KELUARGA YANG BERSAKSI (Majalah Gema Edisi Februari 2017)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Yesus Kristus datang untuk menyelamatkan dunia beserta seluruh isinya. Kedatangan-Nya ke dunia diawali dalam sebuah keluarga kudus dari Nazaret, untuk memancarkan kekayaan kasih Allah kepada dunia. Keluarga Nazaret adalah sebuah sekolah, di mana orang mulai mengerti kehidupan Kristus. Itulah sekolah Injil yang mengajarkan kehendak, kasih dan penyelamatan Allah bagi manusia. Keluarga Nazaret merupakan model bagi seluruh keluarga untuk mengerti tentang hakekatnya sebagai keluarga yang sebenarnya, kebersamaannya dalam cinta, akan martabatnya, akan keindahannya yang gemilang, akan kekudusannya.
Keluarga, sebagai komunitas yang dibentuk oleh Allah, mempunyai hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memberikan kesaksian tentang Kristus. Keberadaan keluarga-keluarga di tengah masyarakat harus menjadi tanda kehadiran Allah di tengah dunia, dan bagaikan ragi menjiwai keluarga-keluarga sekitar yang dalam sikap dan kata secara khusus bagi keluarga-keluarga yang belum percaya kepada Kristus sebagai pelaksana dan penyampai kehendak Allah dan mewujudkan masyarakat yang semakin manusiawi, yang di dalamnya nilai-nilai kebajikan dipelihara, dilaksanakan dan dibagikan kepada masyarakat sekitar.
“Kamu adalah saksi dari semuanya ini” Sabda Kristus (Luk 24:48). Keluarga-keluarga adalah saksi Kristus, Allah yang menjadi manusia: yang menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem (bdk. Luk 24:46-47). Bagaimana keluarga-keluarga menyadari diri sebagai utusan di tengah masyarakat, terhadap keluarga-keluarga sekitar yang di dalamnya setiap saat keluarga-keluarga kristiani hidup dan berinteraksi setiap saat? Dan begaimana keluarga-keluarga membaharui komitmen untuk bersaksi selama Tahun Martyria ini? Majalah GEMA edisi ini mencoba memaparkan komitmen keluarga-keluarga untuk bersaksi sebagai ragi, garam dan terang dengan melebur dalam kehidupan masyarakat dan membawanya untuk mengenal Allah yang benar serta melakukan kehendak-Nya. Santo Paulus mengajak keluarga-keluarga untuk “janganlah malu bersaksi tentang Tuhan” dalam perkataan maupun perbuatan (2Tim 1:8).
Selamat membaca!
Tidak Harus Keluarga Sempurna
P. Anton Konseng, Pr.
Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Padang
Komisi Keluarga Keuskupan Padang lebih mengutamakan langkah atau gerakan yang konkrit dan nyata dalam kegiatannya. Berkaitan dengan “keluarga yang bersaksi”, upaya konkritnya adalah agar keluarga Katolik mampu dan mau bersaksi di lingkungannya. Tidak harus menunggu keluarga menjadi sempurna lebih dahulu untuk menjadi saksi Kristus.
Saya pun tidak memberikan gagasan yang muluk-muluk, tetapi sederhana dalam melakukan kegiatan yang berkaitan hidup perkawinan. Saya mengajak pasangan suami isteri Katolik untuk memberikan kesaksian, berbagi pengalaman di dalam rekoleksi tersebut. Kami telah melakukannya di Paroki St. Barbara Sawahlunto dan Paroki St. Maria Bunda Yesus, Tirtonadi Padang. Hal ini juga telah saya sampaikan atau laporkan dalam pertemuan para imam se-Keuskupan Padang, beberapa waktu silam.
Menurut saya, cara dan langkah ini lebih tepat ketimbang mengupas pengertian “martyria” – yang mengutamakan teori. Saya menganggap model seperti ini lebih konkrit, ‘mendarat’ dan membumi. Untuk melakukan hal itu, Komisi Keluarga Keuskupan Padang telah merancang dan melakukan gerakan di setiap rawil (rapat wilayah) – sebelum pencanangan Tahun Martyria/Kesaksian. Kami ingin sesuatu yang konkrit, sesuai dengan situasi-kondisi setempat. Setiap anggota keluarga Katolik diajak dan berkomitmen membagikan kekayaannya kepada keluarga lainnya. Kalaupun dalam prosesnya terselip hal yang teoritis dan teologis, biasanya hanya ada pada bagian pengantar (introduksi) karena untuk mendasari dalam melihat dan merasakannya sebagai pengalaman iman. Pada bagian pengantar tersebut, peserta mendapat pemahaman teologis secara sederhana. Pendampingan keluarga semacam ini kami adakan di tingkat rawil. Sejumlah orang dari paroki dalam rawil telah mengalami proses itu dan mereka dapat menyelenggarakan gerakan (movement) di parokinya. Di paroki bisa dibuat variasi dan kreasi sesuai situasi dan kebutuhan. Komisi Keluarga Keuskupan Padang tidak secara langsung mengadakan pembinaan hingga ke level paroki, apalagi stasi.
Para pasutri nara sumber yang membagikan pengalaman hidup berumah tangga menurut saya tidak perlu keluarga yang sempurna atau ideal. Lihat saja, gerakan Marriage Encounter (ME) tidak selalu memilih orang yang keluarganya sempurna untuk memberikan kesaksian. Dalam gerakan ME memilih keluarga ‘normal’, yang juga mengalami jatuh bangun dalam pergumulan hidup berkeluarga, namun ada upaya untuk bangkit dan membarui situasi. Hal ini lebih berguna dan tepat, ketimbang memilih keluarga ideal dan sempurna, tetapi tidak bisa dilakukan (ditiru) keluarga lainnya. Menurut saya, model dan langkah ini telah teruji di seluruh dunia. Kami telah memulainya, menjalaninya, tidak bergantung pada patokan waktu. Kegiatan ini bagian dari kesaksian yang merupakan suatu gerakan (movement), bukan program. Gerakan ini bukan gerakan “dalam rangka”, yang sifatnya sementara waktu saja, tetapi berkesinambungan, sepanjang waktu.
Bersaksi:
Berarti Tidak Berdiam Diri
Setiap pengikut Kristus mengemban amanah, “ … karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan, ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (bdk. Mat. 28:19-20). Tugas perutusan ini sekaligus mengandung aspek kesaksian (martyria). Bila dulu, bersaksi atau menjadi martir identik dengan menumpahkan darahnya. Kini tidak mesti demikian. Kesaksian setiap pengikut Kristus bisa melalui perilaku hidup, contoh-teladan, dalam perkataan dan tindakan. Bersaksi berarti menggarami, menerangi, dan meragi.(bdk. Mat.5:13-16 dan Luk. 13:33). Bagaimana cara setiap keluarga Katolik bersaksi?
Salah seorang warga Lingkungan St. Bartolomeus (Kring 8) Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru, Evodius Yamin (59) menggambarkan lingkungan di sekitar rumahnya. “Hidup bertetangga kami kondusif. Setiap warga saling menyapa saat berpapasan, masing-masing aktif dalam rutinitas mencari nafkah, tetangga juga tidak kepo mengerumpi yang lainnya. Mayoritas warga berdagang, membuka kedai kopi, rumah makan, dan toko. Tidak jauh dari rumah saya ada mesjid, karena warga dominan Muslim,” ucapnya.
Evo mendiami rumahnya di jalan Cempaka, dekat Pasar Kodim, Kelurahan Padang Bulan, Pekanbaru sejak tahun 1997. Dalam aktivitas harian Evo dan warga lingkungan (Kring 8) tidak membeda-bedakan pergaulan. “Umat Katolik hidup bermasyarakat, berinteraksi, bergaul dengan sesama berbeda agama,” ujar mantan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI). Menurut Evo, warga kring menyadari sebagai bagian dari warga RT dan RW. “Aktivitas kemasyarakatan umat Katolik bersifat individu, belum diorganisir oleh Gereja atau lingkungan. Dalam konteks hidup bertetangga, kami turut ‘mewarnai’ lingkungan. Kami terlibat dalam karya sosial, misalnya saat banjir, bergotong royong membuat penghalang mobil agar tidak melaju kencang sehingga riak air tidak masuk ke rumah warga,” tukasnya.
Bagi Evo bersaksi itu sama dengan membuka pintu pergaulan dengan siapa saja, tanpa pilah-pilih teman. “Orang di sekitar kita harus tahu kalau dalam berbuat kita ikhlas, jujur, dan bertanggung jawab. Menurut saya, kita tidak perlu menonjolkan simbol atau lambang Katolik; karena malah sering menimbulkan cemoohan atau ejekan. Kita harus bergaul bebas dengan semua lapisan masyarakat, tanpa membeda-bedakan status, golongan, dan ras. Yang penting untuk ditonjolkan adalah keramahan, menghindari perdebatan yang tidak berguna, tidak bersikap sok pintar dan sok tahu, sebaliknya kita ringan tangan membantu baik diminta maupun tidak. Katolik itu berarti universal, maka kita pun “universal” luwes dan bisa masuk pada semua kalangan. Menjadi Katolik itu jangan eksklusif!” tandasnya mengakhiri.
Larut Tidak Hilang
Langkah sama dilakukan Valentinus Gunawan (50). Warga RT 03 RW 10, Kelurahan Banuaran Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang ini menjalin hubungan baik dengan para tetangga. “Merekalah penolong terdekat saya, bukan saudara kandung yang jauh. Saya dan keluarga juga terlibat dalam kegiatan di rayon St. Bartolomeus, Paroki Katedral Padang. Kami sekeluarga senang diterima di lingkungan rayon maupun RT. Kami bisa ‘larut’, tetapi tidak hilang. Ibarat garam, mesti larut agar terasa asin. Keluarga saya punya kedekatan hati dengan tetangga dan warga rayon. Rayon adalah komunitas basis gerejani. RT adalah basis masyarakat. Kami sekeluarga berusaha menyeimbangkan keterlibatan di RT dan rayon. Kesadaran hidup bersosialisasi telah tertanam sedari saya kecil,” ucapnya.
Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berbasis etnis Tionghoa dan wartawan sebuah media ini merasa nyaman di tengah lingkungan yang beragam latar belakangnya. Valentinus terlibat dalam aneka dialog dengan sesama-seiman, maupun tidak seiman. “Menjadi garam, terang, dan ragi dalam pengertian di lingkungan Katolik tidaklah mudah. Pengalaman, pasti ada kesulitan dan kendala. Namun, semuanya terpulang bagaimana kita mengkomunikasikannya. Saya ingat, kalau masuk kandang kambing, kita mengembik. Kalau masuk kandang harimau, kita mengaum; sehingga bisa diterima dan komunikasi pun terjalin. Saya dan keluarga berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dari pengalamannya berelasi dengan banyak pihak; misalnya di lingkungan masyarakat umum, berkontak dengan aparatur pemerintah, dengan sesama seiman, keteladanan keluarga bisa menjadi contoh suatu kesaksian hidup. Valentinus ingat dengan prinsip garam yang mesti melarut agar berasa. “Setiap kita diutus untuk ‘pergi’ (Mat. 28:19-20). Saya menyingkirkan pemikiran negatif, saat bersosialisasi dengan orang lain. Belum berkontak dan berkomunikasi dengan pihak lain, sudah ada ketakutan, pemikiran negatif. Selama ini, yang ada, banyak asumsi, dugaan yang negatif. Tentu saja, ini bakal menghambat langkah saya, karena telah tertanam pemikiran negatif. Kita selama ini hanya berani di ‘kandang sendiri’ karena dianggap sedikit resiko, ketimbang berkontak di luar. Selama ini, kita memang telah menerapkan kerukunan (umat) seagama, tetapi belum sepenuhnya kerukunan antar (penganut) agama,” ungkapnya.
Menurut Valentinus, menjadi saksi itu tidak sebatas menjadi teladan, tetapi ada kesediaan berbagi. “Dari pengalaman keluarga saya, harus berani melangkah ke luar, di RT, RW, kelurahan. Kita mesti berani keluar dari kenyamanan, berani menerima risiko, rela berkorban (dana, waktu, perasaan, ilmu pengetahuan) berani menyuarakan kebenaran, dan sebagainya. Sejak dua puluh tahun silam, saya sekeluarga berbaur dengan lingkungan yang berbeda keyakinan, aman-aman saja. Bahkan saya diikutsertakan dalam pembangunan mesjid. Menjadi saksi Kristus, tidak perlu berdarah-darah seperti di waktu silam, namun bisa lewat cara dan upaya sederhana. Setidaknya, hal tersebut telah kami praktikkan,” tukasnya. Yang pasti, keberadaan keluarga kami selain diterima juga diperhitungkan warga sekitar. Saya mengajak warga dan pengurus rayon membuka diri. Pengurus hendaknya berani menjembatani umat berdialog dengan sesama tidak seiman. Memang perlu perjuangan, karena masih ada pemikiran negatif,” tandasnya.
Lain pula ujaran mantan Pembimbing Masyarakat Katolik (Pembimas) Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Propinsi Sumatera Barat, B.P. Siregar, SH (61). Di kesempatan ulang tahun ke-29 pernikahannya, 7 Januari 2017, Siregar menggunakan peristiwa tersebut untuk merenungi berbagai hal yang terjadi dalam keluarganya. Ayah dua anak ini mengurai berbagai keterlibatan dirinya dan peran dalam keluarga, terutama bagi anak-anaknya. Siregar tekun mendorong dan mendampingi anaknya dalam aktivitas kegerejaan. “Saya ingin anak saya aktif menggereja dan menyokong istri aktif dalam kegiatan kegerejaan. Saya mempunyai prinsip, harus membina anak sedini mungkin. Hal itu memudahkan mereka bersosialisasi dalam lingkungan Gereja maupun masyarakat. Sekeluar dari rumah, mereka akan mencari Gereja dan berperan dalam masyarakat.,” tuturnya.
Berliana Nababan – istri Siregar kini menjadi ketua rayon, aktif dalam berbagai aktivitas di paroki, sebagai wakil ketua Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang St. Fransiskus Asisi, Padangbaru. Mereka saling mendukung, bahkan sering terlibat bersama. Selain itu, dalam pergaulan dengan masyarakat umum, pasutri ini banyak bergaul dengan berbagai kalangan rekan mitra usahanya. “Kami melayani masyarakat berdasarkan kepercayaan, kebaikan, dan kejujuran. Kami melayani pelanggan yang beraneka ragam latar belakangnya. Ada pelanggan dari pengurus mesjid. Mereka tahu, hari Minggu kami tutup toko karena ke gereja. Kepada mereka, kami berusaha menjadi garam, terang, dan ragi. Kami menunjukkan identitas diri sebagai pengikut Kristus dengan hidup damai bersama orang lain. Dalam bisnis kami tidak melulu mencari keuntungan, tetapi juga melakukan kebaikan. Di lingkungan terdekat, kami ikut kegiatan di RT,” ucapnya.
Sebagai Sesama Manusia
Terlibat dalam aktivitas kemasyarakatan merupakan upaya nyata menghadirkan Kristus. Lebih dari separoh usianya, FX Radiyo (62) sebagai salah satu warga Bengkalis. Ketua Stasi St. Stefanus, Bengkalis, Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai, Riau ini kerap terlibat dalam gotong royong, memenuhi undangan warga saat mantenan (pernikahan), pembuatan lahan desa. Mantan petugas penyuluh pertanian dan perkebunan ini juga menjadi guru agama Katolik tidak tetap (katekis). Ia melayani sejumlah nara pidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan (lapas) setiap bulan hingga kini. Radiyo pernah terlibat aktif dalam kelompok paguyuban Jawa lebih sepuluh tahun silam. Sejak berdomisili di Bengkalis (1978), suami Lusia Sri Suratni (57) ini aktif di masyarakat. Selain mengajar agama Katolik bagi remaja SMP dan SMA, serta katekumen, Pak Radiyo, ‘terkenal’ di lingkungan non-Katolik, terutama di RT 02 RW 04 Desa Senggoro, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis. Selain aktivitas kegerejaan, istri dan tiga anaknya pun dilibatkan dalam kegiatan kepemudaan kampung yang dikoordinir kalangan Muslim. Di lingkungan yang majemuk, menurut FX Radiyo, perlu saling pengertian. “Kami saling berkunjung saat Idul Fitri dan Natal. Masyarakat mengetahui kami Katolik, namun mereka tidak sungkan datang dan bertandang ke rumah. Mengunjungi dan berjumpa dengan orang lain yang berbeda agama merupakan hal biasa, sekaligus suatu kerinduan. Tidak ada pikiran negatif kami. Kami memandang orang lain sebagai sesama manusia yang mesti saling mencintai, menghormati. Saya berprinsip, penting semangat pelayanan sesama,” ungkapnya.
Menjadi garam, terang, dan ragi menuntut totalitas penuh. “Walau pandai, namun bila tidak mampu bersosialisasi, tidak bakal diterima. Apa pun yang dimiliki, hanya untuk melayani orang lain. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Katolik. Memang ada rintangan menggereja, melayani sesama; misalnya kerepotan waktu dan tenaga,” tambahnya. Kesaksian melalui perbuatan dan tindakan, bukan semata-mata dengan perkataan, juga dilakoni keluarga Veronika Hati Murni (41) Aktivis Wanita Katolik RI Ranting St. Veronika, Cabang Santa Maria Padang ini melihat kesaksian lewat tindakan sebagai warga masyarakat yang baik, tidak sombong, dan sebagainya yang mencerminkan kepribadian sebagai umat Katolik yang santun, rendah hati lebih mengena. “Percuma kalau bersaksi hanya berkata-kata tanpa diiringi perwujudannya,” ucap ibu sepasang anak ini.
Aktivis Paroki St. Maria Bunda Yesus, Padang ini – termasuk dalam kelompok koor – selalu mengikutsertakan anak-anaknya dalam kegiatan paroki. Suaminya, Hendri Nurzil, memang tidak terlibat langsung, namun bila ada urusan pertukangan yang dibutuhkan Gereja siap sedia kapan pun. Vero juga terlibat sebagai anggota maena dan pengurus salah satu koperasi simpan-pinjam. Sebagai pendatang baru di lingkungan Jondul-Rawang Barat – masih wilayah paroki yang sama – Vero perlahan-lahan mulai memperkenalkan diri dengan warga masyarakat setempat. Diterima dengan baik dan tangan terbuka. “Saya tidak mengalami kesulitan berelasi dengan tetangga berbeda keyakinan. Kami saling bertoleransi. Kalau ada hal-hal yang ditanyakan, saya berusaha menanggapi dengan sopan dan mau berbagi pengetahuan agama yang dimiliki,” ujarnya.
“Selama ini, saya dan keluarga menjalani kehidupan dengan sewajarnya dan berdasarkan hati nurani. Dalam keluarga, kami saling mengasihi, begitupun di lingkungan sekitar. Menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ yang bersaksi, biarlah orang lain yang menilai. Di tahun kesaksian (martyria) ini, keluarga saya ingin melakukannya terlebih dulu di lingkungan Gereja, termasuk mengajak keluarga-keluarga yang belum rajin ke gereja. Setidaknya, dengan kompaknya kita ke gereja, dapat menjadi contoh bagi keluarga lainnya. Memang, tidak cukup dengan teladan, apalagi sebagai manusia punya kekurangan dan kekhilafan. Yang penting jujur, apa adanya. Bersaksi dengan cara menempatkan diri adalah juga kesaksian. Berusaha meningkatkan ekonomi keluarga dengan jujur dan halal merupakan salah wujud kesaksian hidup keluarga yangsekiranya dapat menggarami, menerangi, dan meragi bagi keluarga lain,” tandasnya.
Ibu rumah tangga yang juga berwirausaha, Maria Elvarini Yuliani (37) turut mendorong suami dan anaknya bersaksi ke tengah masyarakat. Sekretaris Wanita Katolik RI Cabang St. Fransiskus Asisi, Padangbaru dan ibu dua anak lelaki ini peduli dengan lingkungan sekitarnya. Meski sibuk dengan tugas sebagai istri Alexander Agung dan ibu dua anak, dan usahanya warga Rayon St. Andreas, Nanggalo, Paroki St. Fransiskus Asisi Padang ini turut melayat bila ada tetangga kemalangan, mantenan (menikah), dan berinisiatif menawarkan bantuan yang bisa dilakukan. Eva mendukung suami ikut kerja bakti di dekat rumahnya. Saat gotong royong, Eva turut membantu bagian penganan, makanan kecil. Suatu hal yang biasa sederhana saja dan seturut kemampuannya.
“Kami tetap akur tinggal di sini. Di tempat kami, ada warga yang Katolik dan Muslim. Kami saling mengenal. Saat Natal, tetangga Muslim banyak hadir ke rumah kami untuk bersilaturahmi. Tetangga yang Muslim tahu, kami keluarga Katolik. Warga rayon Nanggalo sering mengadakan pertemuan di rumah saya dan tidak ada masalah. Tempat kami tinggal, adalah ‘rumah serba guna’, sering digunakan untuk pertemuan rayon, doa Rosario, pendalaman iman. Selama ini, selalu berlangsung aman hingga kini. Kerja bakti, bagi Eva merupakan kesempatan bersosialisasi dengan warga setempat. Menjadi ‘garam, terang, ragi’? Eva mengaku hanya berusaha yang terbaik untuk keluarga dan lingkungan sekitarnya. Siap dan ikhlas dalam pelayanan Gereja dan masyarakat.
Bersaksi : Melanjutkan Karya Yesus
Menjadi saksi – juga berarti mengakui imani akan Yesus Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit untuk menyelamatkan umat manusia. Menjadi saksi berarti berani melanjutkan karya Yesus dalam kehidupan ini, baik dalam keluarga, masyarakat dan dalam pekerjaan. Menjadi saksi – tidak malu dan takut mengakui imannya sebagai orang Katolik dan bahkan bangga menjadi katolik, bangga menjadi murid-murid Tuhan Yesus. Singkat kata, menjadi saksi, mengutip amanat Mgr. Albertus Soegijapranata,SJ (alm): “Menjadi Katolik 100 % dan Indonesia 100%”.
Apa yang dapat dilakukan sebagai bersaksi Kristus?
Antonius Suharsono (52) telah berusaha melakukan banyak hal, baik di tengah keluarga, lingkungan Gereja dan masyarakat sekitar tempat tinggal, serta tempat bekerja (kantor). Di tengah keluarga misalnya, suami Christiana Dwi Ratnati (47) ini memberikan contoh dan kebiasaan tradisi-tradisi kristiani untuk seluruh anggota keluarga (seperti doa bersama, bekerja bersama, menanamkan nilai-nilai kristiani). Di tengah masyarakat tempat tinggal yang heterogen – Harsono aktif dalam berbagai kegiatan rukun tetangga/lingkungan. Ayah tiga anak ini dipercaya sebagai Ketua Panitia Perayaan 17 Agustus tingkat RT, beberapa kali sebagai Ketua KPPS, beberapa kali anggota PPS kelurahan. Saya selalu dilibatkan dalam kepanitiaan perkawinan, apabila tetangga mempunyai hajatan pesta perkawinan. Karena keterlibatan aktif ini, apabila kami merayakan Natal, para tetangga – termasuk Ketua RT pun – hadir ke rumah.
Harsono selalu menekankan dan mengingatkan anak-anaknya untuk aktif dalam karya pelayanan Gereja. Anaknya yang bersekolah di Jawa juga ambil bagian dalam kelompok paduan suara. Saat masih di Dumai hingga kini, bungsunya, lelaki menjadi putera altar dan bergabung dalam Legio Maria yunior. Di sekolah, anak-anaknya mesti ambil bagian dalam organisasi atau kelompok tertentu. Baginya, itu menjadi bagian proses pembelajaran, pembentukan karakter, dan kepribadian diri. Harsono juga mendorong istrinya semakin profesional sebagai guru sekolah dasar. Kenyataannya, istrinya satu-satunya guru beragama Katolik dari sekolah swasta yang mendapat kepercayaan sebagai pembuat soal ujian nasional utusan kota Dumai di Propinsi Riau.
Sebagai aparatur sipil negara (ASN) – dulu pegawai negeri sipil/PNS – di Kantor Kementerian Agama Kota Dumai, Harsono merupakan satu-satunya non Muslim. Melalui sikap disiplin, jujur, rendah hati, kemauan bergaul, dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, kehadirannya diterima dengan tangan terbuka. Di kantornya, Harsono sering dilibatkan dalam berbagai kepanitian/kegiatan; misalnya Panitia Qurban, Panitia Hari Amal Bhakti Kementerian Agama, Panitia Haji, dilibatkan sebagai nara sumber pembinaan guru-guru Madrasah – meski hal ini tidak ada hubungan langsung dengan tugasnya. Di lingkungan masyarakat Dumai, selama tiga periode, Harsono menjadi anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Dumai, bahkan dua periode dipercaya menjadi salah satu Wakil Ketua FKUB Kota Dumai. Dalam kegiatan FKUB, ia pernah dipercaya menjadi Ketua Panitia Pelaksana Kegiatan Silaturhami Kerukunan Umat Beragama Lintas Sektoral se-Kota Dumai. Demikian pula ketika berbagai kegiatan diadakan Kepolisian Resort (Polres) Kota Dumai, maupun Komando Distrik Militer (Kodim) 0320/Dumai diundang sebagai tokoh Katolik.
Dari semua itu, karena kuasa Roh Kudus – bagaimana bisa tampil menghadirkan wajah Gereja Katolik, sebagai orang beriman Katolik. Dari hal itu juga secara langsung maupun tidak, telah memperkenalkan nama “ Katolik atau Gereja Katolik” yang acap kali masyarakat umum tidak bisa membedakan antara Katolik dan Kristen Protestan. Setahun terakhir, Harsono lulus diterima sebagai assesor Akreditasi Sekolah. Harsono satu dari ratusan Assesor di Propinsi Riau yang Katolik.
Saat ditugaskan ke sekolah–sekolah di beberapa kabupaten lain – saat hadir awal perkenalan secara terus terang dirinya memperkenalkan diri sebagai orang Katolik, bukan Kristen. “Mereka umumnya sangat menghargai – apalagi karena keterbukaan dan kerelaan saya berbagi ilmu berdasarkan kompetensi saya. Harsono juga terlibat aktif, baik saat masih sebagai katekis fulltime dengan berbagai kegiatan – bidang katekese (pengajaran /pembinaan), melayani tumbuhnya berbagai stasi. Di lingkungan sesama saudara Kristen atau gereja-gereja Kristen, Harsono berkali-kali menjadi pengurus Badan Kerjasama Gereja-Gereja Dumai (BKGD) Kota Dumai. Harsono sebagai Sekretaris Umum BKGD Kota Dumai (2012-2017).
Dari berbagai keterlibatan tersebut, Harsono mendapat banyak sahabat seiman dan tidak seiman. Menjadi saksi itu melebur, tetapi tidak hilang, tetapi “memberi rasa”. “Banyak nilai-nilai kebahagiaan, keindahan dalam kebersamaan dan berbagai tugas tersebut yang sadar atau tidak telah menjadi Saksi Kristus; meski pengorbanan waktu, tenaga, materi. Namun, semuanya tetap indah dan membahagiakan saya dan keluarga. Dalam berbagai hal tersebut, sungguh semuanya karya Roh Kudus. Tuhanlah yang telah memilih dan menetapkan. Tuhanlah yang telah menangkap diriku. Apa yang kumiliki semuanya adalah anugerah dari Tuhan, maka aku pun siap untuk berbagi anugerah itu dalam hidup ini,” ujarnya. (hrd)