Ketika Aku Sakit, Kamu Melawat Aku (Majalah Gema Edisi November 2016)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Kalau kita merenungkan hakekat kehadiran Gereja di tengah dunia maka, pelayanan maksimal dan efisien kepada mereka yang sakit melekat erat dengan hakekat Gereja yang bersifat misioner. Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan yang dibawa oleh Yesus dan diserahkan kepada Gereja bersifat utuh, menyangkut badan dan jiwa manusia. Hal ini dapat kita temukan dalam kisah “Orang Samaria yang Murah Hati” sebagaimana yang dikisahkan oleh Lukas (Luk. 10:25-37). Sebagaimana Kristus, gambaran Orang Samaria yang Murah Hati, Gereja juga melalui berbagai tindakan ikut terlibat aktif untuk merawat orang sakit. Berbagai tindakan Gereja tersebut muncul dari kesadaran diri akan hakekatnya sebagai utusan.
Selain itu, tindakan untuk memperhatikan orang sakit, dari pandangan biblis, bukan semata-mata diakibatkan oleh sikap belaskasih manusiawi yang dapat muncul dalam diri setiap orang. Dalam perumpamaan tentang penghakiman terakhir (Mat. 25: 36b) Kristus mengidentifikasikan Diri-Nya sebagai orang sakit yang dilawat ataupun yang dibiarkan menderita: “… ketika Aku sakit, kamu melawat Aku” atau pun sebaliknya. Demikianlah kehadiran Gereja melalui rumah sakit, poliklinik, dll., melayani semua orang sebagai Kristus yang harus dihargai, dihormati, dan dibela hak hidupnya secara bersungguh-sungguh. Layanan diberikan dengan sentuhan yang manusiawi, adil dan tanpa membeda-bedakan pangkat / jabatan, asal usul, ras, suku dan golongan dan agama serta status sosial.
Syukur, bahwa tahun-tahun terakhir mulai muncul keseriusan dari pihak pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui program BPJS Kesehatan. Majalah Gema melalui edisi ini mencoba menggali dan memaparkan kepada para pembaca mengenai kesadaran umat tentang BPJS dan manfaatnya serta bagaimana Gereja melalui rumah sakit-rumah sakit yang dimilikinya, baik yang tergabung dalam program BPJS maupun yang belum, maupun orang-perorangan melayani Kristus yang kelak akan bersabda: “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.Sebab … ketika Aku sakit, kamu melawat Aku”.
Selamat membaca!
Plus Minus BPJS
Ketika Aku sakit, kamu melawat Aku” (Lih. Matius 25:36). Inilah prinsip, landasan, semangat dari karya pastoral kesehatan oleh Gereja. Di Keuskupan Padang, pelayanan terus berjalan. Pelayanan yang ramah, menyejukkan, menyenangkan, penuh kasih, dan sebagainya menjadi model serta ‘nilai lebih’ karena sebagai wujud kehadiran Tuhan. Kalau ada kesan, di rumah sakit Katolik berbayar lebih mahal, kalau hal itu berbanding lurus dengan pelayanannya, adalah hal wajar.
Selama ini ada ungkapan “orang miskin dilarang sakit”. Ungkapan itu mau mengatakan, betapa mahalnya biaya untuk berobat. Namun, sejak tahun 2014, setelah pemerintah membentuk dan mengoperasionalkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), ungkapan itu pelan-pelan terpatahkan. Sejak ada BPJS, rumah sakit yang melaksanakan program BPJS semakin ramai dikunjungi pasien, baik kalangan berpunya ataupun miskin. Program BPJS tidaklah selalu berjalan mulus. Setelah dua tahun BPJS berjalan, ada kekurangan di sana-sini terutama berkaitan dengan pembayaran premi atau iuran bulanan. Negara pun membayarkan premi/iuran bagi kalangan tidak mampu, asalkan memenuhi syarat-syarat – layaknya Jamkesmas.

Paskalia Elmida (50), tenaga perawat di Wisma Cinta Kasih (WCK) Padang mengaku ikut BPJS sejak awal 2014. Karena kondisi ekonomi rumah tangganya, ia hanya bertahan sebentar. Akhir tahun 2014 hingga kini, ibu tiga anak ini tidak bisa membayar iuran BPJS, karena hanya dirinya yang bekerja, sementara suaminya, Octavianus Ogameta Farasi (52) menjadi ‘ibu’ bagi dua anaknya. Beban keluarga di pundak Elmida semua. Akhir-akhir ini semakin sulit, karena suaminya menderita mata katarak. Dua anaknya bertumbuh tidak seperti anak-anak lainnya, mengalami kelainan mental hiperaktif dan tidak bisa berkomunikasi dengan lancar.
Elmida tahu, ada fasilitas operasi mata katarak gratis lewat BPJS, namun dirinya tak berdaya, karena tunggakan iuran BPJS-nya sudah ‘menggunung’. Ia tidak sanggup melunasi iuran BPJS yang tertunggak itu. Saya hanya bisa berharap ada pihak-pihak yang terketuk hatinya dan bersedia membantu keluarga saya sehingga bisa membawa suami berobat. Elmida sadar kegunaan BPJS, oleh sebab itu ia pun sejak awal ikut serta, namun dalam perjalanan waktu terkendala, karena kondisi keuangan keluarganya.
Pengalaman rumit berurusan dengan BPJS juga dialami Sukimawati. Dua tahun silam (2014), dirinya mengikuti program BPJS. Saat diwawancarai, ia sedang mengurus BPJS non-aktif milik ayahnya yang telah meninggal, sekaligus ‘memindahkan’ status, dari pembayaran mandiri ke perusahaan. Diakuinya, ada beberapa pertimbangan dirinya ikut BPJS, yaitu: (1) untuk berjaga-jaga, terutama jika terjadi suatu penyakit yang membutuhkan biaya besar, (2) tidak mengikuti asuransi kesehatan swasta, walaupun ikut, asuransi swasta mempunyai beberapa persyaratan saat pengajuan klaim, (3) memenuhi persyaratan dari pemerintah, karena terhitung mulai Januari 2019, warga negara yang tidak mengikuti program BPJS tidak bisa mendapatkan surat-surat kependudukan.

Saat antri di loket kantor BPJS, Kim – panggilan akrabnya prihatin melihat seorang bapak tua yang juga antri sampai ngos-ngosan bolak-balik loket. Selama antri mengurus BPJS almarhum ayah, Kim mendapati beberapa kasus dari sesama pengantri, yakni: (1) anak belum bisa dioperasi, karena salah satu anggota dalam KK ada yang belum membayar premi BPJS, (2) dalam KK terdapat empat nama, namun saat pembayaran hanya keluar tiga nama, (3) dalam satu KK terdapat dua nama, namun saat pembayaran muncul untuk empat nama. Terhadap berbagai masalah tersebut, dirinya berharap: (1) pelayanan BPJS cukup diselesaikan di satu loket saja, (2) semakin banyak rumah sakit dan klinik yang mau bekerjasama dengan BPJS, (3) tim Information Technology (IT) BPJS melakukan audit rutin untuk sistem – terutama untuk hal-hal yang sering dikeluhkan oleh peserta, (4) sosialisasi, terutama mengenai berbagai pertanyaan yang sering muncul di tengah konsumen BPJS.
Beroleh Manfaat
Untuk membantu umat paroki mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS, tahun 2015, Seksi Kerasulan Awam (Kerawam) Dewan Pastoral Paroki (DPP) Santo Fransiskus Assisi Padangbaru menyelenggarakan seminar. Salah satu anggota panitia seminar , Pianus Boang Manalu (26) menjelaskan setelah proses sosialisasi, sebagai aksi nyata, kami membantu umat secara kolektif (bersama-sama) untuk mendaftarkan ke kantor BPJS. Kami membantu mengisi formulir, sedangkan persyaratan lain seperti, fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan pasfoto harus disiapkan oleh calon. Selama hampir dua bulan kami menunggu, hanya terkumpul 30 calon. Setelah proses pendaftaran selesai tim dibubarkan,” ucapnya.
Sementara itu, warga rayon St. Yoakim, Paroki Katedral Padang, Suryani Manao mengakui manfaat program BPJS, sejak masih berdomisili di Telukdalam, Nias (Maret 2015). Sewaktu anaknya sakit, ia dianjurkan perawat rumah sakit di Telukdalam masuk BPJS, karena bakal menjalani operasi yang memerlukan biaya besar. Tiga bulan setelah itu, dirinya menjalani operasi usus buntu. Suaminya pun pernah ‘menikmati’ fasilitas BPJS saat berobat di RS Yos Sudarso (2015). “Kami sekeluarga sangat tertolong dalam hal pendanaan. Seandainya kami tidak ber-BPJS, entah berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk berobat. Premi/iuran bulanan tampaknya kecil, tetapi sangat berfaedah, terutama kalau mesti opname ataupun operasi. Jelas, tidak sedikit biayanya. Bisa jutaan!” tukasnya. Meskipun iurannya kecil (kelas III Rp25.000,00/bulan), tidak semua warga masyarakat mampu membayar, apalagi untuk keluarga besar, dengan jumlah anak banyak. Untuk golongan tidak mampu, iuran BPJS bisa ditanggung pemerintah. Syaratnya ada surat keterangan dari pemerintah setempat. Bagi warga yang tidak memiliki bukti kependudukan (KTP dan Kartu Keluarga) pasti akan kesulitan mengurus surat ini. Lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah tidak menginginkan masyarakatnya tidak bisa berobat karena ketiadaan biaya. “Bagi saya, BPJS bisa disamakan arisan, ada unsur tolong-menolong meskipun tidak secara langsung, tidak saling kenal. Mereka yang tidak berobat – karena sehat – menolong orang sakit,” tutur Suryani.
Warga Paroki St. Maria A Fatima Pekanbaru, Alexander Oktavianus, pada akhir 2014, ia dan istrinya ikut BPJS. “Kita tidak ada tahu waktu sakit. Ada pengalaman, saat pekerja tersengat listrik sangat terbantu dengan BPJS. Begitupun dengan keponakan yang beberapa kali rawat inap. Saya ikut asuransi swasta, tetapi tidak ‘menanggung’ semua penyakit, maka saya juga ikut BPJS. Mungkin, ada orang yang beranggapan, ikut BPJS itu uang hilang setiap bulannya, namun saya menganggapnya sebagai arisan. Kapan ‘dapat’nya tidak tahu? Kalaupun tidak ‘mendapat’ giliran (sakit), saya anggap membantu peserta lainnya,” tandasnya.
Ikut BPJS Sebuah Keharusan

Sejak 13 Januari 2015, Fransiskus Harianto bersama istri dan empat anaknya ikut program BPJS. Ia mengaku meskipun sudah menjadi nasabah dua asuransi swasta, tetap ikut BPJS. “Karena kantor lurah mengharuskan warganya ber-BPJS. Menurut informasi dari petugas kantor lurah, kalau tidak ikut BPJS, tidak mendapat pelayanan yang menyangkut urusan kependudukan. Saya baru sekali menikmati fasilitas BPJS di Puskesmas,” katanya. Setelah direnungkan lanjut Harianto, masyarakat yang tidak ikut asuransi, apalagi berekonomi lemah, BPJS sangat membantu di saat sakit, apalagi kalau mendadak atau darurat. “Dengan BPJS, masyarakat tidak perlu lagi merogoh uang sakunya. Adik ipar saya yang terkena kanker payudara tidak mengeluarkan uang satu sen pun untuk menjalani operasi hingga kemoteraphi. Semuanya ditanggung BPJS,” tambahnya.
Meskipun ada keharusan, dengan batas waktu 1 Januari 2019, masih ada warga negara yang tidak ikut BPJS, dengan alasan ikut asuransi swasta. Inilah yang dialami Intan Novi yang suaminya agen perusahaan asuransi. Intan menganggap batas waktu keharusan ber-BPJS 1 Januari 2019 tidak benar (hoax). “Tetapi, kalau memang diharuskan dan bakal terkena sanksi, ya, nanti kami ikuti saja daripada sulit saat berurusan di kantor pemerintah,” tandasnya. Selain kepersertaan pribadi atau keluarga, institusi atau lembaga juga ber-BPJS. Yayasan Prayoga Riau (YPR) misalnya, lewat wawancara dengan Pelaksana Kegiatan Yayasan (PKY), Maria Supriati terungkap, seluruh pendidik dan tenaga kependidikan yayasan – berstatus kontrak, honor, dan tetap – diikutsertakan dalam program BPJS, baik kesehatan maupun ketenagakerjaan. Bahkan, untuk kesehatan bagi yang pegawai tetap, ada tambahan fasilitas dengan Inhealth.
“Sebelumnya, kami mengikuti program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), lalu dilanjutkan dengan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk jaminan kesehatan, kami mengikuti BPJS Kesehatan dan Inhealth – lembaga asuransi kesehatan, sehingga pendidik dan tenaga kependidikan bisa bekerja dengan tenang. Mengenai pembiayaan, ada share – pembagian sesuai ketentuan yang mesti dibayar yayasan dan peserta. “Inilah bentuk kepedulian yayasan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, termasuk Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP), sehingga mereka bekerja maksimal,” ucap Maria.
Kami Melayani Sepenuh Hati dan Penuh Kasih

Hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tidak dipandang sebagai saingan atau kompetitor bagi lembaga kesehatan milik Gereja Katolik. Pemerintah, lewat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), menerapkan ketentuan rumah sakit dan klinik yang dapat menjadi ‘mitra’ BPJS. Pengelola Balai Pengobatan St. Fransiskus milik Yayasan Mardiwidayat, Bukittinggi, sejak September 2012, Sr. Yosefa Sumarniyah, OSF (66) mengungkapkan keprihatinan dan kesedihannya, “Dengan Permenkes yang cukup berat, kami tidak mampu memenuhi persyaratan ikut program BPJS. Untuk klinik pratama, mesti ada laboratorium, apoteker, dokter penanggungjawab. Bahkan, pada tahun 2017 mendatang, balai pengobatan ini bakal tidak beroperasi lagi, karena habis masa izin operasionalnya. Untuk pembaruan izin, harus memenuhi persyaratan Permenkes tersebut. Memang disayangkan, karena balai pengobatan ini sudah ada puluhan tahun silam, telah dikenal dan melayani masyarakat umum, termasuk umat Muslim, di Bukittinggi.”katanya.
Hal yang membanggakan Sr. Yosefa adalah masih besarnya kepercayaan umat Muslim terhadap balai pengobatan St. Fransiskus ini. Meskipun membayar, masyarakat masih percaya kepada kami. Ini juga menjadi sarana dan jembatan dengan penganut agama lain. Sejauh ini, bersama seorang dokter, kami melayani pengobatan ringan dan rawat jalan. Balai pengobatan ini merupakan salah satu bentuk pelayan para suster Kongregasi Suster-Suster Fransiskus atau lebih dikenal Suster OSF Semarang. Hampir sama keadaannya dengan Balai Pengobatan St. Luigia, Sikakap, Mentawai yang dikelola Yayasan Yos Sudarso Padang bersama Kongregasi Suster-Suster Cintakasih dari Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM). “Sejak akhir Juli 2015, tinggal saya sendiri yang melayani di balai pengobatan ini. Kami tetap menolong pasien rawat jalan untuk kasus: demam, batuk, mencret, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), flu, dan pemeriksaan kehamilan, serta penyakit kulit, pada musim tertentu malaria. Ada pasien yang telah berobat ke bidan atau Puskesmas, setelah tidak sembuh ke tempat kami. Ada pula pasien dari kampung, sudah dalam kondisi parah berobat ke sini. Kalau parah, saya arahkan ke puskesmas, karena kami tidak diperbolehkan menerima pasien rawat inap. Kami juga tidak mempunyai dokter full time, 24 jam. Permenkes ini membatasi ruang gerak balai pengobatan, klinik, poliklinik,” ucap Sr. Fransin Damanik, KYM (46).
Suster Fransin mengakui, walaupun balai pengobatan yang dipimpinnya masih beroperasi, namun ‘terasa’ jalan di tempat, sementara Puskesmas milik pemerintah semakin meningkat peranannya. Di Puskesmas ada 3 dokter, berdinas 24 jam bergantian sehingga bisa menangani pasien rawat inap. Dalam kasus tertentu, ada juga pasien yang lebih percaya kepada kami, bahkan ada yang datang dari Tuapeijat (pulau Sipora), mesti menyeberangi laut. “Saya kasihan melihat mereka, karena terpaksa menolak dengan halus. Kami tetap memberikan pertolongan pertama, kami tidak boleh menolak kehadiran orang sakit ke balai pengobatan ini, kemudian kami sarankan dan arahkan ke puskesmas kalau membutuhkan rawat inap,” ujarnya lagi.
Dituntut Serba Bisa
Kondisi tidak jauh berbeda juga dialami Balai Pengobatan Jean d’Arc di Muara Siberut, Mentawai – kelolaan Yayasan Yos Sudarso Padang bersama dengan Institut Mater Amabilis (Suster ALI). Perawat balai pengobatan sejak tahun 2008 hingga 14 September 2016, Sr. Monika Tjin, ALI (52), menuturkan walaupun spesialisasinya perawat, di Mentawai dituntut ‘serba bisa’. Meskipun ada dukun beranak, mantri perawat, bahkan dokter, dari pengalamannya di balai pengobatan Bertilia, Muara Sikabaluan (2003-2008) dan Muara Siberut (2001-2003) tidak sedikit masyarakat yang lari ke balai pengobatan ini. “Umat Katolik dan non-Katolik masih tetap percaya pada kualitas pelayanan balai pengobatan milik Gereja Katolik, meskipun sekarang bertumbuh pelayanan sejenis dari Gereja Kristen dan Islamic Center di daerah ini,” katanya.
Ada aroma kompetisi, namun justru masyarakat diuntungkan karena mempunyai banyak pilihan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun, Sr. Monika kerap merasa aneh, karena sering menjadi ‘tempat pelarian terahkir’, terutama saat pasien dalam keadaan berat, sementara balai pengobatan itu terbatas tenaga dan sarananya. Ia hanya bekerja bersama seorang lulusan kebidanan. “Sepertinya mereka merasa pelayanan di sini menyenangkan, peduli (care), terjamin kerahasiaannya,” ungkap Sr. Monika.
Sr. Monika bersyukur dengan kemunculan ‘rekan sejawat’ di bidang kesehatan. “Itu berarti, ada peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat. Makin banyak warga masyarakat yang terlayani, kematian ibu dan anak berkurang, gizi buruk pun berkurang, dan meningkatnya kesadaran atas kesehatan, baik diri sendiri maupun sanitasi lingkungan. Tak dipungkiri, masyarakat lebih condong suka pada sesuatu yang tidak berbayar, suatu hal yang tidak mampu kami lakukan. Di balai pengobatan kami, hanya gratis jasa konsultasi, sementara obat mesti berbayar. Dari catatan saya, sejak adanya BPJS – kini Kartu Indonesia Sehat (KIS), ada penurunan jumlah pasien kami, sebesar sekitar lima puluh persen dari waktu tiga tahun sebelumnya, termasuk untuk pemeriksaan ibu hamil.
Atas situasi ini, sedang dipikirkan agar balai pengobatan ini bergabung dalam program BPJS/KIS, sejalan anjuran RS Yos Sudarso Padang. “Kami sedang mengurus perizinan yang terkadang membuat kami stres. Dokter penanggungjawab harus diganti, padahal dulu diperbolehkan dari dokter puskesmas, dengan alasan akan ada kesulitan saat pemeriksaan. Pihak pemberi izin tampaknya juga baru mempelajari ‘persyaratan’ baru. Sebelum-sebelumnya, kami taat aturan, mengikuti dan memenuhi persyaratan yang diminta. Kami setuju balai pengobatan atau klinik swasta bisa melayani BPJS agar pelayanan kesehatan merata, termasuk di kalangan swasta,” tuturnya.
Sementara itu, Balai Pengobatan Tomas Timin yang hadir di Pasaman Barat sejak tahun 1968 masih tetap eksis beroperasi hingga kini. Sr. Stefani Muwarni, SCMM (56) telah tiga kali melayani di tempat ini (1991-1992, 2005-2008, dan 2015-kini menuturkan perbedaan situasi dulu dan masa kini. “Dulu, kami sering dipanggil ke rumah pasien yang akan bersalin. Ada enam hingga tujuh pasien sebulan. Pada periode kedua (2005-2008), semakin sedikit. Kini, bahkan tidak ada lagi panggilan itu, termasuk pemeriksaan kehamilan. Bisa jadi, karena sudah banyak bidan desa dan rumah sakit. Sekarang, kami melayani pasien rawat jalan dan pasien umum. Saya dan suster teman tetap melayani home care – permintaan kunjungan ke rumah pasien. Inilah ‘nilai lebih’ dibandingkan tempat lain, lebih bersifat pribadi, terasa dekat hubungan dengan pasien dan keluarganya.
Sr. Stefani meniatkan dan bertekad ‘melawat’ bila mendapat informasi ada orang sakit, apalagi umat Katolik tidak bisa ke gereja bertahun-tahun. “Walaupun tidak diundang, saya akan berkunjung, minimal berdoa bersama. Saya ingin menerapkan kutipan Injil Matius 25:36 yang menjadi spirit, penyemangat dan landasan pelayanan kesehatan. Begitupun dengan layanan komuni bagi orang sakit yang selalu ada dimensi sosial dan spiritual di balai pengobatan ini. Eksistensi pelayanan kesehatan juga tak lepas dari pembiayaan, namun hingga kini, tetap ada dan hadir di tengah masyarakat,” ujarnya.
Agar Tetap Eksis

Lain lagi ‘suasana’ di Paroki Santo Yosef Duri, Riau. Klinik Pratama St. Yosef, Duri, Riau terus berkembang. Wakil Kepala Klinik sejak tahun 2012, Sr. Krisanti Saragih, KYM (47) menuturkan pihaknya telah bergabung dalam program BPJS, mulai 1 Januari 2015. Selain itu, klinik ini bekerjasama dengan beberapa perusahaan dan lembaga asuransi. “Kami akan sulit kalau tidak bergabung BPJS, hanya mengandalkan pasien umum, apalagi perusahaan yang menyertakan karyawannya dalam BPJS Kesehatan. Kami melihat peluang bergabung ke BPJS, maka kami pun berbenah untuk memenuhi persayaratannya. Kalau tidak, kami tidak ‘mempunyai’ pasien. Keluarga besar Yayasan Prayoga Riau (YPR) di Duri telah menentukan klinik ini sebagai rujukan pertama fasilitas kesehatannya,” ujarnya.
Suster Krisanti menambahkan, walau sudah setara Puskesmas, pihaknya tetap meningkatkan mutu pelayanan, tidak membeda-bedakan pasien umum dan BPJS. Menurutnya BPJS sangat menolong pasien yang tidak mampu. Walau bernama Santo Yosef tidak ada keraguan dari masyarakat untuk datang berobat “Kami berupaya agar pasien tidak terlalu lama menunggu (antri). Kami mengutamakan pelayanan sepenuh hati dan penuh kasih, tidak membeda-bedakan pasien apa pun latar belakangnya. Hanya saja, kalau ada pasien Katolik, kami mendoakan dan memberikan kesempatan menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit,” ucapnya.
Tidak Boleh Ada ‘Fraud’
RD Anton Konseng.
Imam Diosesan Padang,
Ketua Yayasan Salus Infirmorum Pekanbaru
Kutipan Injil Matius 25: 36 menjadi landasan, dasar, sekaligus spirit pelayanan Gereja di bidang kesehatan. Terkait pelayanan kesehatan di Propinsi Riau, Gereja (Keuskupan Padang) melalui Yayasan Salus Infirmorum merealisasikan dan mewujudnyatakannya setiap hari di rumah sakit, klinik, dan balai pengobatan di paroki-paroki. Saat pasien datang ke unit pelayanan kami, tidak pernah ditanyai ‘dana titipan’, karena kami lebih penting melayani pasien. Yayasan Salus Infirmarum mengelola Rumah Sakit (RS) Santa Maria Pekanbaru, sejumlah klinik dan balai pengobatan.
Berkaitan dengan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), RS St. Maria Pekanbaru – sebagai rumah sakit tipe B – memang belum ikut serta. Kami sungguh memperhatikan peraturan berkaitan dengan keikutsertaan BPJS, untuk menghindari hal-hal yang tidak sempurna, karena kami ingin memberikan pelayanan sempurna kepada masyarakat. Kami tidak mau kecolongan, misalnya ada ‘fraud’ (penipuan-red.) yang mengakibatkan pelayanan tidak sempurna; misalnya: di rumah sakit masih ada kamar kosong, namun petugas menyatakan kepada keluarga pasien tidak ada kamar lagi. Begitupun dengan obat-obatan. Ini berkaitan dengan moral dan etis. Yang penting tidak boleh ‘fraud’.
Suatu ketika, kami akan bergabung dalam keikutsertaan BPJS, terutama setelah pembangunan rumah sakit yang kedua beres. Kini, kami sedang mengumpulkan dana untuk pembangunan tersebut. Patut diketahui, RS Santa Maria Pekanbaru mempunyai jasa besar bagi paroki-paroki di Riau dan Keuskupan Padang. Meskipun mengedepankan aspek sosial, sangat besar kontribusi finansialnya. Kami sangat ketat dalam penggunaan dana, tidak boleh ada tipu daya dan manipulasi. Inilah prinsip dasar yang harus dipegang semua pihak yang terlibat di dalam tiap unit pelayanan rumah sakit, klinik, dan balai pengobatan kami. RS Santa Maria Pekanbaru sebagai induk menopang operasional klinik dan balai pengobatan di paroki. Kami juga tidak asal membuka klinik atau balai pengobatan. Di setiap tempat, ada dokter dan apoteknya. Semua klinik di paroki telah ber-BPJS, termasuk di lokasi terujung utara, di Balai Pengobatan Fatima, Bagansiapiapi.
BPJS Membantu Pengusaha

Saya Paulus Irwan – wiraswastawan di bidang makanan dan minuman es durian di Padang. Saya mempunyai sembilan belas karyawan dan mengikutsertakan mereka dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Sebelum ada BPJS, sejak tahun 2009, saya mengikutsertakan mereka dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Bagi saya, BPJS Kesehatan asuransi kesehatan karyawan dan BPJS Ketenagakerjaan dana pensiun bagi mereka kelak. Dalam program ini, ada bagian yang ditanggung pengusaha dan karyawan. Dalam BPJS Ketenagakerjaan, karyawan menanggung 2 persen dan BPJS Kesehatan sebesar 0,5 persen (2014-2015) dan 1 persen (2016). Pengusaha menanggung BPJS Ketenagakerjaan sebesar 3,7 persen dan BPJS Kesehatan sebesar 4 persen. Setiap bulan, saya membayarkan premi sebesar empat juta Rupiah untuk BPJS Kesehatan beserta BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan, mereka saya tempatkan pada tarif kelas dua Karyawan yang ikut program BPJS dengan syarat sudah tiga bulan bekerja.
Pada mulanya, saya merasa pelaporannya menjadi ‘beban’, tetapi saya sadar ada misi mulia dari program ini, yakni membantu (sesama) karyawan. Dengan sedikit pengorbanan itu, karyawan mendapat lebih banyak. Sebagai pemberi kerja pun mendapatkan image atau citra sebagai pimpinan berjiwa sosial, yang memedulikan karyawannya. Saya merasa, kalau ada jaminan (kesehatan dan pensiun), karyawan bisa bekerja dengan tenang. Di antara 19 karyawan saya, ada beberapa yang telah memanfaatkan ‘fasilitas’ BPJS Kesehatan. Tahun lalu (2015), ada karyawan yang melahirkan. Tahun ini (2016), ada karyawan yang sakit. Semua biaya persalinan dan rumah sakit ditanggung BPJS. Sebagai pimpinan mereka, saya menganggap BPJS sangat membantu pengusaha dalam urusan kesehatan karyawan. (hrd)