SANTO GILES (1 September)
Giles dilahirkan di Athena, Yunani. Ketika orangtuanya meninggal dunia, ia mempergunakan banyak warisan yang mereka tinggalkan untuk menolong orang-orang miskin. Bukan karena itu saja, tetapi karena Tuhan mengadakan banyak mukjizat dengan perantaraannya, Giles tumbuh menjadi seorang pemuda yang amat dikagumi. Giles tidak menghendaki pujian dan kemashyuran ini sama sekali.
Oleh sebab itu, agar dapat melayani Tuhan dalam hidup yang tersembunyi, ia meninggalkan Yunani dan berlayar ke Perancis. Di sana, ia hidup seorang diri dalam kegelapan hutan. Ia membuat tempat tinggal dalam sebuah gua di balik semak belukar yang rimbun. Giles hidup tenang di sana, aman dari bahaya kesombongan ketika mendengar dirinya dipuji.
Tetapi, suatu hari seorang raja dan para pengawalnya pergi berburu ke hutan itu. Mereka mengejar kijang yang biasa datang ke gua dimana Giles tinggal. Kijang itu lenyap dari pandangan mereka dan masuk ke dalam gua Giles yang tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun. Salah seorang pengawal membidikkan anak panah ke rerimbunan semak, dengan harapan anak panah itu mengenai si kijang. Ketika mereka menyibak semak belukar, mereka mendapati Giles duduk terluka oleh anak panah.
“Siapakah engkau dan apa yang engkau lakukan di sini?”, tanya Sang Raja. Santo Giles menceritakan kisah hidupnya kepada mereka. Setelah mendengarnya, mereka mohon pengampunan. Raja mengutus para tabibnya untuk merawat luka santo kita. Meski Giles memohon agar ditinggalkan seorang diri, raja sungguh merasa kagum kepadanya hingga raja kerap datang menjenguknya. Giles tidak pernah menerima hadiah-hadiah raja. Tetapi, pada akhirnya, ia setuju raja mendirikan sebuah biara besar di sana. Giles menjadi pemimpin biaranya yang pertama. Biara ini menjadi begitu terkenal hingga seluruh kota datang ke sana. Ketika Santo Giles wafat, makamnya di biara menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi para peziarah. Gereja merayakan hari pestanya setiap 1 September.
Saudara-saudari yang terkasih! “Tuhan tidak mengukur kemurahan hati kita dengan berapa banyak yang kita berikan, melainkan berapa banyak yang kita tinggalkan”, demikian diungkapkan Uskup Agung Fulton Sheen.