PERTOBATAN YANG BERBUAH (Renungan MINGGU ADVEN II, 4 DESEMBER 2016)
PERTOBATAN YANG BERBUAH
Hari Minggu Adven II (4 Desember 2016)
Yes 11:1-10; Rm 15:4-9;
Mat 3:1-12
HARI MINGGU ini kita mendengarkan seruan Yohanes Pembaptis, “Bertobatlah, sebab kerajaan Sorga sudah dekat” (Mat 3:2). Seruan ini mengajak umat pada waktu itu dan juga kita sekarang untuk bertobat. Seruan ini selalu kita renungkan pada masa Adven dan masa Prapaskah. Mengapa? Sebab tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menyambut kedatangan Kristus selain dengan bertobat. Bertobat berarti menyiapkan jalan untuk Tuhan, meluruskan hati kita agar selalu berorientasi dan tertuju kepada Tuhan. Bertobat berarti meninggalkan cara hidup lama dan menggantinya dengan cara hidup baru. Bagaimana pertobatan itu dapat kita laksanakan secara konkret? Pertobatan itu dapat diungkapkan antara lain dengan mengaku dosa atau menerima Sakramen Tobat. Mengakui bahwa diri kita berdosa membutuhkan kerendahan hati dan kejujuran dan tidak selalu mudah, karena kita cenderung menganggap diri bersih, tidak bersalah, dan sempurna. Sambil mengakui dosanya orang-orang dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan. Pengakuan dosa pada jaman Yohanes dahulu bukanlah Sakramen Pengakuan Dosa, seperti sekarang ini. Kini, kita menerima rahmat pengampunan dari Kristus, dengan menerima Sakramen Tobat. Untuk dapat menerima sakramen pengampunan, diperlukan kerendahan hati dan kejujuran untuk mengakui segala dosa kita.
Kritik yang diberikan oleh Yohanes terhadap orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki, sungguh baik kalau kita perhatikan. Mereka mengira sudah pasti selamat sebab menjadi bangsa terpilih, menjadi keturunan Abraham. Bukankah di antara kita juga sering timbul pemikiran serupa? Dengan dibaptis kita merasa dijamin selamat, pasti masuk sorga. Padahal yang penting adalah hidup kita, bukan pertama-tama karena baptisan.
Banyak orang mengira bahwa pertobatan itu hanyalah terletak di dalam perasaan saja, sehingga harus diwujudkan dengan linangan air mata. Perasaan memang bisa membantu pertobatan, tetapi bukan ukuran sebuah pertobatan. Pertobatan harus tampak dalam perubahan cara berpikir, cara hidup, dan cara bertingkah laku. Dengan kata lain pertobatan harus berbuah, yaitu berupa tingkah laku baru dan cara hidup baru. Buah pertobatan harus tampak dalam hidup bersama maupun hidup pribadi. Wujud dan bentuk konkret pertobatan tidaklah dalam diri setiap orang.
Mungkin Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma ini bisa menjadi inspirasi kita. Paulus mengajak umat saling tolong menolong; yang kuat membantu yang lemah. Agar setiap orang jangan hanya mencari kesenangannya sendiri tetapi mau memikirkan kebutuhan orang lain. Hendaknya kita bisa hidup rukun dengan orang lain, selalu mengusahakan kesatuan dengan orang lain. Semua tadi hanya mungkin terlaksana kalau kita berani bertobat, memerangi egoisme, nafsu mau menang dan berkuasa, mau dan berani menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain. Seperti halnya Kristus telah berkenan menjadi pelayan bagi semua orang.
Agar pertobatan berbuah, kita harus bersatu dengan Kristus, sebab terlepas atau terputus hubungan dengan Kristus akan menjadi layu dan kering, tidak menghasilkan buah. Hal ini sangat jelas dikemukakan oleh Yesus dalam perumpamaan tentang pokok anggur (Yoh 15:4). Maka dari itu pertobatan sejati hanya mungkin terjadi kalau manusia selalu memperhatikan pula komunikasi dengan Tuhan yang terjadi dalam doa. Hal ini juga tampak dalam cara dan gaya hidup Yohanes Pembaptis yang tinggal di padang gurun, di tempat yang sunyi untuk berdoa, berkomunikasi secara lebih intensif dengan Tuhan. Masa adven hendaklah kita isi dengan doa-doa yang lebih intensif dan lebih banyak daripada biasanya.***
Liturgi Hari ini: MINGGU ADVEN II, 4 DESEMBER 2016…. Klik di sini!!