PERTOBATAN WANITA SAMARIA (Renungan Minggu Prapaskah III-a, 15 Maret 2020
PERTOBATAN WANITA SAMARIA
Hari Minggu Prapaskah III (19 Maret 2017)
Kel 17:3-7; Rm 5:1-2,5-8;
Yoh 4:5-42
BACAAN PERTAMA hari ini diambil dari kitab Keluaran Bab 17 ayat 3-7. Melalui bacaan ini Gereja ingin menyadarkan bahwa kita adalah pendosa, yang sering kurang berterimakasih, kurang percaya atas kekuatan dan kebaikan Tuhan. Dalam perikop yang singkat ini dilukiskan sikap orang-orang Israel ketika merasa kehauasan di padang gurun, setelah beberapa saat ke luar dari Mesir di bawah pimpinan nabi Musa. Mereka bersungut-sungut walaupun telah diajak ke luar dari Mesir. Mereka tak berterima kasih atas hal itu dan kurang percaya bahwa Tuhan sungguh menolong mereka.
Syukurlah Tuhan tetap sabar dan murah hati. Mendengar umat-Nya bersungut-sungut, Tuhan tidak marah, justru meminta nabi Musa mencarikan air dengan memukulkan tongkatnya pada bukit batu. Dari bukit itu mengalirlah air yang dapat memuaskan mereka. Sikap umat Israel itu adalah cermin dari sikap kita juga. Kita sering bersungut-sungut bila menghadapi kesulitan, kurang berterimaksih atas karunia-karunia Tuhan dan kurang percaya akan kehadiran serta kebaikan-Nya?
Bacaan kedua hari ini menegaskan bahwa Allah itu Mahamurah dengan karunia dan berkat-Nya. Kemurahan itu makin nyata bila kita sadari bahwa sebenarnya manusia tidak layak menerima, terutama karunia terbesar, yakni Roh Kudus. Kita sama sekali tidak layak menerima karunia-Nya, kalau masih berada dalam keadaan dosa. Waktu Yesus wafat dan bangkit, kita semua masih orang-orang durhaka yang belum beriman kepada-Nya. Allah mengutus Putera-Nya ketika umat manusia masih penuh dengan dosa. Justru melalui penyaliban itulah Allah menyelamatkan dunia. Setelah membangkitkan Yesus dari mati, Allah mengaruniakan Roh-Nya sendiri. Kemudian, Roh kudus yang telah dicurahkan itu menganugerahkan berbagai karunia kepada kita yang percaya kepada Kristus yang wafat dan bangkit.
Sabda Yesus kepada wanita Samaria tidak dimengerti dengan benar oleh wanita Samaria itu. Sabda-sabda Yesus berisi kiasan-kiasan teologis yang dalam, sementara wanita Samaria itu menafsirkannya secara harafiah dan dangkal saja. Yesus berbicara tentang pewahyuan, sedangkan wanita Samaria itu mengira bahwa Yesus berbicara tentang air dari sumur Yakub yang ada di dekat mereka berdua. Yang diajarkan Yesus sesungguhnya adalah pemenuhan wahyu, salah satunya adalah menyangkut ibadah yang benar. Menurut Yesus, ibadah yang benar bukanlah ibadat di Samaria atau Yerusalem, melainkan ibadat dalam Roh dan kebenaran. Jadi yang penting bukanlah tempat beribadatnya, melainkan semangat dalam beribadat itu.
Dalam perikop yang sama Yohanes ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang nabi besar yang mempunyai kemampuan bernubuat. Walaupun Yesus belum pernah bertemu dan berkenalan dengan wanita Samaria itu, namun tahu dengan tepat perempuan itu. Ia adalah wanita yang sudah berulang kali menikah, kurang terpandang di kotanya. Nubuat Yesus itu begitu mengesankan, sehingga wanita pendosa itu tampaknya siap untuk bertobat. Begitu pula penduduk lain yang tinggal di kotanya.***