Kelompok Kategorial Kekayaan Gereja (Majalah Gema, Edisi April 2016)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Pengertian Gereja sebagai persekutuan kaum beriman yang mengemuka dalam Konsili Vatikan II memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik itu terdiri dari beragam pribadi; suku, jenis kelamin, umur, pekerjaan, status, minat, bakat, dll. Karena alasan inilah kerap kali Gereja disebut sebagai communion of communities atau komunitas yang terdiri dari komunitas-komunitas kecil atau kelompok-kelompok kategorial yang ada di dalamnya.
Tepat sekali bahwa kelompok-kelompok kategorial yang ada merupakan kekayaan Gereja yang dengan berbagai cara ikut berpartisipasi dalam perutusan Gereja universal pada umumnya atau Gereja lokal pada khususnya dalam berbagai tingkatan; rayon, stasi, paroki bahkan keuskupan dalam kesadaran sebagai bagian utuh darinya. Bila kesadaran sebagai bagian utuh ini tidak ada, maka kelompok-kelompok kategorial tersebut akan cenderung menjadi kelompok-kelompok yang cenderung mengedepankan egoisme kelompok dan menjadi kelompok “yang tidak mau tahu” dengan situasi Gereja.
Hal lain yang dianggap penting dalam persekutuan kelompok kategorial adalah peranan imam. Bagaimanakah peranan para imam sebagai gembala? Kehadiran para imam, dengan penuh kasih kegembalaannya, di dalam setiap kelompok kategorial sampai saat ini dan barangkali sampai kapan pun tetap dibutuhkan untuk memurnikan dan mendewasakan kelompok kategorial yang kaya dengan karunia-karunia sorgawi dan menjadi penyalur buah-buah keselamatan kepada sesama. Para imam juga hendaknya secara aktif bekerja sama dengan tenaga penggerak, aktivis, tokoh awam yang berpendidikan, yang memiliki kemauan baik dan mau melayani jalinan kegembiraan dan keprihatinan yang sama.
Gema edisi bulan ini mengangkat tema: “Kelompok Kategorial: Kekayaan Gereja”. Semoga kehadiran kelompok-kelompok kategorial yang ada, seperti: BIA, BIR, OMK, Legio Maria, WKRI, PMKRI, PDKK, dll., sungguh tetap menjadi kekayaan Gereja yang menggembirakan.
Selamat membaca!
Kelompok Kategorial Persekutuan yang Hidup dalam Gereja
Gereja terbentuk karena adanya persekutuan orang-orang yang percaya Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Jemaat Perdana selalu berkumpul dalam persekutuan yang erat (bdk.Kis 5:12). Persekutuan yang utuh antara Yesus Kristus dan jemaat-Nya dinyatakan dengan ungkapan jemaat atau Gereja sebagai ‘tubuh Kristus’ (bdk. Ef 1:23). Gereja sebagai koinonia adalah ‘tubuh Kristus’. Jika satu menderita, lainnya turut menderita. Jika satu bersuka cita, lainnya bersuka cita. Kristus mempersatukan semua orang menjadi satu, dan satu di dalam semua oleh Kristus (bdk. 1 Kor.12:26).
Maka, persekutuan (koinonia) mestilah dipahami bahwa persekutuan yang dibangun atas dasar kesatuan dalam Kristus, menjadikan persekutuan jemaat dapat mengatasi segala perbedaan; baik suku, bangsa, status sosial, pendidikan, dan sebagainya. Di paroki-paroki pun terdapat aneka bentuk persekutuan, mulai dari persekutuan terkecil (keluarga), persekutuan berdasarkan kewilayahan (mulai dari rayon/lingkungan/kring hingga wilayah dan stasi), berdasarkan kriteria tertentu (misalnya, untuk kategori usia – Bina Iman Anak/BIA, Bina Iman Remaja/BIR, Orang Muda Katolik/OMK), maupun perkumpulan/perhimpunan/organisasi kemasyarakatan Katolik). Di paroki-paroki dipastikan ada kelompok berdasarkan kriteria tertentu tersebut.
Di Paroki St. Yohanes Pembaptis, Perawang, Riau terdapat kelompok kategorial Wanita Katolik (WK), Orang Muda Katolik (OMK), BIA, Anak Remaja Katolik (Areka). Pendamping Areka Paroki Perawang, Erika Napitupulu (33) menginformasikan kegiatan rutin Areka, yakni ibadat setiap Sabtu petang, gotong royong bulanan di lingkungan gereja, membuat majalah dinding (mading), olah raga sore, latihan koor saat giliran tugas di gereja. Erika menambahkan ada 80 warga Areka Perawang, siswa SMP-SMA dengan dua pendamping. “Kelompok juga berkunjung ke stasi bersama pastor dan membantu koor saat Perayaan Ekaristi, saling mengunjungi dan berdoa ke rumah teman yang berduka atau berbahagia,” ungkapnya.
Erika gembira pastor paroki dan dewan pastoral paroki (DPP) sangat mendukung kegiatan Areka. “Bila ada kegiatan paroki atau stasi, DPP melibatkan Areka. Pastor pun memberi ‘masukan’ kegiatan Areka, selalu hadir bila diundang dalam kegiatan, dan memberikan dukungan dalam bentuk materi. Persatuan dan kesatuan warga Areka sangat erat. Rasa persaudaraan tumbuh tanpa membedakan kelas atau usia, asal sekolah. Mereka biasa berkumpul, bermain, dan berdoa bersama di gereja,” ungkap Erika.
Sedangkan kelompok OMK yang anggotanya pemuda-pemudi yang telah bekerja, jadwalnya kegiatan terkadang tidak sesuai anggota OMK yang pelajar. Maka, muncul wacana membentuk wadah khusus bagi pelajar SMP-SMA sesuai dengan usia, dunia, dan jadwal kegiatan persekolahannya.
Hidup bersekutu bersama sesama dapat dimulai sejak usia dini. Tiga puluhan anak usia dini (usia enam bulan hingga usia taman kanak-kanak) ‘hidup bersekutu’ dalam kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) setiap Minggu – kecuali minggu terakhir. Koordinator PAUD Stasi Tabing Paroki St. Fransiskus Asisi Padang, Anastasia Gusniati Gea menuturkan, peserta PAUD berkumpul dan berkegiatan bersama 8 pendamping di salah satu lokal belajar SD Setia Tabing. “Kami membacakan isi Kitab Suci kepada anak-anak, bercerita terkait Kitab Suci, dan menjelaskan kepada mereka – sesuai usia mereka. Lain waktu, pendamping mengajak peserta bernyanyi, bermain bersama, aktivitas mewarnai, mengajar anak berdoa, berkatekese dengan ‘ayat emas’. Kegiatan PAUD berlangsung sejak empat tahun silam. Gusniati merasa bahagia bisa mewartakan Sabda Tuhan dan mendampingi peserta PAUD. “Anak-anak dekat dengan kami, pendampingnya. Kegiatan ini bertahan karena adanya kekompakan pendamping dan kepercayaan orangtua. Pendamping adalah sukarelawan tidak bergaji, menyediakan dan meluangkan waktunya. Kami tidak berharap upah, ‘menabung’ sekarang untuk bekal hidup kelak di surga. Memang, dalam kegiatan butuh dana, namun kami mendapat sokongan dana dari partisipasi orangtua dan beberapa donatur. Anak-anak rindu berkumpul. Mereka suka bertanya kegiatan PAUD. Sebagai ‘ibu PAUD’, saya berpendapat PAUD ‘gerbang pertama’ ikut aktivitas kegerejaan,” tutur Gusniati lagi.
Ia gembira terjalinnya kerjasama dan komunikasi antara pendamping dengan para orangtua PAUD, terbinanya keakraban. “Terkadang, orangtua pun turut membantu pendamping dalam pertemuan tersebut. Sekali waktu, orangtua dikumpulkan. Pendamping memberitahukan perkembangan tiap peserta PAUD sekaligus menampung aspirasi orangtua. Kami saling mengenal. Bila tidak ada aktivitas PAUD pada minggu terakhir, anak PAUD menginginkan adanya kegiatan PAUD. Tentu, kami ingin anak juga mengikuti Perayaan Ekaristi bersama orangtuanya,” ungkapnya.
Kurang Agresif
Sementara itu, berdasarkan penuturan Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai, Yohanes Rico Edro Purba (20), aktivitas rutin berlangsung Sabtu sore, usai Perayaan Ekaristi dan doa Rosario. Saat ini ada olah raga sore bersama semua warga OMK. Esoknya, Minggu, beberapa warga OMK bersama pastor ikut kunjungan ke stasi. Rico menyatakan, OMK yang dimaksudnya adalah anak muda Katolik usia sekolah menengah atas (SMA). Sementara yang telah bekerja, berkuliah, alumni SMA merasa tidak cocok beraktivitas bersama dengan remaja SMA/SMK. Yang bekerja, merasa cocok bila ada Kelompok Karyawan Muda Katolik (KKMK) – namun hingga kini belum terbentuk di Dumai. Rico menyayangkan hal ini, karena sepengetahuannya karyawan muda pun – asal belum menikah – termasuk kategori OMK. Untuk anak muda Katolik usia SMP, ada kelompok Bina Iman Remaja (BIR).
Rico juga menyayangkan OMK tingkat SMA/SMK ‘kurang agresif’ berkegiatan. “Ada kesan kurang mau tahu, suka menunggu, bahkan terkadang terpaksa dimarahi sebelum bergerak. Atas kondisi ini, pengurus OMK berupaya mengumpulkan teman OMK dan membicarakannya lagi. Terungkap, warga OMK tingkat SMA/SMK terlalu banyak bermainnya. Rekreatifnya lebih menonjol ketimbang pelayanan. Kalau kunjungan ke stasi, banyak warga berminat, kalau aktivitas agak serius, misalnya menjadi petugas liturgi atau memimpin kegiatan doa, mereka kurang mau. Banyak alasannya. Pengurus OMK dan Seksi Kepemudaan merencanakan pengumpulan warga OMK agar bisa ikut bersama dalam satu kegiatan OMK,” ujarnya.
Rico membayangkan, betapa menyenangkan bila warga OMK bisa berkumpul bersama, sebagai sesama saudara seiman. Ia berharap, Seksi Kepemudaan DPP pun lebih memerhatikan warga OMK, ‘lebih menjamah’ OMK, lebih memedulikan dinamika anak muda Katolik di paroki ini. Dirinya ‘tersentuh’ tatkala bersama beberapa rekan OMK berkunjung ke Stasi Rupat. “Kami bertemu sesama anak muda Katolik setelah menyeberangi laut dan berkendara jauh yang meletihkan. Ada 15 rekan OMK Rupat. Meski sedikit, tetapi mereka merasa diperhatikan,” tutur Rico.
Lain lagi pengalaman hidup bersekutu dalam kelompok kategorial Marriage Encounter (ME). Warga ME terdiri dari pasangan suami-istri (pasutri). Koordinator ME Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru, Riau, Patricia Desi Elvina (43) mengungkap kegiatan akhir minggu (week end/WE) bagi pasutri, kelompok dialog bagi ‘alumni’ WE. Dalam kelompok dialog, mantan pasutri peserta WE dibagi dalam beberapa kelompok didampingi pasutri pembimbing. Ada 110 pasutri ME di paroki ini. Istri Yohanes Bambang Dwi Agus Setianto ini berujar, “Jumlahnya terus bertumbuh karena kebutuhan. Orang semakin butuh, apalagi konflik semakin kompleks dan komplit. Kriteria peserta WE pun diperluas. Bila sebelumnya batas terendah usia perkawinan lima tahun, ‘diperluas’ menjadi tiga tahun.”
Upaya lain yang ditempuh koordinator dan tim adalah pembinaan enrichment, seperti rekoleksi namun dalam jangka waktu lebih panjang, diadakan tiga bulanan. Diakui Desi, masih ada keraguan di antara umat bila ME menyelenggarakan kegiatannya. Paroki membantu berikan penjelasan tentang ME. “Kami bekerjasama dengan pastor dan DPP. Pastor pun bisa memberikan penjelasan. Dalam beraktivitas, kami selalu melibatkan pastor. Saya gembira, usai WE, relasi pasutri semakin dekat, intim yang selanjutnya berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya,” ujarnya.
Desi mengakui perlunya tim tangguh dalam aktivitas ME, terutama tim yang bersedia berbagi (sharing) saat WE dan kelompok dialog. Ia melihat masih adanya keengganan di sebagian pasutri saat diminta menjadi anggota tim. Alasannya: belum terbiasa, merasa berat untuk berbagi (apalagi sisi kurang atau negatif), khawatir isi sharing – terutama masalah keluarga dan kebobrokan – menjadi bahan percakapan di luaran sana. Dari pengalamannya pasca WE (2007), Desi beroleh banyak manfaat lewat ME. “Sebelum WE, relasi saya dengan suami kurang bagus. Ikut WE tidak otomatis menyelesaikan masalah, perlahan tetapi pasti, sejak tahun 2010, kami lebih bisa saling memahami. Relasi lebih akrab, intim,” tuturnya.
Tetap Bertahan
Persaudaraan yang kuat pula yang menyebabkan Sisilia Warniati (64) bertahan sebagai legioner Presidium Bunda Maria Ratu Para Rasul, Paroki St. Theresia, Air Molek,Riau. Walau berbagai rintangan menghadang, namun Sisilia tetap setia sebagai ‘tentara Maria’, sejak bergabung dua puluh tahun silam (Oktober 1996) – sepeninggal suaminya. Saat ini, ia menjadi satu dari 15 anggota presidium tersebut. Terkecuali bila sakit, ia pasti mengikuti pertemuan mingguan Kamis sore, di ruang pertemuan pastoran. Sisilia ingin menjadi legioner yang setia.
Dalam rentang dua puluh sebagai legioner, Sisilia mendapati rekannya yang datang dan pergi, bergabung dan keluar dalam presidium ini. “Tetapi, saya tetap bertahan. Saya merasa senang, semakin lama, semakin terasa enak disiplinnya. Apalagi ada buku pegangannya. Banyak hal yang saya senangi dan sungguh tersentuh dibuatnya. Dalam hidup sehari-hari saya rasakan pengaruhnya, kerap menjadi penengah yang mengakurkan pihak-pihak yang bermasalah. Belum banyak umat paroki ini bergabung dalam Legio Maria. Hingga kini, hanya ada satu presidium senior dan dua presidium yunior. Masih sedikit dibandingkan jumlah umat. Ada yang masuk, tetapi ada pula yang keluar. Mungkin, tidak cocok, apalagi dituntut untuk (setia) berdoa. Kelompok Legio Maria adalah kelompok khusus untuk berdoa. Bagi yang cocok, akan terus berlanjut dan bertahan. Bertahan sebagai legioner memang berat, namun berkat dorongan semangat sesama legioner dan pastor penasehat rohani, saya bertahan,” ujarnya.
Dari banyak ragam kelompok kategorial yang ada, keikutsertaan umat menjadi bagian di dalamnya tidak dapat dipaksakan melainkan keterbukaan hati. Pastor paroki St. Theresia, Air Molek, P. Theodorus Sitinjak, OFMCap, menyatakan ada beberapa kelompok kategorial yang kurang dinamis, namun ada juga yang aktif, misalnya Legio Maria, Wanita Katolik Republik Indonesia, dan kelompok misdinar. “Yang diusahakan paroki adalah pendampingan! Ada pembina yang siap meluangkan waktu dan perhatian, tetapi warga kelompok kategorial tersebut sulit berkumpul. Warga OMK dan BIR mengalami kesulitan mengatur waktu, sebab pada umumnya sebagai pelajar, mereka pulang hingga sore. Parahnya, orangtua tidak mengizinkan. Alasan mereka ke luar rumah ikut kegiatan OMK dan BIR, ternyata tidak ikut pertemuan. Meski demikian, pada hari besar (Natal dan Paskah), barulah ada kegiatan mereka,” ujarnya.
Pastor Theo menambahkan, “Tidak hanya di pusat paroki, di beberapa stasi yang besar, misalnya Stasi Rengat, kelompok Wanita Katolik (WK) cukup hidup, juga di Wilayah Batang Gansal. OMK beberapa stasi pun aktif-dinamis. Juga ada persekutuan doa karismatik Katolik di pusat paroki, tetapi tidak banyak anggotanya.
Sementara itu, Pastor Paroki St. Yosef, Duri, Riau, P. Processus Otto Hasugian, Pr. mengungkapkan secara periodik, pastor dan suster mendampingi kelompok kategorial, ikut dalam pertemuan, membuat perencanaan bersama. Kelompok BIA misalnya, setahun sekali pertemuan para pendamping separoki. Setiap tahun rekoleksi bagi para pendamping BIA dan BIR. Anggota BIA dan BIR bertemu sekali setahun dalam jumlah besar. Untuk OMK, sekali setahun berlangsung pertemuan bersama OMK separoki. Begitupun dengan kelompok para ibu.
Sementara itu, pada awal pembentukannya di tahun 2015, Kelompok Karyawan Muda Katolik (KKMK) Kota Padang sangat dinamis. Wakil Ketua KKMK, Eka Sanjaya Putra, S.Pd (23) mengungkap mulanya warga kelompok ini bersemangat melakukan berbagai kegiatan, antara lain pembahasan bersama Kitab Suci, seminar tentang karir-iman-jodoh, selain pertemuan rutin Kamis malam. “Namun, akhirnya, ada persoalan jadwal pertemuan. Karena warga berstatus karyawan dengan jadwal pekerjaan yang beragam, sulit menemukan waktu yang cocok semua. Akibatnya, rancangan kegiatan yang disusun tidak terealisir,” ungkapnya. Karyawan tata usaha SMA Don Bosco Padang ini mengutarakan solusi yang pernah ditempuh, misalnya penggunaan media sosial (medsos) untuk mengundang warga bertemu. Namun cara itu gagal, kembali ke model biasa, undangan tertulis. Sebanyak 60% dari 75 anggota KKMK memenuhi undangan tersebut. Eka menduga jadwal kerja penyebab utama. Ia yakin, ada keinginan dan kerinduan mereka untuk berkumpul dan berkegiatan bersama.
Eka tidak puas dengan kondisi seperti ini, karena ia suka berorganisasi. “Saya menemukan suasana kekeluargaan di dalam KKMK! Pada awalnya, tak lama setelah pelantikan pengurus keikutsertaan dan antusiasme anggota luar biasa, namun pelan-pelan ‘meredup’. Setelah memasuki tahun 2016, KKMK Padang jarang berkumpul lagi. Mirip dengan fenomena ‘ekor tikus’, mulanya banyak, pelan-pelan berkurang. Eka prihatin karena belum menemukan jalan keluar atas masalah ini.
Menjadi ‘Keluarga dalam Tuhan’
Agnes Lieny Candra, S.Pd
Koordinator Persekutuan Doa Muda-Mudi Karismatik Katolik (PDMKK) St. Dominico Savio, Paroki Katedral St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang.
Telah sepuluh tahun saya bergabung dalam Persekutuan Doa Muda-Mudi Karismatik Katolik (PDMKK) St. Dominico Savio, Paroki Katedral St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang. Saat bergabung, saya berusia 17 tahun. Kini saya menjadi anggota tertua sekaligus koordinator dari 60-an Orang Muda Katolik (OMK) dalam kelompok ini. PDMKK ini telah hadir di paroki sejak 12 tahun silam.
Saya punya alasan pribadi bertahan terlibat dalam aktivitas PDMKK ini. Di tempat ini, saya bisa berkumpul dan bersekutu untuk mengenal Tuhan. Saya mengalami perubahan dalam (cara) hidup. Ada pembelajaran tentang Firman Tuhan, puji-pujian. Dulu, saya orangnya tertutup. Kalau ada persoalan atau masalah, saya sering memendamnya sendiri, berkata kasar pada orang lain. Itu hidup yang lama saya. Setelah ‘mengalami dan hidup dalam Tuhan’, saya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Kalau ada masalah, saya lebih bisa mengendalikan diri, berbicara lebih lembut, tidak mudah putus asa, dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Di PDMKK ini, orang muda 15 tahun hingga 25 tahun. Warga persekutuan doa ini mengadakan aktivitas rutin dan berkumpul setiap hari Minggu malam, di ruang doa Bergamin. Memang tidak semua warga PDMKK hadir pada kegiatan rutin tersebut, setengahnyalah! Dalam pertemuan tersebut, kami berkumpul, bersyukur kepada Tuhan, belajar Firman Tuhan bersama-sama, berbagi pengalaman hidup sehingga menjadi kekuatan bagi kami. Juga ada doa malam, setiap Jumat malam. Pada kesempatan ini, warga PDMKK menceritakan pengalamannya bersama dengan Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan anggota PDMKK lebih baik; misalnya bisa lebih hormat kepada orangtua, lebih mengasihi orang lain di sekitarnya, membantu orang yang tidak mampu.
Sebagai koordinator suatu kelompok persekutuan doa anak muda, saya merasakan seperti mempunyai ‘keluarga dalam Tuhan’, bisa dalam keadaan suka dan duka, saling bantu bila ada warga yang mengalami kesulitan. Sebagai koordinator bersama pengurus lain, saya berusaha mempertahankan rasa kekeluargaan (antara lain rekoleksi bersama, merayakan ulang tahun warga secara bersama), memprogramkan kegiatan yang berdampak positif bagi anak muda agar kehidupan rohaninya menjadi lebih baik dan kelak berdampak dalam kehidupannya sehari-hari.
Kami hidup tidak eksklusif, tidak tertutup, tidak terpisah, dan tidak menyendiri dari kehidupan bersama. Kami sangat terbuka dengan muda-mudi yang mau bergabung, ingin mengenal Tuhan melalui Firman-Nya. Tak bosan-bosannya, kami berupaya mengajak OMK paroki ini bergabung dalam persekutuan ini. Kalau terkesan eksklusif, karena warga PDMKK yang aktif hanya ‘itu-itu saja’. Promosi PDMKK kami lakukan saat Pastoral Sekolah (untuk SMA) dan perkuliahan agama Katolik (bagi mahasiswa).
Pastor paroki dan pastor rekan selalu mendukung kami dalam mengadakan kegiatan, tentunya dalam koridor yang benar. Kami mempunyai pastor moderator agar dapat berdiskusi mengenai hal-hal terkait dengan aktivitas PDMKK. Akhir tahun 2015, kami menyelenggarakan retret untuk tim PDMKK. Pastor menyokong dari segi tempat kegiatan (fasilitas Puri Dharma Katedral), atau menerimakan Sakramen Pengakuan Dosa. ***
Kami Ingin Berguna
Kelompok atau Komunitas Sant Egidio ada di Paroki St. Yosef, Duri, Riau. Kelompok ini masuk dalam jajaran Dewan Pastoral Paroki (DPP). Anggota komunitas ini ada yang telah berkeluarga, karyawan, dan pelajar SMA bahkan SMP. Jumlah anggota kelompok ini masih sedikit, itu pun kadang sulit bertahan, karena pindah luar kota untuk bersekolah.
Kelompok Sant Egidio ingin menjadi kelompok yang berguna bagi siapa pun; terutama yang membutuhkan teman, butuh dikunjungi, didengarkan, disapa, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pelayanannya pun tidak sebatas di lingkungan Gereja.
Menurut koordinator kelompok ini, Maria Mardiana (47), pada awalnya kegiatan Sant Egidio sebatas di Stasi St. Stefanus, Balai Raja. Kini, anggota komunitas melakukan pelayanan yang lebih luas, yaitu di Sekolah Damai di Duri dan mendampingi manusia usia lanjut (manula). “Di Sekolah Damai, selain membantu pelajaran formal, kami menemani dan membantu anak dalam pengajaran damai sedari kecil. Kami mendampingi anak layaknya adik-kakak, belajar mencintai kedamaian, saling berbagi, dan punya jiwa persahabatan. Saat ada 40 anak di Sekolah Damai,” ungkap Maria.
Maria menambahkan, doa adalah jantung komunitas ini. Kami seminggu sekali berkumpul untuk berdoa bersama. Ada pertemuan dua bulanan untuk sharing dan renungan Kitab Suci. Setiap tahun ada retret Tri Hari Suci (Kamis Putih – Paskah). Dari doa dan Kitab Suci, kami menimba semangat untuk menjalankan pelayanan sosial. “Kelompok ini adalah bentukan awam yang mencintai Kitab Suci, yang ingin meneladani Yesus, berdoa dan membaca Kitab Suci serta mempraktikkannya. Kami tidak lepas dari paroki, misalnya saat bezuk manula, kami berkoordinasi dengan pastor. Karena jumlah anggota masih sedikit, kami mempromosikan dan memperkenalkannya di tengah umat. Dengan jumlah anggota yang sedikit memang ada untungnya, misalnya koordinator dan anggota atau sesama anggota lebih saling kenal sehingga terasa kuat dalam persaudaraan,” ujarnya.
Kami Saling Menyemangati
Sepeninggal suami saya (1987), Yohanes Mulyo Sutikno, saya menjadi ibu sekaligus “ayah” bagi tujuh anak. Kini, di usia 71 tahun ini, saya tetap mengurus rumah tangga dan berusaha menggereja.
Tahun 2002, saya bergabung dalam kelompok ibu-ibu Santa Monika, Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai, Riau. Wadah ini memayungi para janda di paroki. Kelompok ini menempatkan pastor sebagai penasehat rohani. Saya dipercaya menjadi penasehat kelompok ini selama dua periode. Sebelumnya, saya aktif di Wanita Katolik RI Cabang Dumai.
Dalam kelompok Santa Monika, saya memberikan dorongan semangat kepada 40-an anggota yang sesama janda agar tidak larut dan berputus asa dalam menjalani hidup dan mengatasi masalah; tetaplah bersemangat dan beriman, serta aktif menggereja. Anggota Santa Monika patut berbangga hati, karena mampu menjalankan dua peran sekaligus (ibu dan ayah), namun tetap bisa berbuat untuk orang lain dan Gereja. Jauhkan perasaan ‘terbuang’, tidak dipandang atau enteng oleh pihak lain. Kami juga tidak mau merepotkan Gereja.
Dari 40-an anggota, karena faktor usia tua dan kekuatan fisik yang makin berkurang hanya separuhnya yang aktif. Ada juga anggota yang masih disibukkan dengan kuliah anaknya, sibuk bekerja bahkan di hari Minggu sekalipun. Kami tidak memaksa anggota selalu hadir dalam pertemuan bulanan; yang penting mereka tetap bersemangat.
Kegiatan rutin dalam kelompok janda ini setahun sekali retret, aksi sosial (melayat, membezuk orang sakit), menjadi petugas liturgi. Di dalam kelompok ini, kami saling memerhatikan dan menyemangati. Kepada anggota, saya selalu menekankan supaya tidak merasa diri lemah, merasa tidak terpakai lagi. Sebagai mantan pengurus dan kini penasehat kelompok ini, saya mendorong pengurus agar membuat anggota merasa nyaman dan senang saat pertemuan bulanan (setiap minggu kedua). Selain arisan, saya sarankan agar ada kegiatan lain yang menarik dan bermanfaat.
(Disarikan dari wawancara dengan Lidia Tumini)
Agar Semangat Tak Meredup
P. Emilius Sakoikoi, Pr
Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Padang
“Dari pengalaman, saya berkesimpulan, kehadiran pastor saja dalam kelompok kategorial sudah merupakan bagian penting dalam ‘pembinaan’ kelompok. Bagi warga kelompok, keberadaan pastor memberikan semangat, spirit, kekuatan; apalagi kalau ada ‘pembekalan’ khusus untuk kelompok,” ungkap Pastor Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru, Riau, P. Emilius Sakoikoi, Pr (47) kepada Gema. Petikan selengkapnya.
Minta dibeberkan lebih lanjut, Pastor!
Ini pengalaman. Aktivitas doa di kelompok tetap dilaksanakan oleh petugas yang telah ditunjuk, walaupun kemudian ada kehadiran seorang imam/pastor. Pastor memotivasi para pengurus kelompok, dan kehadiran pastor sungguh ‘mewarnai’ kelompok tersebut. Selanjutnya, ada kerinduan warga kelompok ini berdoa, walaupun di lain waktu, pastor tidak berada di tengah warga kelompok ini. Kehadirannya sungguh menjadi penyemangat bagi warga kelompok.
Bagaimana kalau ada masalah sehingga kelompok kategorial tersebut meredup?
Memang ada kemungkinan kendala dalam dinamika suatu organisasi atau kelompok. Namun, saya memandang perlu adanya jalinan komunikasi pribadi dengan pihak-pihak, baik dilakukan oleh pengurus maupun gembala umat. Diharapkan, dengan adanya pendekatan pribadi tersebut bermuara pada ‘pertobatan’. Ini merupakan salah satu upaya untuk menghidupkan kembali kelompok yang sedang ditimpa masalah. Maka, sangat penting, adanya tindakan dan tidak membiarkan kendala berlarut-larut.
Perhatian yang sama dan adil pastor terhadap kelompok serta pembinaan pengurus menjadi letak kekuatan organisasi/kelompok. Selain itu, kesetiaan dan disiplin warga kelompok dan pengurusnya juga menjadi spirit yang patut dijaga. Saya melihat, hal-hal tersebut dapat memunculkan rasa memiliki (sense of belonging) warga kelompok terhadap kelompoknya. Khusus untuk pengurus kelompok, patut dan pantaslah untuk menyusun kegiatan/aktivitas semenarik mungkin. Resepnya ada empat, yakni: kerinduan warga kelompok, kehadiran pastor pembimbing rohani, program pengurus, dan jalinan komunikasi yang akrab dan hangat. Pastor pembimbing yang ramah, tidak menganggap diri lebih tinggi atau mengarah kesombongan personal, lebih disukai.
Apa langkah konkret tatkala suatu kelompok ‘nyaris mati’?
Pastor pasti akan bertanya pada pengurus guna mencari tahu sebab-musababnya. Bila akar persoalannya diketahui jelas, maka langkah-langkah jalan keluarnya atau solusi pun lebih terarah. Upaya ini dapat dilakukan juga oleh Dewan Pastoral Paroki (DPP), atau oleh seksi-seksi yang terkait di dalamnya. Saya melihat pentingnya pertemuan berkala dalam suatu kelompok kategorial, termasuk untuk evaluasi kegiatan yang telah dilakukan. Upaya ini penting agar warga dan pengurus kelompok dapat melihat, menilai, menentukan gerak langkah selanjutnya.
Sebagai Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Padang, bagaimana Pastor melihat potensi kelompok kategorial yang ada di tiap paroki dalam konteks kerawam?
Suatu potensi yang luar biasa bagusnya! Kelompok kategorial mempunyai peran penting dalam gerak dan langkah kerawam. Warga kelompok hidup di tengah kehidupan bersama masyarakat dengan umat beragama lain. Pastor paroki dan pastor rekan beserta DPP dapat menggerakkan para awam yang ada dalam aneka kelompok kategorial yang ada di tempatnya. Seandainya ada gerak bersama, sinergi, para awam kelompok kategorial ini dapat bergerak bersama. Pastor paroki mempunyai tanggung jawab untuk menghidupkan dinamika umatnya, termasuk warga yang menjadi bagian kelompok kategorial. Komisi Kerawam lebih mengambil sikap sebagai animator, yang menganimasi paroki-paroki, apalagi di tiap paroki kelompok yang ada telah mempunyai pembimbing rohaninya masing-masing. Kelompok kategorial yang ada perlu ‘dibekali’ dan mengenal spiritualitas sebagai saksi-saksi Kristus. (hrd)