Memaknai Imam Berbau Domba (PERTEMUAN UNIO KEUSKUPAN PADANG)
Memaknai Imam Berbau Domba
(PERTEMUAN UNIO KEUSKUPAN PADANG)
Paus Fransiskus, dalam Evangelii Gaudium mengharapkan agar para gembala hendaknya selalu membangun kesatuan dengan umat secara utuh, lahir dan bathin: ‘Para pewarta Injil memiliki memiliki “bau domba” dan domba pun mau mendengarkan suara mereka. Hal ini kembali ditegaskan oleh RD. Anton Konseng Pr. Dalam pertemuan imam-imam diosesan (UNIO) Keuskupan Padang pada Selasa 15/11 di Puri Dharma Katedral. Menarik kepada kehidupan imam diosesan, Imam senior sekaligus dituakan dalam UNIO Keuskupan Padang ini menambahkankan “imam diosesan yang menjadi tulang punggung keuskupan harus berakar, berkembang dan berbuah bersama umat. Dengan demikian imam diosesan dan umatnya harus sejalan dalam karya dan pelayanan dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah.”
RD. Anton kemudian mengajak seluruh imam diosesan yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk lebih mendalami pengertian domba dan mengapa seorang imam harus berbau domba yang jelas berbeda dari pengertian imam berbulu domba. Simbol dalam bahasa Indonesia, domba bisa diartikan orang yang bodoh atau orang yang suka ikut-ikutan, tidak punya sikap, dan pendirian. Dalam konteks rohani, domba dikaitkan dengan kurban. Yesus Kristus juga disebut Anak Domba Allah, yang berarti Dia selalu taat mau mengikuti perintah Allah tanpa pamrih, hidup bersama umat-Nya, hingga mati di Kayu Salib. Untuk saat ini imam, merupakan perwujudan hidup Kristus di dunia, jadi imam harus memiliki sikap taat kepada Tuhan, Yesus Kristus, Injil dan Gereja serta bekerja melayani umatnya secara total tanpa pamrih. RD Anton juga kemudian dengan lembut mengajak para imam diosesan yang hadir agar “… jangan sampai imam menjadi imam berbulu domba, yang hanya tampak di luar saja, tapi tidak datang dari dalam hatinya”ungkapnya.
Untuk lebih memaknai secara terang tentang imam berbau domba, RD Anton kemudian mensyeringkan panggilan imamat dan pelayanannya. RD Anton Konseng Pr. (69 Tahun) ditahbiskan pada tanggal 20 Juni 1975 berbagi cerita bagaimana dia bisa menjadi seorang imam yang awalnya tidak ada keinginan dan selalu menolak bahkan hingga di Seminari tinggi. Namun ketika menajalani Tahun Orientasi Pastoral, dia dipanggil oleh seorang ibu yang lagi sakit yang kemudian bercerita tentang keluh kesah hidupnya. Saat itu, P. Anton yang masih frater muda, hanya mendengarkan. Setelah Ibu itu sembuh, ia pun meminta P. Anton untuk menjadi Imam, Imam yang selalu mendengar. Sejak saat itulah P. Anton menyadari panggilannya dan mulai serius menjalani panggilan tersebut. Dari cerita perjalanan hidup panggilannya, dia mengatakan bahwa unsur terpenting dalam semuanya itu adalah ketaatan terhadap perintah dari Tuhan dan juga kepada Uskup serta penggantinya, disamping selalu bekerja sama dengan sesama dan umat Gereja. (SILVANO)