NATAL BERARTI PERUTUSAN (Renungan Malam Natal, 24 Desember 2015)

NATAL BERARTI PERUTUSAN
Malam Natal (24 Desember 2015)
Yes 9:1-2a,2b,11-13; Tit 2:11-14;
Luk 2:1-14

MENGAPA SEORANG bayi ketika dilahirkan langsung menangis? Mungkin ini pertanyaan aneh, namun dapat dipakai sebagai titik tolak permenungan pada malam Natal ini. Dalam rangka permenungan iman, kita pun akan mencoba mencari jawaban pertanyaan itu. Setelah kelahirannya, tangis bayi masih akan terus terdengar. Kalau lapar, haus, sakit, takut, butuh sesuatu, badan dan perasaannnya tidak nyaman bayi bisanya menangis. Tangis adalah suatu bahasa yang penuh makna. Salah satu makna tangisan bagi manusia adalah pernyataan diri sebagai orang ringkih, lemah. Bayi tidak dapat hidup tanpa pertolongan atau kasih orang lain. Bayi membutuhkan waktu yang lama sekali untuk menjadi dewasa. Proses pendewasaan ini tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak berada dalam lingkungan yang baik pula.

Dengan demikian kelahiran Yesus sebagai bayi dari satu pihak menyadarkan kita akan keadaan yang ringkih. Di pihak lain menyadarkan kita akan kemampuan untuk memberikan kasih agar bayi (sesama) berkembang menjadi dewasa dan utuh. Galilea dalam suatu masa menjadi daerah “gelap”. Penduduknya diangkut ke pembuangan Asiria, tempat itu dimasukkan orang-orang dari bangsa lain yang tidak beribadah kepada Allah. Hidup umat terpilih menjadi “kelam” ketika mereka tidak dapat lagi hidup sambil menunaikan ibadah yang sejati kepada Allah. Namun keadaan ringkih dan lemah itu bukan keadaan yang tanpa pengharapan. Tuhan semesta alam akan mengubah keadaan dan membuat umat-Nya diliputi suka-cita dan damai sejahtera sejati.

 Dalam kitab nabi Yesaya, sukacita dan damai sejahtera itu akan diwujudkan oleh seorang anak. Oleh penulis Injil, pernyataan ini dimengerti sebagai janji, yang pemenuhannya terjadi pada peristiwa kelahiran Yesus. Pada waktu itu malaikat menyatakan kepada gembala, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud” (Luk 2:11). Ternyata Sang Juruselamat, yang datang untuk mengangkat manusia dari kegelapan dan kekelaman hidupnya, tidak tampil dalam gemerlap sebagaimana digambarkan oleh nabi Yesaya. Kelahiran Yesus diceritakan sangat singkat dan sederhana, “… dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7).

Sang Juruselamat sendiri menjadi ringkih dan lemah. Dalam surat kepada umat di Korintus Santo Paulus menulis, “Ia,  yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya. Dengan kata lain, Sang Juruselamat telah menjadi manusia seperti kita. Ia solider dengan manusia dalam keadaannya yang  ringkih dan lemah. Ia tidak mengangkat  manusia dari kegelapannya dari luar, melainkan dari dalam. Jalan ini ditempuh-Nya dengan konsekwen, dengan penderitaan dan wafat disalib, tempat puncak cinta-Nya kepada manusia dan kesetiaan-Nya kepada Allah.

Hari kelahiran Yesus adalah hari pengharapan, karena kita yang ringkih dan lemah mendapatkan damai sejahtera sejati. Natal adalah hari kegembiraan,  karena Allah berkenan menyatakan kasih karunia-Nya dalam diri Yesus. Kecuali itu Natal juga berarti perutusan kepada kita untuk membuat kasih karunia Allah tampak dan dialami semua orang. Dengan demikian, semakin banyak pula orang yang hidup dalam pengharapan dan sukacita, sehingga menikmati damai sejati.

Tinggalkan Balasan