Renungan Sabtu, 25 Juni 2016 dan Minggu, 26 Juni 2016 Oleh Fr. Jon Mezer

Sukacita Bagi yang Percaya

Renungan Sabtu, 25 Juni 2016
Rat. 2:2.10-14.18-19; Mzm. 74:1-2.3-5a.5b-7.20-21
Mat 8:5-17; BcO Neh 2:9-20

Pewartaan yang disampaikan oleh Yesus dalam karyaNya adalah sukacita bagi semua orang, baik dari kalangan bawah sampai kalangan atas dan bukanlah pewartaan yang bersifat komunal atau memonopoli kelompok tertentu saja. Pewartaan yang disampaikan oleh Allah bertujuan untuk menyapa segenap manusia dan menyelamatkan. Orang yang telah menyadari karya Allah dalam dirinya dimampukan untuk menyalurkan sukacita tersebut kepada sesama dan tidak hanya merasakan sukacita itu dalam dirinya sendiri. Karena salah satu aspek sukacita adalah terbuka bagi semua orang. Membagikan sukacita dengan sepenuh hati, maka sukacita itu tidak akan pernah habis.

 Saudara-saudari terkasih, injil hari ini menceritakan tentang penyembuhan. Seorang perwira yang datang menjumpai Yesus dan memohon kepadaNya agar menyembuhkan hambanya yang sakit lumpuh dan sangat menderita. Tindakan yang dilakukan oleh Yesus menunjukkan ketersediaan dan keterbukaan hatiNya bagi yang berharap dan percaya akan Dia. ia memiliki keyakinan yang penuh akan kesembuhan hambanya. Dia dipuji karena imannya, yang belum pernah dijumpai oleh Yesus diantara orang israel. Tindakan yang dilakukan Yesus kepada hamba perwira tersebut juga Ia lakukan kepada mertua Petrus. Pelayanan Yesus menunjukkan agar semua orang sungguh merasakan kasih Allah, sehingga yang terjadi dapat dikuatkan dan disegarkan dalam kehidupan. Bukti nyata atas ucapan terimakasihnya terhadap penyembuhannya itu ialah ia melayani Yesus. Penyembuhan yang dilakukan Yesus adalah untuk memenuhi nubuat nabi Yesaya, bahwa Dia adalah Tuhan yang menderita bagi umatNya.

 Saudara-saudari terkasih, kerapkali dalam kehidupan kita sehari-hari kita kurang mampu untuk membagikan sukacaita bagi setiap orang yang kita jumpai dalam bentuk tolong-menolong. Terkadang kita membagikan sukacita itu hanya kepada mereka yang kita kenal dekat. Sanggupkah kita membagikan sukacita itu di luar diri kita kepada mereka yang kurang diperhatikan. Bagaimana usaha tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari dapat kita hidupi dalam hidup ini, seperti halnya dalam keluarga, antara orangtua dan anak saling bekerjasama membangun keluarga yang damai. Dalam sekolah, bagaimana usaha kita membantu teman-teman kita yang sedang kesusahan dalalm belajar. Apakah melakukannya dengan tulus ikhlas. “Bantuan, meski kecil sangat berarti bagi mereka yang membutuhkannya.”***

Mengikuti Yesus Keputusanku

Renungan Minggu, 26 Juni 2016
Iraj 19:16b.19-21; Mzm 16:1-2a.5.7-8.9-10.11
Gal 5:1.13-18; Luk 9:51-62; BcO Neh 4:1-23

“Ketika manusia mencapai titik evaluasi tertinggi, manusia tidak perlu siapa-siapa kecuali BapaNya.” Langkah Yesus menuju Yerusalem merupakan untuk memenuhi rencana Allah. Tuhan sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi padaNya pada saat di Yerusalem, tapi karena cinta BapaNya kepada Yesus, ia rela memberikan diriNya bagi tebusan banyak orang demi suatu kemuliaan. Kita pun dituntut seperti Yesus, bahwa untuk sampai kepada kebahagiaan harus melewati salib (cobaan dan tantangan) yang kita pikul. Resiko menjadi murid Kristus ialah perjalanan, suatu pertualangan dimana dalam perjalanan kita sebagai murid Kristus mempercayakan arah perjalanan kita kepada sang Guru

Sikap yang dilakukan orang-orang samaria kepada orang-orang yahudi yakni permusuhan. Hal itu tampak dalam pribadi Yesus yang adalah orang yahudi juga. Tetapi justru Yesus bersikap lain dan memberitahu kepada beberapa muridNya untuk tidak emosi melainkan sabar terhadap perilaku yang membenci dan memusuhi kita. Menjadi murid, berarti siap mengikuti sang Guru dengan segala tuntutan untuk tidak mundur ketika kita telah mengikuti Yesus. Untuk menjadi murid Yesus, kita harus bergumul dengan yang terjadi.

Takkala dalam mengikuti Yesus kita mengalami tantangan dalam sebuah proses. Proses yang terentang dalam perjalanan. Menjadi pengikit Yesus berarti berada dalam jati diri Yesus. Setiap diri kita dituntun, dituntut untuk tinggal bersama Dia. Dalam realitas yang kita alami dalam hidup sehari-hari kita takkala pernah mengalami yang namanya penolakan. Penolakan yang tidak hanya datang dari mereka yang memusuhi kita, tetapi juga dari mereka yang dekat dengan kita, seperti halnya yang dialami oleh Yesus. Kita diejek, dicela dan difitnah. Maka yang dituntut dari kita ialah belajar dari Yesus, yakni dengan sabar, rendah hati, mengampuni dan berdoa bagi mereka yang membenci kita. Untuk mencapai itu semua diperlukan dari kita ialah harus membangun hidup kita bersama Yesus dengan dan melalui doa, mengasihi musuh yang membenci kita. “Sulit, bukan berarti tidak bisa melakukannya.” (Fr. Jon Mezer)

Tinggalkan Balasan