Ormas Katolik di Tengah Gereja (Majalah Gema, Edisi Mei 2016)

Ormas Katolik di Tengah Gereja

Kulit mei 2016Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Munculnya suatu Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak lepas dari faktor tertentu, seperti latar belakang (situasi dan pemikiran) yang kemudian terwujud dalam misi dan visinya. Secara umum hal ini juga yang menjadi daya tarik seseorang untuk bergabung dalam keanggotaannya. Hal yang sama juga yang menjadikan lahir serta besarnya Ormas-ormas yang memakai nama Katolik seperti ISKA (Ikatan Sarjana Katolik), WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), PK (Pemuda Katolik) dan PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Keempat ormas ini telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan bangsa di masa lampau, dan saat ini dari segi nama masih sangat familiar di lingkungan Katolik.

Mencoba menyimpulkan, sejajar dengan Kitab Hukum Kanonik bahwa penggunaan nama Katolik untuk ormas tersebut merupakan bentuk restu otoritas gerejawi yang menyatu dengan Gereja (bdk. KHK 216, 300, 301§1, 803§3, 808). Kesatuan ini harus tampak dalam berbagai karya dan pembinaan yang berdasar pada iman yang satu untuk membangun hidup yang lebih sempurna serta menjiwai tata dunia dengan semangat kristiani (bdk. KHK 298§1). De Facto, muncul pertanyaan: Masihkah ormas-ormas yang memakai nama Katolik ini menjadi wadah pembinaan diri sekaligus agen perubahan di tengah Gereja dan masyarakat?

Banyak harapan umat untuk organisasi-organisasi ini, misalnya, hen­dak­nya Ormas-ormas tersebut tetap memiliki keterikatan dengan perutusan dan cara berpikir Gereja Katolik. Harapan lain adalah agar ormas-ormas ini tidak hanya tajam ke dalam (yang terkadang memberi, kesan sebagai outsider dalam mengkritik Gereja) namun tumpul ke luar, melainkan tajam ke dalam dan keluar. Harapan-harapan ini muncul dari kesadaran bahwa Gereja Katolik di dalam perayaan-perayaan sakramen, nilai dan ajarannya akan menghantar semua kepada persekutuan. Dan tanpa kesadaran ini, meskipun visi dan misi indah di atas kertas maupun dalam orasi, namun dalam perwujudan dan kepengurusan dapat menimbulkan tanda tanya.

GEMA edisi ini memaparkan tentang ormas-ormas yang ada di wilayah keuskupan kita dan harapan-harapan tentangnya, laporan pertemuan para uskup dan pimpinan tarekat se-Sumatera di Padang serta pesan Bapa Paus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-50 (8 Mei 2016): “Komunikasi dan Kerahiman: Suatu Perjumpaan yang Sarat Manfaat”.
Selamat membaca!

Jadikan Ormas Tempat Membangun Kualitas Diri

fokus,aniy susanto,1
Theresia Aniy

Theresia Aniy
Ketua Presidium
Wanita Katolik RI DPD Propinsi Riau Masa Bakti 2012-2017.

Ketika saya masih ketua DPC Wanita Katolik RI Pe­kan­baru (2002-2007), kami meng­adakan bakti sosial peng­obatan gratis di kelurahan Kulim. Kami me­minta izin memakai kantor camat Tenagan Raya seba­gai tempat pe­lak­sanaan ke­giatan itu. Namun menjelang pe­laksanaan bakti sosial, Pak Camat mene­gur, agar kami tidak meng­gunakan label Katolik. Pak Camat kha­watir masyarakat tidak mau hadir.

Saya agak terusik de­ngan “per­ingat­an” Pak Camat tersebut. Saya men­coba meyakinkan bahwa kami hanya mau berbuat baik dan menolong masyarakat. Untuk meyakinkan Pak Camat, kalau memang masyarakat sekitar tidak ada yang datang, biarlah saya mengundang umat Katolik terdekat untuk hadir dalam pengobatan itu. Bakti sosial pun dilaksanakan. Kami menargetkan hanya untuk 350 orang. Tetapi, karena sudah ada “peringatan” dari Pak Camat, berapa pun yang datang tetap kami layani. Kami berkoordinasi dengan RS Santa Maria Pekanbaru dan tetap menggunakan “label” Katolik. Pada hari H, ternyata di luar perkiraan kami, masyarakat yang datang melebihi target hampir 500 orang. Tidak pula timbul masalah di kemudian hari.

Selesai kegiatan, Pak Camat memuji bahwa kegiatan kami serba teratur, terperinci, tertib mulai dari awal hingga akhir. Boleh dikatakan, Pak Camat me­muji kesuksesan kami. Akhirnya ter­bangunlah suasana cair dan akrab, sehing­ga kami bisa bercakap-cakap tentang banyak hal dengan Pak Camat. “Per­ingatan” yang diberikan Pak Camat ter­nyata dilatarbelakangi perasaan trauma dengan kejadian sebelumnya. Pak Camat mengi­sahkan, sebe­lumnya ada juga kegiatan sosial – penye­lenggaranya memakai la­bel agama ter­tentu. Saat itu tidak ada masya­rakat yang datang. Pak Camat tidak mau hal itu ter­ulang kembali dan kami kecewa.

Pengalaman ini termasuk yang mem­per­kaya saya dalam menjalankan roda orga­nisasi massa Wanita Katolik RI di propinsi Riau. Terus terang, sebelumnya saya curiga dan kesal dengan “peringatan” Pak Camat itu. Soal ketidakhadiran masya­rakat, boleh jadi bakti sosial yang dilak­sanakan lembaga sebelum kami – tidak menjadi kebutuhan warga, sehingga mereka merasa rugi kalau datang. Kalau masalah kesehatan, seperti yang kami lakukan tentulah menjadi kebutuhan semua orang. Dengan demikian, mereka merasa rugi kalau tidak datang. Dari rentetan pengalaman terlibat di Wanita Katolik RI, mengelola dari tingkat ranting sampai Dewan Pengurus Daerah (DPD) Propinsi Riau hingga aktif di Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Propinsi Riau, di mana saya ber­ada mereka tahu, saya ‘orang WKRI’.

Sudah seha­rusnya, ormas Wanita Katolik RI sebagai organisasi kader bertindak demi­kian, apa pun risikonya. Wanita Katolik RI ada­lah ormas Katolik yang lahir dari “rahim” Ge­reja yang diharapkan mewarnai masyarakat dengan nilai-nilai keka­tolikan. Ormas ini menyan­dang nama “Katolik”. Oleh sebab itu, kendati­pun, para anggota ber­kiprah di luar dinding Gereja, tidak boleh mengabaikan, apalagi melupakan Gereja – sebagai ibu yang melahirkannya. Anggota Wanita Katolik RI pun mestinya mengenal dan dikenal lingkungan Gereja setempat. Anggota Wanita Katolik RI adalah perempuan Katolik – bagian dari Gereja itu sendiri.

Tidak semua perempuan Katolik (di paroki) menjadi anggota ormas Wanita Katolik RI. Di paroki, mungkin saja ada kelompok/paguyuban ibu-ibu atau wanita Katolik. Kepada anggota Wanita Katolik RI, janganlah sampai rebutan job pelayanan dengan kelompok kategorial maupun teritorial di paroki. Medan pelayanan di luar dinding Gereja sesuai dengan marwah Wanita Katolik RI masih sangat luas. Namun mesti diakui, kadang tidak mudah untuk itu, karena ada ke­mungkinan penolakan dari kelompok masyarakat lain agama. Maka dibutuhkan kearifan dari anggota Wanita Katolik RI dalam membawakan diri dan melak­sanakan program di lapangan. Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wanita Katolik Republik Indonesia Propinsi Riau sesuai dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya mengkoordinasikan 11 cabang dan 23 ranting yang ada. Pengurus DPD, menggodok program dari pusat hingga ke cabang sebagai pelaksana. Konsolidasi organisasi adalah bagian dari penguatan untuk menyiapkan kader perempuan Katolik.

Melalui ormas ini, perempuan Ka­tolik berusaha “menggarami” dengan mengembangkan talenta, seperti meme­lopori kursus keterampilan seperti menja­hit, membuat kue kering dan basah, membuat sabun cair, merangkai bunga, dan lain-lain. Selain itu, kami juga meng­adakan bakti sosial, pastoral care berupa pengobatan kepada masyarakat dan seminar kesehatan. Dalam aktivitas ke luar tersebut, kami tidak selalu me­nampakkan bendera organisasi. Biarlah pihak luar melihat kami karena kinerjanya, bukan dari namanya. Muara dari setiap kegiatan itu adalah untuk memberdayakan kaum perempuan. Terkait hidup perse­kutuan dalam ormas ini, kami mengajak Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskup­an Padang P. Emilius Sakoikoi, Pr turun ke cabang dan ranting.

Kami ingin menyen­tuh dari aspek iman Katolik ang­gota melalui kegiatan rohani. Hal ini untuk meningkatkan kualitas diri dan iman, serta kualitas pelayanan perempuan Katolik. Sebagai ketua, saya berharap ormas Wanita Katolik RI menjadi jem­batan dan pemersatu semua kaum perempuan, bukan pemecah belah. Di dalam ormas ini, kita ciptakan kehangatan dan ke­akraban sebagai warga Gereja dan masyarakat. Saya ingatkan, janganlah anggota meng­gunakan ormas ini sebagai ajang bergosip dan bertindak yang kontra­produktif. Jangan pula, menja­dikan Wanita Katolik RI tempat pelarian sebagai istri dan ibu di dalam keluarga! Bereskanlah dulu urusan keluarga, baru mengurus organisasi. Mari kita jadikan orga­nisasi untuk mem­bangun kuali­tas diri dengan demikian kita merasa­kan manfa­atnya menjadi anggota ormas.***

Ormas Katolik:  Aktif ke Luar, Mengakar di Dalam

Di lingkungan Gereja Katolik ada orga­nisasi kemasyarakatan (or­mas) Katolik, yaitu: Wanita Ka­tolik Republik Indonesia (Wani­ta Katolik RI), Pemuda Katolik (PK), Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Sebagai ormas, ada perangkat Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), badan kepengurusan (mulai dari pusat hingga ke cabang dan ranting), badan hukumnya, aturan protokoler tersendiri, dan sebagainya.

Di Keuskupan Padang, belum semua ormas itu ada. Tetapi PMKRI (Cabang Padang Sanctus Anselmus dan Cabang Pekanbaru Sanctus Albertus Magnus) telah lama ada. Begitu pun dengan Wanita Katolik RI, meskipun belum menjangkau semua kota/kabupaten di Sumatera Barat dan Riau. Ada ormas yang baru terbentuk, yaitu ISKA Basis Kepulauan Mentawai. ISKA di Padang diwacanakan terbentuk, tetapi kini timbul tenggelam semangatnya. Pemuda Katolik (PK) Padang pernah ada, tetapi kini tiada diketahui keberadaannya. Di Riau terbentuk PK, bahkan semangat­nya sampai ke kota dan kabupaten.

Fungsi Ormas Katolik

fokus,lorensius purba,3
Lorensius Purba, S.Pd.

Sekretaris Jenderal Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Riau, Lorensius Purba, S.Pd. (35) menuturkan ormas dapat menjadi ‘jembatan aspirasi’ umat Katolik kepada pihak eskternal (pemerintah). Sejak tahun 2014, cabang-cabang terus terbentuk. Namun, Purba mengaku, sejauh ini kegiatan ormasnya masih di internal PK, untuk mengadakan rapat kerja daerah saja belum terlaksana, terkendala karena pengurusnya rata-rata pekerja. Hubungan dengan eksternal (pemerintah) baik adanya dan berjejaring dengan Kelompok Cipayung. Para fungsionaris PK ada yang aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), partai politik, seksi kepemudaan Dewan Pastoral Paroki (DPP).
Sebagai organisasi kader, lanjut Purba, pengurus dan anggota PK mesti aktif di intern dan ekstern Gereja melayani sesuai bakat dan minatnya. Sejak terbentuk di Pekanbaru tahun 2016, PK secara berkala melakukan kegiatan menyangkut isu sosial politik mengun­dang pakar Katolik, pertemuan calon legislator Katolik se-Propinsi Riau, bakti sosial, membantu pelajar tidak mampu. Dalam banyak kegiatan, PK bekerjasama dengan Seksi Kerawam DPP, berdiskusi dengan pastor – apalagi pastor moderator PK. “Anggota PK masih sedikit diban­dingkan jumlah umat Katolik”, katanya.
Semangat “menjadi jembatan” ini juga disampaikan Ketua Pemuda Katolik Komisariat Cabang Kabupaten Bengkalis, periode 2015-2020, Viktor Anderson Tumangkeng (39). Sebelumnya, di Bengkalis, belum pernah ada ormas Katolik. Setelah diresmikan Oktober 2015, PK saat ini beranggotakan 50-an orang. “Sebagai pihak yang kerap berhubungan di luar Gereja, saya merasa aspirasi umat Katolik kurang terdengar dan sampai kepada pemerintah (daerah), sehingga muncul kesan, seolah-olah segala hal berkaitan Gereja Katolik disuplai oleh Vatikan, padahal tidak demikian. Kepada teman birokrat – apa pun agamanya, saya katakan, Gereja Katolik juga mesti diperhatikan sebagai­mana agama lain,” ucapnya.
Tumangkeng melihat kecanggungan pemuda Gereja bila berurusan dengan aparatur pemerintahan. “Di internal Gereja, pemuda kita cukup dinamis, namun di luar Gereja banyak yang grogi! Oleh sebab itu, PK Komcab Bengkalis ingin membawa aspirasi Gereja kepada peme­rintah. Di lingkup Gereja, kami sedang mengonsep upaya pemberdayaan dan pemandirian anggota lewat usaha sendiri atau wirausaha; misalnya ternak ayam, tambak ikan, ladang sayur agar PK tidak membebani Gereja,” tambahnya.
Ormas Katolik bukanlah organisasi politik (orpol), tetapi anggotanya tidak boleh “alergi” dengan politik. Anggota Presidium II Wanita Katolik RI DPD Propinsi Sumatera Barat, Dra. Meilifa, MSi, Apt. (53) menyatakan secara orga­nisatoris ormas yang dipimpinnya tak akan berpolitik praktis. Namun, kalau ada anggotanya terjun ke politik praktis, bo­leh-boleh saja. “Melalui wadah ini, para anggotanya ibarat satu keluarga yang asih, asah, dan asuh,” ujar Meilifa.
Menurut Meilifa, sebagai ormas, Wanita Katolik RI independen, namun selalu bermitra dengan Gereja (paroki). “Wanita Katolik RI dan paroki saling mendukung. Tanpa dukungan pastor paroki, program kami bisa tak terlaksana, misalnya kunjungan ke lembaga pe­masya­­rakatan, panti asuhan, penyu­luh­an atau pelatihan,” ujarnya. Dalam menja­lankan roda organi­sasi, kami menganut prinsip ‘janganlah seperti katak di bawah tempurung’. Kami saling membantu, baik dari DPD ke cabang dan ranting atau sebaliknya, dan antarcabang atau ranting. Meilifa mencontohkan, pihaknya menca­rikan dan membawa pelatih kerajinan lidi kelapa dari Sawah­lunto ke Mentawai – karena satu cabang di Mentawai mem­butuhkan. Begitu juga dalam penguat­an dan menjalankan program organisasi
Fokus,Bastian Sirirui,1Sementara itu, Ketua ISKA Basis Kabu­paten Kepulauan Mentawai, Bastian Sirirui, S.Pd (46) mengaku belum mempunyai data anggotanya sejak ISKA terbentuk tahun 2013. “Ada ratusan sarjana Katolik asal Mentawai. ISKA juga masih baru, perlu sosialisasi sehingga kegiatan kami masih bersifat internal dan diskusi kecil. Pada tahun ini (2016), dirancang kegiatan pendidikan khusus bagi pemuka umat Katolik di Mentawai (baja’ Gereja),” ucap Bastian.
Untuk mengoordinasikan anggota dan kegiatan ISKA di Mentawai, Bastian mengaku tidaklah mudah. Menurut Bastian, para sarjana Katolik, terutama yang tergabung dalam ISKA seharusnya berperan di dalam maupun di luar Gereja. Ada beberapa pengurus dan anggota ISKA Basis Mentawai (sedang) menduduki tempat strategis dalam pemerintahan kabupaten dan sektor swasta, namun belum semuanya memanfaatkan momen dan kesempatan ini untuk memperkuat organisasi.

Ormas Harus Punya Daya Tarik

DSC_0591
Dokter Gunawan Djunaidi

Dokter Gunawan Djunaidi (64), Ketua Presidium (1974) mencermati ormas PMKRI Cabang Padang Sanctus Anselmus yang pernah dipimpinya. “Ada perbedaan suasana antara dulu dan sekarang. Dulu tidak ada saluran lain kecuali PMKRI, jumlah mahasiswa Katolik juga tidak sebanyak sekarang. Waktu itu, kegiatan PMKRI mampu memersatukan mahasiswa Katolik di Padang, 90 persen mahasiswa Katolik menjadi anggota PMKRI sehingga anggotanya mencapai tiga ratusan orang. “Aspek persaudaraan (brotherhood) dan kekompakan menonjol sekali saat itu,” tambah Mantan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) PSKP Santu Yusuf Keuskupan Padang ini.
Menurut Mantan Ketua Forum Masyarakat Katolik Sumatera Barat (FMKI-SB) ini, PMKRI saat itu mem­punyai daya tarik tersendiri. Di sekretariat PMKRI ada perpustakaan yang menye­diakan sarana untuk berdiskusi dan belajar bersama. Saya ingat, saat itu ada teman yang kuliah di Akademi Bahasa Asing (ABA) Prayoga melakukan percakapan dengan rekan lainnya (conversation) dalam bahasa Inggris melalui Radio Anselmus – radio komunitas PMKRI. Pada hari tertentu, anggota PMKRI mem­bahas Kitab Suci didampingi pastor. “Radio dan pusta­ka inilah magnet bagi ang­gota perhim­punan untuk selalu ber­kumpul,” imbuhnya.
Di masa kini, Gunawan melihat PMKRI Cabang Padang tampak ingin lebih menonjolkan arah ke luar, aspek ke­masyarakatan. “Boleh saja ke luar, namun intern Gereja jangan dilupakan! Sebagai anggota perhimpunan hendaknya memer­hatikan keterlibatan diri di intern organi­sasi PMKRI, intern Gereja, dan ekstern kemasyarakatan. Kesan saya saat ini, tidak begitu tampak anggota PMKRI di Padang di dalam Gereja,” ucapnya. Pastor Paroki St. Fransiskus Xave­rius, Dumai, P. Martinus Suparjiya, Pr (58) menyambut baik kehadiran ormas PK Komcab Bengkalis. “Dari rencana dan tujuannya, saya menilai bagus, terutama agar orang muda melek politik, tidak ha­nya di seputar altar. Di paroki kami Wanita Katolik RI, dulu cukup aktif di luar Gereja (ekstern), setelah ganti pemimpin, ganti pula fokusnya. Kini, ormas ini lebih ba­nyak pelayanan ke dalam (intern) Gereja”, ujar Imam Dioses­an Padang ini.
Sebagai gembala umat, P. Martinus mendorong agar semua ormas Katolik kompak dalam pelayanan, memberi ke­sak­sian di tengah umat, dan masyarakat. “Sebaiknya, ormas menunjukkan ki­prah­nya dulu di tengah umat dan masyarakat. Kalau jelas kiprahnya, siapa pun pasti tertarik. Untuk mendirikan ormas juga mesti dipertimbangkan secara mendalam. Jangan sampai ormas Katolik sekedar terbentuk, lahir, tetapi tak lama kemudian ‘mati’!” ungkapnya.
Sementara itu, menurut pengamatan Seksi Kerasulan Awam (Kerawam) DPP St. Fransiskus Asisi Padang, Drs. Wismar Panjaitan, M.Pd, dari empat ormas Kato­lik yang ada, Wanita Katolik RI ada­lah yang paling eksis terutama di bidang sosial. Namun, Wismar belum melihat ang­gota ormas perempuan ini berminat terjun ke politik praktis seperti dirinya.
Untuk PMKRI, anggota DPRD Kota Padang ini menyayangkan program-pro­gramnya kurang tersosialisasi. “Masih banyak yang kurang, program riil belum bisa dirasakan umat dan masyarakat! PMKRI, masih kurang fokus! Kita ber­ha­rap ada tindakan ala mahasiswa,” ujarnya. Untuk Ormas PK dan ISKA, Wismar tidak berkomentar, karena me­mang tidak ada yang bisa dikomentari. Wismar menyim­pulkan ormas Katolik ‘bermain’ dalam ling­kup intern Gereja ketimbang di ling­kup kemasya­rakatan. “Mele­katnya em­bel-embel Kato­lik berpotensi menja­dikan ruang gerak ormas bersangkutan terbatas. Meskipun demikian, sekat-sekat tersebut dapat ditem­bus dengan keterlibatan warga ormas Katolik di tingkat bawah, Rukun Te­tangga (RT). Jadi melebur karena kita ada bersama mereka, di lingkungan RT dan kelurahan. Khusus pemerintah kota Pa­dang, ujung tombak pelayanan terpadu (paten) ada di kelurahan dan kecamatan,” tukasnya. Walaupun demikian, Wismar melihat perse­kutuan hidup warga ormas Katolik di Padang, khususnya Wanita Katolik RI dan PMKRI, masih solid dan eksis secara internal, ada saling mendu­kung. ***

Ormas Katolik Marilah Berubah

fokus,dra maria magdalena huiniati,pku

Dra. Maria Magdalena Huiniati
Umat Aktivis Paroki Santo Paulus, Pekanbaru

Dari dulu hingga kini, saya melihat organisasi kemasyarakatan (or­mas) Perhimpunan Maha­siswa Katolik Republik Indone­sia (PMKRI) Santo Albertus Magnus Cabang Pekan­baru relatif sama. PMKRI tam­paknya belum menjadi ormas kepe­mu­daan yang diper­hitungkan. Dalam banyak perte­muan, beberapa ormas kepemudaan disebut, tetapi nama PMKRI tidak pernah disebut. Sepertinya PMKRI minim ki­prahnya, sehingga ‘kurang di­anggap’. PMKRI juga belum menjadi ‘kesa­yangan’ di internal Gereja sendiri.
Saya berani berkesimpulan demikian, karena saya kerap mengikuti kegiatan ke­masya­rakatan anggota PMKRI Pekan­baru. Kalau PMKRI mau berubah, harus ada gerakan nyata, yang diawali dan di­mu­lai oleh anggotanya sendiri. Untuk kepeng­urus­an PMKRI Ca­bang Pekan­baru sekarang ini, saya melihat ketua presi­diumnya makin banyak melakukan komu­ni­­kasi dengan para senior dan alumni. Saya rasa itu langkah yang tepat dan bagus. Ber­bicara medan pelayanan, terutama bidang kemasya­rakatan me­mang sangat luas cakup­annya. Sebaik­nya, PMKRI ambil satu saja sebagai fokus; misalnya PMKRI men­jadi ‘corong anak muda Ge­reja Ka­tolik’, dengan pela­tihan-pelatihan bidang kehumasan, ko­mu­ni­kasi, public speaking, kepemim­pinan, mem­pengaruhi orang lain (influ­encing people).
Aktif di luar Gereja, bukan berarti menge­sampingkan atau tidak meme­dulikan Gereja. Sebagai kekayaan Gereja, PMKRI harus mengakar dan berkiprah di da­lamnya agar dikenal umat. Kesan saya, selama ini anggota PMKRI juga kurang aktif di Gereja. Namun sejak tahun 2015, mulai aktif membantu kegiatan Gereja. Itu artinya sudah ada kesadaran sebagai warga Gereja.
Kalau ormas Wanita Katolik RI di Pekanbaru, saya menilai lebih ada ‘kese­imbangan’. Misalnya, Wanita Katolik RI Cabang St. Paulus Pekanbaru aktif di paro­ki, pada saat yang sama juga para ang­gotanya aktif bersama organisasi wanita lainnya di tingkat kota Pekanbaru maupun propinsi Riau. Saya melihat anggotanya aktif membantu kegiatan Dewan Pastoral Paroki (DPP), kehidupan keluarga ang­gotanya dapat menjadi contoh umat lain. Per­sekutuan anggotanya baik dan kompak terutama tampak dalam perte­muan dan berbagai kegiatan.
Jangan lupa, kedua ormas ini adalah organisasi kader, berbeda dengan kelom­pok kategorial di paroki. Kalau anggota PMKRI di Pekanbaru kurang mengakar, menurut saya, tidak luput dari situasi dan kondisi ang­gotanya yang didominasi maha­­siswa pe­rantau atau pendatang, se­hingga ‘akar’ mereka tidak kuat di Ge­reja se­tempat. Berbeda dengan ang­gota Wani­ta Katolik RI yang tinggal dan ‘berakar’ di Pekan­baru.
Kalau ada ormas Katolik yang sibuk berkutat dan banyak berkiprah di seputar altar, saya merasa tujuan pembentukan or­mas itu belum tercapai. Oleh sebab itu per­lu adanya pembukaan cakrawala ber­pikir pengurus dan anggotanya. Ormas Katolik ha­rusnya lebih membawa nilai keka­tolikan keluar dinding Gereja. De­ngan keunikan dan spesifikasinya, ormas Katolik seperti: Wanita Katolik, PMKRI, Pemuda Katolik (PK), Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), menurut saya, pengurus dan anggotanya harus memantapkan per­sekutuan, mem­bangun integritas pribadi, dan berkomitmen untuk merasul ke luar Gereja. Bila pengurus dan ang­gotanya, menge­nal dan menjadikan ajaran Yesus seba­gai panutan, pastilah semakin kom­pak, perse­ku­tuannya pun kuat. Harus di­ingat, ormas Ka­tolik itu organisasi kader, jangan malah keder menghadapi situasi.
Saya melihat antusiasme umat terha­dap ormas Katolik masih rendah. Hal ini bisa diukur dari sedikitnya umat yang men­jadi anggotanya. Bisa jadi, umat kurang suka berorganisasi atau ormas itu sendiri yang belum menjadi daya tarik bagi umat. Kalau dilihat relasi ormas Katolik dengan para pastor cukup baik, selalu ada pastor yang menjadi mode­ratornya. Hubungan antar ormas Katolik juga baik, namun itu belum cukup, perlu sinergi kare­na sama-sama mem­bawa nama Katolik.
Kalau mau menggunakan moment Tahun Koinonia (Pelayanan), ubahlah paradigma dan setialah pada AD dan ART. Buatlah terobosan kegiatan, mi­salnya PK dan PMKRI membuat pengaderan OMK – bersama Seksi Kepemu­daan. ISKA dan Wanita Katolik RI mem­buat pelatihan (training), misalnya ten­tang wirausaha, keterampilan wanita atau mencari sumber bea siswa untuk anak Katolik. ***

 Mengakar dan  Jadilah Bagian Gereja

Fokus,Pastor Benni Manulang,1P. Pardomuan Benediktus Manullang, Pr
Moderator PMKRI Cabang Pekanbaru “St. Albertus Magnus”

Sejak sebagai moderator (Mei 2015), saya berupaya men­dampingi anggota PMKRI Cabang Pekanbaru “St. Alber­tus Mag­nus” dengan sebaik-baiknya. Saya berusaha berbagi ilmu pengetahuan ten­tang iman Katolik, moral Katolik, ajaran sosial Gereja, dan segala hal terkait dan kebutuhan sebagai organisasi kemasya­rakatan (ormas).
Karena saya dan anggota perhim­punan cabang Pekanbaru ini sama-sama berjiwa muda, ada semangat yang menyala-nyala, berusaha saling memberi dan mengisi. Namun, di sisi lain, ada ‘dukanya’, mungkin karena faktor kemu­daan usia terkadang kerap nyeleneh. Saya kadang mengalami kesulitan untuk mem­berikan masukan, input kepada mereka.
Yang unik dari PMKRI Pekanbaru, anggota sekitar 90 persen perantau, umumnya dari Sumatera Utara yang kuliah di Universitas Riau. Dengan demikian, PMKRI menjadi ‘rumah’ mereka. Ormas ini menjadi wadah pe­mer­satu. Mereka membangun perse­kutuan, atas dasar nilai keagamaan. Mahasiswa Katolik ‘asli’ Pekanbaru memang minim. Bagaimana dengan mahasiswa dari etnis lain, di perguruan tinggi lain? Saya tergerak untuk me­lakukan survei dan ‘penyelidikan’ atas realitas ini.
Saya berharap anggota PMKRI bergaul di lingkup lebih luas, di paroki menjadi bagian dari OMK paroki, tidak sebatas di organisasinya saja. Anggota PMKRI hendaknya lebih terlibat aktif di gereja, karena semakin hadir dan ber­partisipasi, akan memudahkan anggota PMKRI bekerja kelak, rekam jejaknya (track record) dilihat umat. Sebagai ormas Katolik, PMKRI dengan visi-misi-dan keunikan yang menjadi ciri khasnya, anggotanya juga jangan hanya terlibat di Gereja, tetapi aktif di lingkup sosial kemasyarakatan.
Untuk mendorong aktivitas intern kegerejaan anggota PMKRI, saya mena­warkan program ‘tinggal bersama umat’ (live in) di stasi. Hal ini untuk meng­aplikasi dan mengimplementasikan ilmu penge­tahuan mereka di tengah umat. Dari live in ini banyak hal yang bisa mereka serap: realitas kehidupan umat, sumbangsih mereka terhadap situasi yang ada, kreativitas dalam karya yang bernilai jual, pengembangan diri dalam Gereja. Untuk kegiatan ekstern kemasya­rakatan, kalau­pun mau berunjuk rasa, saya ingatkan agar mereka mendasarkan diri terlebih dulu dan mempelajari Ajaran Sosial Gereja (ASG). Jangan ikutan berunjuk rasa, tetapi tidak mempunyai basis, dasar, dan pemahaman terlebih dulu berdasarkan ASG. ***

Bergeraklah Bersama Hirarki

IMG_0145P. Emilius Sakoikoi, Pr
Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Padang

Kalau ada pertanyaan: “Bagai­mana ormas Katolik ini bersi­nergi dengan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Padang?” Saya menjawab, “Saya belum me­li­hatnya”. Mereka memang punya jaringan. Di Pekanbaru misalnya, seper­tinya ada link antara PMKRI dengan Pe­muda Katolik (PK). A­da ke­giatan bersama-sama, misalnya seminar atau kegiatan sosial. Ada alumni PMKRI yang masuk ke PK.
Kalau Wanita Katolik RI di Riau, ada upaya pemantapan organisasi sampai ke cabang dan ranting. Hal ini juga tergantung pada personil yang ber­pengaruh di dalam ormas ini. Kalau pengurusnya benar, kom­pak, anggota pun demikian. Namun, kalau ada oknum yang mempunyai kepen­tingan tersembunyi, lambat laun akan merusak tatanan organisasi. ISKA belum ‘hadir’ di Pekanbaru, meskipun ada potensi besar. Per­tanya­annya, apakah kehadiran ISKA dibu­tuh­kan umat? Saya berpan­dangan, mendi­rikan organisasi (termasuk ormas) itu mudah, tetapi mempertahankan eksis­tensi, mengembangkan, mengader anggota dan pengurusnya bukanlah hal mudah. Ormas Katolik yang ada saja belum sesuai harapan. Ormas Katolik tidak mesti ada di setiap tempat, apalagi kalau tidak dibutuhkan. Yang penting, setiap awam Katolik menya­dari perannya seba­gai ‘garam dan terang dunia’. Tidak ada guna­nya men­dirikan orga­nisasi, kalau sekedar nama.
Ormas Katolik meskipun secara orga­nisasi independen, tetap harus berkoor­dinasi dengan hirarki setempat, agar gerak dan langkahnya bersinergi. Kita mem­punyai tujuan yang sama, yakni mewar­takan keselamatan, Kabar Gem­bira. Keber­adaan ormas Katolik mendu­kung misi, tugas perutusan Gereja Katolik. Ormas Katolik dengan spesifikasi dan ciri khas dalam karyanya, hendaknya juga bersinergi dengan Seksi Kerasulan Awam (Kerawam) DPP setempat. Keberadaan imam sebagai penasihat rohani atau moderator untuk mendukung upaya ber­sinergi itu. (hrd)

Tinggalkan Balasan