MENELADAN BUNDA MARIA (Renungan Hari Minggu Biasa II, 17 Januari 2016)
MENELADAN BUNDA MARIA
Hari minggu Biasa II (17 Januari 2016)
Yes 62:1-5; 1Kor 12:4-11;
Yoh 2:1-11
KITA MENGENAL istilah Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Istilah itu diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Bagi rakyat Indonesia yang mendiami ribuan pulau dan terdiri dari sekian banyak suku bangsa dengan segala kebudayaannya masing-masing. Nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dihayati dalam kehidupan bermasyarakat. Makna Kebhineka Tunggal Ikaan tersirat pula dalam bacaan kedua. Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Ada berbagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang (1Kor 12:4-6).
Kalau orang menyadari bahwa Allah adalah Allah dari segala makhluk; Allah itu esa, maka orang akan dapat hidup berdampingan tanpa memikirkan perbedaaan agama, suku, ras, jenis kelamin, dan status sosial. Orang akan menerima sesamanya dengan kelemahan dan kelebihannya. Sikap congkak yang dibenci dapat dihindarkan. Dengan demikian persatuan dan kesatuan umat manusia dapat terwujud, sebab keinginan Roh adalah hidup damai sejahtera. Buah Roh adalah kasih, bukankah Allah tidak menghendaki kekacauan. Selayaknya karunia yang diberikan Allah, kita manfaatkan untuk kepentingan bersama demi kemajuan, kesejahteraan bersama.
Perkawinan di Kana merupakan peristiwa yang menarik, bukan hanya karena Yesus membuat mukjizat yang pertama, tetapi juga karena peristiwa itu mengandung banyak hal yang pantas direnungkan. Biasanya orang yang mengadakan pesta perkawinan menyediakan makanan dan minuman dua kali lipat dari tamu yang diundang. Hal itu dilakukan untuk menjaga kemungkinan yang tak terduga yang dapat membuat malu tuan pesta. Maka habisnya anggur dalam perkawinan di Kana cukup mengherankan. Tamu yang datang tentunya melebihi jatah yang sudah dilipat-gandakan. Kemungkinan Yesus datang bukan hanya dengan para murid-Nya, tetapi disertai para pengikut-Nya yang berjumlah besar yang kebanyakan adalah rakyat jelata. Rupanya Yesus menghendaki pesta itu bukan hanya diperuntukkan kalangan orang terpandang tetapi menjadi pesta rakyat. Dalam pesta itu tak ada perbedaan kaya-miskin, pejabat-rakyat biasa, tua-muda, pria-wanita. Semuanya diikut-sertakan dalam pesta dan mendapat jatah anggur sampai puas. Yang mengikuti Yesus tidak berkekurangan. Bahkan anggur hasil mukjizat itu masih tersisa banyak.
Melalui mukjizat itu Yesus mau meyakinkan bangsa Yahudi bahwa Dialah sesungguhnya Mesias yang sudah lama mereka nantikan. Sebelum peristiwa di Kana itu Andreas berkata kepada Simon, saudaranya, “Kami telah menemukan Mesias” (Yoh 1:41). Dalam peristiwa perkawinan di Kana itu sikap bunda Maria perlu kita contoh. Dia tahu persis siapakah Yesus, puteranya itu. Bunda Maria sangat percaya kepada-Nya. Ketika mereka kekurangan anggur, Bunda Maria tidak datang memberitahu kepala perjamuan yang seharusnya bertanggung-jawab, tetapi mendekati Yesus dan berkata, “Mereka kekurangan anggur”. Dan Bunda Maria berkata kepada pelayan-pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!”
Iman Bunda Maria kepada Yesus mendatangkan keselamatan bagi tuan pesta yang tidak mendapat malu tetapi malahan mendapat pujian karena menyuguhkan anggur yang baik. Dalam peristiwa itu kita juga dapat melihat bahwa Bunda Maria begitu tanggap melihat kesulitan sesamanya dan siap mengulurkan bantuan. Maka, kalau kita berada dalam kesulitan, tepatlah memohon bantuan Bunda Maria, Bunda Gereja. Perubahan air menjadi anggur melambangkan perubahan kehidupan masyarakat. Perubahan itu memberikan harapan yang lebih kuat akan kehidupan yang lebih baik. Anggur dalam perjanjian baru sering merupakan gambaran bagi dunia yang akan datang yang lebih baik.