PANGGILAN KITA BUKAN UNTUK MARAH (Renungan KAMIS BIASA X, 9 JUNI 2016 Oleh Fr. Bonar Sinabariba)
PANGGILAN KITA BUKAN UNTUK MARAH
9 Juni 2016
1Raj. 18:41-46; Mzm. 65:10abcd,10e-11,12-13;
Mat. 5:20-26.
Dada yang sesak, nafas yang tersengal-sengal, tangan yang gemetaran, muka yang memerah, dan kepala yang serasa mau meledak, merupakan sekian gejala kemarahan yang pernah kita alami. Tubuh merespon kemurkaan yang ada di dalam hati dengan gejala-gejala yang agak tidak normal. Ketika angkara murka itu dilepaskan ke sekitar melalui kata-kata kasar atau tindakan anarkis, orang-orang di sekeliling akan merasa tersakiti, terluka, kecewa, dan mungkin akan memarahi balik. Sementara, dia yang melepaskan kemarahannya akan pergi dengan sedikit rasa lega namun dikuntit oleh rasa bersalah yang mengusik, “Mengapa tadi saya berbuat demikian?” Itulah kemarahan.
Marah merupakan suatu mekanisme ketika kita tidak lagi dapat mengontrol kata-kata dan tindakan secara tenang dan sadar karena faktor kekecewaan. Ketika tuntutan kita pada orang lain tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita, kita lantas marah. Ketika usaha kita dihentikan orang lain, kita lalu murka. Akibat yang mengikuti kemarahan ialah hilangnya kedamaian. Orang-orang tidak dapat lagi melakukan pekerjaannya dengan tenang, suasana menjadi tegang, dan satu harapan dari semua orang, “Semoga waktu ini cepat berlalu.”
Marah adalah sifat kekanak-kanakan yang hidup dalam diri orang dewasa, yang ketika kecil lebih berupa rengekan dan tangisan untuk menuntut ini atau itu. Yesus mengajar kita hari ini agar kita dewasa dalam iman, bukan kekanak-kanakan dan infantil. Dewasa dalam iman berarti mampu mengendalikan diri secara seimbang tanpa larut pada hasrat dan emosi yang labil. Seorang dewasa dalam iman mampu menyelesaikan persoalannya dengan tenang tanpa merusak suasana dengan kemarahan yang tak terkendali. Seorang dewasa dalam iman tidak menyelesaikan persoalan dengan kata: “Jahil!” atau “Kafir!” atau sumpah serapah lainnya.
Kita dipanggil bukan untuk marah, melainkan untuk perdamaian. Seperti doa St. Fransiskus Asisi, “Jadikanlah aku pembawa damai…” (Fr. Bonar Sinabariba)