Koinonia dan Keluarga
Tahun lalu Gereja Katolik menyelesaikan proses penyelenggaraan dua Sinode Keluarga, yakni pertemuan para Uskup dari seluruh penjuru dunia untuk membahas seputar tema Keluarga. Proses Sinodal tersebut sangat rumit dan terdiri dari dua pertemuan para uskup (satu “luar-biasa” sebagai persiapan untuk fase kedua, yakni sinode “biasa”) yang diselingi oleh angket yang disebarluaskan ke seluruh umat Gereja guna mengetahui pendapat serta mendapatkan masukan bukan hanya dari pihak hierarki Gereja, melainkan dari akar rumputnya juga, yakni kaum awam dan keluarga-keluarga. Semua proses tersebut dirangkum dan diolah kembali oleh Paus Fransiskus yang akhirnya mengedarkan Anjuran Apostolik pasca-Sinode yang berjudul Amoris Laetitia (Kegembiraan Cinta-Kasih). Maka tema keluarga menjadi salah satu prioritas dan keprihatinan Paus Fransiskus serta seluruh Gereja.
Tema pokok pastoral Keuskupan Padang untuk tahun ini terdapat dalam keluarga. Bagi kaum Kristiani, sumber utama koinonia adalah persekutuan Tritunggal Mahakudus. Kalau kita menganalisa dengan seksama struktur keluarga, tidak bisa dipungkiri bahwa ada kemiripan yang sangat mencolok antara keluarga dan Tritunggal Mahakudus, sehingga Sri Paus sendiri, dalam Amoris Laetitia (AL) mengatakan “Keluarga merupakan citra Allah, …. sebagai persekutuan (koinonia) pribadi-pribadi” (AL 71). Bagaikan Bapa, Putra dan Roh Kudus, keluarga juga terdiri dari pribadi-pribadi yang berbeda. Namun pribadi-pribadi tersebut tidak hidup lagi secara individual dan individualistis, terpisah satu dari yang lain. Mereka dipersatukan oleh cinta kasih untuk menjadi sebuah kesatuan, sehingga Kitab Suci menggambarkan persatuan suami-isteri bagaikan “menjadi satu daging” (lih Kej 2:24). Oleh karena itu keluarga adalah salah satu contoh yang paling jelas dan kongkret untuk menggambarkan kesatuan dan koinonia yang terdapat dalam Allah Tritunggal sendiri. Dalam sejarah spiritualitas dan teologi Katolik, membaca realitas keluarga sebagai citraTritunggal Mahakudus telah terjadi dalam diri beberapa Bapa Gereja pada abad-abad perdana. Namun Santo Agustinus dan kemudian Santo Thomas Aquinas, mewaspadai gereja dari menyamakan struktur keluarga dengan misteri Tritunggal. Ada dua risiko yang mereka takuti dalam analogi Tritunggal-keluarga ini. Yang pertama adalah risiko politeisme, yakni menarik kesimpulan bahwa, bagaikan anggota-anggota sebuah keluarga, Bapa, Putra dan Roh Kudus juga dapat dipandang sebagai tiga Allah yang berbeda, dan bukan lagi Allah yang satu, atau esa. Risiko kedua adalah menyimpulkan bahwa, bagaikan suami-isteri, dalam Tritunggal Mahakudus juga terdapat perbedaan seksual (mis. Bapa mewakili kelaki-lakian, sedangkan Roh Kudus mewakili keperempuanan, dan Putra mewakili keturunan mereka berdua) sebagaimana lazim, pada waktu itu di dalam paham mengenai dewa-dewi di agama-agama pagan. Oleh karena itu, Gereja selama hampir 14 abad cenderung menghindari analogi antara keluarga dan Tritunggal Mahakudus.
Meskipun demikian, pada masa kini Gereja semakin sadar bahwa justru Tritunggal Mahakudus dan koinonia antara Bapa-Putra dan Roh Kudus, menjadi model yang dengan baik melukiskan realitas keluarga-keluarga. Keluarga bukan saja sebuah perkumpulan manusia yang disebabkan oleh tradisi dan budaya, melainkan bersumber pada pola hidup Allah Tritunggal sendiri. Oleh karena itu Sri Paus tidak ragu mengatakan, “Keluarga dan perkawinan sudah ditebus oleh Tuhan (lih Ef. 5,22-32), dan ditingkatkan martabatnya sebagai citra Tritunggal Mahakudus” (AL 63). Ternyata Sri Paus sudah melampaui ketakutan Agustinus dan Thomas dan berani mengemukakan analogi antara keluarga dan Allah sendiri.
Jika keluarga menyerupai secara analogis Tritunggal Mahakudus, bisa dikatakan juga bahwa salah satu cara untuk mengenal dan memahami misteri Tritunggal adalah justru memandang sebuah keluarga Kristiani yang hidup rukun dalam cinta kasih. Sri Paus mengatakan bahwa “Dalam Keluarga …. yang dipersatukan oleh Kristus, bisa dipandang “gambar dan rupa” Tritunggal Mahakudus (lih. Kej 1:26)” (AL 71). Oleh karena itu, salah satu tugas pokok dari orang yang hidup berkeluarga adalah tanggung-jawab untuk memperlihatkan kesatuan yang, secara tidak sempurna sekalipun, merujuk pada kesatuan Allah sendiri. Dengan demikian, kesatuan dalam sebuah keluarga, selain menjadi sumber kebahagiaan bagi anggotanya, menjadi juga sumber kesaksian hidup dan pewartaan cinta kasih ilahi kepada dunia. Tugas kesaksian tersebut sangat luhur dan tentu tidak mudah untuk dilaksanakan, namun merupakan tanggung-jawab setiap orang yang ingin membentuk sebuah keluarga.
Sri Paus sadar bahwa dalam dunia modern institusi keluarga sedang mengalami masalah dan tantangan yang hebat (lih AL 32-34; 39-49; 50-55). Masyarakat, terutama di dunia barat, tidak mendukung lagi keluarga-keluarga. Ada upaya dari budaya dan lembaga tertentu untuk memperlihatkan keluarga sebagai sebuah struktur kuno yang sudah terlampau tua dan tidak lagi berguna bagi seluruh masyarakat. Menurut pandangan ini, keluarga mengikat manusia dan membatasi kebebasan personal setiap anggotanya. Kasih setia suami isteri tidak dianggap lagi sebagai model terbaik dari ikatan cinta antara laki dan perempuan. Ada juga upaya untuk menyelaraskan perkawinan antara seorang pria dan wanita dengan hubungan sesama jenis, dengan juga mengemukakan hak untuk adopsi anak bagi pasangan homoseksual (lih. AL 52, 55). Tantangan yang lain adalah kurangnya waktu untuk komunikasi dan kebersamaan dalam keluarga, disebabkan kesibukan masing-masing anggotanya dalam keramaian dunia modern dan tuntutan waktu di tempat kerja (lih. AL 50).
Keluarga sebagai lembaga kecil untuk pendidikan dan pengasuhan anak dapat tantangan yang hebat di masyarakat modern. Anak-anak bertumbuh di lingkup majemuk, di mana keluarga dan orang tua tidak merupakan lagi agen pendidikan dasar yang terutama. Sekolah, televisi, alat komunikasi dan sumber lain menjadi semakin berpengaruh dalam pertumbuhan seorang anak. Di kota besar, anak-anak jarang bertemu dengan orang tua yang sibuk kerja dan pulang ke rumah malam hari. Sri Paus mengakui juga selama ini Gereja tidak selalu mampu untuk menawarkan visi tentang perkawinan dan keluarga yang positif dan penuh sukacita, sebagaimana diperlihatkan oleh Injil. Gereja pun mesti rela untuk mengritisi diri sendiri dan kebijakan pastoralnya, guna membantu umatnya untuk lebih menghargai perkawinan dan keluarga sesuai dengan rencana Allah (lih. AL 36-38).
Meskipun keluarga-keluarga mengalami tantangan-tantangan tersebut, menurut Sri Paus, keluarga-keluarga masih mempunyai tugas dan fungsi luhur dalam Gereja dan dalam masyarakat, terutama dalam memberi kesaksian tentang koinonia (lih. AL 31). Keluarga tetap merupakan tempat bagi orang bisa menghayati cinta kasih secara konkret. Menurut Sri Paus, di dalam keluarga orang bisa merasakan dan mengalami kehangatan kasih, serta perlindungan dan perhatian dari anggota lain. Keluarga tempat pertama bagi anak-anak menerima cinta kasih. Dengan demikian mereka dapat bertumbuh sehat, jasmani dan rohani: kepribadian mereka bisa mencapai keseimbangan justru karena mereka merasakan cinta dari kedua orang tuanya (lih, AL 86; 175). Keluarga merupakan juga tempat di mana orang yang lemah dapat merasakan perlindungan dan pertolongan. Orang yang sudah lanjut usia, menemukan dalam diri anak-cucu mereka sumber kebahagiaan dan dukungan untuk masa tuanya. Demikian juga orang sakit dan penyandang cacat diterima dan diayomi dalam keluarga (lih. AL 47-48).
Keluarga adalah terutama sekali perwujudan dari kasih setia antara suami dan istri. Kasih ini sangat hebat karena menuntut kesetiaan dan eksklusivitas dalam mengasihi pasangannya. Kasih ini adalah untuk selamanya dan mampu memprioritaskan pasangan, rela menomorduakan cinta-cinta yang lain. Saya, sebagai pastor yang hidup selibat, selalu terpesona menyadari adanya cinta seperti ini yang saya pandang sebagai sebuah mukjizat, karena kasih suami-isteri menuntut sebuah intensitas kasih yang luar biasa: untuk selamanya dan kepada satu orang saja. Dalam surat kepada jemaat di Efesus cinta kasih setia antara suami dan istri dipandang sedemikian luhur hingga diumpamakan dengan cinta kasih Yesus terhadap Gereja (lih. Ef 5,25; AL 121), yakni sebuah cinta yang rela menyerahkan jiwanya demi sesama. Oleh karena itu perkawinan tidak dapat mengandalkan kemampuan manusia saja, melainkan membutuhkan bantuan dari atas, yakni rahmat sakramental, supaya Tuhan hadir dan memperkokoh ikatan janji perkawinan yang diikrarkan oleh manusia (lih. AL 73).
Cinta suami-istri melibatkan seluruh diri manusia. Sri Paus tidak menggambarkan cinta ini sebagai sebuah spiritualisme di atas awan. Cinta ini mesti kongkret dan terungkap dalam segala bentuk ekspresinya untuk menjadi sempurna. Cinta ini meliputi kesatuan spiritual kedua pribadi, saling menolong dan mendukung, persahabatan sejati, perhatian kongkret terhadap pasangan, keterikatan emosional sampai juga persatuan fisik suami-isteri. Semua dimensi ini mesti dipelihara dan dikembangkan agar pasangan suami-isteri dapat bertumbuh dalam kesatuan. Sri Paus menganjurkan juga agar kasih suami-istri terungkap melalui berbagai ekspresi tubuh: menyapa, merangkul, mencium, dan juga persetubuhan (lih. AL 157). Cinta suami-istri seharusnya berkembang dengan tambahnya usia karena belajar untuk mengasihi merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Tentu ekspresi kasih akan berubah, ketertarikan fisik bisa menurun pada masa tua, namun kesatuan seharusnya menjadi semakin intens. Dengan demikian perkawinan menjadi sebuah perjalanan bersama yang berkembang terus menerus (lih. AL 173-174).
Hal tersebut bisa terjadi jika janji perkawinan menjadi sebuah persekutuan atau kesepakatan antara kedua pihak untuk saling mengasihi. Kecuali pada saat-saat tertentu, kasih dalam keluarga bukanlah hanya kasih searah, di mana ada salah satu pihak yang terus menerus berkorban bagi pihak yang lain. Kasih dalam keluarga adalah kasih yang diberikan dan diterima sekaligus, kasih yang “pergi” dan “pulang”, kasih yang menjadi dukungan dan kekuatan bagi setiap anggota (lih. AL 157). Dengan demikian keluarga menjadi perwujudan dari perintah baru yang ditetapkan Yesus sendiri pada perjamuan terakhir: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi” (Yoh 13:34). Kasih timbal balik seperti ini melebihi kasih “satu arah” yakni “kasih terhadap sesama”yang sudah ditetapkan di perjanjian lama (lih. Im 19:18), karena mengandung dimensi “timbal-balik” atau “kesalingan”, yang menuntut kesepakatan antara dua belah pihak agar kasih ini “berputar” seperti kasih antara Pribadi dalam Tritunggal. Dengan demikian, kasih ini bersifat koinonia dan memiliki modelnya dalam kasih timbal balik yang terdapat dalam Tritunggal Mahakudus sendiri. Untuk itu sikap dialogis dan komunikasi suami isteri menjadi sebuah keharusan dan latihan sehari-hari (lih. AL 136-137). Keluarga adalah juga tempat bagi kita belajar kerahiman dan belas kasih (lih AL 27). Tahun Kerahiman ini mengingatkan kita semua, sebagai manusia, terbatas, dan rapuh. Kita semua sakit dan membutuhkan bantuan sang Dokter, yakni Allah Bapa yang Maharahim. Kerapuhan kita terlihat juga dalam kesulitan kongkret untuk mengasihi. Oleh karena itu kita membutuhkan kemampuan untuk mengasihi sesama dengan segala keterbatasannya, serta kita perlu mengandalkan juga kerelaan orang lain untuk mengasihi kita yang juga terbatas dan penuh dengan dosa dan kesalahan. Kita mulai belajar untuk saling menerima apa adanya justru dalam keluarga-keluarga kita di mana terdapat perbedaan karakter dan pola pikir. Keluarga menjadi sekolah yang pertama dalam hal pengampunan, karena anggota-anggotanya sering bersalah, saling menyinggung perasaan, dan saling melukai karena dosa dan keterbatasan masing-masing. Oleh karena itu, menurut Paus, keluarga adalah juga tempat bagi kita mempelajari sikap belas kasih, yang terkadang mencapai intensitas luar biasa, tempat kesatuan keluarga dapat diselamatkan oleh kerelaan untuk mengampuni orang lain (entah pasangan atau anak atau orang tua) yang bersalah (lih. AL 106-108).
Meskipun pada masa kini keluarga sedang mengalami tantangan yang luar biasa, Paus Fransiskus tetap memandangnya sebagai anugerah bagi anggotannya, bagi gereja dan juga bagi seluruh dunia (AL 31; 52). Keluarga menjadi sekolah koinonia bagi seluruh umat manusia, karena di situlah orang belajar untuk saling mengasihi. Selain itu, hidup berkeluarga merupakan perwujudan dari koinonia ilahi. Maka, adalah PR kita memelihara koinonia di dalam keluarga-keluarga agar menjadi “tritunggal-tritunggal kecil” di tengah-tengah dunia. Saya juga menganjurkan untuk membaca Anjuran Apostolik Amoris Laetitia, sebuah dokumen yang kaya dan penuh kebijaksanaan, yang sangat bermanfaat bagi kita semua, kaum yang berkeluarga dan kaum selibat sekalipun.
P. Matteo Rebecchi, SX
Imam Misionaris Xaverian (SX),
Pastor Mitra Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Muara,
Siberut-Kepulauan Mentawai.