KEIKHLASAN DAN KERENDAHAN HATI (Renungan 21 Juni 2017)
Rabu, 21 Juni 2017 (Pw. Santo Aloysius Gonzaga, Biarawan)
Bacaan: 2Kor 9:6-11; Mzm 112: 1-2, 3-4, 9; Mat 6:1-6, 16-18
KEIKHLASAN DAN KERENDAHAN HATI
Pada suatu waktu saya pernah tinggal selama beberapa hari di Pertapaan Trappist Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Kesan saya selama tinggal beberapa saat tinggal di sana adalah kagum akan suasana spiritual yang dibangun di sana. Para pertapa setiap hari berdoa dan bekerja tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi Gereja universal. Dalam suatu kesempatan ibadat, saya memohon kepada para pertapa tersebut untuk mendoakan saya agar teguh dalam pilihan hidup yang saya ambil ini. Salah satu pertapa mengatakan bahwa mereka selalu mendoakan kami dalam setiap doa yang mereka panjatkan. Tempat tinggal mereka memang tersembunyi, jauh dari kepadatan kota-kota kebanyakan di Jawa Tengah. Akan tetapi, justru mereka banyak menyumbangkan hasil usaha mereka kepada masyarakat sekitar, bahkan sampai kepada kelompok-kelompok di luar Temanggung. Mereka tidak mengejar untung dari apa yang mereka usahakan. Itu semua dilakukan dalam suasana batin yang ikhlas demi perkembangan Gereja dan masyarakat.
Melanjutkan permenungan tiga hari tentang keikhlasan, saya ingin mengajak saudara-saudari terkasih untuk merenungkan keikhlasan dan kerendahan hati. Dalam bacaan pertama, Paulus mengajak jemaat Korintus untuk memiliki keikhlasan dan kerendahan hati untuk memberikan diri dan harta yang dimilikinya demi pelayanan jemaat. Paulus membandingkannya dengan tuaian: semakin banyak yang ditanam, semakin banyak yang dituai. Hal ini dapat disamakan dengan pernyataan berikut: semakin banyak yang diberi, semakin banyak yang didapatkan. Bacaan Injil hari ini juga menyiratkan hal yang sama. Tuhan memberikan pengajaran kepada kita untuk melakukan segala sesuatu dalam suasana kerendahan hati dan tidak mengejar kehormatan dan pujian khalayak ramai. Tindakan kerendahan hati tersebut ditampakkan dalam perbuatan saat memberikan sedekah (Mat 6:1-4), berdoa (Mat 6:5-6), dan berpuasa (Mat 6:16-18). Semua itu dilakukan untuk membangun hubungan dekat dengan Allah. Keikhlasan hati melakukan semua itu demi Allah adalah kunci untuk melakukan seluruh tindakan dalam hidup.
Dalam konteks Tahun Martyria yang sedang kita rayakan, kerendahan hati adalah salah satu keutamaan hidup umat Kristiani. Kita mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada kita pertama-tama bukan untuk memenuhi kepentingan diri kita sendiri, tetapi untuk kebaikan bersama. Keegoisan ditekan untuk mencegah kita melakukan tindakan jahat yang mendatangkan hal-hal buruk dalam kehidupan kita dan kehidupan bersama. Salah satu ciri yang sangat jelas apabila kita tidak mementingkan diri sendiri adalah melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya demi kepentingan banyak orang. Pendapatan bukanlah sebuah masalah, asalkan seluruh orang: keluarga dan masyarakat lingkungan sekitar dapat merasakan kesejahteraan berkat usaha yang kita perjuangkan. Di sinilah keikhlasan dan kerendahan hati tersebut tampak. Semoga kita dapat menjadi saksi Kristus yang mewujudkan keikhlasan dan kerendahan hati dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan, ajarilah kami menjadi pribadi yang ikhlas, rendah hati, dan tulus dalam setiap pekerjaan yang kami lakukan. Amin. (Fr. Benediktus Bagus Hanggoro K.)