Renungan Harian 2-5 Oktober 2017 (Frater Pra-unio Padang)
Senin, 02 OKTOBER 2017 (LUK 9:46-50):
“MENJADI YANG TERKECIL UNTUK MENJADI YANG TERBESAR”
Mengamati dinamika dunia politik negeri ini, terkadang saya terusik untuk memberi komentar. Apalagi ketika melihat foto-foto calon pemimpin suatu daerah yang asing di mata rakyat. Bagaimana mungkin mereka berani mencalonkan diri dan berharap untuk terpilih menjadi pemimpin kalau belum dikenal oleh rakyat? Maksud saya adalah cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin, jauh sebelumnya harus sudah dipikirkan dengan matang. Oleh karena itu, penting untuk merancang suatu strategi yang tepat. Salah satu strategi untuk ini adalah berusaha agar dikenal oleh rakyat atau masyarakat setempat. Berusahalah untuk memperhatikan dan melayani kebutuhan masyarakat sebanyak mungkin. Masyarakat yang mengenal diri kita lewat kebaikan-kebaikan yang dilakukan, pastilah akan memilih kita untuk menjadi pemimpinnya. Ibaratnya, menabur kebaikan dahulu barulah bersiap untuk memanen sesuatu dari sana.
Menjadi yang terbesar dapat kita bangun dengan kekuatan hati. Dengan hati yang tidak congkak, perhatikanlah orang-orang yang di sekitar kita. Bertanyalah dalam hati, apa yang mereka butuhkan? Setelah menemukan jawabannya, penuhilah kebutuhan mereka itu. Sederhana bukan? Terkadang yang menjadikan sikap ini terasa berat adalah ketertutupan hati kita. Kita tidak membuka hati untuk melihat dan memenuhi kebutuhan orang lain. Kita terlalu sombong dan tidak mau peduli. Kita merasa diri kecil kalau melayani kebutuhan orang lain. (Fr.Max)
Selasa, 03 OKTOBER 2017 (LUK 9:51:56):
“MENGHAKIMI”
Beberapa waktu yang lalu komunitas kami dihebohkan dengan kasus menyontek yang dilakukan oleh beberapa pribadi. Mendengar hal itu, saya sebagai salah seorang anggota komunitas mengomentari kasus tersebut. Ah…, keluarkan sajalah dari komunitas ini. Memalukan.
Kita masing-masing memiliki ukuran untuk memberi komentar, pandangan, bahkan menjatuhkan vonis pada pribadi yang melakukan persoalan tertentu. Kita menilai bahkan menentukan suatu hukuman berdasarkan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita yakini benar. Menjadi pertanyaan adalah apakah dengan penilaian dan sanksi yang kita berikan akan menyelesaikan persoalan?
Kerap kita menentukan suatu keputusan hanya berdasarkan pada emosi sesaat, latar belakang seseorang, tindakan yang dilakukan. Kita lupa bahwa seburuk apapun orang lain dalam pandangan kita, selalu memeliki peluang untuk menjadi lebih baik. Menghakimi orang lain berdasarkan emosi, latar belakang, dan tindakan yang dilakukan oleh orang lain terkadang membutakan mata hati kita dan membunuh peluang orang lain untuk berkembang.
Fr.Max
Rabu, 4 Oktoer 2017(Bacaan Neh 2:1-8, Luk 9:57-62)
APA TUJUAN HIDUP KITA?
Apa tujuan hidup kita? Tujuan hidup kita ialah mengikuti Tuhan untuk melakukan kasih kepada sesama. Melakukan kasih kepada sesama merupakan suatu tindakan yang tidak mudah untuk dilakukan. Misalnya, kita sangat sulit untuk mengampuni orang yang menyakiti kita. Kita sangat sulit untuk menerima dengan sabar orang yang menyusahkan kita. Kita juga tidak mau untuk mengunjungi orang yang dipenjara. Untuk menjadi seorang Kristen seseorang harus mau menyangkal dirinya, demi memberikan tempat yang utama kepada Tuhan. Caranya ialah mau berbuat kasih kepada sesama.
Menjadi pengikut Kristus tidaklah mudah. Mengapa? Kerena mengikuti Yesus banyak tuntutannya. Injil hari ini menegaskan kepada kita bahwa orang yang dipanggil Yesus untuk mengikutinya ternyata gagal mengikuti Yesus. Ungkapan “ izinkanlah aku pergi dahulu, menguburkan bapaku” mau menunjukkan keterikatan seseorang pada hal lahiriah. Seseorang baru mau mengikuti Yesus sesudah pekerjaan pokoknya selesai.
Harapan Yesus ialah agar setiap orang mau mengikutinya. Tidak terikat pada hal-hal lahiriah. Pengikut Yesus harus berani melepaskan ikatan duniawi seperti yang diperbuat Yesus sendiri. Mari belajar dari St Fransiskus Asisi yang kita peringati hari ini. St Fransiskus adalah anak seorang saudagar kaya di Asisi. Ia puas dengan kekayaan teladan dan cara hidup Yesus, ia ingin menjadi miskin dan hina dina seperti Kristus. karena kepuasan teladan dan car hidup Yesus, ia rela meninggalkan rumah ayahnya, melepaskan harta warisannya dan menjadi miskin dan hina.
Apakah kita mau meninggalkan keterikatan kita pada hal lahiriah dan mau mengikuti Yesus? (Fr Anselmus Tampubolon)
Kamis, 5 Oktober 2017 (Bacaan Neh 8:1-4a, 5-6, 7b-12 ; Luk 10:1-12)
SIAPA YANG MAU JADI PASTOR?
Dalam kegiatan Hari Minggu Panggilan bersama dengan Anak Sekami dan BIR, saya bertanya kepada anak laki-laki. “siapa yang mau menjadi pastor?” dari sekian anak laki-laki, hanya satu anak yang tunjuk tangan. Saya juga bertanya kepada anak perempuan, “siapa yang mau menjadi suster?” dari sekian banyak anak perempuan hanya dua orang yang tunjuk tangan.
Pertanyaan untuk kita, mengapa minat untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati semakin berkurang?
“Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Luk 10:2). Kita semua menyadari bahwa panggilan menjadi imam, biarawan dan biarawati mulai menurun. Apa yang bisa dan harus kita lakukan supaya kaum muda tertarik untuk menjawab panggilan Tuhan menjadi imam, biarawan dan biarawati? Caranya ialah berdoa kepada Tuhan supaya benih panggilan itu semakin berkembang.
Minimnya minat untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati menjadi tanggungjawab keluarga-keluarga Katolik, karena keluarga yang telah dipersatukan Tuhan merupakan tempat yang pertama dan utama tumbuhnya iman anak dan tumbuhnya benih panggilan dalam diri anak. Keluarga mendidik anak supaya mampu untuk berdoa. Keluarga mendidik anak supaya aktif dalam kehidupan menggereja. Dengan berdoa dan aktif dalam kegiatan menggereja dapat menumbuhkan benih panggilan dalam diri anak.
Marilah sebagai keluarga Katolik menumbuhkan benih panggilan dalam keluarga kita masing-masing. Marilah kita juga berdoa kepada Tuhan supaya semakin banyak kaum muda yang terpanggil untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati. (Fr Anselmus Tampubolon)