MENJADI PELAKU KEHENDAK KRISTUS (RENUNGAN MINGGU BIASA XXV, 20 SEPTEMBER 2015)
MENJADI PELAKU KEHENDAK KRISTUS
Hari Minggu Biasa XXV (20 September 2015)
Keb 2:12,17-20; Yak 3:16-4:3;
Mrk 9:30-37
DALAM BACAAN hari Minggu ini mencuat persoalan di sekitar murid Yesus pada masa lalu yang juga relevan pada masa kini. Persoalan itu berkaitan dengan gengsi, ambisi, iri, persaingan, pertengkaran, dan permusuhan. Para rasul saat itu bertengkar mengenai siapa yang terbesar di antara mereka. Di situ kelihatan bahwa mereka sama sekali tidak menangkap maksud Yesus yang baru saja meramalkan kesengsaraan-Nya. Mereka selalu berpikir tentang kehormatan dan kedudukan tinggi. Mereka mengira dengan mengikuti Yesus akan mendapat pangkat dan kedudukan terhormat. Sampai-sampai ada yang berani minta supaya dalam kemuliaan-Nya kelak boleh duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus (Mrk 10:37).
Yesus menjungkirbalikkan segala norma dan pikiran para murid-Nya. Menurut Yesus, kalau mereka ingin menjadi terbesar, harus menjadi pelayan; yang ingin menjadi terkemuka, harus membuat dirinya menjadi hamba (Mrk 10:43-44). Norma-norma dunia tidak berlaku bagi Yesus dan kerajaan-Nya. Gengsi dan ambisi tidak ada bagi Yesus. Ia pun melakukan kehendak Bapa-Nya sampai mati, tanpa mencari hormat. Sikap seperti yang dilakukan Yesus itu tidak masuk akal bagi para rasul. Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan pula menanyakannya kepada-Nya. Mereka malu dan tidak mau mengaku bahwa sebetulnya bodoh dan tidak menangkap maksud dan tujuan Yesus. Mereka mengikuti-Nya, tetapi untuk tujuan mereka sendiri, yaitu supaya menjadi orang gede dan berpangkat.
Ambisi dan gengsi dengan sendirinya menimbulkan rasa iri dan persaingan. Ketika Yakobus dan Yohanes minta supaya boleh duduk sebelah kanan dan kiri Yesus, kesepuluh murid yang lain menjadi marah. Ternnyata orang yang ambisius tidak dapat menerima orang lain lebih tinggi daripada dirinya. Sama halnya orang yang iri hati dan mementingkan diri, akan cenderung mementingkan diri dan mencari kehormatan bagi dirinya sendiri, dan iri melihat orang lain lebih terhormat daripada dirinya. Akibat dari rasa iri bisa dilihat pada imam-imam kepala yang menyerahkan Yesus karena khawatir disaingi Yesus. Hal itu semakin nyata saat di pengadilan, baik di Mahkamah Agung dan di hadapan Pilatus mereka mencari-cari alasan untuk menjerat Yesus.
Sikap seperti itu kadang masih dapat kita jumpai dalam kehidupan jemaat di masa kini. Ada yang yang melayani Gereja, tetapi hatinya tidak tulus dan ada pamrihnya. Orang yang bersikap seperti ini, akan mudah menemui kekecewaan. Maka Yakobus mendesak supaya para murid mencari keutamaan yang benar-benar cocok untuk murid Kristus, yaitu: pendamai, peramah, penurut, dan berbelas-kasih. Mereka mesti bersih, tidak memihak dan tidak munafik, tidak membuat trik untuk mencari muka dan kuasa. Dalam mencari kehendak Kristus dan kebaikan bersama oleh Santo Yakobus kita digiring pada upaya mencari kebenaran dan kedamaian pada sesama. Damai adalah tanda bahwa kita berasal dari Allah. Kebenaran itu bukan sesuatu yang individual, tetapi mesti dihayati dan dilaksanakan dalam hidup bersama.