larangan dan hanya menyampaikan keunggulan makan buah larangan itu. Setan hanya mengatakan bahwa Adam dan Hawa akan serupa dengan Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat. Begitu juga yang disampaikan oleh iklan-iklan di media cetak maupun elektronik dan di jalan-jalan. Maka tidak mengherankan kalau di masa sekarang ini sebagai akibat dan budaya iklan manusia semakin manja. Begitu juga yang dialami oleh Yesus di padang gurun. Yesus dibujuk untuk memanjakan diri dengan menjatuhkan diri dari bubungan atap bait Allah dan Allah akan memanjakan Dia melalui malaikat-malaikat yang akan menatang-Nya. Yesus juga ditawari berbagai kemanjaan dunia, seperti kuasa dan kemewahan. Yesus tidak mau ikut bujukan setan, tidak seperti Adam dan Hawa yang tergoda dan jatuh. Yesus tahu bahwa hidup sebagai anak Allah di dunia bukanlah hidup dalam kemanjaan, tetapi hidup dalam ketaatan. Ketaatan kepada kenyataan siapa diri-Nya di hadapan Allah, taat kepada hukum kehidupan, yang berproses dan tidak ikut jalan pintas.

Orang yang terkena rayuan dan kemanjaan, bagaikan tertidur, seperti anak kecil, yang dimanjakan oleh ibunya. Kalau anak tertidur dalam kemanjaan dekat ibunya, tidaklah perlu dikhawatirkan, karena ibunya tentu tidak akan mencelakakan anaknya. Tetapi kalau yang membuat tertidur itu setan, dengan antek-anteknya, maka kerunyaman yang akan terjadi. Di masyarakat, kasus seperti ini sering terjadi. Dalam Pilkada misalnya, masyarakat memilih politikus tertentu, bukan karena orang itu bermutu, dapat dipercaya, tetapi karena uang yang telah diterima darinya. Banyak juga sopir atau pengendara sepeda motor yang pilih menyogok petugas agar bebas dari urusan yang ribet karena terkena tilang. Banyak juga kita dengar tentang kasus tiket perjalanan fiktif di kalangan legislatif. Dalam masalah Freeport di tanah Papua atau dalam HPH di berbagai tempat di Indonesia, masyarakat setempat dininabobokkan oleh keuntungan jangka pendek yang membuat hidup mereka meningkat untuk sementara waktu. Tetapi di balik itu ada masalah yang besar terhadap kelestarian lingkungan dan atas kehidupan manusia di masa depan. Rusaknya lingkungan hidup, akan berdampak luas terhadap kehidupan di masa depan, karena rusaknya sumber-sumber alam. Ini semua karena pengaruh budaya jalan pintas di tengah masyarakat.

Tinggalkan Balasan