Keluarga Menjawab Panggilan Suci (Majalah Gema Edisi Oktober 2016)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Allah memanggil setiap orang untuk hidup suci, yaitu meninggalkan dosa dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagian orang menjawab panggilan itu dengan menjadi seorang imam atau biarawan-wati. Dan kerap kali umat beriman menyematkan predikat sebagai “orang suci” kepada mereka. Mereka juga umumnya berasal dari keluarga-keluarga dan bahkan keluarga pula yang menyuarakan panggilan untuk hidup suci itu serta yang menguatkan mereka untuk tetap berjuang dan setia di jalan panggilan yang telah mereka pilih.
Kesucian itu, dalam terang iman, tampak dari tugas para imam yang dipanggil oleh Allah untuk mewartakan Sabda Allah, melayani sakramen, khususnya Ekaristi dan Pengampunan. Selain itu, para imam juga berusaha untuk membantu orang-orang kecil, orang sakit, mereka yang menderita, orang miskin, dan mereka yang mengalami kesulitan hidup di belahan dunia di mana kadang-kadang terdapat banyak orang yang bahkan hingga dewasa ini masih belum sungguh mengenal Yesus. Karena pentingnya panggilan untuk menjadi imam, Gereja terus berdoa dan menyuarakan panggilan Allah untuk menjadi imam di tengah Gereja.
Menurut data statistik setiap tahunnya calon-calon imam cenderung menurun jumlahnya. Hal ini hendaknya menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja khususnya keluarga-keluarga sebagai Gereja mini. Ensiklik Familiaris Consortio menyebut secara jelas keluarga sebagai Gereja mini (FC 49). Sebutan keluarga sebagai gereja mini merujuk pada panggilan keluarga yang juga merupakan panggilan gereja. Gereja dipanggil untuk mewartakan kerajaan Allah demikian pula halnya keluarga sebagai unit terkecil dari Gereja. Dengan kata lain keluarga juga dipanggil untuk membangun kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja.
GEMA edisi kali ini mencoba memaparkan kesadaran keluarga-keluarga yang mencoba menjawab panggilan suci itu, dengan menanamkan dan menghidupi nilai-nilai kristiani umat dan secara khusus mempersembahkan anak-anak mereka menjadi imam di ladang yang selalu siap panen namun selalu kekurangan pekerja.
Selamat membaca!
Ketika Tuhan Memanggil
“Pastor itu orang yang dekat dengan Tuhan. Jangan takut dengan Pastor! Kamu mau seperti Pastor Haryoto?” tanya ayah suatu waktu. Spontan saya menjawab, “Maulah, Pak!”
Saya lahir di Batas, Pasir Pengaraian, Kabupaten Rokan Hulu, 20 Januari 1987. Saya anak ke-3 dari 8 bersaudara pasangan Jatua Nadeak dan Mutiara Simanjuntak. Saat Sekolah Dasar (SD), saya memang terpesona dengan penampilan Pastor Ignatius Haryoto, SJ (Alm.). Saat berkunjung di tempat kami Stasi Batas, Imam Jesuit itu kalau tidak naik sepeda motor balap (trail), naik jeep hardtop. Gagah sekali! Saya pun ingin seperti dia, keren, dan macho. Saya senang dengan figur, sosok, dan kepribadiannya.
Semakin lama, saya semakin mengenal Pastor Haryoto, karena ayah pengurus stasi. Saya pun cukup dekat dengan kehidupan menggereja di stasi. Saya juga kerap diajak ayah, bersama pastor mengunjungi stasi-stasi lain di Paroki St. Ignatius, Pasir Pengaraian, Riau. Tamat dari SDN 002 Batas, saya melanjutkan ke SMP Negeri 1 Rambah, Pasir Pengaraian, sekitar tiga kilo meter dari pastoran. Sewaktu SMP ini, saya tinggal di pastoran karena dekat dengan sekolah. Hanya saja, waktu itu, Pastor Haryoto pindah tugas, digantikan Pastor Florianus Sarno, Pr. Dengan Imam Diosesan (Projo) Padang ini pun saya suka. Saya merasa, Pastor Sarno mempunyai karakter yang tidak jauh berbeda dengan Pastor Haryoto. Keren, tegas, suaranya pun jelas. Sepanjang pendidikan SMP, semakin kuat keinginan saya menjadi sama dengan beliau. Di pastoran, banyak bacaan yang bagus-bagus dan menarik perhatian saya. Tinggal bersama pastor membuat saya semakin mengenal kehidupan mereka, dekat dengan Tuhan. Saya pun berjumpa dengan banyak orang yang ‘berurusan’ dengan pastor, termasuk kala itu dengan staf penyunting Majalah GEMA. Walaupun pastor paroki silih-berganti, antara lain Pastor Yohanes Cahaya Pr, Pastor Apollos, Pr. (Alm.), ketertarikan saya menjadi pastor tidak surut. Lulus SMP, saya melanjutkan ke SMA Negeri 2 Pekanbaru (2006). Sewaktu kelas X SMA, keinginan saya menjadi pastor masih kuat, tetapi tidak demikian halnya saat kelas XI-XII. Waktu itu, saya sempat bimbang, karena sebagai anak ketiga dari 8 bersaudara, saya ingin membantu orangtua – apalagi saat itu ekonomi keluarga kami sedang sulit. Sempat terlintas dalam pikiran saya, “Kalau menjadi pastor, tidak punya uang dan tidak bisa membantu (ekonomi) keluarga.”
Waktu SMA, setiap Sabtu dan Minggu, saya melibatkan diri dalam kelompok anak misio yang dibimbing Pastor Manuel Sanchez, SX. Meskipun dua tahun pertama di SMA, panggilan saya menjadi imam tidak menggebu-gebu lagi, ‘orangtua angkat’ saya, Pakde Suyoto dan Bude Maria Cecilia Sutarni menjaga saya dengan cara tersendiri. Mereka memperlakukan saya seperti anak kandung sendiri. Saya selalu diingatkan untuk ke gereja, pulang gereja mereka menunggui saya. Saat itu, saya tidak menyadari bahwa dengan cara itulah beliau merawat panggilan saya. Saat di akhir kelas XII, ada promosi dari berbagai perguruan tinggi, saya ingin kuliah agar bisa menjadi orang sukses. Namun, di saat yang sama, muncul lagi keinginan untuk menjadi pastor. Berbagai pertanyaan simpang-siur dan menari-nari di dalam pikiran saya.
“Wo…. (mereka memanggil saya), mau lanjut ke mana? Kuliah atau jadi pastor?” tanya Pakde Suyoto dan Budhe Sutarni sebelum ujian akhir sekolah (UAS) SMA. Pertanyaan pendek itu sungguh menghentakkan saya! Panggilan yang sempat menghilang beberapa saat muncul lagi dan semakin jelas lewat pertanyaan itu. Tetapi saya sendiri saat itu ragu. Saya bermenung! Selama dua minggu berturut-turut, saya naik sepeda ke gereja Paroki St. Maria A Fatima Pekanbaru berdoa pribadi di kapel. “Tuhan, ada keinginan saya menjadi pastor, tetapi saya ragu-ragu. Berilah petunjuk! Tuhan, kalau kehendak-Mu yang terjadi, saya akan ikuti. Saya ini milikmu, berikanlah petunjuk-Mu!” doa saya setiap pergi ke kapel itu. Saya pun lulus SMA. Pastor Yohanes menginformasikan agar saya menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk masuk ke seminari menengah di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Saya lalu menghubungi orangtua untuk meminta bantuan keperluan yang dibutuhkan itu, selagi saya belum pulang. Sebelum berangkat ke Pematangsiantar, saya pulang kampung. Saya bertemu sekaligus pamitan dengan pastor, orangtua, dan sanak saudara. “Selaku orangtua, kami memberikan dukungan sepenuhnya, kalau ini memang pilihan hidupmu!“ ujar ayah yang berbicara apa adanya saat itu. Ibu pun menyatakan akan mendukung lewat doa-doanya.
Saya merasakan, dari wajah mereka, tidak sedikit pun berat hati kalau saya menjadi pastor. Saya semakin yakin dan tidak ada keraguan sedikit pun untuk melangkahkan kaki menuju Pematangsiantar. Dukungan orangtua, membuat saya plong. Kalimat dukungan itu sangat membekas di kalbu saya. Itulah ungkapan terkuat yang saya dengarkan langsung. Pertengahan Juli 2016, saya mulai menapaki jenjang pendidikan sebagai calon imam di Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematangsiantar. Setelah setahun masa retorika, saya lanjut ke Tahun Orientasi Rohani (TOR) Seminari Tinggi Santo Markus (2008-2009), menjalani pendidikan filsafat di Seminari Tinggi Santo Yohanes (2009-2012) di rumah pembinaan Seminari Tinggi Santo Petrus. Selanjutnya, saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) selama dua tahun; setahun di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang dan setahun di Paroki St. Yosef, Duri. Usai TOP, saya melanjutkan pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St. Petrus, Pematangsiantar. Sejak 10 Juli 2016 sampai kini, saya menjalani masa persiapan diakonat di Paroki St. Maria Assumpta, Sikakap, Kepulauan Mentawai.
Selama menjalani masa persiapan diakonat, orangtua dan saudara-saudara senantiasa mendukung saya. Kalau mereka selalu menanyakan keadaan saya, bagi saya itu bukan bentuk kekhawatiran, tetapi sebuah perhatian. “Kami senantiasa mendoakanmu, agar bertahan dalam berbagai situasi dan kelak menjadi pastor. Keputusan dan jalan hidup, ada di tanganmu. Kami sangat mendukungmu untuk menjadi pastor,” ujar ayah dalam percakapan kami. Saya juga teringat, dulu suatu malam ketika berjalan bersama ayah, saya mengutarakan niat menjadi pastor. “Kalau itu pilihanmu, bapak berikan dukungan sepenuhnya,” ucap ayah saat itu.
Saya dan keluarga bersyukur, karena adik saya juga menjalani panggilan khusus sebagai biarawati Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih dari Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM). Adik saya kini berkarya di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. (Disarikan dari wawancara dengan Fr. Wolfram Ignatius Nadeak)
Benih itu Tumbuh Sedari Kecil
Albertus Benediktus Sinabariba (55), ayahanda Fr. Bonar Sinabariba – calon Imam Diosesan Padang yang sedang menjalani pendidikan di Seminari Tinggi Santo Petrus, Pematangsiantar – mengetahui niat anaknya menjadi (calon) imam/pastor sejak anaknya Sekolah Dasar (SD). Umat Stasi Solok, Paroki St. Barbara, Sawahlunto ini mendukung dan mengizinkan Bonar masuk seminari. “Hanya perasaan syukur tatkala akhirnya Bonar benar-benar masuk seminari. Kami merelakannya ia menjalani panggilan suci dan tugas mulia,” ungkapnya. Istrinya, E. Martina br. Turnip (51) pun menyetujui Bonar masuk seminari.
Sinabariba telah melihat minat dan niat Bonar kecil sedari SD. Kala itu, Pastor Pasquale Ferraro, SX (alm.) – Pastor Paroki Sawahlunto – sering menginap di rumahnya bila dua kali sebulan pelayanan ke Stasi Solok. Ia menduga, dari hal demikianlah, tumbuh benih-benih panggilan menjadi imam dalam diri anak keduanya itu. Ayah empat anak dan kakek dua cucu ini mengaku tidak punya harapan khusus terhadap anaknya Bonar. “Saya bersikap sama terhadap keempat anak kami, tidak ada yang diistimewakan. Kalau soal pilihan hidup terpulang pada anak, sejauh itu baik, orangtua akan mendukung. Selain dukungan dana, kami juga menyokong dengan doa!” lanjutnya.
Sinabariba mengisahkan, sebelum masuk seminari, anaknya Bonar bersekolah di SMA Katolik Xaverius Padang (2008), lalu masuk ke Kelas Persiapan Atas (Rhetorica) Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematangsiantar (Agustus 2008). Setelah Rhetorica, Bonar menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Seminari Tinggi St. Markus, Agustus 2009, masuk Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar, Agustus 2010. Bonar menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang (2014-2015). Sekarang, Fr. Bonar berada di tingkat VI atau tahun akhir.
Saat liburan, Fr. Bonar pulang kampung ke Solok. Pertemuan di rumah pun seperti biasa, tidak ada perlakuan istimewa terhadapnya dari orangtua. Hanya saja, sambung Sinabariba mengaku banyak bertukar pikiran dan berdialog dengan anaknya. Ia yang lebih banyak berdiskusi, dan anak curhat terhadapnya ketimbang kepada ibunya. “Sebagai pengurus Gereja, saya banyak bertanya kepada Bonar karena saya menganggapnya lebih punya pengetahuan tentang Gereja,” sambungnya.
Karena sering berdiskusi dan anaknya curhat, Sinabariba menjadi tahu bahwa (calon) pastor juga manusia yang tidak lepas dari persoalan hidup, termasuk Fr. Bonar anaknya. Atas berbagai permasalahan dan kegalauan yang juga dialami anaknya, selaku orangtua, Sinabariba selalu memberikan dukungan, penguatan, dan peneguhan. “Kami saling menguatkan dan mendoakan! Kalau ada kesempatan kami teleponan, saling melepas rindu dengan bercanda.” ujar Sinabariba.
Ditentang Lalu Didukung
Sejak pertengahan Juli 2016, Frater Prian Doni Malau (27) menjalani masa persiapan diakonat di Paroki St. Maria Christianorum Auxilium, Sikabaluan, Kepulauan Mentawai. Masa ini dijalaninya setelah menyelesaikan pendidikan di Seminari Tinggi St. Petrus, Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Calon imam Diosesan Padang ini mengaku dukungan keluarga, khususnya orangtua, tidak selalu mulus. Mulanya, ayah-ibunya mendukung penuh. Namun, tatkala ayahnya meninggal dunia (2004), kala itu Prian kelas VIII SMP, ibunya “berbalik” tidak setuju. Ibunya ingin, ia menemani untuk menggantikan ayahnya. Prian pun bimbang dan galau. Saat Prian dan dua temannya akan mengikuti tes gelombang kedua masuk seminari menengah, masih dalam suasana duka, pastor paroki Antonius Manik meneguhkan dan menguatkan rencananya. Pastor Anton berusaha meyakinkan Prian dan ibunya. Dua teman Prian pun memberikan dukungan yang sama. Akhirnya, ibunya “menyerah” setuju dan mengizinkan. Mereka bertiga lulus tes, tetapi ibunda Prian terlihat murung. Rupanya ibunya belum ikhlas betul. Akhirnya walaupun dengan berat hati, keluarlah kalimat dari ibunya, “Kalau itu memang pilihanmu, jalanilah!”
Yang memberatkan ibunya, bukan hanya berpisah dengan anaknya, tetapi juga biaya. Dua tahun silam (2014), ibunda Prian dipanggil Tuhan, di Paroki Maria Pertolongan Orang Kristen, Sidikalang, Sumatera Utara. Saat itu, Prian sedang berada di Padang. Walaupun sempat “kurang rela”, akhirnya ibu Prian mendukung. Ia ingat pesan ibunya dalam kontak terakhir, saat di tempat kakak di Cibubur, Jawa Barat, agar dirinya memusatkan perhatian pada pendidikan di seminari dan menjaga kesehatan. Kini, tiga saudara Prian mendukung pilihan hidupnya sebagai imam. Dari pengalaman ini, Prian menyatakan calon imam dan imam tak lepas dari keluarganya, butuh dukungan keluarga. Menjadi imam bukan berarti melupakan keluarganya, relasi tetap terjaga dan dipertahankan, ada ikatan batin yang tidak bisa dipungkiri. Prian menyatakan prihatin minimnya ‘tanggapan’ atas panggilan khusus sebagai calon pastor, biarawan-biarawati di Keuskupan Padang. “Perlu upaya menumbuhkan jawaban panggilan suci dari keluarga membiasakan anak aktif di Gereja, (paroki, stasi, lingkungan/kring), Serikat Kerasulan Anak Misi, misdinar, dan OMK,” katanya.
Peran Keluarga dalam Panggilan
Kini, di Keuskupan Padang terdapat 25 paroki, sementara pertambahan imam dari tahun ke tahun sangat kecil, berbeda dengan pertumbuhan jumlah umat. Mendatangkan dan ‘meminjam’ imam dari keuskupan lain menjadi pemecahan masalah sementara waktu. Di berbagai tempat, umat mengeluh tenaga imam terbatas, tetapi ada kalanya hanya sebatas keluhan, tanpa upaya menumbuhkan bibit panggilan di tengah keluarganya. Tidak bisa dipungkiri, keluargalah tempat strategis untuk persemaian panggilan itu. Sejauh mana keluarga Katolik memberi hati untuk menjawab masalah kekurangan imam?
Kepala SMP Santo Tarcisius Dumai, Drs. M.P. Leonardy Bancin (50) telah menyerahkan anak ketiganya Thery Cholma Bancin masuk seminari menengah Christus Sacerdos di Pematangsiantar. “Karena tidak tahu, saya menyiapkan dia masuk SMA, kelak supaya menjadi tentara. Ternyata, ia memilih masuk seminari, ingin menjadi pastor. Saya ikhlas dan mendukungnya,” kata Leo. Awalnya istri Leo, Rusmawaty br. Manullang merahasiakan rencana anaknya terhadap Leo. Sebagai mantan seminaris, hingga tingkat probatorium, Leo cukup mengenal dunia seminari. Ia pun menguji niat dan tekad anaknya. Setelah yakin niat dan tekad Thery tidak berubah, Leo menyokong sepenuhnya. Thery satu dari 9 remaja Dumai yang lulus tes masuk seminari menengah. Tahun 2016 merupakan tahun kelima bagi anaknya di seminari. Tidak hanya dukungan dalam kata-kata, setiap doa malam, mereka selalu mendoakan Thery agar panggilan hidupnya tetap kuat bergema.
Waktu anaknya baru masuk, Leo bersama istrinya mengantarkan anaknya ke Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematangsiantar. Leo teringat masa lalunya yang juga menghuni seminari ini. Ia mengajak mereka berdoa di kapel, tempatnya sering berdoa dulu. “Beberapa tahun yang lalu, Engkau memanggil saya ke tempat ini, tetapi saya keluar! Sekarang, saya membawa anak saya. Tuhan, jangan kembali terulang padanya. Tuhan, saya mohon, kuatkanlah anakku ini. Berbagai cara saya lakukan agar ia menempuh jalan lain, tetapi ia ingin mengabdi kepada-Mu. Biarkan dia di sini,” ucap Leo mengenang. Hingga kini, hanya Thery bertahan di seminari 8 temannya dari Dumai mengundurkan diri. Usai dari Christus Sacerdos dan akan menempuh TOR, orangtua dipanggil untuk mengetahui kemantapan anaknya. “Saya sudah nyaman di sini. Jangan pikirkan saya di sini!” kata Leo menirukan jawaban Thery. Dalam banyak kesempatan, Thery selalu menguatkan ibunya yang mengidap kanker ganas, “Mama, jangan takut! Saya selalu mendoakan Mama! Jangan risaukan saya di seminari ini! Kelak Mama akan melihat Thery ditahbiskan dan menerima Komuni Suci dari tanganku,” sambung Leo menirukan pernyataan anaknya.
Lihat Sajalah Nanti!
Untuk menumbuhkan panggilan, orangtua ‘memfasilitasi’ anaknya aktif dalam aktivitas gerejawi. Orangtua semacam ini boleh berharap, kelak, lewat keterlibatan dalam Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Remaja (BIR), Orang Muda Katolik (OMK), kelompok misdinar, Legio Maria, dan sebagainya anaknya terpanggil menjadi imam. Hal itulah dilakukan Jimmy Mathias (39) terhadap dua puteranya. Putera pertama mengecap pendidikan SMP. Putera kedua di sekolah dasar (SD).
Suami Tri Yulianti Taileleu (38) ini menyatakan dua anaknya belum menyampaikan niat menjadi pastor, tetapi aktif sebagai misdinar. Kepada mereka, Jimmy menggambarkan kehidupan pastor. ”Lihat sajalah nanti’!” ujar Jimmy menirukan anaknya. Jimmy dan istrinya mengikhlaskan bila anaknya menjadi pastor. Sebagai dorongan terhadap anak, pasangan ini melibatkan dua anaknya dalam aneka kegiatan pastoral. Jimmy menceritakan, satu anaknya paling suka duduk di jajaran kursi di panti imam bersama pastor saat Perayaan Ekaristi. “Saya tidak tahu ucapan ini ‘pertanda’ atau perkataan sepintas lalu,” sambungnya.
Berbeda dengan Jimmy, Yulianti Tresia (34), ibu tiga anak – satu putera dan dua puteri – ini berandai-andai bila anaknya dewasa kelak. “Karena hanya satu anak lelaki, saya tidak setuju ia menjadi pastor,” ungkap Yuli. Ia tidak memungkiri ada pertimbangan meneruskan garis marga/suku. Berbeda bila anak perempuan berniat menjadi suster-biarawati. “Boleh, kalau itu memang niat, tekad, dan jawaban atas panggilan Tuhan. Karena masih kecil, saya belum melihat tanda-tanda mereka menjadi pastor atau biarawati. Dalam berdoa, mereka selalu menyampaikan cita-citanya mau menjadi tentara, polisi, dan dokter,” ungkap Yuli.
Cita-cita yang diungkapkan ini, sambung Yuli, tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga. “Semuanya tergantung perjalanan waktu yang dijalani anak-anak di waktu mendatang. Suami pun tidak mempermasalahkan cita-cita mereka kelak,” ungkapnya.
Mulanya Tidak Mengizinkan
Menentang anak pada awal mula panggilan sebagai imam juga dilakukan Theresia Aniy Susanto (49). Aktivis Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru ini salah satu anaknya Andreas Arie Susanto (27) sedang menempuh pendidikan di Seminari Tinggi St. Petrus dan Paulus, Bandung. “Sewaktu SMP, ia berbicara tentang kekagumannya pada para imam yang dilihatnya: begitu peduli satu sama lainnya, hangat, penuh canda, kompak, dan pintar. Setamat SMP, Arie memutuskan masuk Seminari Menengah Stella Maris, Bogor (2004) berlanjut sampai kini,” ungkap Aniy. Saat Arie mengungkapkan niat masuk seminari, dirinya sangat tidak setuju. “Ia menyampaikan kepada ayahnya. Arie tahu, saya tak bakal mengizinkan. Suamiku setuju sekali. Meski mendapat tantanganku, Arie bersikeras dan tetap teguh ke Stella Maris Bogor,” ungkap Aniy.
Mulanya, Aniy memang menentang keras niat anak sulungnya. Aniy khawatir (bakal) kehilangan anaknya. Aniy ngamuk manakala tahu niat anaknya masuk seminari. Ayah Aniy ikut menentang karena tidak akan punya lanjutan keturunan. Suaminya, Yustinus Susanto, meminta bantuan adiknya yang juga pastor di Keuskupan Bogor, RD Driyanto, untuk meyakinkan Aniy. RD Driyanto menyatakan, di seminari menengah sama dengan pendidikan di SMA. “Masuk seminari, belum tentu juga akan dan harus menjadi pastor. Jika tidak ada panggilan, bisa kuliah seperti biasa,” demikian penjelasan yang diterima Aniy dari iparnya itu. Atas penjelasan tersebut Aniy pun mengizinkan anaknya masuk seminari.
Sejalan waktu, Aniy malah menjadi penyemangat dan motivator Arie di saat goyah. “Betapa bahagia saya saat menyaksikan penjubahan Arie. Satu hal yang meneguhkannya adalah ungkapan ayahnya sebelum meninggal (2006). “Biarkanlah Arie menjadi pastor. Bagus juga bila ada di antara keluarga yang mendoakan kita!” tutur Aniy menirukan. Sekarang, Arie berada di tahun akhir pendidikannya, akan berpastoral. Bila berjalan mulus, Arie menjalani persiapan dan menuju tahbisan diakonat. Memang, menuju imamat tidaklah selalu mulus,” tukasnya.
Pilihan Hidup Berbeda-beda
Saya Ambrosius Tatebburuk, anak bungsu dari 7 anak pasangan Thomas Tatebburuk dan Anjela Sagulu. Saya lahir di Puro, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai 12 Agustus 1990. Saya sedang kuliah semester akhir Jurusan Teknik Elektro di Institut Teknologi Padang .
Saudara sulung saya, Mateus Tatebburuk menjadi pastor projo Keuskupan Padang. Dialah pastor pertama dari Mentawai. Saya masih ingat, saat Pastor Mateus ditahbiskan, 8 Februari 1998, di kompleks SMP Yos Sudarso 2 Muara Siberut, Siberut Selatan.
Saat itu, perayaan sangat meriah. Tidak hanya saya yang bangga dan bahagia, tetapi juga keluarga, famili, bahkan umat Katolik dari semua kampung di Paroki St. Maria Diangkat ke Surga, Siberut, Mentawai. Saat itu, sangat banyak dan ramai umat yang menghadiri tahbisan imamat itu. Kalau kepada saya ditanyakan tentang Pastor Mateus yang menjadi imam, saya menjawab, “Jalan dan panggilan hidup seseorang berbeda-beda.” Saya tidak bisa mengikuti jejaknya menjadi pastor. Bakat dan minat saya di bidang teknik elektro. Sebagai imam, Pastor Mateus selalu “mempromosikan” pilihan hidup itu kepada adik-adiknya dan keponakan, bahkan kepada umat setempat. Hanya saja, belum ada dari antara kami yang memilih panggilan sebagai pastor dan biarawan-biarawati. Di tempat lain, ada dalam satu keluarga, anak tertua menjadi pastor, diikuti adiknya entah menjadi suster, bruder atau juga pastor.
Orangtua kami sebenarnya juga mendorong anak-anaknya untuk mencontoh pilihan hidup Abang Mateus. Tetapi, kami (anak-anaknya) mempunyai pilihan dan panggilan hidup tersendiri. Bagi saya, panggilan dan pilihan “hidup khusus” juga mesti mendapat dorongan dan dukungan dari keluarga. Sebagai adiknya, saya pun selalu memberikan dorongan dan dukungan kepada Pastor Mateus, terutama dalam doa-doa agar tetap setia dalam imamat dan pelayanannya kepada umat.
Panggilan Khusus itu Bukanlah Pelarian!
P. FX Hardiono Hadisoebroto, Pr.
Pastor Pamong Calon Imam di Seminari Tinggi Santo Petrus, Pematangsiantar, Sumatera Utara
Prinsip dasar panggilan dalam Gereja adalah mendengarkan dan mengikuti kehendak Allah. Banyak ‘bagian’ dari Kitab Suci yang menunjukkan tentang panggilan. Panggilan atas diri Abraham, Musa, para nabi, para murid Yesus contohnya. Kalau ditilik dari beberapa tokoh, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, pada umumnya tanggapan mereka pada awalnya ada yang keberatan, cemas, menolak; karena beratnya beban yang akan mereka pikul.
Dalam peristiwa panggilan atas murid Yesus, tampaknya lancar-lancar saja, tetapi sebenarnya ada hambatan psikologis. Namun, dalam perjalanan mengikuti Yesus, barulah muncul benturan-benturan kepentingan. Tanggapan mereka atas panggilan tersebut, bahwa panggilan Tuhan tidak sebanding dengan kemampuan yang mereka miliki. Artinya, mereka juga mengukur kemampuan yang dimiliki dengan panggilan Tuhan. Itulah tanggapan spontan manusiawi. Para tokoh dalam Kitab Suci akhirnya menyadari bahwa jalan hidupnya sebagai panggilan dari Tuhan. Karena hal tersebut disentuh dalam Kitab Suci – yang mengandung Sabda Tuhan – pastilah awalnya sebagai suara batin yang kemudian berkembang dalam perjalanan waktu selanjutnya dialami sebagai panggilan Tuhan.
Sepanjang sejarah selalu ada panggilan Tuhan, tidak hanya kepada para tokoh dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Isi Kitab Suci adalah contoh atau keteladanan skala besar rencana agung Tuhan kepada umat manusia. Dalam konteks kekinian, Tuhan tetap memanggil manusia dengan melihat contoh dari para tokoh iman dalam Kitab Suci. Umat dapat mengolah segala peristiwa yang dialaminya itu tidak lepas dari sikap tanggap atau menolak panggilan Tuhan.
Dalam Gereja ada panggilan hidup sebagai awam dan kaum tertahbis/klerus, dan kaum religius yang hidup selibat. Setiap umat beriman, siapa pun dia, memiliki peran dan tugas menjadi ‘tangan Allah’ untuk mengajar warta suka cita Injil, menyucikan dunia, memimpin sesamanya bertemu dengan Tuhan. Memang tidak mudah untuk memahami bagaimana kaum muda itu dibutuhkan Gereja untuk suatu peran yang menarik dirinya seutuhnya kepada panggilan khusus – sebagai kaum tertahbis/religius. Saya pribadi heran, karena panggilan (kaum tertahbis dan kaum religius) sungguh subur dan mengagumkan di kawasan Indonesia Timur.
Dalam hal ini, perlu ada keberanian dengan segala resikonya untuk menemukan cara supaya banyak remaja yang bersedia memberikan hatinya untuk mengikuti panggilan khusus Tuhan ini. Bagaimana itu? Tentu perlu partisipasi umat, keluarga, dan tokoh umat untuk bersama memikirkan dan merumuskannya. Keluarga adalah inti dari panggilan itu. Bagaimana caranya membuat agar keluarga siap memberikan diri untuk kepentingan Gereja? Suasana rohani yang tercipta dalam keluarga; misalnya doa bersama, Ekaristi harian, aktif dalam kegiatan Gereja, keakraban dan kerjasama antar umat, antar umat dan rohaniwan serta biarawan-biarawati sangat mendukung munculnya kesiapsediaan kaum muda untuk menjawab panggilan khusus ini. Di lain pihak, jangan dilupakan dan diabaikan, bahwa kita ini dicintai dan dipanggil oleh Allah. Maka, bagaimana kita sebagai umat beriman menanggapi cinta dan panggilan Tuhan.
Sebagai pamong para calon imam, saya berpartisipasi membentuk dan memoles mereka agar panggilan yang mereka miliki semakin memiliki mutu panggilan yang utuh. Panggilan masuk seminari dan biara bukanlah ‘pelarian’, tetapi panggilan khusus atau istimewa. Jadi, dibutuhkan kaum muda yang bermutu dalam perilaku dan kepribadiannya. Dorongan, memberikan motivasi dan semangat dengan keteladanan menjadi salah satu penentu dalam Gereja dan keluarga beriman menelorkan keinginan dan daya tarik kaum muda kepada panggilan khusus. Juga penting untuk memberikan gambaran, menjadi imam dan biarawan-birawati jangan dipandang beratnya beban, tetapi keindahan yang tercipta bila orang menanggapi panggilan itu dengan tulus. (hrd)(Diolah dari wawancara)