Koinonia dan Kerahiman
Tahun Kerahiman yang sedang kita hayati bersama berkaitan erat dangan tema “Koinonia” yang menjadi fokus perhatian umat Keuskupan Padang. Sri Paus telah memaklumkan Tahun Kerahiman melalui sebuah surat (Bulla) yang berjudul Misericoridae Vultus (MV). Surat tersebut dibuka dengan pernyataan tegas: “Yesus Kristus merupakan wajah (Vultus) dari Kerahiman (Misericordia) Allah Sendiri” (bdk MV 1). Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa kerahiman merupakan ciri dari Yesus dan juga ciri dari kasih Allah Bapa sendiri: seluruh kehidupan, perbuatan dan perkataan Yesus mewujudkan dan mencerminkan kasih yang penuh kerahiman Allah Bapa.
Kerahiman Tuhan adalah Kasih terhadap manusia ciptaan-Nya yang tetap dipandang sebagai anak-anak dalam situasi apapun; ketika mereka berbuat baik dan layak dicintai, maupun ketika mereka menolak cinta kasih Bapa, dan memutuskan untuk hidup jauh dari diri-Nya. Mereka, yang seharusnya dihukum, ternyata diampuni dan diterima kembali. Kerahiman seperti ini sungguh luar biasa. Sri Paus merujuk pada Santo Thomas Aquinas yang mengatakan bahwa sikap belas kasih dari Allah sendiri bersumber pada kemahakuasaan-Nya (bdk. MV 6). Allah mengasihi anak-anak-Nya bukanlah karena lemah, melainkan justru karena Dia Mahakuasa dan kuasa-Nya terungkap terutama sekali dalam mengalahkan dosa dan mengampuni anak-anaknya yang, sejujurnya, tidak pantas lagi diampuni. Kita sering mengaitkan kemahakuasaan Allah hanya dengan kemampuan Allah untuk melakukan apa saja yang Dia inginkan, bagaikan tukang sihir yang amat hebat. Ternyata, Dia memakai kemampuan ini terutama sekali untuk mengampuni kita, dengan memberi kesempatan kepada kita untuk bangkit kembali dari segala kesalahan kita. Dia Mahakuasa, kuasa dosa pun Dia kalahkan.
Dalam Bulla Misericordiae Vultus tersebut, Kerahiman Allah dibahas dari dua sisi. Yang pertama, Kerahiman dalam arti cinta kasih Allah tanpa batas dan dengan penuh belarasa dan kedekatan emosional terhadap anak-anak-Nya, sehingga Allah mengasihi dengan kasih yang penuh sikap keibuan, bagaikan seorang ibu yang menyayangi anak-anak yang telah menjadi buah dari rahimnya sendiri (kerahiman) (bdk MV 4). Sisi kedua adalah belas kasih dalam arti kerelaan Tuhan untuk mengampuni kita sebagai anak-Nya yang berdosa. Bagi Paus Fransiskus, kerahiman Allah berarti bahwa Tuhan mengasihi kita dalam segala kebutuhan, sekaligus Allah rela menerima kita kembali setiap kali bangkit dari dosa-dosa: Allah adalah Mahakasih dan Mahapengampun.
Sisi pertama dari Kerahiman Allah terlihat dari berbagai peristiwa dalam Injil ketika Yesus sendiri mengungkapkan cinta kasih konkret terhadap manusia. Sri Paus sendiri dalam suratnya menegaskan bahwa “Tanda-tanda yang Ia (Yesus) kerjakan, khususnya tanda-tanda demi keselamatan orang berdosa, orang miskin, kaum tersisih, orang sakit dan menderita, semuanya dimaksudkan untuk mengajarkan belas kasih. Segala sesuatu dalam diri Yesus berbicara tentang belas kasih.” (MV 8) Paus Fransiskus memaparkan beberapa contoh kasih Yesus terhadap sesama yang terdapat dalam Perjanjian Baru: “Melihat orang banyak yang mengikuti diri-Nya, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena Ia menyaksikan mereka itu letih dan terlantar, sesat dan tanpa gembala (bdk. Mat. 9:36). Terdorong oleh cinta yang penuh belas kasih, Ia menyembuhkan orang sakit yang diantar ke hadapan-Nya (bdk. Mat. 14:14), dan hanya dengan beberapa potong roti serta ikan, Ia mengenyangkan orang yang amat besar jumlahnya (bdk. Mat. 15:37). Yang menggerakkan Yesus dalam semua situasi itu tidak lain adalah belas kasihan; karena belas kasihan itu, Ia membaca isi hati orang-orang yang dijumpai-Nya dan menanggapi kebutuhan mereka yang paling dalam. Ketika Ia berjumpa dengan janda dari Nain yang sedang mengantar jasad anaknya ke kubur, Ia sangat tergerak oleh penderitaan luar biasa dari ibu yang sedang berduka itu. Maka, Ia membangkitkan anak itu dari kematian, lalu mengembalikannya kepada sang ibu (bdk. Luk. 7:15). Di daerah Gerasa, sesudah membebaskan orang yang kesurupan, Yesus mempercayakan kepada orang itu perutusan ini, “pulanglah kepada kaum kerabatmu, dan beritahukanlah kepada mereka betapa besar karya yang telah diperbuat Tuhan atasmu dan betapa Tuhan telah menyatakan belas kasihan-Nya kepadamu!” (Mrk. 5:19).” (MV 8).
Cara bertindak Yesus seperti ini mendorong kita yang menyebut diri pengikut-Nya. Jika Yesus berbuat demikian, kita juga diajak untuk berbelas kasih serta mengasihi sesama secara konkret saudara-saudari kita. Sri Paus menegaskan bagaimana orang yang menamakan diri Kristiani, pengikut Kristus, tidak boleh tidak berbelas kasih. Paus Fransiskus mengajak kita untuk mempelajari kembali karya-karya kasih jasmani dan rohani yang sudah lama menjadi bagian dari tradisi Gereja Katolik: memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tumpangan kepada orang asing, menyembuhkan orang sakit, melawat orang tahanan, dan menguburkan orang mati. Dan juga karya-karya belas kasih rohani, yakni: memberi nasihat kepada orang yang bimbang, mengajar orang yang tidak tahu, menasihati orang berdosa, menghibur orang yang tertindas, mengampuni pelanggaran, menanggung dengan sabar orang-orang yang melukai hati kita, dan berdoa bagi orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal (bdk. MV 15). Sambil membaca daftar karya belas kasih ini, kita dapat memeriksa batin kita dan dengan demikian menyadari betapa seringnya kita lalai dalam menjalankan tuntutan tersebut.
Berkait dengan tema Koinonia, kasih konkret terhadap sesama merupakan syarat mutlak untuk membangun persekutuan dalam komunitas Kristiani. Tidak mungkin kita hidup rukun jika tidak ada semangat tolong menolong dan memperhatikan kebutuhan anggota kita yang berkekurangan dalam bentuk apapun. Kita diajak untuk melihat kebutuhan saudara-saudari dan mencari solusi agar kebutuhan itu dapat terpenuhi. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari tradisi Katolik sepanjang sejarah yang senantiasa amat kreatif dalam menanggapi kebutuhan umatnya: misalnya dalam bidang kesehatan melalui rumah sakit, karya pendidikan melalui sekolah-sekolah Katolik. Namun perhatian orang Katolik mesti diterapkan juga dalam hidup sehari-hari di paroki, di kelompok kategorial dan juga di dalam keluarga masing-masing, agar kasih Tuhan dapat terwujudnyatakan dalam pelayanan konkret di tempat orang yang menyebut dirinya Kristiani.
Kasih seperti ini memiliki beberapa ciri. Kasih Kristiani mengasihi setiap orang, yang baik dan juga yang jahat, yang periang dan juga yang kurang bersahabat, yang pintar dan juga yang tidak terpelajar, yang kaya dan miskin, yang Kristiani dan juga orang yang beragama lain: semua orang, karena Allah mencintai setiap anak-Nya. Kasih ini menjadi yang pertama dalam mengasihi, dalam arti tidak menunggu tindakan dari orang lain. Bagaikan seorang striker di dalam permainan bola, dia menyerang, artinya dia mengasihi sebelum dikasihi orang lain. Kemudian kasih ini menjadi satu dengan orang lain, dalam arti mampu bergembira dengan orang gembira dan menangis dengan orang yang sedang bersedih hati (bdk. 1 Cor 9:19-22). Kasih ini adalah kasih solider yang mengambil contoh dari Yesus yang rela menanggalkan martabatnya sebagai Allah untuk menjelma menjadi manusia lemah untuk bersatu dengan keadaan kita (bdk. Fil 2:7). Kemudian, kasih ini mampu mengasihi orang yang membenci kita: bahkan mengasihi musuh (bdk Mt 5:44). Kasih ini juga mampu menumbuhkan semangat kasih dalam diri orang lain, menjadi kasih dalam kebersamaan, sehingga kasih terhadap sesama berkembang menjadi kasih timbal balik, sesuai dengan “Perintah Baru” Yesus untuk “saling mengasihi” (bdk. Yoh. 13:34; 15:12).
Sisi kedua dari kerahiman yang dipaparkan oleh Paus Fransiskus dalam Misericordiae Vultus adalah pengampunan. Allah tidak hanya melihat kebutuhan jasmani dan rohani umatnya, melainkan Dia mengampuni dosa-dosa mereka juga. Allah Bapa kita sebagaimana diperkenalkan oleh Yesus, bukanlah hakim yang berpegang pada keadilan belaka, melainkan seorang Bapa yang rela melampaui keadilan demi cinta kasih, sehingga yang seharusnya dihukum, dirangkul kembali dan diampuni. Dengan berbelas kasih, Allah tidak menutup mata terhadap orang yang berbuat salah. Dosa tetaplah dosa, pelanggaran akan hukum kasih dan merugikan si pendosa dan orang lain. Oleh karena itu Allah melarang dosa dan mengajak manusia memperbaiki diri dan bertobat. Allah meminta untuk memperbaiki perbuatan kita, bukanlah karena Dia tersinggung dan marah, melainkan terutama sekali karena dosa itu melukai kita yang Dia cintai. Dia melarang kita berbuat dosa karena Dia ingin agar kita tetap hidup bahagia. Oleh karena itu, kalaupun orang perlu membayar konsekuensi dari pelanggaraannya, sanksi tersebut selalu bertujuan agar orang yang bersalah itu dapat bertobat dan memperbaiki diri, supaya martabatnya sebagai anak Allah dapat dipulihkan (bdk. MV 21). Yesus, Anak Allah, menolak dosa manusia, namun tidak menjauhkan diri dari manusia yang berdosa (bdk. MV 19).
Logika kerahiman Allah adalah logika yang dipaparkan dalam peristiwa yang diceritakan dalam Injil Yohanes bab 8, di saat ada seorang perempuan yang tertangkap basah berbuat zinah. Orang itu seharusnya dihukum menurut hukum Musa, dan dibunuh. Dalam peristiwa tersebut sangat menonjol bagaimana Yesus menjadi orang satu-satunya yang mampu mengampuni wanita itu. “Aku pun tidak menghukum engkau,” kata-Nya. (Yoh 8:11). Hanya Allah yang mampu mengampuni manusia. Yang lain hanya bisa menghakimi. Lalu, sesudah mengampuni orang berdosa itu tanpa syarat (sangat mengherankan bahwa Yesus tidak minta lebih dahulu tanda pertobatan atau janji untuk tidak berbuat dosa lagi…), Yesus mengajak dia untuk bertobat. Sikap Yesus ini amat penting, karena menggambarkan bagaimana pengampunan dari Allah mendahului pertobatan perempuan itu, bukan sebaliknya. Artinya, persentuhan kasih yang penuh kerahiman itu, memberi kekuatan kepada wanita tersebut untuk memperbaiki perbuatannya. Dengan kata lain, pertobatan bukanlah syarat untuk menerima pengampunan dari Tuhan, melainkan justru sebaliknya: oleh karena manusia merasa diampuni dan dirangkul tanpa syarat oleh Allah Bapanya, maka timbullah dalam diri manusia kekuatan dan niat untuk memperbaiki diri dan bertobat. Berkaitan dengan ini, salah satu peristiwa injili yang menjadi amat penting dalam kehidupan Sri Paus adalah panggilan Mateus. Paus Fransiskus tersentuh hatinya ketika membaca komentar Santo Beda Venerabilis yang menggarisbawahi bahwa Mateus itu dipanggil dan sekaligus diampuni oleh Yesus. Pertobatan dan panggilan dalam diri pemungut cukai yang berdosa itu merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Mateus diampuni dan oleh karena dia merasa dicintai dengan kasih tanpa batas itu, dia mampu menjawab panggilan Yesus. Oleh sebab itu, Fransiskus memilih kata-kaka Santo Beda tersebut “miserando atque eligendo” (mengasihani sambil memilih) sebagai moto episkopalnya sendiri (MV 9).
Sisi kedua dari kerahiman ini sangat penting bagi kita. Menyadari bahwa kita diampuni dan dicintai Allah Bapa sebagaimana digambarkan dalam perumpamaan tentang seorang bapa yang berbelaskasih (bdk. Lk 15:11-32) merupakan dasar yang pokok bagi panggilan Kristiani kita. Pada dasarnya seorang Kristiani tidak beda dari orang lain. Perbedaannya ada pada kesadaran bahwa kita dicintai dan diampuni dengan kasih yang tak terhingga oleh Allah Bapa yang berbelas kasih, sedangkan orang lain belum sadar akan kasih seperti ini. Sering Sri Paus menggambarkan Gereja sebagai rumah sakit, di situ terkumpul orang sakit yang membutuhkan pengobatan (rohani). Yang masuk ke Gereja adalah orang yang sadar bahwa di dalamnya ada Sang Dokter yang bisa mengobati.
Kesadaran akan pengampunan yang kita terima sebagai anugerah, mesti menjadi dorongan untuk menerima sesama yang juga memiliki kerapuhan dan kesalahan. Kita tidak dihukum Tuhan seharusnya juga tidak menghakimi saudara-saudari kita. Koinonia dalam Gereja bisa terwujud hanya kalau ada kerelaan dari setiap anggotannya untuk mengampuni sesama, sama seperti setiap umat telah diampuni oleh Allah Bapa. Tidak ada jalan lain untuk membangun persekutuan kita.
Salah satu sarana yang membantu kerukunan dalam komunitas Kristiani adalah sakramen Pengakuan Dosa. Di dalam sakramen tersebut seorang pastor, yang berbicara atas nama Allah Bapa, menegaskan dan menyatakan bahwa Allah Bapa telah mengampuni dosa-dosa kita. Kesadaran akan besarnya anugerah pengampunan yang kita terima ini memberi kekuatan kepada kita untuk mengampuni dan menerima sesama kita, yakni sesama yang memiliki kelemahan, kesalahan dan dosa sama seperti kita.
P. Matteo Rebecchi, SX
Imam Misionaris Xaverian,
Pastor Rekan Paroki St. Maria Diangkat ke Surga Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.