Keluarga Menjawab Panggilan Suci (Majalah Gema Edisi Oktober 2016)

kulit-gema-2016-oktober-1Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Allah memanggil setiap orang untuk hidup suci, yaitu meninggalkan dosa dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagian orang menjawab panggilan itu dengan menjadi seorang imam atau biarawan-wati. Dan kerap kali umat beriman menyematkan predikat sebagai “orang suci” kepada mereka. Mereka juga umumnya berasal dari keluarga-keluarga dan bahkan keluarga pula yang menyuarakan panggilan untuk hidup suci itu serta yang menguatkan mereka untuk tetap berjuang dan setia di jalan panggilan yang telah mereka pilih.

Kesucian itu, dalam terang iman, tampak dari tugas para imam yang dipanggil oleh Allah untuk mewartakan Sabda Allah, melayani sakramen, khususnya Ekaristi dan Pengampunan. Selain itu, para imam juga berusaha untuk membantu orang-orang kecil, orang sakit, mereka yang menderita, orang miskin, dan mereka yang mengalami kesulitan hidup di belahan dunia di mana kadang-kadang terdapat banyak orang yang bahkan hingga dewasa ini masih belum sungguh mengenal Yesus. Karena pentingnya panggilan untuk menjadi imam, Gereja terus berdoa dan menyuarakan panggilan Allah untuk menjadi imam di tengah Gereja.

Menurut data statistik setiap tahunnya calon-calon imam cenderung menurun jumlahnya. Hal ini hendaknya menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja khususnya keluarga-keluarga sebagai Gereja mini. Ensiklik Familiaris Consortio menyebut secara jelas keluarga sebagai Gereja mini (FC 49). Sebutan keluarga sebagai gereja mini merujuk pada panggilan keluarga yang juga merupakan panggilan gereja. Gereja dipanggil untuk mewartakan kerajaan Allah demikian pula halnya keluarga sebagai unit terkecil dari Gereja. Dengan kata lain keluarga juga dipanggil untuk membangun kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja.

GEMA edisi kali ini mencoba memaparkan kesadaran keluarga-keluarga yang mencoba menjawab panggilan suci itu, dengan menanamkan dan menghidupi nilai-nilai kristiani umat dan secara khusus mempersembahkan anak-anak mereka menjadi imam di ladang yang selalu siap panen namun selalu kekurangan pekerja.

Selamat membaca!

Ketika Tuhan Memanggil

Fr. Wolfram Ignatius Nadeak
Fr. Wolfram Ignatius Nadeak

“Pastor itu orang yang dekat de­ngan Tuhan. Jangan ta­kut de­ngan Pastor! Ka­mu mau seperti Pastor Har­yoto?” ta­nya ayah suatu wak­tu. Spon­tan saya menjawab, “Maulah, Pak!”

Saya lahir di Batas, Pasir Pe­nga­raian, Kabupaten Ro­kan Hulu, 20 Januari 1987. Saya anak ke-3 dari 8 bersau­dara pasangan Jatua Nadeak dan Mutiara Siman­juntak. Saat Sekolah Dasar (SD), saya memang terpesona dengan pe­nampilan Pastor Ignatius Haryoto, SJ (Alm.). Saat berkunjung di tempat kami Stasi Batas, Imam Jesuit itu kalau tidak naik sepeda motor balap (trail), naik jeep hardtop. Gagah sekali! Saya pun ingin seperti dia, keren, dan macho. Saya senang dengan figur, so­sok, dan ke­pribadiannya.

Semakin lama, saya semakin me­nge­nal Pastor Haryoto, karena ayah pe­ngu­rus stasi. Saya pun cukup dekat de­ngan kehidupan menggereja di stasi. Saya juga kerap diajak ayah, bersama pastor meng­unjungi stasi-stasi lain di Paroki St. Ignatius, Pasir Pengaraian, Riau. Tamat dari SDN 002 Batas, saya melanjutkan ke SMP Negeri 1 Rambah, Pasir Pengaraian, sekitar tiga kilo meter dari pastoran. Sewaktu SMP ini, saya ting­gal di pastoran karena dekat dengan sekolah. Hanya saja, waktu itu, Pastor Har­yoto pindah tugas, digantikan Pastor Flo­rianus Sarno, Pr. Dengan Imam Diosesan (Projo) Padang ini pun saya suka. Saya merasa, Pastor Sarno mem­punyai karakter yang tidak jauh berbeda dengan Pastor Haryoto. Keren, tegas, suaranya pun jelas. Sepanjang pen­didikan SMP, semakin kuat keinginan saya menjadi sama dengan beliau. Di pastoran, banyak bacaan yang bagus-bagus dan menarik perhatian saya. Tinggal bersama pastor membuat saya semakin mengenal kehidupan mereka, dekat dengan Tuhan. Saya pun berjumpa dengan banyak orang yang ‘berurusan’ dengan pastor, termasuk kala itu dengan staf penyunting Ma­jalah GEMA. Walaupun pastor paro­ki silih-berganti, antara lain Pastor Yohanes Cahaya Pr, Pastor Apollos, Pr. (Alm.), keter­tarikan saya menjadi pastor tidak surut. Lulus SMP, saya melan­jutkan ke SMA Negeri 2 Pekanbaru (2006). Sewaktu kelas X SMA, ke­inginan saya menjadi pastor masih kuat, tetapi tidak demikian halnya saat kelas XI-XII. Waktu itu, saya sempat bimbang, karena sebagai anak ketiga dari 8 ber­saudara, saya ingin membantu orang­tua – apalagi saat itu ekonomi ke­luar­ga kami sedang sulit. Sempat terlin­tas dalam pikiran saya, “Kalau menjadi pastor, tidak punya uang dan tidak bisa membantu (ekonomi) keluar­ga.”

Waktu SMA, setiap Sabtu dan Minggu, saya melibatkan diri dalam kelompok anak misio yang dibimbing Pastor Manuel Sanchez, SX. Meskipun dua tahun pertama di SMA, panggilan saya menjadi imam tidak menggebu-ge­bu lagi, ‘orangtua angkat’ saya, Pakde Suyoto dan Bude Maria Cecilia Sutarni menjaga saya dengan cara ter­sen­diri. Mereka mem­per­lakukan saya seperti anak kandung sendiri. Saya selalu di­ingatkan untuk ke gereja, pulang gereja mere­ka menunggui saya. Saat itu, saya tidak menya­dari bahwa dengan cara itulah beliau merawat pang­gilan saya. Saat di akhir kelas XII, ada pro­mosi dari berbagai pergu­ruan tinggi, saya ingin kuliah agar bisa menjadi orang sukses. Na­mun, di saat yang sama, muncul lagi keinginan untuk menjadi pastor. Ber­ba­gai per­tanyaan simpang-siur dan mena­ri-nari di dalam pikiran saya.

“Wo…. (mereka memanggil saya), mau lanjut ke mana? Kuliah atau jadi pastor?” tanya Pakde Suyoto dan Budhe Sutarni sebelum ujian akhir sekolah (UAS) SMA. Pertanyaan pen­dek itu sungguh menghentakkan saya! Pang­gilan yang sempat meng­hilang beberapa saat muncul lagi dan semakin jelas lewat pertanyaan itu. Tetapi saya sendiri saat itu ragu. Saya bermenung! Selama dua ming­gu berturut-turut, saya naik sepeda ke gereja Paroki St. Maria A Fati­ma Pekanbaru berdoa pribadi di ka­pel. “Tu­han, ada ke­ingin­an saya menjadi pastor, tetapi saya ragu-ragu. Berilah petunjuk! Tuhan, ka­lau ke­hendak-Mu yang terjadi, saya akan ikuti. Saya ini milikmu, beri­kanlah pe­tunjuk-Mu!” doa saya setiap pergi ke kapel itu. Saya pun lulus SMA. Pastor Yohanes menginformasikan agar saya menyiapkan berkas-berkas yang diper­lukan untuk masuk ke seminari me­nengah di Pematangsiantar, Suma­tera Utara. Saya lalu menghubungi orangtua untuk meminta bantuan keperluan yang dibu­tuhkan itu, selagi saya belum pu­lang. Sebelum berangkat ke Pematang­sian­tar, saya pulang kampung. Saya ber­temu sekali­gus pamitan dengan pas­tor, orang­tua, dan sanak saudara. “Selaku orangtua, kami mem­beri­kan dukungan sepenuhnya, kalau ini memang pilihan hidupmu!“ ujar ayah yang berbicara apa adanya saat itu. Ibu pun menyatakan akan mendukung lewat doa-doanya.

Saya merasakan, dari wajah mereka, tidak sedikit pun berat hati kalau saya menjadi pastor. Saya semakin yakin dan tidak ada keraguan sedikit pun untuk melang­kahkan kaki menuju Pematang­siantar. Dukungan orangtua, membuat saya plong. Kalimat dukungan itu sangat membekas di kalbu saya. Itulah ungkap­an terkuat yang saya dengarkan lang­sung. Per­tengahan Juli 2016, saya mulai mena­paki jenjang pendidikan sebagai calon imam di Seminari Menengah Christus Sacer­dos, Pematangsiantar. Setelah setahun masa retorika, saya lanjut ke Tahun Orientasi Rohani (TOR) Seminari Tinggi Santo Markus (2008-2009), menjalani pendidikan filsafat di Seminari Tinggi Santo Yohanes (2009-2012) di rumah pembinaan Seminari Tinggi Santo Petrus. Selanjutnya, saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) selama dua tahun; setahun di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang dan setahun di Paroki St. Yosef, Duri. Usai TOP, saya melanjutkan pen­di­dikan teologi di Sekolah Tinggi Fil­safat dan Teologi (STFT) St. Petrus, Pe­matangsiantar. Sejak 10 Juli 2016 sampai kini, saya menjalani masa persiapan diakonat di Paroki St. Maria Assumpta, Sikakap, Kepulauan Mentawai.

Selama menjalani masa persiapan diakonat, orangtua dan saudara-saudara senantiasa mendukung saya. Kalau mere­ka selalu menanyakan keadaan sa­ya, bagi saya itu bukan bentuk ke­khawatiran, tetapi sebuah perhatian. “Ka­mi senan­tiasa mendoakanmu, agar ber­ta­han dalam berbagai situasi dan kelak menjadi pastor. Keputusan dan jalan hidup, ada di tanganmu. Kami sangat mendukungmu untuk menjadi pas­tor,” ujar ayah dalam percakapan kami. Saya juga ter­ingat, dulu suatu ma­lam ketika ber­­jalan bersa­ma ayah, saya meng­uta­rakan niat menja­di pastor. “Kalau itu pilihanmu, bapak berikan du­kungan se­penuh­nya,” ucap ayah saat itu.

Saya dan keluarga bersyukur, kare­na adik saya juga menjalani panggilan khusus sebagai biarawati Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih dari Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM). Adik saya kini berkarya di Lubuk Pa­kam, Sumatera Utara. (Disarikan dari wawancara dengan Fr. Wolfram Ignatius Nadeak)

Benih itu Tumbuh Sedari Kecil

fokusab-sinabariba-fr-bonar-sinabariba1
Albertus Benediktus Sinabariba bersama Fr. Bonar Sinabariba

Albertus Benediktus Sinabariba (55), ayahanda Fr. Bonar Sinabariba – calon Imam Diosesan Padang yang sedang menjalani pendidikan di Seminari Tinggi Santo Petrus, Pematang­siantar – mengetahui niat anaknya menjadi (calon) imam/pastor sejak anaknya Sekolah Dasar (SD). Umat Stasi Solok, Paroki St. Barbara, Sawahlunto ini mendukung dan mengizinkan Bonar masuk seminari. “Hanya perasaan syukur tatkala akhirnya Bonar benar-benar masuk seminari. Kami merela­kannya ia menjalani panggilan suci dan tugas mulia,” ungkapnya. Istri­nya, E. Martina br. Turnip (51) pun menye­tujui Bonar masuk seminari.

Sinabariba telah melihat minat dan niat Bonar kecil sedari SD. Kala itu, Pastor Pasquale Ferraro, SX (alm.) – Pastor Paroki Sawahlunto – sering menginap di rumahnya bila dua kali sebulan pelayanan ke Stasi Solok. Ia menduga, dari hal demikianlah, tumbuh benih-benih pang­gilan menjadi imam dalam diri anak ke­duanya itu. Ayah empat anak dan kakek dua cucu ini mengaku tidak punya harapan khusus terhadap anaknya Bonar. “Saya bersikap sama terhadap keempat anak kami, tidak ada yang diistimewakan. Kalau soal pilihan hidup terpulang pada anak, sejauh itu baik, orangtua akan mendukung. Selain dukungan dana, kami juga menyokong dengan doa!” lanjutnya.

Sinabariba mengisahkan, sebelum masuk seminari, anaknya Bonar berse­kolah di SMA Katolik Xaverius Padang (2008), lalu masuk ke Kelas Persiapan Atas (Rhetorica) Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematangsiantar (Agustus 2008). Setelah Rhetorica, Bonar menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Seminari Tinggi St. Markus, Agustus 2009, masuk Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar, Agustus 2010. Bonar menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang (2014-2015). Sekarang, Fr. Bonar berada di tingkat VI atau tahun akhir.

Saat liburan, Fr. Bonar pulang kampung ke Solok. Pertemuan di rumah pun seperti biasa, tidak ada perlakuan istimewa terhadapnya dari orangtua. Hanya saja, sambung Sinabariba mengaku banyak bertu­kar pikiran dan berdialog dengan anaknya. Ia yang lebih banyak berdis­kusi, dan anak curhat terha­dapnya ketimbang kepada ibunya. “Sebagai pengurus Gereja, saya banyak bertanya kepada Bonar karena saya menganggapnya lebih punya penge­tahuan tentang Gereja,” sambungnya.

Karena sering berdiskusi dan anak­nya curhat, Sinabariba menjadi tahu bahwa (calon) pastor juga manusia yang tidak lepas dari persoalan hidup, termasuk Fr. Bonar anaknya. Atas berbagai perma­salahan dan kegalauan yang juga dialami anaknya, selaku orangtua, Sinabariba selalu memberikan dukungan, penguatan, dan peneguhan. “Kami saling menguatkan dan mendoakan! Kalau ada kesempatan kami teleponan, saling melepas rindu dengan bercanda.” ujar Sinabariba.

Ditentang Lalu Didukung

Fr. Prian Doni Malau
Frater Prian Doni Malau

Sejak pertengahan Juli 2016, Frater Prian Doni Malau (27) menjalani ma­sa persiapan dia­ko­nat di Paroki St. Maria Christianorum Auxilium, Sika­ba­luan, Kepulauan Men­ta­wai. Masa ini dijalani­nya setelah menye­lesaikan pendi­dikan di Seminari Tinggi St. Petrus, Pema­tang­­siantar, Suma­tera Utara.

Calon imam Diosesan Padang ini mengaku dukungan keluarga, khusus­nya orangtua, tidak selalu mulus. Mulanya, ayah-ibunya mendukung pe­nuh. Namun, tatkala ayahnya meninggal dunia (2004), kala itu Prian kelas VIII SMP, ibunya “berbalik” tidak setuju. Ibunya ingin, ia menemani untuk meng­­gantikan ayahnya. Prian pun bim­bang dan galau. Saat Prian dan dua temannya akan mengikuti tes gelom­bang kedua masuk seminari menengah, masih da­lam suasana duka, pastor paroki Anto­nius Manik mene­guh­kan dan me­nguat­kan rencananya. Pastor Anton ber­usaha meyakinkan Prian dan ibunya. Dua teman Prian pun mem­berikan dukung­an yang sama. Akhirnya, ibunya “menyerah” setuju dan meng­izinkan. Mereka bertiga lulus tes, tetapi ibunda Prian terlihat mu­rung. Rupanya ibunya belum ikhlas betul. Akhirnya walaupun dengan berat hati, keluarlah kalimat dari ibunya, “Kalau itu memang pilihanmu, jalani­lah!”

Yang memberatkan ibunya, bu­kan hanya berpisah dengan anaknya, tetapi juga biaya. Dua tahun silam (2014), ibun­da Prian dipanggil Tuhan, di Paroki Maria Pertolongan Orang Kristen, Sidi­ka­lang, Sumatera Utara. Saat itu, Prian sedang berada di Padang. Walaupun sem­pat “kurang rela”, akhirnya ibu Prian mendukung. Ia ingat pesan ibunya dalam kontak terakhir, saat di tempat kakak di Cibubur, Jawa Barat, agar diri­nya memusatkan perha­tian pada pendi­dikan di seminari dan menjaga ke­se­hatan. Kini, tiga saudara Prian men­du­kung pilihan hidupnya sebagai imam. Dari pengalaman ini, Prian menyatakan calon imam dan imam tak lepas dari ke­luarganya, butuh dukungan ke­luarga. Menjadi imam bukan berarti melu­­pakan keluar­ganya, relasi tetap terjaga dan diperta­hankan, ada ikatan batin yang tidak bisa dipungkiri. Prian menya­takan prihatin minimnya ‘tang­gap­­an’ atas panggilan khu­sus seba­gai calon pastor, biara­wan-biarawati di Keuskup­an Pa­dang. “Perlu upaya me­num­buh­kan ja­wab­an pang­gil­an suci dari keluarga mem­bia­sakan anak aktif di Gereja, (paro­ki, stasi, ling­kung­an/­kring), Seri­kat Kerasulan Anak Misi, misdinar, dan OMK,” kata­nya.

Peran Keluarga dalam Panggilan

Kini, di Keuskupan Padang terdapat 25 paroki, semen­tara pertam­bahan imam dari tahun ke tahun sangat kecil, berbeda de­ngan pertumbuhan jumlah umat. Menda­­tang­kan dan ‘meminjam’ imam dari ke­uskupan lain menjadi pemecahan masa­lah sementara waktu. Di berbagai tempat, umat mengeluh tenaga imam terbatas, tetapi ada kalanya hanya sebatas keluhan, tanpa upaya me­num­buhkan bibit panggilan di tengah keluarganya. Tidak bisa dipungkiri, ke­luar­galah tempat strategis untuk per­semaian panggilan itu. Sejauh mana keluarga Katolik memberi hati untuk menjawab masalah kekurangan imam?

fokusmp-leonardy-bancin
Drs. M.P. Leonardy Bancin

Kepala SMP Santo Tarcisius Dumai, Drs. M.P. Leonardy Bancin (50) telah menyerahkan anak ketiganya Thery Cholma Bancin masuk seminari me­nengah Christus Sacerdos di Pema­tang­siantar. “Karena tidak tahu, saya me­nyiapkan dia masuk SMA, kelak supaya menjadi tentara. Ternyata, ia memilih masuk seminari, ingin menjadi pastor. Saya ikhlas dan mendukungnya,” kata Leo. Awalnya istri Leo, Rusmawaty br. Manullang merahasiakan rencana anaknya terhadap Leo. Sebagai mantan seminaris, hingga tingkat probatorium, Leo cukup mengenal dunia seminari. Ia pun menguji niat dan tekad anaknya. Setelah yakin niat dan tekad Thery tidak berubah, Leo menyokong sepenuhnya. Thery satu dari 9 remaja Dumai yang lulus tes masuk seminari menengah. Tahun 2016 merupa­kan tahun kelima bagi anaknya di seminari. Tidak hanya dukungan dalam kata-kata, setiap doa malam, mereka selalu men­doakan Thery agar panggilan hidup­nya tetap kuat bergema.

Waktu anaknya baru masuk, Leo bersama istrinya meng­antarkan anaknya ke Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pema­tangsiantar. Leo teringat masa lalunya yang juga menghuni seminari ini. Ia mengajak mereka berdoa di kapel, tempatnya sering berdoa dulu. “Beberapa tahun yang lalu, Engkau memanggil saya ke tempat ini, tetapi saya keluar! Sekarang, saya membawa anak saya. Tuhan, jangan kembali terulang padanya. Tuhan, saya mohon, kuatkanlah anakku ini. Berbagai cara saya lakukan agar ia menempuh jalan lain, tetapi ia ingin mengabdi kepada-Mu. Biarkan dia di sini,” ucap Leo mengenang. Hingga kini, hanya Thery bertahan di seminari 8 temannya dari Dumai meng­undurkan diri. Usai dari Christus Sacerdos dan akan menempuh TOR, orangtua dipanggil untuk mengetahui kemantapan anaknya. “Saya sudah nyaman di sini. Jangan pikirkan saya di sini!” kata Leo menirukan jawaban Thery. Dalam banyak kesempat­an, Thery selalu menguatkan ibunya yang mengidap kanker ganas, “Mama, jangan takut! Saya selalu men­doakan Mama! Jangan risaukan saya di seminari ini! Kelak Mama akan melihat Thery ditah­biskan dan menerima Komuni Suci dari tanganku,” sambung Leo menirukan pernyataan anaknya.

Lihat Sajalah Nanti!

Jimmy Mathias
Jimmy Mathias

Untuk menumbuhkan panggilan, orangtua ‘memfasilitasi’ anaknya aktif dalam aktivitas gerejawi. Orangtua semacam ini boleh berharap, kelak, lewat keterlibatan dalam Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Remaja (BIR), Orang Muda Katolik (OMK), kelom­pok misdinar, Legio Maria, dan sebagainya anaknya terpanggil menjadi imam. Hal itulah dilakukan Jimmy Mathias (39) terhadap dua puteranya. Putera pertama mengecap pendidikan SMP. Putera kedua di sekolah dasar (SD).

Suami Tri Yulianti Taileleu (38) ini menyatakan dua anaknya belum me­nyam­­­paikan niat menjadi pastor, tetapi aktif sebagai misdinar. Kepada mereka, Jimmy meng­gam­barkan kehi­dup­an pas­tor. ”Lihat sajalah nanti’!” ujar Jimmy menirukan anaknya. Jimmy dan istri­nya meng­ikhlaskan bila anaknya me­nja­di pastor. Sebagai dorong­an ter­ha­dap anak, pasangan ini meli­batkan dua anaknya dalam aneka kegiatan pastoral. Jimmy menceritakan, satu anaknya pa­ling suka duduk di jajaran kursi di panti imam bersama pastor saat Perayaan Ekaristi. “Saya tidak tahu ucap­an ini ‘per­tanda’ atau perka­taan se­pintas lalu,” sambungnya.

Yulianti Tresia
Yulianti Tresia

Berbeda dengan Jimmy, Yulianti Tresia (34), ibu tiga anak – satu putera dan dua puteri – ini berandai-andai bila anak­nya dewasa kelak. “Karena hanya satu anak lelaki, saya tidak setuju ia menjadi pastor,” ungkap Yuli. Ia tidak memungkiri ada per­timbangan meneruskan garis marga/suku. Berbeda bila anak perem­puan berniat menjadi sus­ter-biarawati. “Boleh, kalau itu memang niat, tekad, dan jawab­an atas panggilan Tuhan. Karena masih kecil, saya belum melihat tanda-tanda mereka menjadi pastor atau biara­wati. Dalam berdoa, mereka selalu me­nyam­paikan cita-citanya mau menjadi tentara, polisi, dan dokter,” ungkap Yuli.

Cita-cita yang diungkapkan ini, sam­bung Yuli, tak lepas dari pengaruh ling­kungan keluarga. “Semuanya tergantung perjalanan waktu yang dijalani anak-anak di waktu mendatang. Suami pun tidak mempermasalahkan cita-cita mereka kelak,” ungkapnya.

Mulanya Tidak Mengizinkan

Theresia Aniy Susanto bersama anaknya
Theresia Aniy Susanto bersama anaknya

Menentang anak pada awal mula panggilan sebagai imam juga dilakukan Theresia Aniy Susanto (49). Aktivis Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru ini salah satu anaknya Andreas Arie Susanto (27) sedang menempuh pendidikan di Semi­nari Tinggi St. Petrus dan Paulus, Bandung. “Sewaktu SMP, ia berbi­cara tentang keka­gumannya pada para imam yang dilihat­nya: begitu peduli satu sama lainnya, hangat, penuh canda, kompak, dan pintar. Setamat SMP, Arie memu­tuskan masuk Seminari Menengah Stella Maris, Bogor (2004) berlanjut sampai kini,” ungkap Aniy. Saat Arie mengung­kapkan niat masuk semi­nari, dirinya sangat tidak setuju. “Ia menyampai­kan kepada ayahnya. Arie tahu, saya tak bakal mengizinkan. Suamiku setuju sekali. Meski mendapat tantanganku, Arie bersi­keras dan tetap teguh ke Stella Ma­ris Bogor,” ungkap Aniy.

Mulanya, Aniy memang menentang keras niat anak sulungnya. Aniy khawatir (bakal) kehilangan anaknya. Aniy ngamuk manakala tahu niat anaknya masuk seminari. Ayah Aniy ikut menentang kare­na tidak akan punya lanjutan keturunan. Suaminya, Yustinus Susanto, memin­ta ban­tuan adiknya yang juga pastor di Keuskupan Bogor, RD Driyanto, untuk me­yakinkan Aniy. RD Driyanto menya­takan, di seminari menengah sama dengan pendidikan di SMA. “Masuk semina­ri, belum tentu juga akan dan harus menjadi pastor. Jika tidak ada pang­gilan, bisa kuliah seperti biasa,” demikian penje­lasan yang diterima Aniy dari iparnya itu. Atas penjelasan terse­but Aniy pun mengizinkan anaknya masuk seminari.

Sejalan waktu, Aniy malah men­jadi penyemangat dan motivator Arie di saat goyah. “Betapa bahagia saya saat menyak­sikan penjubahan Arie. Satu hal yang mene­guhkannya adalah ungkapan ayahnya sebelum meninggal (2006). “Biar­­kanlah Arie menjadi pastor. Bagus juga bila ada di antara keluarga yang men­doakan kita!” tutur Aniy meni­ru­kan. Sekarang, Arie berada di tahun akhir pendi­dikannya, akan ber­pastoral. Bila berjalan mulus, Arie menjalani per­siapan dan menuju tahbisan dia­konat. Me­mang, menuju imamat tidaklah selalu mulus,” tukasnya.

Pilihan Hidup Berbeda-beda

Ambrosius Tateb­buruk
Ambrosius Tateb­buruk (tengah)

Saya Ambrosius Tateb­buruk, anak bungsu dari 7 anak pa­sangan Tho­mas Tateb­buruk dan Anjela Sagulu. Saya lahir di Puro, Siberut Selat­an, Kepu­lau­an Men­tawai 12 Agustus 1990. Saya sedang ku­liah semester akhir Jurusan Tek­nik Elektro di Institut Tek­nolo­gi Padang .

Saudara sulung saya, Mateus Tateb­buruk menjadi pastor projo Keuskupan Padang. Dialah pastor pertama dari Men­tawai. Saya masih ingat, saat Pas­tor Mateus ditahbiskan, 8 Februari 1998, di kompleks SMP Yos Sudar­so 2 Muara Siberut, Siberut Selatan.

Saat itu, perayaan sangat me­riah. Ti­dak hanya saya yang bang­ga dan bahagia, tetapi juga keluar­ga, famili, bahkan umat Katolik dari semua kam­pung di Paroki St. Maria Diangkat ke Surga, Siberut, Menta­wai. Saat itu, sangat banyak dan ramai umat yang menghadiri tahbisan imamat itu. Kalau kepada saya ditanyakan tentang Pastor Mateus yang menjadi imam, saya menja­­wab, “Jalan dan panggilan hidup seseorang ber­beda-beda.” Saya tidak bisa meng­ikuti jejaknya menja­di pastor. Bakat dan minat saya di bidang teknik elektro. Sebagai imam, Pastor Mateus selalu “mempro­mosikan” pilihan hidup itu kepada adik-adiknya dan keponakan, bahkan kepada umat se­tempat. Hanya saja, belum ada dari antara kami yang memilih panggilan sebagai pastor dan biarawan-biarawati. Di tem­pat lain, ada dalam satu ke­luarga, anak tertua menjadi pastor, diikuti adiknya entah menja­di suster, bruder atau juga pastor.

Orangtua kami sebenarnya juga men­dorong anak-anaknya untuk mencontoh pilihan hidup Abang Mateus. Te­tapi, kami (anak-anaknya) mempunyai pilihan dan pang­gilan hidup ter­sen­diri. Bagi saya, pang­gilan dan pilihan “hi­dup khusus” juga mesti men­dapat dorongan dan dukung­an dari keluarga. Sebagai adiknya, saya pun selalu memberikan dorongan dan duk­ungan kepada Pastor Mateus, terutama dalam doa-doa agar tetap setia dalam imamat dan pelayanannya kepada umat.

Panggilan Khusus itu  Bukanlah Pelarian!

P. FX Hardiono Hadisoebroto, Pr
P. FX Hardiono Hadisoebroto, Pr

P. FX Hardiono Hadisoebroto, Pr.
Pastor Pamong Calon Imam di Seminari Tinggi Santo Petrus, Pematangsiantar, Suma­tera Utara 

Prinsip dasar panggilan dalam Gereja adalah mendengarkan dan mengikuti kehendak Allah. Ba­nyak ‘bagian’ dari Kitab Suci yang me­nunjukkan tentang panggilan. Pang­gilan atas diri Abraham, Musa, para nabi, para murid Yesus contohnya. Kalau ditilik dari beberapa tokoh, baik dalam Per­janjian La­ma maupun Perjanjian Baru, pada umum­nya tanggapan mereka pada awalnya ada yang keberatan, cemas, menolak; karena berat­nya beban yang akan mereka pikul.

Dalam peristiwa panggilan atas mu­rid Yesus, tampaknya lancar-lancar saja, tetapi sebenarnya ada hambatan psiko­logis. Namun, dalam perjalanan meng­ikuti Yesus, barulah muncul benturan-benturan kepentingan. Tanggapan mere­ka atas panggilan tersebut, bahwa pang­gilan Tuhan tidak sebanding dengan kemam­puan yang mereka miliki. Arti­nya, mereka juga mengukur kemam­puan yang dimiliki dengan panggilan Tuhan. Itulah tanggapan spontan manusiawi. Para tokoh dalam Kitab Suci akhirnya menyadari bahwa jalan hidupnya sebagai panggilan dari Tuhan. Karena hal tersebut disentuh dalam Kitab Suci – yang mengandung Sabda Tuhan – pastilah awalnya sebagai suara batin yang kemudian berkembang dalam perjalanan waktu selanjutnya dialami sebagai panggilan Tuhan.

Sepanjang sejarah selalu ada pang­gilan Tuhan, tidak hanya kepada para to­koh dalam Perjanjian Lama maupun Per­janjian Baru. Isi Kitab Suci adalah contoh atau keteladanan skala besar rencana agung Tuhan kepada umat manusia. Da­lam konteks kekinian, Tuhan tetap me­mang­gil manusia dengan melihat contoh dari para tokoh iman dalam Kitab Suci. Umat dapat mengolah segala peristiwa yang dialaminya itu tidak lepas dari sikap tanggap atau menolak panggilan Tuhan.

Dalam Gereja ada panggilan hidup sebagai awam dan kaum tertahbis/klerus, dan kaum religius yang hidup selibat. Setiap umat beriman, siapa pun dia, me­miliki peran dan tugas menjadi ‘tangan Allah’ untuk mengajar warta suka cita Injil, menyucikan dunia, memimpin sesamanya bertemu dengan Tuhan. Memang tidak mudah untuk memahami bagaimana kaum muda itu dibutuhkan Gereja untuk suatu peran yang menarik dirinya seutuhnya kepada panggilan khusus – sebagai kaum tertahbis/religius. Saya pribadi heran, karena panggilan (kaum ter­tahbis dan kaum religius) sungguh subur dan meng­agum­kan di kawasan Indo­nesia Timur.

Dalam hal ini, perlu ada ke­beranian dengan segala resikonya untuk mene­mukan cara supaya banyak remaja yang bersedia memberikan hatinya untuk mengikuti panggilan khusus Tuhan ini. Bagaimana itu? Tentu perlu partisipasi umat, keluarga, dan tokoh umat untuk bersama memikirkan dan meru­mus­kannya. Keluarga adalah inti dari pang­gilan itu. Bagaimana caranya membuat agar keluarga siap memberikan diri untuk kepentingan Gereja? Suasana rohani yang tercipta dalam keluarga; misalnya doa bersama, Ekaristi harian, aktif dalam kegiatan Gereja, ke­akraban dan kerjasama antar umat, antar umat dan rohaniwan serta biara­wan-biarawati sangat mendu­kung mun­culnya kesiapsediaan kaum muda untuk menjawab panggilan khusus ini. Di lain pihak, jangan dilupakan dan diabaikan, bahwa kita ini dicintai dan dipanggil oleh Allah. Maka, bagaimana kita sebagai umat beriman menanggapi cinta dan panggilan Tuhan.

Sebagai pamong para calon imam, saya berpartisipasi membentuk dan memoles mereka agar panggilan yang mereka miliki semakin memiliki mutu panggilan yang utuh. Panggilan masuk seminari dan biara bukanlah ‘pelarian’, tetapi panggilan khusus atau istimewa. Jadi, dibutuhkan kaum muda yang bermutu dalam perilaku dan kepri­badiannya. Dorongan, memberikan mo­tivasi dan semangat dengan ketela­danan menjadi salah satu penentu dalam Gereja dan keluarga beriman menelorkan ke­inginan dan daya tarik kaum muda kepada panggilan khusus. Juga penting untuk memberikan gambaran, menjadi imam dan biarawan-birawati jangan dipandang beratnya beban, tetapi keindahan yang tercipta bila orang menanggapi panggilan itu dengan tulus. (hrd)(Diolah dari wawancara)

Tinggalkan Balasan