Kepedulian terhadap Rumah Bersama

Tahun Diakonia Agustus 2015

Kepedulian terhadap Rumah Bersama:
(Refleksi Atas Ensiklik Paus Frasiskus “Laudato Si’”)

Bumi, sebagai rumah bersama, sedang menangis. Tanah, air dan udara “mengerang kesusahan” karena terancam tidak cukup kuat untuk menunjang kehidupan manusia dan lingkungannya. Dalam hal ini manusia bukan hanya sebagai korban tetapi sekaligus penyebabnya. Perbuatan-perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan ekplotasi hasil hasil bumi oleh manusia merupakan penyebabnya. Manusia lupa bahwa hidupnya hanyalah debu tanah, yang lemah, hanya mampu hidup bila menghirup udara segar, air yang bersih serta tersedia bahan makanan yang dihasilkan alam. Aktivitas manusia yang tidak bertanggungjawab juga mengakibatkan setiap tahunnya ribuan spesies tanaman dan hewan selamanya menghilang.
Ngeri membayangkan, namun pemanasan global itu nyata, dan akan mengurangi ketersediaan air minum, merusak pertanian, menyebabkan kepunahan hewan dan tumbuhan, meningkatkan keasaman laut dan menaikkan permukaan air laut yang menyebabkan kebanjiran di kota-kota besar dunia. Fenomena perubahan iklim mungkin terjadi secara alami, tetapi pemanasan global terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggungjawab.

Seruan Untuk Peduli
Situasi di atas merupakan ungkapan hati Paus Fransiskus dalam surat ensikliknya yang terbaru “Laudato Si’: Sulla cura della casa commune” (Terpujilah Engkau: Tentang Kepedulian Terhadap Rumah Bersama) pada 24 Mei 2015 dan dirilis pada 18 Juni 2015. Melalui ensiklik ini, Paus mengajak Gereja dan seluruh umat manusia untuk bersyukur kepada Allah atas bumi pertiwi yang telah dikaruniakannya kepada seluruh umat manusia, sekaligus memperlakukannya seperti saudara-saudari sendiri. Santo Fransiskus Assisi adalah teladan nyata bagi kita yang terungkap dalam kidungnya yang indah: ““Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami Ibu Pertiwi; dia menyuapi dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan.”
Ensiklik ini diawali dengan panorama umum tentang bumi dan panggilan untuk membaharui sikap serta usaha untuk membangun masa depan bumi lebih baik. Di dalam kisah penciptaan yang terungkap dalam Kitab Kejadian, Allah diimani sebagai creatio ex nihilo, yang menciptakan dunia dan isinya dari ketiadaan. Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang kepadanya diberikan tugas untuk menjaga dan memelihara bumi beserta isinya. Seruan ini diperkuat dengan ulasan singkat dari beberapa surat kepausan untuk menambah bobot dari kepedulian Gereja terhadap bumi yang diperuntukkan Allah untuk kebaikan bersama.

Kebaikan Bersama
Temuan-temuan ilmiah terbaru pada lingkungan dan isu-isu konkret dapat digunakan untuk pemeliharaan bumi berserta isinya. Hal ini paparkan oleh Bapa Paus dalam bab pertama (No. 17- 61) tentang hal-hal yang sedang terjadi di sekitar rumah kita. Perubahan iklim merupakan masalah global yang berdampak serius pada lingkungan, sosial, ekonomi, politik dan semuanya mengarah kepada kebaikan hidup umat manusia. Jika pusatnya adalah kebaikan bersama, namun dampak dari perubahan iklim akan lebih dirasakan oleh orang-orang miskin. Mereka yang memegang kendali atas sumber daya dan kekuatan ekonomi atau politik lebih memilih untuk tidak melihat masalah-masalah ini dan bersembunyi dari gejala-gejala yang ada, seperti mengatakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk merupakan penyebabnya. Logika melarikan diri yang sesat. Pertambahan penduduk tidak pernah menjadi penyebab krisis lingkungan hidup. Pertambahan penduduk tetap dan selalu menjadi rahmat Allah dan bumi yang sudah diciptakan-Nya dengan potensi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia seberapa pun jumlahnya.
Hal ini diperkuat oleh Profesor Schellnhuber yang menganalisa peningkatan emisi karbon di dunia dimulai dari Era Industri hingga saat ini. Dia mengatakan bahwa 60 orang terkaya di bumi memiliki jumlah kekayaan yang sama seperti 3,5 miliar penduduk termiskin di dunia. Kalau ada yang mengatakan peningkatan populasi dunia, terutama di negara-negara miskin, merupakan penyebab masalah lingkungan, “Ini benar-benar salah,” serunya. Direktur Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim itu menunjukkan bahwa kenyataannya orang berpenghasilan tinggi lebih banyak menyumbang emisi gas rumah kaca, sementara orang miskin tidak. “Bukanlah kemiskinan yang menghancurkan lingkungan, melainkan kekayaan, konsumsi dan sampah. Dan ini tercermin dalam ensiklik itu,” kata profesor itu.

Allah adalah Tujuan Akhir
Dalam bab kedua (No. 62-100) tentang Kabar Gembira Penciptaan, Paus Fransiskus menyampaikan refleksinya yang mendalam atas kisah penciptaan sembari menjelaskan alasan tentang tanggungjawab yang mengagumkan yang diberikan kepada manusia dalam pertemuan dengan ciptaan lain. Manusia memiliki tugas untuk menjaga dan merawat kebun Allah (Kej 2:15). “Tugas menjaga dan merawat” memberikan penekanan bahwa tujuan akhir dari setiap ciptaan bukanlah manusia. Sebaliknya semua maju, manusia bersama dengan ciptaan, menuju tujuan yang sama yakni Allah sendiri. Dan kepada manusia dikaruniai kecerdasan dan cinta untuk membawa seluruh ciptaan lain kepada Sang Pencipta.

Manusia: Dasar Krisis Ekologi
Dalam bab ketiga (No 101-136) Paus kembali menekankan bahwa krisis ekologi berakar pada manusia sendiri. Pola hidup “sekali pakai dan buang” telah menghasilkan budaya sampah. Hal ini dibuat oleh mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan ilmuwan untuk mengekploitasi bumi dan manusia, pengrusakan alam dan ekploitasi manusia. Martabat pribadi dan hakekat asli pekerjaan diabaikan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Maraknya pasar tidak menjamin perkembangan manusia secara utuh, tetapi memunculkan praktek ekploitasi anak-anak, mengabaikan orang tua, dan memasukkan orang-orang ke dalam perbudakan demi keuntungan. Sama seperti membunuh yang terancam punah untuk mendapatkan kulitnya. Logika yang sama telah dipraktekkan oleh banyak mafia, para pedagang organ, narkoba, menunda atau membatalkan kelahiran karena tidak sesuai dengan proyek orang tua. Hal ini semakin membuktikan bahwa mengandalkan kemajuan tekhnologi berdasarkan pertimbangan, ideologi, kemampuan manusia belaka, tidak cukup untuk menjaga kelesatarian alam dalam kesatuannya dengan seluruh umat manusia. Pemahaman yang tepat tentang ekologi diperlukan sebagai dasar perbuatan, pertimbangan dan keputusan dalam menjaga kelestarian alam dalam kesatuannya dengan seluruh umat manusia. Inilah yang disebut tentang ekologi integral.

Iman dan Ekologi Integral
Dalam bab keempat (No. 137-163), Bapa Paus kembali menekankan pemahaman ekologi yang utuh (integral) yang memiliki relasi dengan seluruh aspek kehidupan: budaya, sosial, hidup harian, ekonomi dan politik. Secara khusus dalam bab ini disinggung kaitannya dengan keadilan dan politik. Bahkan seluruh lembaga-lembaga, di dalam keputusan-keputusan yang diambil memiliki hubungan dengan lingkungan dan kualitas hidup manusia. Setiap pelanggaran terhadap solidaritas dan persekutuan warga menyebabkan kerusakan lingkungan, pekerjaan, keluarga dan hungan setiap orang. “Tidak ada dua krisis yang terpisah, satu krisis lingkungan hidup dan satunya adalah krisis sosial, tetapi keduanya adalah tunggal dan komplek yang mengaburkan prinsip kebaikan bersama. Ditemukan banyak ketidakadilan dan peningkatan jumlah orang yang tidak diterima(ditolak), dirampas hak hidupnya.
Ensiklik Paus Fransiskus ini adalah panggilan untuk persatuan – satu dalam doa untuk lingkungan, dalam Injil yang sama tentang ciptaan, dalam pertobatan hati dan gaya hidup kita untuk menghormati dan mengasihi semua orang dan segala sesuatu yang diberikan kepada kita oleh Allah. Lebih lanjut, mengingat bahwa aktivitas manusia merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, maka Gereja memiliki “tanggung jawab moral yang serius untuk melakukan segala daya guna mengurangi dampak dan menghindari efek-efek negatif pada lingkungan dan pada orang miskin.”

Apa yang Bisa Kita Buat?
Paus Fransiskus, dalam bab kelima (No. 163-201), menawarkan beberapa pedoman dan aksi untuk keluar dari lingkaran penghancuran diri dimana kita berada. Gereja tidak bermaksud untuk masuk ke dalam batasan-batasan ilmiah, atau tidak bermaksud untuk memainkan peranan politik, tetapi mengundang semua pihak untuk berbicara jujur dan terbuka, karena kebutuhan dan ideologi khusus tidak boleh menghilangkan kebaikan bersama. Demikian juga para pemimpin dunia beberapa tahun terakhir belum memenuhi harapan karena kurangnya keputusan politik, dan tidak mencapai kesepakatan bersama yang berkaitan dengan usaha penyelamatan lingkungan hidup secara signifikan dan efektif. Penyelamatan lingkungan tidak didasari semata-mata pada hitungan finansial. Dibutuhkan keberanian untuk mengintervensi dan mengambil keputusan ketika itu penting dan mendesak.
Dalam bab terakhir (No. 163-246), Paus menawarkan pendidikan dan spiritualitas ekologi, karena setiap perubahan membutuhkan motivasi dan proses pengajaran. Dalam hal ini, keterlibatan sekolah, keluarga, media dan katekese menjadi sangat penting. Perubahan cara hidup merupakan hal yang mau dicapai, merubah kebiasaan sehari-hari, memisahkan sampah, menggunakan transportasi umum, atau naik mobil bersama, menanam pohon serta mematikan lampu-lampu yang tidak perlu. Ensiklik berakhir dengan nomor 246 yang berisi doa untuk bumi dan doa kristiani bersama dengan ciptaan.

Tinggalkan Balasan