Memelihara Bumi: Pujian Bagi Allah (Majalah Gema Edisi Juni 2016)
Memelihara Bumi:Pujian Bagi Allah
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Paus Fransiskus pada tanggal 24 Mei 2015 telah menerbitkan ensiklik keduanya dengan judul Laudato Si’. Subjudul menjelaskan keprihatinan mendasar ensiklik Paus ini: Tentang Perawatan bumi sebagai rumah kita bersama. Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa “rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan bagaikan ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka”. Paus mengungkapkan bahwa bumi kita sekarang sedang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya dengan tidak bertanggung jawab. Kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya.
Apa yang dikatakan oleh Paus Fransiskus tidak perlu membutuhkan analisa yang mutakhir untuk membenarkannya. Cukuplah dengan melihat realitas dengan jujur untuk menemukan bahwa bumi ini mengalami kerusakan parah: polusi dan perubahan iklim, masalah air minum, hilangnya keanekaragaman hayati, dll. Kerusakan parah ini telah mengancam kehidupan manusia sendiri sebagai makhluk yang diberkati dengan kecerdasan dan cinta, serta ditarik kepada kepenuhan Kristus, dipanggil untuk mengantar semua makhluk kembali kepada Pencipta mereka.
GEMA edisi kali ini mencoba memaparkan kesadaran dan tindakan umat, baik secara individu maupun kelompok, dalam pemeliharaan bumi sebagai rumah kita bersama. Secara umum kita melihat suatu kesadaran bahwa bumi ini penting untuk kehidupan manusia, namun bila kita lihat tindakan konkret yang muncul dapat memberikan kesan penerimaan begitu saja situasi alam yang ada.
Secara jujur kita mengakui bahwa manusia tidaklah mungkin mengembalikan bumi ini kepada keindahannya dalam seketika kepada situasi awalnya seperti ketika Allah menciptakannya dengan indah untuk kebutuhan manusia dan manusia menjadi bagian dari rencana Allah untuk bumi ciptaan-Nya. Hal yang dapat kita perbuat adalah memelihara yang ada dalam semangat pertobatan. Kita jadikan usaha pemeliharaan ini sebagai doa: pujian dan syukur kepada Allah Sang Pencipta.
Selamat membaca!
Peduli terhadap Bumi – “Rumah Bersama”
LAUDATO SI’ (bahasa Italia), berarti “Puji Bagi-Mu” adalah ensiklik kedua Paus Fransiskus, setelah Lumen Fidei (Terang Iman), dirilis tahun 2013. Ensiklik ini memiliki sub-judul: “On the care for our common home” (Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama). Dalam ensiklik ini, Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang terpadu dan segera”.
Ensiklik Laudato si’ bertanggal 24 Mei 2015, dipublikasikan secara resmi pada tanggal 18 Juni 2015. Vatikan merilis dokumen tersebut dalam bahasa Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, Perancis, Polandia, Portugis, dan Arab. Dalam bahasa Indonesia, P. Martin Harun, OFM, menerjemahkan ensiklik ini ke dalam buku terbitan Obor – dari naskah: LETTRE ENCYCLIQUE LAUDATO SI’ – DU SAINT-PÈRE FRANÇOIS – SUR LA SAUVEGARDE DE LA MAISON COMMUNE – Libreria Editrice Vaticana. Ensiklik Laudato si’ diterjemahkan menjadi “Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama”. Bab I memuat “Apa yang terjadi dengan rumah kita?”, yakni polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global, tanggapan-tanggapan yang lemah, dan keragaman pendapat. Bab II memuat “Kabar Baik Penciptaan”, terdiri dari cahaya yang ditawarkan iman, hikmat cerita-cerita Alkitab, misteri alam semesta, pesan setiap makhluk dalam harmoni seluruh ciptaan, persekutuan universal, tujuan umum harta benda, tatapan Yesus.
Bab III memuat “Akar Manusiawi Krisis Ekologis”, terdiri dari (1) teknologi: kreativitas dan kuasa, (2) globalisasi paradigma teknokratis, (3) krisis dan efek antroposentrisme modern – relativisme praktis, kebutuhan untuk melestarikan pekerjaan, dan teknologi biologis yang baru. Bab IV tentang “Ekologi yang Integral”, terdiri dari (1) ekologi lingkungan, ekonomi dan sosial, (2) ekologi budaya, (3) ekologi hidup sehari-hari, (4) prinsip kesejahteraan umum, (5) keadilan antargenerasi. Bab V tentang “Beberapa Pedoman untuk Orientasi dan Aksi”, terdiri dari (1) dialog tentang lingkungan dalam politik internasional, (2) dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal, (3) dialog dan transparansi dalam pengambilan keputusan, (4) politik dan ekonomi dalam dialog untuk pemenuhan manusia, (5) agama-agama dalam dialog dengan ilmu.
Bab terakhir, bab VI, tentang “Pendidikan dan Spiritualitas Ekologi”, terdiri dari (1) menuju gaya hidup yang baru, (2) pendidikan untuk perjanjian antara manusia dan lingkungan, (3) pertobatan ekologis, (4) kegembiraan dan damai, (5) cinta dalam bidang sipil dan politik, (6) tanda-tanda sakramental dan istirahat yang dirayakan, (7) Allah Tritunggal dan hubungan antara makhluk, (8) Ratu seluruh dunia ciptaan, (9) Melampaui matahari.
Melalui ensiklik ini, Paus Fransiskus mengajak umat manusia turut prihatin atas situasi bumi dan dunia ciptaan Allah saat ini; serta semakin banyak orang untuk semakin memiliki kepedulian terhadap bumi dan segenap alam ciptaan serta umat manusia. (ist)
LAODATO SI’: Mari Pelihara “Rumah Bersama”
Pada 18 Juni 2015, Bapa Suci Paus Fransiskus I menerbitkan ensiklik berjudul: “Terpujilah Engkau (Tuhan): Memelihara Rumah Kita Bersama/Laudato Si’, On Care For Our Common Home). Ensiklik terdiri 6 bab. Bab I: Apa yang sedang terjadi pada rumah kita bersama ini (Ibu Pertiwi)? Bab II: Injil tentang Alam Ciptaan Tuhan. Bab III: Akar manusiawi dari Krisis Ekologis. Bab IV: Ekologi yang utuh (integral). Bab V: Garis Kebijakan Pendekatan dan Tindakan-tindakan konkret (program-program). Bab VI: Pendidikan dan spiritualitas Ekologis.
Pertanyaan dasar yang menjadi jantung ensiklik: “Bumi macam apa yang hendak kita wariskan kepada generasi baru sesudah kita hidup, kepada anak-anak yang sedang bertumbuh?” Paus Fransiskus berkeyakinan, panggilan memelihara lingkungan hidup tidak bisa terlepas dari bagaimana manusia memberi makna dan cara manusia melaksanakan hidupnya di bumi ini. Paus Fransiskus mengingatkan manusia agar tidak memperlakukan bumi ini sebagai ‘warisan’, melainkan ‘pinjaman’ yang harus diteruskan pada generasi berikut. Paus menekankan perlunya ‘mengusahakan dan memelihara’ bumi (Kej. 2:15).
Di tengah hiruk-pikuk eksploitasi terhadap bumi serta sikap tamak dan arogan manusia, ada secercah harapan. Banyak manusia di planet bumi mempunyai jiwa dan semangat memelihara bumi. Di mana-mana bertumbuh subur kesadaran manusia berhati baik untuk memerhatikan lingkungan, menjaga alam, memelihara air, menumbuhkan pohon-pohonan, mengatasi polusi udara. Paus Fransiskus mengajak, “Marilah kita memilih untuk mengembangkan kemampuan positif serta mulai bertindak dalam semangat ‘pertobatan ekologis’!”
Melakukan Hal-hal Kecil
‘Pertobatan ekologis’ dapat dimulai dari hal-hal kecil. Kevin Audrino Budiman (24), anggota Orang Muda Katolik (OMK) Paroki St. Maria A Fatima Pekanbaru kelahiran Payakumbuh mengungkap, “Untuk menyelamatkan lingkungan, tidak semua orang harus berjuang dalam skala besar dan luas, seperti organisasi Greenpeace Warrior atau aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dengan cara masing-masing, setiap orang bisa melawan kerusakan lingkungan. Saya telah mempraktikkannya sejak awal kuliah dengan mengurangi pembuangan botol plastik air minuman kemasan. Dari tindakan ini, bisa mengurangi minyak bumi yang dieksploitasi guna memproduksi botol plastik. Praktik lainnya menghemat listrik dengan mencabut steker listrik saat tidak digunakan, menampung air bekas cucian dari mesin cuci.”
Pada Masa Prapaskah 2015, selama empat puluh hari, Kevin melakukan persiapan lahir-batin dengan puasa, pantang, mati raga. Kevin menanggapi Surat Gembala Prapaskah 2015 Uskup Agung Jakarta Mgr. Suharyo yang menawarkan pertobatan ekologis. Menurut Kevin, Gereja Lokal (Keuskupan Padang) belum memikirkan hal ini, kecuali di Keuskupan Jakarta yang dengan nyata menganjurkan pertobatan ekologis. Laudato si’ sebenarnya momentum tepat mewujudkan kepedulian lingkungan. Hanya saja, di Keuskupan Padang ensiklik ini seperti angin lalu, tidak ada ‘panas-panasnya’. Beberapa tahun silam, saat Aksi Puasa Pembangunan (APP) membahas lingkungan, tetapi tanpa aksi nyata, hanya sebatas perbincangan dalam pertemuan,” ucapnya. Kevin menilai, Keuskupan Padang masih sibuk untuk hal lain, salah satu penyebabnya jumlah imam yang minim sehingga tersibukkan dengan pelayanan sakramental, sementara umat juga belum mandiri dan proaktif – apalagi ‘berbuah’.
Kesadaran Berlingkungan Hidup
Sementara itu, Ricky Rinaldo (34) bersama rekannya mendapati illegal logging dalam perjalanan ke Air Terjun Ngungun Saok di kawasan hutan Lubuk Minturun, Padang (31/3). Sewaktu berjalan kaki menuju lokasi, rombongan Ricky berpapasan dengan pembawa mesin potong (chainsaw). Banyak pohon telah ditebangi di kiri-kanan jalan. Dalam perjalanan pulang, rombongan ini mendengar sayup-sayup bunyi chainsaw dari dalam hutan, pertanda sedang terjadinya penebangan pohon. “Saya sedih sekaligus geram dengan temuan tersebut. Bisa jadi, pelakunya belum mendapat pendidikan dan pemahaman tentang dampak perbuatannya itu terhadap kehidupan. Illegal logging ini masih taraf perorangan, bukan skala perusahaan. Bisa dibayangkan, kalau pelakunya perusahaan, betapa luas dan masifnya.
Terkait upaya pelestarian lingkungan hidup di lingkup Paroki Katedral St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang, Ricky menilai masih kurang. Dirinya belum mendengar adanya aktivitas mengarah pelestarian lingkungan hidup. Senada dengan Kevin, ia menyebutkan di Keuskupan Agung Jakarta misalnya, panitia tidak lagi memberi air minum kemasan kepada peserta acara rekoleksi, seminar, dan sebagainya; melainkan akan memberi atau menyuruh peserta membawa botol air (tumbler) sendiri. “Panitia hanya menyediakan air galon atau air suling (pure it). Langkah ini telah mengurangi sampah plastik. Paroki kami pernah mengadakan kegiatan pembersihan sampah dalam satu rangkaian kegiatan. Itu bagus, tetapi lebih baik, jika dilakukan upaya pencegahan dan pengurangan sampah,” ungkapnya.
Mantan peserta kursus pelatihan kepemimpinan (Leadership Training Course/LTC) International Catholic Charismatic Renewal Services (ICCRS) di Bogor, Maret 2016 ini melihat adanya perbedaan pola pikir tentang lingkungan hidup. “Umumnya, paroki di pelosok lebih rajin mengedukasi umat agar pandai menjaga lingkungan sekitar daripada di kota besar. Umat di kota sepertinya tidak bersentuhan langsung dengan alam, sehingga tidak terasa dan tidak menjadi pemikiran utama. Di media sosial (medsos), banyak postingan status tentang Hari Bumi (earth day) tetapi masih banyak orang yang membuang sampah di sembarang tempat. Paroki di kota besar harusnya bisa memulai penerapan prinsip dasar lingkungan hidup, mulai dari hal sepele, misalnya tidak membuang sampah sembarang, memilah sampah, dan sebagainya. Sungguh ironis, sering terjadi, setelah acara-acara yang diselenggarakan Gereja, banyak sampah berserakan di halaman gereja. Ini pertanda kurangnya kesadaran umat berlingkungan hidup,” ujar Ricky.
Walau ensiklik Laudato si’ telah berusia setahun (2015-2016), namun Ricky mengaku belum melihat adanya perubahan apa pun di parokinya. Sementara dari dirinya sendiri, untuk menindaklanjuti isi pesan Paus Fransiskus itu, Ricky tidak membuang sampah sembarangan, bahkan mengantongi sampah hingga menemukan tempat sampah baru membuangnya. Ia mengingatkan teman yang mempunyai hobi ke alam agar tidak meninggalkan sampah di alam. “Saya selalu mengingatkan teman tentang prinsip dasar pencinta alam, yakni tidak meninggalkan ‘jejak’ (misalnya coretan) dan tidak mengambil apa pun, kecuali foto,” ucapnya.
Pembiasaan Sejak Kecil
Upaya kesadaran berlingkungan hidup dimulai usia dini, bermula dari keluarga dan persekolahan. Guru kelas I A SD Fransiskus, Bukittinggi, Margaretha N. Kusumaningsih (52) menyatakan, “Saya membiasakan murid untuk mulai mencintai tempatnya belajar, yaitu kelas. Upaya ini ternyata efektif. Mereka mengerti, memahami, dan menyadari. Maka, bisa dilihat lingkungan kelas satu lebih bersih dan indah ketimbang kelas lebih tinggi. Saat pulang sekolah, murid saya biasakan merapikan tempat duduk, menaikkan dan membalikkan kursi, melihat ‘isi’ laci agar jangan ada sampah yang tertinggal, alat tulis tidak boleh tinggal di laci.” katanya.
Pembiasaan lainnya yang bertahun-tahun dilakukan Bu Ningsih, sejak awal tahun pelajaran tidak menyediakan tempat sampah di dalam kelas, tetapi di luar kelas. Kalau ada sampah, sambungnya, disimpan sementara di dalam saku untuk selanjutnya dibuang ke tempat sampah di luar kelas. Cara ini cukup ampuh agar murid menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan kelasnya. “Namun, sayangnya, semakin besar anak, karena kurang kontrol lupa akan kebiasaan ini. Idealnya, pembiasaan di tingkat awal ini berkesinambungan terus ke kelas yang lebih tinggi, sehingga hal baik ini membudaya,” tambah pasangan Antonius Didik Triyanto ini.
Bu Ning juga membiasakan anak didiknya secara bergiliran dalam kelompok piket, menyiram tanaman dalam kelas. “Di kelas saya, murid mengetahui waktu piket dan dengan kesadaran sendiri mengerjakannya. Tanpa perlu disuruh-suruh. Saya menunggui murid yang sedang piket. Setelah selesai, saya baru mengunci kelas. Saya gembira, pembiasaan ini selanjutnya menjadi gerakan bersama di SD Fransiskus,” ujarnya.
Di kalangan remaja setingkat sekolah menengah atas (SMA) upaya ‘penyadaran’ lingkungan hidup pun dilakukan. Guru SMA Santa Maria Pekanbaru, Agustinus Heru Susanto (44) menyatakan, “Pelajar dilatih menanam pohon penghijauan di lingkungan sekolah! Di sekolah memang belum ada program khusus tentang lingkungan hidup, namun telah ada dalam program dan mata pelajaran. Program peduli lingkungan dan sampah yang dilakukan saat gotong royong, memberikan fasilitas yang memungkinkan pelajar membuang sampah dalam tiga kelompok sampah (organik, non-organik, dan kertas). Kegiatan lainnya adalah menanam tanaman produksi di botol-botol bekas – dalam pelajaran wira usaha, menanam tanaman apotik hidup – dalam pelajaran biologi, mendaur ulang barang bekas menjadi barang berguna (misalnya hiasan-hiasan).” SMA Santa Maria Pekanbaru, sambung Heru, tidak mempunyai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah karena sampah-sampah langsung diambil petugas sampah. “Dulu, ada TPA, tetapi justru pembuangan sampahnya tidak beraturan dan cenderung kotor. Kami juga membuat titik kumpul pelajar yang terletak di bawah pohon untuk beristirahat. Upaya pelibatan keluarga besar sekolah ini untuk peduli lingkungan hidup– lewat program OSIS – di media papan informasi sekolah maupun tayangan video, maupun pada kesempatan khusus bagi pelajar kelas XII dalam retret,” ucapnya.
Upaya ini telah dilakukan sekolah sejak setahun lalu. “Pelajar belajar lebih menghargai lingkungannya, tahu memanfaatkan barang-barang yang sepertinya tidak berguna menjadi bermanfaat. Bahkan, pelajar bisa berwirausaha dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Saat penerimaan rapor, hasil karya pelajar dipamerkan, bahkan diperjualbelikan,” ujarnya.
Ekonomis atau Ekologis?
Upaya pelestarian lingkungan terkadang dihadapkan pada dua pilihan sulit, ekonomis dan ekologis. Cara murah meriah untuk membuka lahan cukup bermodalkan korek api dan botol bensin, sementara dengan cara manual dan ramah lingkungan lebih mahal. Hal itu diungkap pemilik lahan perkebunan kelapa sawit yang juga umat Stasi Sejahtera, Paroki St. Yosef, Duri, Daniel Pinem (49).
“Saat pembukaan lahan kebun, tahun 1998, saya tidak main bakar untuk pembersihan lahan. Saya dan sejumlah teman menggunakan alat berat (stacking) – suatu istilah yang lazim digunakan di kampung Sumatera Utara – yakni menggunakan alat ekskavator. Kala itu, secara manual, karena kami tidak membuka hutan, tetapi hanya membersihkan belukar, dengan cara stacking lebih cocok,” ungkapnya.
Pinem menghitung pembukaan lahan ‘ramah lingkungan’ membutuhkan biaya lima hingga enam juta rupiah tiap sehektar tanah. Cara ini dilakukan juga tatkala ia bersama kelompoknya membuka lahan seluas 200 hektar di Kecamatan Bone Darussalam, Rokan Hulu – sekitar 50 kilo meter dari Duri menuju Pasir Pengaraian (2006). Cara ini sungguh jauh berbeda dengan cara main bakar yang hanya bermodalkan korek api dan bensin. “Kami patuh hukum! Cara bakar juga merugikan diri sendiri. Kabut asap menyebabkan lingkungan tidak sehat bagi manusia dan tanaman sawit yang ada. Terjadi pengurangan hasil tandan buah segar (TBS) sawit hingga 60 persen. Pemupukan tidak maksimal karena tumbuhan mendapat sedikit pasokan sinar matahari,” ujarnya.
Anggota Seksi Pembangunan Dewan Pastoral Paroki (DPP) St. Yosef Duri ini berujar, “Kalau ada pihak yang membuka lahan baru, saya selalu menyarankan stacking. Meski butuh dana cukup besar, stacking punya keunggulan karena tanah bekas ‘pijakan’ alat berat jadi lebih padat – terutama di daerah gambut. Agar hasil sawit bagus, lahan memang harus dipadatkan. Saya merasa upayanya sejalan dengan ensiklik Laudato si’.
Peduli lingkungan harusnya menjadi perhatian semua umat manusia yang mendiami bumi ini, baik perorangan, kelompok kecil dan menengah, maupun perusahaan. Sebagai wood supply region manager salah satu perusahaan bubur kertas ternama di Riau, Stefanus Gharu (48) bertugas memastikan ketersediaan kayu ke pabrik sesuai target di wilayah tugasnya, seluas 80 ribuan hektar. Stef mesti memastikan wilayah yang dipersiapkan untuk ditanami lagi (areal handing over) dengan hutan tanaman industri (HTI) sesuai target. Stef mempunyai tanggung jawab memastikan semua pekerjaan tersebut sesuai standar operasi prosedur (SOP) yang bertaraf internasional dengan aspek ramah lingkungan dan aspek keselamatannya.
Berkaitan dengan HTI, Stef bertanggung jawab memastikan tanaman yang (telah) ditebangi ditanam kembali. Warga Paroki Hati Kudus Yesus, Pangkalan Kerinci, Riau ini menyatakan, “Paling lama, ditargetkan delapan minggu setelah penebangan, wajib ditanami kembali. Perusahaan mengedepankan ramah lingkungan dengan mengikuti standard kerja yang berlaku nasional maupun internasional, terutama mengenai aturan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dibuat pemerintah.” Stef mengisahkan, awal mulanya kayu alam yang ditebang. Dalam HTI, umumnya ditanam pohon akasia, yang usia empat hingga lima tahun, berdiameter 15 hingga 20 cm dan tinggi sekitar 20 meter siap dipanen. “Saat ini, kami menyesuaikan dengan unsur hara di tanah; maka ditanami juga jenis pohon eucaliptus yang umur panen dan ukurannya sama dengan akasia. Pohon sebagai pulp atau bahan baku bubur kertas.
Lingkungan Asri Sarana Pewartaan
P. Martinus Suparjiya, Pr.
Pastor Paroki St. Fransiskus Xaverius,
Dumai, Riau.
Di mana pun saya bertugas, pastoran pasti menghijau. Saat tiba di Paroki Dumai, tidak begitu jelas tanaman di sekitar pastoran dan terkesan kurang perawatan. Sekarang, di kompleks pastoran ada pohon kelenkeng, jambu air madu, mangga, jeruk bali. Pagar saya tanami pohon tinggi untuk menyaring polusi debu sekaligus menyaring polusi suara. Saya berusaha memaksimalkan setiap jengkal tanah di kompleks pastoran sebagai satu wujud pewartaan dan kesaksian.
Di kompleks ini saya tanam juga pepaya, singkong, tomat, dan terung. Hasilnya lumayan selain dikonsumsi, bisa untuk membeli pupuk. Kini, kompleks pastoran menjadi lingkungan hijau, nyaman, dan asri. Hal yang sama, saya lakukan di Paroki Duri dan Katedral Padang. Umat melihat ada perubahan suasana lingkungan di kompleks pastoran, termasuk pengaturan saluran air pembuangan (drainase) agar tidak terjadi ‘banjir’ saat hujan. Saya berharap, langkah kecil ini dicontoh umat – terutama yang memiliki lahan. Kalaupun umat tidak menikmati buah dari aneka tanaman itu, paling tidak menikmati udara sejuk. Dalam percakapan resmi maupun tidak resmi, serta homili, saya sampaikan juga hal ini. Semoga hal ini menjadi gerakan bersama, sekaligus ‘tanda’ dukungan Gereja terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup.
Di kompleks pastoran Bagansiapiapi yang berdekatan dengan SD Bintang Laut dan SMP Bintang Laut pun lebih rapi dan bersih. Pohon yang ada terpelihara. Saya sampaikan, “Jangan bersih hanya bila pastor datang! Namun, jadikan sebagai kebiasaan! Para pedagang di dekat sekolah dan para pelajar telah membiasakan diri tidak membuang sampah di parit atau selokan. Dulu, halaman depan gereja dan kompleks pastoran kotor; lidi sate, botol, plastik, bungkus makanan berserakan. Saya mengajak kepala SD dan SMP membuat gerakan ‘buang sampah pada tempatnya’. Sebelum Paskah silam, saya menemukan lingkungannya sudah bersih.
Membangun Kesadaran Warga
Hongky Victor
Ketua Lembaga Pengelolaan Sampah (LPS)
Kelurahan Kampung Pondok
Kecamatan Padang Selatan,
Kota Padang
Lembaga Pengelolaan Sampah (LPS) – produk Peraturan Daerah (Perda) Kota Padang Nomor 21 Tahun 2012 efektif diberlakukan 1 Januari 2015. LPS Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, salah satu LPS terbaik di kota Padang. Misi LPS ini menjadikan Kelurahan Kampung Pondok bersih dari sampah, menyadarkan warga tentang pengelolaan sampah produktif.
LPS yang kami kelola ini, tidak berhenti hanya mengumpulkan dan mengangkut sampah! Kami melakukan sosialisasi dari kaum perempuan. Kami sampaikan bahwa sampah bernilai ekonomis bila dikelola dengan baik. Sampah rumah tangga, seperti sayuran, buahan, nasi dapat dijadikan pupuk kompos. Dibantu Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Padang, kami mengajak warga untuk memilah sampah rumah tangga; sampah organik (sayuran dan buahan busuk, nasi basi, dan sampah basah lainnya) dan sampah non-organik (kardus bekas, karton, plastik, pecahan kaca dan sebagainya).
Sejak terbentuk di Januari 2015, LPS Kelurahan Kampung Pondok terus membangun dan menanamkan kesadaran warga akan pentingnya merawat lingkungan. Warga kelurahan ini multi etnis, agama, dan budaya, semua rumah ibadah ada di wilayah kelurahan ini. Kelurahan ini merupakan gabungan dari kelurahan Tanah Kongsi, Kali Kecil, Simpang Enam, Kampung Dobi, Pondok. Kami akui, warga butuh bukti, sehingga kami mesti bekerja terlebih dulu. Kami mengambil sampah warga terlebih dulu. Tanggapan warga pun luar biasa. Setiap rumah mau menyetor iuran sampah dua puluh ribu rupiah sebulan melalui ketua rukun tetangga (RT). Hasil iuran warga dikumpulkan untuk honor lima operator atau petugas lapangan, sebesar satu juta enam ratus ribu rupiah perbulan. Kami belum sampai pada upaya pengolahan sampah. Namun, dengan bantuan Bapedalda Kota Padang, kami akan mengolah sampah organik dengan alat komposter menjadi pupuk kompos cair. Bila langkah berhasil, kami akan mendirikan bank sampah pada sampah non-organik.
Sebelum adanya LPS, beberapa warga membakar sampah sembarangan atau membuang sampah di selokan. Perda No. 21/2012 sungguh mendorong dan ‘memaksa’ warga untuk sadar lingkungan. Sanksi denda lima juta rupiah atau tiga bulan kurungan penjara bisa menjadi sarana penyadaran itu. Sebagai upaya penyadaran, kami juga memasang spanduk di daerah “rawan sampah”, sehingga tidak ada lagi tempat-tempat sebagai “pembuangan sampai liar” yang mendatangkan bau tidak enak, mengganggu keindahan, dan pemandangan.
Bukan latah, untuk menyadarkan warga, dalam sosialiasi kami menyatakan bahwa “kebersihan sebagian dari iman”. Kesadaran diri sendiri untuk menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban lingkungannya lebih penting daripada pengawasan selama 24 jam oleh Satpol PP atau ancaman sanksi Perda. (hrd)