OMK yang Bersaksi (Majalah Gema Edisi April 2017)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Pertemuan orang-orang muda Katolik melalui sakramen-sakramen maupun dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya mengubah kehidupan OMK itu sendiri. Namun dapat terjadi, sebagaimana yang dikisahkan oleh Lukas (Luk 18:18-23), seorang pemuda yang bertemu dengan Yesus namun tidak memiliki keberanian untuk menyerahkan diri kepada-Nya melainkan pergi dengan sedih. Berbeda dengan Zakheus, pertemuan dengan Yesus telah mengubah hidupnya di dalam kesadaran apa yang lebih utama bagi diri sebagai manusia, citra Allah.
Paulus menulis kepada Jemaat di Korintus: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor 5:17). Dan kepada Jemaat di Kolose, Paulus mengingatkan: “Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut citra Sang Pencipta”. Hal yang dinyatakan oleh Paulus ini menjadi pembenaran perubahan hidup yang dialami oleh Zakheus yang berbeda dengan seorang pemuda kaya yang ingin memperoleh hidup kekal tetapi merasa berat meninggalkan kekayaan yang darinya, ia merasa, tergantunglah seluruh kenyamanan atau pun kebahagiaannya. Dia pun dengan sedih pergi meninggalkan Yesus.
Edisi GEMA kali ini mengangkat tema “OMK yang Bersaksi”. Perubahan hidup karena bertemu dengan Yesus seharusnya, di dalam kekhasan mereka yang memiliki keberanian, spontanitas yang tinggi dalam berbagai hal, membuat mereka sebagai pelaku kehendak Allah: menjadi saksi Kristus yang berani. “… berilah kesaksian iman dalam lingkungan yang berbeda, termasuk dimana ada penolakan atau ketidakpedulian. Orang lain tidak mungkin berjumpa dengan Kristus bila tidak menyampaikan kepada yang lain tentang Kristus. Jadi, jangan menahan Kristus untuk kalian sendiri, komunikasikanlah kepada yang lain suka cita imanmu” demikian ajakan Paus Fransiskus kepada orang-orang muda Katolik dalam suatu kesempatan.
Semoga melalui tulisan-tulisan yang disajikan dapat memperkaya OMK sendiri serta berbagai pihak dalam pemahaman, pembinaan (pengarahan), yang lebih mendalam. Akhirnya kami ucapkan Selamat Hari Raya Paskah 2017. Kristus yang bangkit mengutus kita sebagai saksi yang kudus.
Selamat membaca!
OMK Bersaksi dan Membina Diri
Melalui olah raga karate, Prandika Ginting (24) berusaha mendidik orang muda, dengan teladan dan hal-hal sederhana. Anak-anak muda asuhan lintas suku dan agama. Bahkan di salah satu tempat latihan (dojo) semuanya Muslim.
Melalui olahraga karate, pemuda kelahiran Medan 19 Oktober 1994 ini ingin menyiapkan orang-orang muda berkepribadian, mandiri, dan tangguh dengan giat berlatih, selalu tepat waktu, dan disiplin. “Saya ingin mereka, konsisten antara perkataan dan perbuatan. Itulah sifat ksatria,” katanya.
Bagi Prandika, olahraga karate ini juga menjadi sarana bersaksi sebagai pengikut Kristus, menjadi garam dan terang bagi masyarakat. Sejak kelas VIII SMP hingga kini, Prandika menjadi pelatih karate. Mulai tahun 2013, ia melatih karate di SMP Swasta Assisi, Kota Batak, Kabupaten Kampar, Riau. Untuk anak asuhnya yang OMK, ia mendorong mereka aktif menggereja. Dari pengamatannya, hasilnya positif ada orang muda yang semakin aktif, ada yang awalnya tidak tahu dengan OMK menjadi tahu meskipun belum aktif. Ada yang semula pasif, lantas tertarik ikut kegiatan OMK. Namun ada OMK yang berniat aktif, terkendala oleh keluarga sehingga niatnya belum terlaksana.
Di tengah anak asuhnya yang majemuk, lintas agama, etnis dan budaya, Prandika berusaha menanamkan nilai-nilai universal yang bisa menjadi perekat anak-anak muda; misalnya mengingatkan teman yang Muslim bilamana sudah tiba waktunya sholat. Dengan begitu, anak-anak muda diajak rajin beribadah dan menghargai perbedaan keyakinan. “Kalau yang Katolik mengingatkan temannya yang Muslim, sementara ia sendiri tidak pernah ke gereja tentu malu,” katanya.
Agar proses pendidikan dan pembinaan berhasil guna, Prandika memandang penting berkomunikasi dengan orangtua muridnya. Hal itu hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu, misalnya saat muridnya mengikuti ujian kenaikan sabuk, mengikuti kejuaraan, latihan gabungan tingkat kabupatan atau propinsi atau ada yang bermasalah. Di tengah-tengah mereka, Prandika mengaku tidak pernah menyembunyikan identitasnya sebagai orang Katolik.
Sejak usia tiga tahun, Prandika mengenal olah raga karate. Segudang pengalaman dan prestasi telah ditorehkannya. Ayahnya (Damaus Ginting) – penyandang karate DAN IV. “Di karate, kami dididik memelihara lima hal, yakni: kepribadian, patuh pada kejujuran, mempertinggi prestasi, menjaga sopan-santun, dan sanggup menguasai diri. Hal-hal sederhana tersebut sangatlah positif bagi pengembangan diri. Melalui pencapaian prestasi, seseorang dapat membanggakan orangtua, keluarga, dan mengangkat status sosial,” imbuhnya.
Ia menekuni karate perguruan Lemkari sejak 5 Februari 2006, dilatih oleh ayahnya sendiri. Ketika itu, ayahnya membuka latihan bagi 20 anak karyawan PTPN V Kebun Sei Galuh. Tahun 2012, Prandika mengikuti ujian sabuk hitam (DAN I) di Padang. Tahun 2016, ia mengikuti ujian DAN II di Payakumbuh.
Selain terlibat dalam dunia olahraga beladiri ini, alumni SMA Negeri 2 Tapung, Kampar, Riau (2012) ini juga aktif di stasinya. Tahun 2012-2015, ia menjadi Ketua OMK dalam Dewan Stasi St. Agustinus Sriwijaya, Paroki St. Paulus, Pekanbaru. Saat kuliah di Pekanbaru, aktif di ormas Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pekanbaru “Sanctus Albertus Magnus”. Baginya, matang di dunia karate, juga membuatnya mantap kehidupan rohaninya. Mahasiswa jurusan manajemen STIE Pelita Indonesia, Pekanbaru ini menambah kekayaan rohaninya dengan mengikuti Perayaan Ekaristi mingguan, aktif di organisasi, mempelajari ajaran agama Katolik melalui media sosial dan berkomunikasi dengan biarawan-biarawati; terlebih dengan seorang suster FCJM yang dianggap sebagai pembimbing rohaninya.
Menjadi Komunitas yang Peduli
Sopan Sitepu
Wakil ketua Seksi Kepemudaan
Paroki St. Petrus dan Paulus, Bagansiapiapi, Riau
Sebagian besar warga OMK Paroki St. Petrus dan Paulus, Bagansiapiapi, Riau pelajar SMA. Itupun jumlahnya sangat sedikit. Setelah tamat SMA, umumnya mereka bekerja atau kuliah di kota lain. Kalau pun ada di antara mereka yang berdomisili atau bekerja di Bagansiapiapi, hanya sedikit dan tidak aktif lagi dalam aktivitas OMK. Mungkin mereka sibuk kerja atau merasa ‘tidak nyambung’ lagi dengan yuniornya yang rata-rata seusia SMA.
Dengan jumlah warga yang tidak seberapa, kami berusaha eksis ke dalam dan ke luar Gereja. Dalam masa Prapaskah misalnya, kami menyelenggarakan lomba bermazmur antar OMK dan Bina Iman Remaja (BIR), rekoleksi. Kami bekerjasama dengan pembina BIR, karena para remaja ini penerus kami. Sebagai bagian dari warga masyarakat, dengan jumlah sedikit pun kami berusaha peduli lingkungan. Kami selalu aktif sebagai peserta dalam ritual budaya bakar tongkang – agenda wisata setiap bulan Juni di Bagansiapiapi. Pada kesempatan itu kami bisa menambah wawasan dan pengetahuan tentang budaya Tionghoa sekaligus menunjukkan jati diri sebagai komunitas umat Katolik.
Ritual bakar tongkang ini diikuti ribuan masyarakat dari Bagansiapiapi dan luar kota. Massa tumpah ruah di sepanjang jalanan kota, setelah itu sampah bertebaran dan berserakan di mana-mana. OMK Paroki Bagansiapiapi berinisiatif dan bergerak mengumpulkan sampah-sampah tersebut. Dengan cara inilah bukti sebagai komunitas yang peduli. Mula-mula, kami bergerak sendiri. Tahun 2016 lalu, kami menggandeng OMK Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai. Dari evaluasi dua tahun terakhir, panitia menyatakan puas dengan keterlibatan kami. Efeknya, teman-teman warga Tionghoa semakin kenal dan menjalin relasi dan berkomunikasi dengan kami sehingga semakin mengenal dan akrab.
Perlu Menambah Pengetahuan Iman
Bernadeth Nancy Laiyendra
Wakil Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang
Saya ingin membagikan pengalaman kehidupan di lingkungan kampus, terutama yang berkaitan dengan masalah agama. Saat baru masuk kuliah, mahasiswa baru mesti menjalani ‘pelatihan’ (training) – yang menurut kaca mata saya sangat bernuansa Islami. Setelah memasuki masa perkuliahan, setiap masuk kelas sebelum belajar mahasiswa disuruh ber-asmaul husnah. Bagi saya ini “dunia baru” tetapi saya ‘menikmatinya’ saja. Kadang, saya ikut-ikutan juga membaca asmaul husnah dan masih ingat “isi”nya. Dari dua kegiatan itu, karena situasi, saya berusaha untuk menyesuaikan diri, sembari mengambil nilai-nilai universal di dalamnya. Saya yakin, hal positif dan bernilai universal juga berguna untuk kehidupan. Syukurlah, walaupun demikian, iman saya tidak terganggu. Kampus tempat saya kuliah, mahasiswanya mayoritas non-Katolik. Meskipun demikian, saya tidak merasa didiskriminasi karena agama dan etnis. Bahkan saya sangat akrab dengan mereka. Saya tidak pernah menyembunyikan identitas diri sebagai umat Katolik. Bila di antara mereka bertanya tentang iman atau agama Katolik, saya tidak merasa kesulitan menjelaskannya. Namun harus saya akui pengetahuan iman Katolik saya terbatas sehingga hanya menanggapi dan menjawab semampunya. Apabila di antara kami ada pembicaraan soal agama, saya berusaha menetralisir dengan menyatakan, “Ada kesamaan di antara agama-agama. Perbedaannya pada tata cara beribadah dan orang-orang suci yang ada di dalam tiap agama. Kita sama-sama memuji dan menyembah Tuhan”. Puji Tuhan, teman-teman saya tidak mempermasalahkan kalimat tersebut.
Dari pengalaman di dunia kampus tersebut, saya dan teman-teman pengurus OMK Paroki Katedral menyusun program kerja yang dapat menambah pengetahuan dan pemahaman iman dan agama Katolik. Kami merencanakan menggelar seminar mini, misalnya membahas tata laksana liturgi, pokok-pokok ajaran iman, ajaran dan dokumen Gereja. Saya merasa, materi seperti ini penting bagi OMK karena rata-rata pengetahuan iman dan agamanya terbatas seperti saya. Semoga rencana ini disambut teman-teman OMK. Terkait dengan Tahun 2017 – Tahun Martyria/Kesaksian di Keuskupan Padang, hingga bulan Februari lalu, belum ada pembicaraan secara khusus tentang hal itu.
OMK: Bersaksi di Tahun Martyria
Bagaimana realitas keberadaan Orang Muda Katolik (OMK) di dalam Gereja?
Lain lubuk lain ikannya, lain tempat berbeda pula OMK-nya!
Banyak pihak prihatin dan perhatian terhadap OMK. Bagaimana OMK menanggapinya?
Diakui atau tidak, keberadaan dan peran Orang Muda Katolik (OMK) sangat penting dalam Gereja. Namun, ada realitas, di tempat tertentu OMK kurang (tidak) mendapat perhatian. Di tempat lain, OMK-nya melempem (pasif) meskipun sudah diperhatikan. Kalau pun ada yang aktif, jumlahnya sedikit dan orangnya itu-itu saja.
Kondisi seperti di atas diakui salah satu OMK Paroki St. Maria Auxilium Christianorum, Sikabaluan, Mentawai, Patricia Imelda Apriyanti Salamanang. “Sebenarnya, jumlah OMK yang berumur 13-35 tahun dan belum menikah banyak, tetapi yang aktif hanya 25-an orang. Saya juga kurang tahu mengapa demikian, padahal pengurus tidak pernah membatasi?” ucap Imelda.
Dari penelusurannya, Imelda mendapati, mereka yang mau bergabung karena ada teman sebaya, punya hobi atau minat yang sama. Imelda berharap Seksi Kepemudaan lebih mengambil peran untuk ‘menolong’ pengurus OMK. “Pengurus OMK selalu mengajak Seksi Kepemudaan untuk berkoordinasi bila mengadakan kegiatan, seperti: rekoleksi, rekreasi, latihan koor, dan kunjungan stasi bersama pastor. Karena OMK tidak selalu nyaman dengan kegiatan di dalam ruangan, sekali waktu kami mengadakan bakti sosial,” tambahnya.
Hal senada diungkapkan Seksi Kepemudaan Dewan Pastoral Paroki (DPP) Sikabaluan, Yosia Sikaraja. Pihaknya menyelaraskan aktivitas seksinya dengan program DPP, program Rapat Wilayah (Rawil) Mentawai, dan Keuskupan Padang. Yosia mengakui, belum banyak aktivitas OMK di tempatnya berkaitan dengan kegiatan sosial-kemasyarakatan. “OMK melakukan kunjungan ke rumah-rumah anggota, umat lanjut usia (lansia), ikut bederma saat terjadi bencana banjir sebagai wujud partisipasi OMK. Setiap kegiatan OMK merupakan hasil rancangan bersama antara Seksi Kepemudaan dengan pengurus OMK. Seksi Kepemudaan mendampingi pengurus dan warga OMK, pastor sebagai motivator sekaligus menyokong dana. Kegiatan OMK umumnya adalah pelaksanaan rencana program kegiatan Seksi Kepemudaan,” ujarnya.
Yosia menyadari, tugas dan fungsi Seksi Kepemudaan DPP tidak hanya “mengurusi” OMK di pusat paroki, tetapi juga yang di pelosok dan stasi. Seksi Kepemudaan dan pengurus OMK Paroki berupaya mencocokkan jadwal kunjungan pastor ke stasi. “Ongkosnya bisa hemat! Biasanya tiga hingga empat orang ikut serta untuk pembinaan OMK ke stasi tersebut. OMK yang kami kunjungi pun menyambut penuh antusias,” tutur Yosia. Menurut Yosia, di Kepulauan Mentawai para mantan OMK banyak yang “menjadi orang”, berperan di masyarakat. Yosia mengajak OMK belajar dari mereka, berani berkiprah ke luar, tidak hanya berani dan sibuk di lingkungan intern Gereja saja. “Contohlah para senior yang telah berhasil itu,” ajaknya.
Butuh Pendampingan
Situasi yang sama juga terjadi di Paroki St. Maria Assumpta, Sikakap, Mentawai. Ketua OMK Paroki Sikakap (2016-2018) Merpin Saogo,S.Pd. (28) menyatakan OMK di parokinya sangat memerlukan pendampingan, karena mereka mayoritas pelajar kelas IX SMP hingga kelas XII SMA. Guru SD St. Vincentius, Sikakap ini mengungkapkan kebutuhan pendampingan dan program yang menjangkau semua OMK, serta dukungan pastor paroki dan DPP. Merpin merasa kesan negatif dan miring di kalangan OMK yang harus dihilangkan. Sebagai pengurus baru, ia optimis karena masih ada OMK yang punya niat baik dan bisa diajak bekerja sama. Ada program DPP yang memungkinkan OMK terlibat, misalnya kunjungan ke stasi, pembinaan Bina Iman Anak (BIA) dan Serikat Kerasulan Anak Misioner Indonesia (Sekami) di kampung-kampung “Maka kami memulai dari kegiatan kecil-kecilan; misalnya Peringatan 17 Agustusan, Hari Sumpah Pemuda, ikut serta ajakan Karang Taruna Sikakap dalam aksi penanaman pohon di tepi pantai Sikakap. Untuk terakhir ini, merupakan langkah baru OMK berkiprah di luar Gereja meskipun bukan inisiatif OMK,” kata Merpin.
Sebagai pengurus baru, Merpin akan memprioritaskan penguatan di dalam wadah OMK. Dalam pemikirannya lebih penting menguatkan di dalam tubuh OMK sehingga memiliki integritas diri, ketika keluar mereka tidak gamang, rendah diri bahkan terhanyut. Kesempatan kunjungan ke stasi, memungkinkan pengurus OMK dan Seksi Kepemudaan bertemu OMK stasi setempat. Secara terpisah, Seksi Kepemudaan Paroki St. Maria Assumpta, Sikakap, Mentawai, James Carter Sababalat mengaku belum menyusun rancangan programnya, karena baru dilantik 12 Februari silam. Setahunya, aktivitas OMK di paroki berlangsung rutin, seperti: latihan koor, pertemuan OMK separoki, terlibat dalam aksi sosial bila terjadi musibah, ikut dalam karya pastoral. “Langkah awal saya, bersama Ketua OMK akan mendata anggota yang masih di wilayah paroki dan stasi. Dari data tersebut, kami akan merumuskan program seperti kaderisasi atau pelatihan kepemimpinan dan organisasi, pengenalan pribadi dan mendorong OMK lebih aktif dalam kegerejaan dan kemasyarakatan,” ungkapnya.
James tidak memungkiri adanya kendala untuk mengaktifkan OMK. Selama ini, aktivitas OMK ada, tetapi bagaikan ‘kapal selam’, semangatnya hilang-timbul. Bila ada acara, tampaklah OMK-nya. Sebagai Seksi Kepemudaan, saya ingin OMK siap untuk menyambut panggilan Tuhan dan terlibat dalam karya pastoral. Saya terus menyemangati OMK agar terlibat menggereja, bersama pastor kunjungan ke stasi, ada kegiatan akhir minggu (week-end), olah raga OMK. Bila diterima, saya mengusulkan program bela diri OMK agar mempunyai jiwa kepemimpinan dan kepribadian yang kuat. Menurut James, Tahun Kesaksian (Martyria) merupakan kesempatan bagi OMK menjadi saksi Kristus lewat kerja nyata, laku hidup baik, menceritakan Yesus Kristus kepada orang lain, ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui berbagai kegiatan bersama umat beragama lain. “OMK harus siap menjadi ragi, garam, dan terang di tengah masyarakat,” katanya.
OMK Kurang Pede
Lain lagi pengalaman Seksi Kepemudaan Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru yang akan menyelesaikan masa baktinya, Drg. Scholastica Sinta Buana. Berbagai upaya telah dilakukan Seksi Kepemudaan untuk menggenjot OMK. Terkait dengan pencanangan Tahun 2017 di Keuskupan Padang sebagai Tahun Kesaksian (Martyria), Sinta mengaku pihaknya juga belum merancang program. “Kegiatan kami di tahun 2016 agar warga OMK berani tampil, tidak minder, sekaligus memberi semangat yang cocok untuk kehidupan sehari-hari. Kami mendatangkan motivator cukup terkenal sebagai narasumber yang memberikan masukan kepada OMK. Dengan kegiatan itu diharapkan, OMK termotivasi untuk lebih berani bersaksi,” ucapnya. Setelah mengikuti kegiatan Hari OMK Keuskupan Padang (Diocese Youth Day-DYD) 2016 di Muara Siberut, awal Juli 2016, dalam evaluasi para utusan paroki, muncul kesadaran perlunya upaya motivasi agar warga OMK berani bicara. “Ada OMK yang sarjana, tetapi kurang berani bicara, alasanya tidak biasa. Saya merasa banyak OMK kurang pede (percaya diri) saat tampil dan berbicara di depan umum. Kami sepakat memotivasi OMK akan lebih percaya diri. Dalam evaluasi pasca DYD, saya merombak total rencana karena upaya penumbuhan kepercayaan OMK lebih cocok,” tukasnya. Di ujung masa baktinya, seksi kepemudaan merancang pentas seni bergabung dengan seksi olah raga DPP. Terkait tentang tahun martyria, Sinta agak ragu, karena pada tahun 2017 parokinya sedang merayakan momen Seratus Tahun Penampakan Maria di Fatima, hingga Oktober 2017 sehingga ada banyak kegiatan diselenggarakan. Sinta mengaku di seksi kepemudaan DPP, belum semua rekannya maksimal dan dirinya pun terkadang tidak fokus. Meskipun demikian, ia bersyukur karena ada pastor rekan mempunyai perhatian yang besar pada OMK.
Sementara itu, Koordinator Seksi Kepemudaan DPP St. Fransiskus Xaverius, Dumai, Casaroli Stefanus Sinaga, SH (36) sejak Oktober 2016 melihat OMK kurang berinteraksi dan berkomunikasi dalam aktivitas kegerejaan. Beranjak dari ‘penglihatan’ tersebut, pihaknya merancang program untuk mengatasi masalah tersebut. “Ada program kunjungan ke rumah OMK, ibadat dan renungan dipandu katekis atau pastor pembina, dan kunjungan ke OMK stasi. Seksi Kepemudaan akan merangkul OMK hingga pelosok stasi. Dari pengamatannya, Casaroli mendapati anggapan negatif kalangan orangtua terhadap aktivitas OMK. Orangtua warga OMK usia sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/SMK), menganggap sebagai aktivitas menghabiskan waktu saja karena hanya kumpul-kumpul seperti nongkrong. Pihaknya ingin mengubah kesan negatif tersebut dan meyakinkan para orangtua agar percaya dengan aktivitas OMK yang sebenarnya. “Kami mendorong warga OMK membangun kesan positif di mata orangtua. Hal itu membutuhkan waktu, proses, perjuangan berat, karena selama ini OMK cukup lama ‘tidur’. Saya merasa tantangan ke depan lebih berat, tetapi kami optimis karena aneka pengalaman sebelumnya,” ungkapnya penuh semangat.
Langkah pertama yang akan dilakukan Seksi Kepemudaan adalah sosialisasi aktivitas OMK kepada para orangtua. Pihaknya berharap, orangtua memercayakan anaknya aktif dalam kegiatan paroki. “Kami juga mendorong para OMK menjaga kepercayaan orangtua. Pembenahan internal ini penting sebelum OMK berkiprah ke luar. Kami ingin OMK mempunyai ‘nilai plus’, tetapi tidak instan. Di tahun kesaksian ini, kami berharap OMK bersaksi lewat tindakan berdasarkan cinta kasih, sebab iman tanpa perbuatan adalah mati,” pungkasnya.