MENGASIHI ALLAH DAN SESAMA (RENUNGAN Minggu Biasa XXX, 29 Oktober 2017)
MENGASIHI ALLAH DAN SESAMA
Hari Minggu Biasa XXX (29 Oktober 2017)
Kel 22:21-27; 1Tes 1:5c-10;
Mat 22:34-40
MUNGKIN di antara kita ada yang mempertanyakan: mana yang harus didahulukan, kasih kepada Allah atau kasih kepada sesama? Ada orang yang sangat aktif di masyarakat, tetapi sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan keagamaan. Saking sibuknya dengan kegiatan kemasyarakatan, ada doa Rosario di tetangga sebelah rumah pun tak hadir, apalagi kegiatan di gereja (paroki). Kejadian sebaliknya, ada umat Katolik yang aktif luar biasa di Gereja (paroki), tetapi sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan di masyarakat.
Apa kata penginjil Matius yang kita dengarkan hari ini tentang perintah pertama dan utama? Kata “pertama” dalam hubungannya dengan perintah kasih akan Allah, kata “kedua” dalam . hubungannya dengan perintah kasih akan sesama, rasanya tidak menunjuk pada prioritas pelaksanaan. Hal ini jelas karena Santo Matius menuliskan kata-kata “yang sama dengan itu…” langsung sesudah kata-kata kedua tersebut. Perintah yang “pertama” dan “utama” haruslah dimengerti bahwa kata “pertama” menerangkan penomeran saja. Sedang kata utama menerangkan bobot permasalahan.
Dalam praktiknya, sesuatu yang “utama” belum tentu harus dilakukan mendahului yang lain. Hukum yang utama harus dijabarkan dalam pelbagai hukum yang lebih praktis agar dapat diamalkan. Yang menarik adalah bahwa dalam bacaan pertama, hukum yang utama tadi langsung dikaitkan dengan pengalaman dasar hidup berbangsa bagi bangsa terpilih. Mereka mengalami bahwa menjadi bangsa yang besar di bawah bimbingan Tuhan. Mereka dulu harus berjuang bersama untuk mempertahankan diri, menghadapi musuh bersama, dan tantangan alam yang ganas. Pengalaman-pengalaman senasib itu menyadarkan mereka bahwa hanya dapat bertahan di dalam persaudaraan. Kemudian mereka menjadi bangsa yang besar, sesudah perbudakan Mesir, dirasakan hanya kerena bimbingan dan kebaikan Tuhan.
Demikianlah kasih Allah dan kasih akan sesama muncul bersama kesadaran kebangsaan Israel tersebut.
Lama sesudah peristiwa Mesir, kemudian ada perubahan sikap pada sebagian bangsa ini; yaitu ketika mereka sudah agak lama menikmati kemerdekaan. Sebagian orang Israel ini mulai melupakan Allahnya, mereka ingin menjamin hidupnya tidak dengan janji Allah, tetapi dengan harta benda yang memang menjanjikan kemudahan-kemudahan. Lama kelamaan orientasi hidup bangsa terpilh mulai beralih ke harta dan kesenangan duniawi. Sesama berubah menjadi alat produksi dan hak-haknya kurang dihargai. Injil Matius yang kita baca hari ini tidak hanya menjelaskan bahwa Yesus mengenal sejarah Israel. Dengan menekankan hubungan erat antara cinta kepada Tuhan dan kepada sesama, Yesus menunjukkan hakekat hukum. Semua tindak kesalehan atau taat hukum Taurat tidak ada artinya, jika tidak dijiwai dan didasari oleh cinta pada Allah dan sesama. Janganlah kita berbuat kebaikan, karena hukum atau aturan berkata demikian, tetapi berbuatlah kebaikan karena kasih kepada Tuhan dan sesama.
Yesus pernah ditegur, “Apa urusan-Mu dengan kami yang kudus dari Allah?” (Mat 8:29b). Teguran ini mau mencerminkan sikap orang yang memisahkan antara kasih kepada sesama dan kasih kepada Allah. Seolah-olah Allah tidak perlu turut campur dalam urusan dengan sesama. Kita tidak boleh lari dari tanggung jawab sosial. Idealnya, taat kepada Allah (saleh pribadi), terwujud dalam kesalehan sosial – dalam hubungan dengan sesama. Kita tidak bisa menyatakan mencintai Allah yang tidak kelihatan, kalau tidak bisa mencintai sesama (citra Allah) yang kelihatan. (GEMA)