Ruang Katekese: LAODATO SI’ Peduli Terhadap Bumi – “Rumah Bersama”

Peduli Terhadap Bumi – “Rumah Bersama”

Bapa Suci Paus Fransiskus I dalam Ensiklik “Laudato Si’” (bahasa Italia), berarti “Puji Bagi-Mu” mengritik keras kon¬sume¬risme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya keru¬sakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang ter¬padu dan segera”. Ensiklik “Laodato Si” adalah ensiklik kedua Paus Fransiskus, setelah “Lumen Fidei” – Terang Iman (2013). Ensiklik ini memiliki sub-judul: “On The Care For Our Common Home” (Dalam Kepedulian untuk Rumah Kita Bersama). Ensiklik “Laudato si’” bertanggal 24 Mei 2015, dipublikasikan resmi pada 18 Juni 2015.

Bab I memuat “Apa yang terjadi dengan rumah kita?”, yakni polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilang¬nya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global, tanggapan-tanggapan yang lemah, dan keragaman pendapat. Bab II memuat “Kabar Baik Penciptaan”, terdiri dari ca¬haya yang dita¬warkan iman, hikmat cerita-cerita Alkitab, misteri alam se¬mesta, pesan setiap makhluk dalam har¬moni seluruh ciptaan, persekutuan uni¬ver-sal, tujuan umum harta benda, tatapan Yesus.

Bab III memuat “Akar Manusiawi Krisis Ekologis”, terdiri dari (1) teknologi: kreativitas dan kuasa, (2) globalisasi paradigma teknokratis, (3) krisis dan efek antroposentrisme modern – relativisme praktis, kebutuhan untuk melestarikan pekerjaan, dan teknologi biologis yang baru. Bab IV tentang “Ekologi yang Integral”, terdiri dari (1) ekologi ling¬kungan, ekonomi dan sosial, (2) ekologi budaya, (3) ekologi hidup sehari-hari, (4) prinsip kesejahteraan umum, (5) keadilan antargenerasi. Bab V tentang “Beberapa Pedoman untuk Orientasi dan Aksi”, terdiri dari (1) dialog tentang lingkungan dalam politik internasional, (2) dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal, (3) dialog dan transparansi dalam peng¬ambilan keputusan, (4) politik dan ekonomi dalam dialog untuk pemenuhan manu¬sia, (5) agama-aga¬ma dalam dialog dengan ilmu.

Bab VI, tentang “Pen¬didikan dan Spiritualitas Ekologi”, terdiri dari (1) menuju gaya hidup yang baru, (2) pendidikan untuk perjanjian antara manusia dan lingkungan, (3) pertobatan ekologis, (4) kegembiraan dan damai, (5) cinta dalam bidang sipil dan politik, (6) tanda-tanda sakramental dan istirahat yang dirayakan, (7) Allah Tritunggal dan hubungan antara ma¬khluk, (8) Ratu seluruh dunia ciptaan, (9) Melampaui matahari.

Melalui ensiklik ini, Paus Fransiskus mengajak umat manusia turut prihatin atas situasi bumi dan dunia ciptaan Allah saat ini; serta semakin banyak orang untuk semakin memiliki kepedulian terhadap bumi dan segenap alam ciptaan serta umat manusia.

1. “Laudato Si ‘, Mi’ Signore” – “Terpujilah Engkau, Tuhanku” dalam nyanyian indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan bahwa rumah kita bersama adalah seperti  seorang saudari yang dengannya kita berbagi hidup, dan seperti seorang ibu yang menawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuap dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”. 

2. Saudari ini (bumi) sekarang menjerit karena kerusakan yang telah ditimpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab telah menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita sampai berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan. Dia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin “ (Rom 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri adalah debu tanah (Kej 2: 7); tubuh kita sendiri tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.

Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak kita hiraukan
3. Ketika dunia terhuyung di ambang krisis nuklir, Paus Santo Yohanes XXIII menulis ensiklik yang tidak hanya menolak perang, tetapi menawarkan proposal perdamaian. Dia mengalamatkan pesan Pacem in Terris kepada seluruh manusia yang berkehendak baik. Dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium , saya menulis kepada semua anggota Gereja dengan tujuan mendorong pembaharuan misioner yang berkelanjutan. Dalam Ensiklik ini, saya ingin masuk ke dalam dialog dengan semua orang tentang rumah kita bersama.

4. Tahun 1971, delapan tahun setelah Pacem in Terris , Beato Paus Paulus VI berbicara tentang masalah ekologi sebagai “akibat tragis” dari aktivitas manusia yang tak terkendali: “Karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil risiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini “.  Paus telah berbicara demikian juga kepada Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kemungkinan “bencana ekologis sebagai akibat peradaban industri”, dan menekankan ” kebutuhan mendesak akan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia “, karena” kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral yang otentik, akhirnya akan berba lik melawan manusia “. 

5. Santo Yohanes Paulus II menjadi semakin khawatir akan masalah ini. Dalam Ensikliknya yang pertama ia memberi peringatan bahwa manusia tampaknya sering “tidak melihat makna lain dalam lingkungan alam daripada yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi”. Selanjutnya, ia menyerukan pertobatan ekologis global.  Pada saat yang sama, ia mencatat bahwa hampir tak ada usaha untuk “menjaga syarat-syarat moral bagi suatu ekologi manusiawi yang otentik”. Penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, bukan hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia , tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan hadiah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk degradasi. Setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita memerlukan perubahan besar dalam “gaya hidup, pola produksi dan konsumsi, dan struktur kekuasaan yang saat ini mendominasi masyarakat dunia”.  Pengembangan manusia yang otentik memiliki sifat moral. Ini mengandaikan penghormatan penuh terhadap pribadi manusia, tetapi juga harus peduli terhadap dunia di sekitar kita dan “mempertimbangkan sifat setiap makhluk dan hubungan satu sama lain dalam suatu sistem yang tertata”.  Dengan demikian, kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus dilakukan berdasarkan semuanya yang telah diberikan Allah sejak semula. 

6. Demikian juga pendahulu saya Benediktus XVI mengajak “untuk menghapus sebab-sebab struktural dari salah-langkah ekonomi dunia dan mengoreksi model-model pertumbuhan yang ternyata tidak mampu menjamin penghormatan terhadap lingkungan”.  Ia mengingatkan bahwa dunia tidak dapat dianalisis dengan mengisolasi hanya satu aspeknya, karena “buku alam adalah satu dan tak terpisahkan” dan mencakup lingkungan, hidup, seksualitas, keluarga, hubungan sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu “kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang membentuk koeksistensi manusia”.  Paus Benediktus meminta kita untuk mengakui bahwa lingkungan alam telah rusak parah oleh perilaku yang tidak bertanggung jawab. Lingkungan sosial juga mengalami kerusakan. Kita telah melupakan bahwa “manusia bukan hanya kebebasan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Dia adalah roh dan kehendak, tetapi juga alam “.  Dengan kepedulian seorang bapa, Benediktus mendesak untuk menyadari bahwa dunia ciptaan dirugikan, ketika “kita sendiri memiliki kata akhir, semuanya hanya milik kita – digunakan untuk diri sendiri saja”. Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika kita tidak lagi mengakui yang lebih tinggi daripada diri kita, ketika kita tidak melihat apa pun kecuali diri sendiri “. 

Dipersatukan oleh Keprihatinan yang Sama

7. Pernyataan beberapa Paus ini menggemakan refleksi banyak ilmuwan, filsuf, teolog dan kelompok-kelompok sipil, yang semuanya telah memperkaya pemikiran Gereja tentang soal-soal ini. Di luar Gereja Katolik, Gereja dan komunitas Kristen lain – dan agama-agama lain juga – telah menyatakan keprihatinan yang mendalam dan menawarkan refleksi yang berharga tentang isu-isu yang menjadi keprihatinan semua. Contoh yang mencolok sumbangan yang diberikan oleh Patriarkh Ekumenis Bartolomeus, yang dengannya kami berbagi harapan akan persekutuan gerejawi penuh.

8. Patriarkh Bartolomeus telah berbicara khususnya tentang perlunya kita bertobat dari cara membawa kerugian kepada planet ini. “Sejauh kita semua menyebabkan kerusakan ekologis kecil”, kita dipanggil untuk mengakui “kontribusi kecil atau besar, kepada luka-luka dan kerusakan alam ciptaan “.  Ia sudah berulang kali menyatakan ini dengan tegas dan meyakinkan, sambil menantang untuk mengakui dosa-dosa kita terhadap dunia ciptaan: “Bila manusia … menghancurkan keanekaragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengurangi keutuhan bumi dengan menyebabkan perubahan iklim, dengan menggunduli tanah dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahannya yang basah; bila manusia mencemari perairan di bumi, tanahnya, udaranya, dan hidupnya – semuanya ini adalah dosa “. Sebab “kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri sendiri dan dosa terhadap Allah.” 

9. Pada saat yang sama, Bartolomeus telah menarik perhatian kepada akar etis dan spiritual masalah lingkungan hidup, yang mengharuskan kita mencari solusi tidak hanya dalam teknologi tetapi dalam perubahan manusia; kalau tidak, kita akan menangani gejala-gejala saja. Dia minta kita untuk mengganti konsumsi dengan pengorbanan, keserakahan dengan kemurahan hati, pemborosan dengan semangat berbagi, sebuah asketisme yang “berarti belajar untuk memberi, dan tidak hanya berpantang. Ini adalah cara mencintai, bergerak secara bertahap dari apa yang saya inginkan menuju apa yang dibutuhkan dunia Allah. Ini adalah pembebasan dari rasa takut, keserakahan dan ketagihan”. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil “menerima dunia sebagai sakramen persekutuan, sebagai cara berbagi dengan Allah dan sesama pada skala global. Dengan rendah hati kami berkeyakinan bahwa yang ilahi dan yang manusiawi bertemu dalam jaringan terhalus kain yang tak berjahit dari ciptaan Allah, dalam setitik debu planet kita “. 

Santo Fransiskus dari Assisi
10. Saya menulis ensiklik ini namanya saya ambil sebagai panduan dan inspirasi ketika saya terpilih sebagai Uskup Roma. Saya percaya bahwa Santo Fransiskus adalah contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam ekologi integral, yang dihayati dengan gembira dan otentik. Dia adalah santo pelindung dari semua orang yang mengadakan penelitian dan bekerja di bidang ekologi, dan juga sangat dicintai oleh orang-orang non-Kristiani. Dia sangat prihatin terhadap ciptaan Allah dan kaum miskin dan terbuang. Dia menyukai, dan sangat disukai karena kegembiraannya, pemberian dirinya dengan murah hati, dan keterbukaan hatinya. Dia adalah seorang mistikus dan peziarah yang hidup dalam kesederhanaan dan harmoni yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya sendiri. Dia menunjukkan kepada kita betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin.

11. Fransiskus membantu kita untuk melihat bahwa ekologi yang integral membutuhkan keterbukaan terhadap kategori-kategori yang melampaui bahasa matematika dan biologi, dan membawa kita kepada esensi manusia. Sama seperti yang terjadi ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, setiap kali Fransiskus menatap matahari, bulan atau bahkan binatang terkecil, mulai bernyanyi, sambil mengikutsertakan semua makhluk lain dalam pujiannya. Dia berkomunikasi dengan semua ciptaan, bahkan berkhotbah kepada bunga-bunga, mengundang mereka “untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka dikaruniai akal budi “.  Tanggapannya terhadap dunia di sekelilingnya jauh melebihi apresiasi intelektual atau perhitungan ekonomi, karena baginya setiap makhluk adalah seorang saudari yang bersatu dengannya oleh ikatan kasih sayang. Itu sebabnya ia merasa terpanggil untuk melindungi semua yang ada. Muridnya Santo Bonaventura memberitahu bahwa “segala sesuatu memiliki asal usul yang sama, ia merasa dirinya dipenuhi dengan kelembutan makin besar dan memanggil semua makhluk, tidak peduli seberapa kecil, dengan nama ‘saudara’ atau ‘saudari”. 
Keyakinan seperti itu tidak dapat diremehkan sebagai roman­tisme yang naif, sebab berdampak atas pilihan-pilihan yang menen­tukan perilaku kita. Jika kita mendekati alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk terkagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dalam bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya saja, tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan mendesaknya. Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka keugaharian dan kepedulian akan timbul secara spontan. Kemiskinan dan kesederhanaan dari Santo Fransiskus bukanlah asketisme yang hanya lahiriah, tetapi sesuatu yang jauh lebih radikal: ia menolak membalikkan realitas menjadi objek yang hanya untuk digunakan dan dikendalikan.

12. Santo Fransiskus, yang setia kepada Alkitab, mengajak kita untuk melihat alam pun sebagai sebuah kitab yang sangat indah. Di dalamnya Allah berbicara dan memberi sekilas pandangan tentang keindahan dan kebaikan-Nya yang tanpa batas. “Dari kebesaran dan keindahan benda-benda ciptaan, tampaklah gambaran tentang Khalik mereka” (Keb 13: 5); memang, “kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat tampak dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan” (Rm 1:20). Itulah sebabnya, Fransiskus meminta agar sebagian taman biara selalu dibiarkan tidak diolah, sehingga bunga dan tumbuhan yang liar bisa tumbuh di situ, dan orang-orang yang melihatnya dapat mengangkat budi mereka kepada Allah, Pencipta keindahan itu.  Daripada menjadi masalah yang harus dipecahkan, dunia merupakan misteri yang menggembirakan untuk direnungkan dengan sukacita dan pujian. 

Seruan Bapa Suci Paus Fransiskus

13. Tantangan yang mendesak untuk melindungi bumi – rumah kita bersama mencakup upaya untuk menyatukan seluruh keluarga manusia guna mencari suatu pembangunan yang berkelanjutan dan integral, karena kita tahu bahwa perubahan itu adalah mungkin. Sang Pencipta tidak meninggalkan kita; Ia tidak pernah meninggalkan rencana kasih-Nya atau menyesal telah menciptakan kita. Umat manusia masih memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam membangun rumah kita bersama. Di sini saya ingin mengakui, memberi dorongan, dan berterima kasih kepada semua orang yang dalam pelbagai bidang aktivitas manusia yang sangat beraneka ragam, berjuang untuk menjamin perlindungan rumah yang kita bagi. Apresiasi khusus perlu diberikan kepada mereka yang tanpa lelah berusaha untuk mengatasi efek tragis degradasi lingkungan untuk kehidupan orang-orang termiskin di dunia. Orang-orang muda menuntut perubahan. Mereka bertanya-tanya bagaimana orang bisa mengklaim membangun masa depan yang lebih baik tanpa memikirkan krisis lingkungan hidup dan penderitaan mereka yang dikucilkan.

14. Saya mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru tentang membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua. Gerakan ekologi di seluruh dunia telah membuat kemajuan besar dan berhasil dalam pembentukan berbagai organisasi yang berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran tantangan-tantangan ini. Sayangnya, banyak upaya untuk mencari solusi konkret untuk krisis lingkungan mengalami kegagalan, tidak hanya karena perlawanan dari mereka yang kuat, tetapi juga karena kurangnya minat dari yang lain. Sikap yang menghalangi, bahkan dari pihak orang-orang beriman, dapat berkisar dari penyangkalan masalah sampai dengan ketidakpedulian, pasrah dengan acuh tak acuh, atau kepercayaan buta terhadap solusi teknis. Kita membutuhkan solidaritas yang baru dan universal. Sebagaimana telah dinyatakan uskup-uskup Afrika Selatan: “…bakat dan komitmen setiap orang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh penyalahgunaan manusia terhadap ciptaan Allah.” “.  Kita semua dapat bekerja sama sebagai instrumen Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri.

15. Paus Fransiskus berharap ensiklik ini, yang bersambung dengan ajaran sosial Gereja, dapat membantu untuk mengakui besarnya, urgensi, dan indahnya tantangan yang kita hadapi. Saya akan mulai dengan meninjau secara singkat beberapa aspek dari krisis ekologi saat ini, dengan maksud menimba dari hasil terbaik penelitian ilmiah yang tersedia saat ini, membiarkan mereka menyentuh kita secara mendalam dan memberi kita landasan konkret untuk perjalanan etis dan spiritual yang menyusul. Dari situ saya akan mempertimbangkan beberapa gagasan yang diambil dari tradisi Yahudi-Kristen yang dapat memberi lebih banyak koherensi kepada komitmen kita terhadap lingkungan hidup. Saya kemudian akan mencoba untuk sampai kepada akar situasi sekarang, untuk mempertimbangkan bukan hanya gejala-gejalanya tetapi juga penyebab-penyebabnya yang terdalam. Ini akan membantu untuk menawarkan suatu ekologi yang menghormati tempat unik kita sebagai manusia di dunia ini dan hubungan kita dengan lingkungan kita. Dalam terang refleksi ini, saya akan mengajukan beberapa garis besar untuk dialog dan tindakan yang akan melibatkan kita masing-masing sebagai individu, dan juga menyangkut politik internasional. Akhirnya, karena saya yakin bahwa perubahan tidak mungkin tanpa motivasi dan proses pendidikan, saya akan menawarkan beberapa panduan untuk pembinaan manusia yang mengambil ilham dari perbendaharaan pengalaman spiritual Kristiani.

16. Meskipun setiap bab memiliki temanya sendiri dan metodologi khusus, juga ada pertanyaan -pertanyaan penting yang telah dibahas sebelumnya, yang akan diangkat dan diselidiki kembali dalam bab-bab berikut dari sudut lain. Hal ini terutama berlaku untuk sejumlah tema yang akan muncul kembali dalam seluruh Ensiklik. Sebagai contoh, hubungan erat antara kaum miskin dan kerapuhan planet, keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia terhubung, kritik terhadap paradigma dan bentuk-bentuk baru kekuasaan yang berasal dari teknologi, ajakan untuk mencari cara lain memahami ekonomi dan kemajuan, nilai intrinsik setiap makhluk, makna ekologi yang manusiawi, kebutuhan akan perdebatan yang tulus dan jujur, tanggung jawab besar politik internasional dan lokal, budaya ‘membuang’, dan usulan akan gaya hidup baru. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah akan ditutup dan ditinggalkan, tetapi terus-menerus diangkat lagi dan diperkaya. *** (GEMA)

Tinggalkan Balasan