Koinonia dan Ekaristi

Tubuh KristusUmat Katolik sangat akrab dengan sakramen Ekaristi. Umat biasa menyambut komuni, menerima Tubuh Kristus dalam rupa roti yang sudah terkonsakrir.

Menurut ajaran Konsili Vatikan II, liturgi dan terutama perayaan Ekaristi merupakan sumber dan puncak dari kehi­dupan dan karya Gereja (bdk SC 10). Misa suci adalah bentuk ibadat yang paling agung dan penting dalam kehi­dupan kristiani, melebihi segala jenis devosi dan acara rohani lainnya. Struktur liturgi Misa membantu umat untuk mengalami dalam satu acara dengan berbagai bentuk doa: umat memohon pengampunan atas do­sanya, mendengar Sabda Tuhan dan juga penjelasannya melaui khotbah. Umat menyaksikan permohonan agar Roh Kudus menkonsakrir roti dan anggur menjadi Tubuh dan darah Kristus sendiri. Lalu, melalui Doa Syukur Agung, umat turut berdoa bersama pastor selebran untuk Gereja, dunia, orang hidup dan arwah saudara-saudari kita yang telah mendahului kita. Ekaristi terdiri dari berbagai jenis doa: pujian, permohonan, syukur.

Dalam misa setiap umat menyambut tubuh Kristus. Sesuai dengan penjelasan Albertus Agung (bdk.Albertus Agung., IV Sent., d. 9, a. 2) yang lebih kuat menang atas yang lebih lemah. Oleh karena itu setiap kali menyambut Ekaristi bukan saja manusia yang mencerna makanan suci itu menjadi sebagian dari tubuhnya sendiri, melainkan yang terjadi justru sebaliknya: kita menjadi Kristus yang kita sambut. Alasannya adalah bahwa Kristus lebih kuat daripada manusia. Oleh karena itu terjadilah pembaharuan ilahi di mana manusia menjadi Kristus sendiri.

Meskipun tujuan utama dari Ekaristi, sebagai santapan, adalah untuk disambut (dimakan), tradisi Gereja juga mengenal aksi menyembah Sakramen Mahakudus dalam acara adorasi. Orang berdoa dan menyembah roti Ekaristi, memuji dan memohon kepada-Nya dalam acara sem­bah sujud. Sakramen Mahakudus dihor­mati juga pada hari raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus Domini) melalui per­arakan Ekaristi yang meriah.

Kemudian Sakramen Mahakudus dipandang sebagai benda amat sakral, sehingga setiap orang yang masuk gereja berlutut meng­hormati tabernakel. Penis­taan Ekaristi dengan tujuan sakrilegi dianggap sebagai dosa amat besar. Abso­lusi terhadap dosa yang men­da­tangkan ekskomunikasi tersebut menjadi prero­gatif Takhta Suci, maka berada di luar wewe­nang para pastor (bdk. KHK 1367).

Kesadaran atas peranan Ekaristi dalam kehidupan umat Kristiani amat penting, karena melalui Sakramen Maha­suci ini kita menjadi Kristus sendiri. Manu­sia tidak lagi hanya memuji atau berdoa kepada Allah, melainkan menjadi Kristus. Hal tersebut ditegaskan oleh Konsili Vatikan II: “…keikutsertaan dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut” (LG 26; Leo Agung, Kotbah 63,7; bdk juga Thomas Aquinas, Sent., IV, dist. 12, q. 2., a. 1). Dengan demikian seorang Kris­tiani dapat mengatakan bersama Santo Paulus: “…bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20).

koinoniaJadi, Ekaristi sangat indah dan luar biasa buah-buah rohaninya dalam jiwa seorang Kristiani. Namun, menurut hemat saya, pemahaman mengenai Ekaristi seperti ini belum lengkap karena tetap ada resiko untuk memandang Ekaristi sebagai sakramen yang dihayati secara personal semata, seakan-akan menjadi tanda dan sarana keselamatan demi perkembangan rohani seseorang terpisah dari saudara-saudarinya. Dengan demikian kita tidak menyadari adanya kaitan yang sangat erat antara Ekaristi dan dimensi kolektif ke­hidupan Gereja, yakni koinonia. Buah-buah rohani yang dihasilkan dalam jiwa seseorang tidak boleh dipisahkan dari akibat Ekaristi ini atas kehidupan seluruh komunitas dan Gereja. Ternyata, Ekaristi memiliki semacam “efek ganda” (indi­vidual dan kolektif sekaligus) yang tidak boleh dibatasi pada salah satu sisi saja.

Pandangan yang terlalu sempit seper­ti itu tidak hanya terdapat dalam diri umat Kristiani pada umumnya, namun hal seru­pa terjadi juga dalam pandangan para teolog. Dalam bukunya yang berjudul “Ekaristi, Sakramen Kesatuan” (Dalam Bahasa Italia “Eucaristia, Sacramento dell’unità”), Kardinal Walter Kasper menya­takan dengan tegas bahwa “Jika kita mempelajari buku-buku teologi dog­ma, kita tidak mendapatkan apa-apa mengenai Ekaristi sebagai sakramen Kesatuan”. Itu berarti bahwa bukan hanya pengertian umat, melainkan pemahaman para teolog juga, cenderung memandang Ekaristi secara individualistis belaka. Umat Katolik percaya bahwa Ekaristi itu merupakan Tubuh Kristus, namun kurang dirasakan bagaimana Sakramen Maha­kudus yang disambut itu dapat mem­pengaruhi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yakni komunitas Kristiani atau Gereja.

Untuk membahas dimensi koinonia dari Ekaristi kita bisa bertolak dari sebuah fakta yang sederhana dan diketahui semua umat. Ekaristi yang dirayakan dalam acara misa suci pada umumnya tidak dise­leng­garakan secara individual, melainkan menjadi perayaan yang dihayati bersama dengan umat lain. Acara misa, khususnya pada hari minggu, adalah pesta seluruh komunitas Kristiani. Seluruh umat ber­kumpul dalam keragaman ras, usia, dan golongan sosial. Semuanya berkumpul di gereja sebagai suatu keluarga yang disatukan oleh Sakramen yang dirayakan itu.

Acaranya sendiri terdiri dari saat di mana umat diajak untuk refleksi dan berdoa dalam suasana hening, namun, sebagian besar dari acara Misa terdiri dari doa-doa yang diucapkan bersama-sama atau doa-doa yang didengarkan oleh seluruh umat (bagian yang diucapkan oleh pastor sendiri). Lagu-lagu, pada umum­nya, tidaklah dinyanyikan oleh seorang solois yang profesional, melainkan dinya­nyikan bersama oleh seluruh umat yang, dengan demikian, memuji Tuhan dalam suasana kebersamaan. Kemudian, sebe­lum menerima komuni, umat mem­bagi tanda damai kepada sesama, sebagi tanda bahwa persembahan perlu dida­hulukan oleh upaya untuk rekonsiliasi, agar Eka­risti disambut dalam suasana per­saudaraan (bdk. Mt 5:24). Seusai perayaan pun, umat mengalami kebersamaan, saling menya­pa satu sama lain. Jadi, Misa tidak dapat dipisahkan dari koinonia umat: Tubuh Kris­tus. Menurut Kardinal Kasper, kecen­derungan untuk mereduksi Ekaristi pada sisi indidvidual belaka mulai sejak abad XI. Sebelumnya, dimensi kolektif dari Ekaristi sangat dirasakan dan sering ditekankan oleh bapa-bapa Gereja dan para teolog sepanjang millennium perdana. Hal serupa mulai disadari kembali pada abad XX dan terutama sesudah Konsili Vatikan II. Pada masa Gereja Purba, Ekaristi dipandang sebagai sakramen koinonia. Sebagai ke­nangan akan pengorbanan Kristus di salib, Ekaristi menjadi lambang Yesus yang di­tinggikan di kayu salib untuk mem­per­satukan seluruh umat manusia: “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan mena­rik semua orang datang kepada-Ku.” (Yoh 12:32). Santo Paulus juga melihat Ekaristi sebagai lambang dan sumber kesatuan jemaat: “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:17).

Di buku Didake, Ekaristi digam­barkan sebagai lambang kesatuan: “seba­gaimana roti yang dipecah-pecahkan ini (roti Ekaristi) tadinya tersebar di lereng bukit-bukit (sebagai biji gandum) dan kemudian dikumpulkan dan menjadi satu, demikian juga hendaknya disatukanlah Gereja-Mu dari segala penjuru dunia dalam kerajaan-Mu” (Didake, 9, 4 (F 1, 20))

Salah satu efek konkret dari kesatuan yang dihayati melalui Ekaristi adalah soli­daritas terhadap orang miskin papa dan orang sakit. Justinus melaporkan bahwa, seusai doa-doa, umat saling memeluk dan saling mencium. Kemudian, sesudah mene­rima roti dan anggur yang sudah terkonsakrir, umat membagi-bagikan harta mereka kepada para janda, yatim piatu dan para tahanan (bdk. Justinus, Apol. 1, 67.65).

Bagi Santo Agustinus, Ekaristi ialah “signum unitatis, vinculum caritatis”, lambang kesatuan dan ikatan cinta kasih” (Agustinus In Jo., 26,6,13). Santo Thomas mendefinisikan Ekaristi sebagai “sacra­mentum ecclesiasticae unitatis”, sakramen kesatuan Gereja (Thomas Aquinas, Sum­ma Theologiae III, q. 73, a.3). Bahkan, menurut Kardinal Kasper, bagi Santo Tho­mas dan Santo Bonaventura, dimensi utama dan mutlak dari sakramen Ekaris­ti, melebihi segala makna lain dimensi eklesialnya, sebagai sakra­men kesatuan.

persekutuan-1Jika Ekaristi menjadi sakramen koino­nia umat, sangat jelaslah bahwa per­pecahan dan ketidaksatuan bertentangan dengan hakekat Ekaristi. Dalam Anjuran Apostolik Amoris Laetitia Sri Paus memberi tafsiran yang menarik pada sebuah kutipan yang diambil dari surat pertama Santo Paulus kepada jemaat di Korintus (bdk. 1Kor 11:17-34). Di kutipan tersebut Santo Paulus menyalahkan ang­gota umat Korintus yang menerima Ekaristi secara tidak layak: “Karena ba­rang­siapa makan dan minum tanpa meng­akui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hu­kuman atas dirinya”. (1Kor11:29). Orang yang tidak mengakui tubuh Tuhan tidak layak menerima Ekaristi. Pertanyaan Sri Paus – apa arti sebenarnya dari “mengakui tubuh Tuhan” dalam Ekaristi itu? Biasanya, kutipan ini ditafsirkan sebagai larangan untuk menyambut Ekaristi bagi orang yang tidak percaya pada kehadiran Tuhan Yesus dalam rupa roti dan anggur sakramental, misalnya orang yang belum dibaptis. Menurut Sri Paus, tafsiran seperti ini terlalu sempit. Latar-belakang kutipan 1Korintus itu ternyata adalah kurangnya kesatuan dalam komunitas Korintus sendiri yang terdiri dari orang kaya yang tidak mem­perhatikan umat lain yang berkekurangan, sehingga dalam perjamuan suci hadir sekaligus orang yang mabuk dan yang kelaparan. Mereka yang memiliki harta tidak berbagi, tidak mengasihi saudara-saudari mereka yang miskin. Hal tersebut menimbulkan perpecahan dalam komu­nitas dan ketidaksatuan inilah yang dilawan oleh Santo Paulus sendiri. Oleh karena itu, bukan saja iman akan kehadiran Tuhan dalam rupa roti dan anggur yang membuat kita layak menerima Ekaristi atau tidak. Ternyata, menerima Ekaristi secara layak berarti berkomitmen untuk saling menga­sihi, agar Tubuh Kristus yakni Gereja, dapat sungguh dipersatukan oleh cinta kasih. Sebaliknya, menimbulkan perpe­cahan dalam komunitas Kristiani dan Gereja, sama halnya dengan menghujat Ekaristi. Kesimpulan dari Paus ialah: “kita perlu “mengakui” Tubuh Tu­han, yakni mengenalnya dalam iman dan kasih, baik di dalam tanda-tanda sakra­mental maupun di dalam komunitas: jika sebaliknya, kita makan dan minum sambil mendatangkan hukuman atas diri sendiri” (AL 185).

Dalam Injil Yohanes, tema Ekaristi terdapat dalam laporan mengenai perja­muan terakhir Yesus bersama para rasul dalam bentuk amanat perpisahan-Nya (bdk. Yoh 13-17). Dalam Injil Yohanes, cerita tentang penetapan Ekaristi digan­tikan dengan peristiwa tentang Yesus membasuh kaki para rasul, sebagai lam­bang cinta kasih timbal balik. Dengan demikian Yesus sendiri menegaskan bah­wa Ekaristi adalah sakramen kasih konkret antara para murid-Nya: merayakan sakra­men Ekaristi menyatu dengan pelayanan satu sama lain (bdk. Yoh, 11:14). Dalam perjamuan terakhir Yesus memberi perin­tah baru kepada murid-Nya, yakni “untuk saling mengasihi” (bdk. Yoh 13:34; 15:12.17). Hal tersebut adalah tugas yang dipercayakan kepada murid-murid-Nya, untuk membangun kesatuan antara jemaat. Namun Yesus tahu bahwa upaya manusia sebesar apapun tidak akan pernah cukup untuk menciptakan koinonia. Untuk men­capai kesatuan yang sebenarnya diperlukan rahmat dan karunia dari atas. Oleh karena itu, peristiwa perjamuan terakhir diakhiri dengan sebuah doa yang Yesus sampaikan kepada Bapa-Nya sendiri,yang terdapat di bab 17. Yesus, dalam perjamuan terakhir (Ekaristi) sudah minta kepada para murid untuk menjadi saudara satu sama lain melalui perintah baru, namun pada akhir perjamuan Dia minta juga kepada Bapa-Nya (bukan lagi kepada murid-Nya) agar perintah baru ini untuk saling mengasihi direstui dan diperkuat oleh rahmat ilahi. Oleh karena itu Yesus memohon “semoga mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,” (Yoh 17:21). Melalui doa ini, upaya manusia untuk membangun koino­nia diberkati oleh Allah, yang menja­dikan persaudaraan tersebut menyerupai kesa­tuan ilahi yang terdapat di Tritunggal Mahakudus: “…..sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau”. Rahmat kesatuan ilahi ini menjadi anugerah terbesar dari Ekaristi.

Ekaristi menjadikan kita menyerupai Kristus dan mempersatukan kita sesuai dengan model koinonia Tritunggal Maha­kudus sendiri. Sambil mensyukuri anuge­rah amat besar ini, kita diajak untuk menyambut Sakramen Mahasuci ini sesering mungkin agar Ekaristi dapat berbuah dan berkarya dalam diri kita sebagai pribadi dan juga sebagai umat yang berkoinonia. Kita membutuhkan Ekaristi dan begitu juga dunia, karena Yesus sendiri telah berdoa agar “mereka semua menjadi satu, […] supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh. 17:21).

P. Matteo Rebecchi, SX
Imam Misionaris Xaverian,
Pastor Rekan Paroki St. Maria Diangkat ke Surga Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.

Tinggalkan Balasan