SUKU TALANG MAMAK: GEREJA DAN TANTANGANNYA (Majalah Gema Edisi Juli 2016)

kulit gema 2016 Juli 2Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Tahun 2016 merupakan tahun kelima puluh majalah GEMA meyapa dan membina iman umat sebagai majalah Keuskupan Padang. Melalui tangan-tangan yang terampil dan pemikiran-pemikiran yang tulus banyak orang telah berusaha menyampaikan dan membahasakan visi dan misi keuskupan melalui penerbitan majalah GEMA setiap bulannya. Dalam rangka syukur atas ulang tahun yang kelima puluh ini, tim GEMA merayakannya dengan mengadakan kunjungan singkat dan refleksi tentang iman dan kehidupan harian umat Katolik Suku Talang Mamak yang berjumlah sekitar seribuan jiwa yang tersebar di beberapa stasi Paroki St. Theresia Air Molek.

Dua puluh dua tahun yang silam, penduduk asli Suku Talang Mamak menentukan pilihannya untuk memeluk agama Katolik. Baptis massal 460 orang pada tanggal 9 April 1994 menjadi awal sejarah lahirnya Gereja di tempat ini, yang kepadanya Kristus bersabda: “Kalian ini garam dunia. Jika garam menjadi tawar, dengan apakah dapat diasinkan lagi? Tiada gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang”(Mat 5:13) atau “Kalian ini cahaya dunia. Hendaknya cahayamu bersinar di depan orang, agar mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuji Bapa di surga. (Mat 5:14a.16).

Sabda Kristus ini berisi undangan bahwa Gereja harus menjadi garam dan cahaya yang mampu mewarnai budaya, adat istiadat, hidup harian dan perjuangan nilai skala prioritas dalam hidup. Untuk melihat hal ini, tim GEMA hadir secara langsung dengan melakukan wawancara di rumah penduduk, gereja, serta masuk areal perkebunan karet. Terungkap beberapa tantangan yang harus diolah oleh Gereja setempat. Tantangan tersebut adalah masih lumrahnya perkawinan dini misalnya menikah di usia 13 tahun, pendidikan yang belum dianggap penting oleh sebagian orang misalnya masih banyak penduduk yang tidak bisa mem­baca/menulis dan anak-anak usia sekolah yang tidak tamat sekolah dasar ataupun tidak melanjutkan ke sekolah lanjutan yang lebih tinggi, penghayatan tentang sakramen yang rendah seperti mendahulukan perkawinan adat dari­pada nikah Gereja, dll. Hal ini disajikan dalam GEMA edisi kali ini.
Selamat membaca!

Menggereja di Talang Mamak

gereja siambul
Suku Talang Mamak, di Gereja Santo Antonius Desa Siambul

Hari Sabtu, Malam Paskah, 9 April 1994, momen bersejarah bagi masya­rakat Suku Talang Mamak dan umat Katolik Keuskupan Padang, khususnya di Paroki St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Air Molek, Riau. Hari itu, 460-an orang suku ini me­nya­takan diri bagian dari Gereja Katolik. Uskup Padang Mgr. Martinus D. Situ­morang, OFMCap dan Uskup Bogor Mgr. H­arsono, beserta 10 imam mem­baptis me­re­ka di teras halaman pastoran Siam­bul.

Baptisan massal ini tidak serta-merta terjadi. Sebab, masyarakat Suku Ta­lang Mamak mengenal iman Katolik sejak tahun 1985, kala berjumpa dengan P. Vitte. Tahun inilah babak awal pelayanan Gereja kepada Suku Talang Mamak yang ber­diam di perbatasan Propinsi Riau-Jambi ini. Lima tahun kemu­dian, masyarakat suku ini sung­guh-sung­­­guh membutuhkan pela­yanan yang serius. Karena keter­batasan tenaga, Keuskupan Padang me­minta ban­tuan Ordo Saudara Dina Kapusin (OFM­Cap). Sebe­lumnya Pastor Vitte Anton Raymond Jules, MEP (P. Vitte) dan P. Yakobus Sandharma Akbar, Pr telah memulai pelayanan di wilayah ini. Dengan kehadiran para imam Kapusin ini, P. Vitte dapat lebih khusus memerhatikan Suku Talang Mamak, di­bantu pastor lain, serta katekis Leonar­dus Sudarno.

Bulan Juli 1987, P. Vitte dan P. San­dharma melayani masyarakat suku ini di Desa Siambul dan sekitarnya atas permin­taan dan undangan perwa­kilan Suku Talang Mamak, Bapak Nafsun (atau di­panggil Teksun). Setelah enam tahun ‘masa perkenalan’ tersebut, perwakilan Su­ku Talang Mamak di Siambul dan seki­tarnya berkirim surat kepada Uskup Padang. Surat bertanggal 1 Desember 1993 tersebut ditanda­tangani Bapak Teksun selaku wakil umat, Kimsong (Kepala Adat), Cenggeh (Batin-pemuka adat), Nasib (Ketua RT), dan Maharadi (Sekretaris Desa Siam­bul). Bagian akhir surat tersebut memuat permintaan agar Uskup Padang mem­bap­tis masyarakat Suku Talang Mamak pada Paskah 1994. Surat dengan isi hampir sama juga dilayangkan oleh perwakilan Suku Talang Mamak yang berdomisili di Talang Lakat. Surat permintaan untuk baptisan tersebut ditandatangani Samsudin, Abdul Gani, Erna Susila, Rustam Eppendi, Yusrianto, dan Gimis.

Sem Peng
Sem Peng

Setelah baptisan massal tersebut, pelayanan pastoral tetap diberikan kepada umat Katolik Suku Talang Mamak. P. Vitte dan para imam OFMCap meneruskan pelayanan ini. Kepala adat Suku Talang Mamak, Desa Siambul, Sem Peng (60) mengaku salah satu dari peserta baptis massal tersebut. Lelaki kelahiran Siambul 1957 ini mengenang, sebelum ‘perke­nalan’ suku ini dengan P. Vitte, pemerintah telah membangun surau di daerah ini. Namun, kehadiran rumah ibadah ini dipandang ‘ancaman’ bagi adat-istiadat Suku Talang Mamak. “Kami tak mau menerimanya. Kami takut adat kami berubah,” ucap Sem Peng menge­nang.

Perjuangan P. Vitte pun bukan tanpa halangan. Beberapa kali, P. Vitte meng­alami ancaman dan hambatan, bahkan difitnah atas tuduhan kristeni­sasi. Ber­bagai surat protes atas pelayan­an P. Vitte kepada suku Talang Mamak dila­yang­kan, terutama dari aparat peme­rintah setempat. Namun, P. Vitte tidak bergeming dan tetap melan­jutkan karya, agar masyarakat “terte­bus” dan bisa sejajar dengan suku-suku lain di republik ini. Tatkala P. Vitte pensiun, karena berusia sepuh dan akhirnya meninggal di Perancis (2013), ‘kontak’ umat Katolik Suku Talang Mamak terus berlanjut dengan para imam Kapusin hingga kini. Kepala adat sejak tahun 2007 ini berujar, “Sembilan puluh lima persen, Suku Ta­lang Mamak beragama Katolik. Masya­rakat kami tidak bisa melupakan jasa dan peran P. Vitte. Bila dulu, P. Vitte sempat berdiam di Pastoran Siambul, namun sekarang dengan jumlah imam yang terbatas sementara daerah yang dilayani sedemikian luas, tidak memung­kinkan sama seperti dulu. Saya lihat, para pastor berusaha selalu memberi perhatian kepada Suku Talang Mamak.”

Sem Peng juga melihat ada pihak lain yang berusaha ‘menarik’ umat Katolik ke tempat lain. Dulu katanya, sempat dibangun sebuah gereja non-Katolik, masih ada sampai sekarang dan tidak berfungsi. Memang ada di salah satu sudut kampung Tualang dominan kalangan Muslim – Suku Melayu. “Agama Katolik lebih cocok dan ‘lebih dekat’ dengan adat-istiadat Suku Talang Mamak daripada agama lain. Agama lain ‘terlalu keras’ sehingga mungkin

Satar
Satar

menghilangkan adat-istiadat suku ini. Hampir semua suku ini Katolik karena ‘sejalan’ dengan adat Suku Talang Mamak,” ujarnya.

 

Peserta baptisan massal lainnya, Albertus Satar (54) mengisahkan persiapan baptis yang dijalaninya. “Tahun 1985, kami belajar agama Katolik sebagai katekumen di gereja Stasi Rengat dua kali sebulan. Sebelumnya P. Vitte ‘bertandang’ ke Siambul untuk bersilaturahmi. Saat itu, kami belum menganut satu agama pun. Kami menganut ‘agama kampung’ dan menjalankan ‘adat kampung’,” ungkap­nya. Mantan Ketua Stasi St. Albertus, Metung­gau ini mengatakan, “Saat itu, saya diajak penghulu Siambul ke Rengat untuk belajar agama Katolik, bersama 7 teman. Di Rengat, kami belajar membuat Tanda Salib dan doa-doa pokok Katolik. Selan­jutnya, kami tidak lagi ke Rengat, tetapi belajar di Siambul bersama katekis Leonardus Sudarno.

Setia Katolik

Setelah menjadi Katolik, Satar menjadi ketua Stasi Metunggau. Katekis Leonardus Sudarno berkunjung ke rumahnya bersama beberapa umat Katolik yang baru dibaptis di Metunggau. Rumah­nya terasa sempit karena turut belajar warga Talang Mamak yang tertarik mem­pelajari agama Katolik. Ada 40-an orang hadir setiap kali diajar katekis. Setelah transportasi lancar dan mobil bisa me­njang­kau Metunggau, sekali waktu P. Vitte hadir mengajar agama, katekis mengajar di Tualang, pelosok pedalaman Metunggau.
“Dalam perjalanan waktu, saya pernah diajak pindah ke salah satu agama, namun saya tidak mau karena banyak ketidak­cocokan dengan adat-istiadat Talang Mamak. Saya berjuang dari nol hingga kini mengenal agama Katolik dan tidak mau lepas begitu saja. Saya sungguh meyakini agama Katolik. Saya saksi mata adanya ‘gangguan’ penganut agama lain di tengah Suku Talang Mamak. Suatu saat saya bertegas-tegas agar pihak lain ‘tidak mengganggu’ pastor dan anggotanya! Parang ‘siap bicara’! Juga ada pihak lain ingin membongkar bangunan gereja dan mengganggu umat Katolik beribadah,” tandasnya mengenang.

Jelita
Jelita

Istri Satar, Jelita (46), juga ikut dalam baptis massal 1994 saat berusia 24 tahun. Jelita ingat, setiap Senin, ia dan rom­bongannya belajar agama di Rengat. Ia dan rombongan berupaya lebih mengenal agama Katolik, belajar Senin sore hingga jelang siang esok harinya. “Saya dan rombongan Talang Mamak dijemput Kwat, umat Katolik Rengat, di rumah Bapak Teksun di Siambul. Dari Metunggau kami jalan kaki ke Siambul. Setelah baptisan, kami tetap dikunjungi dan diperhatikan, mulai dari P. Vitte, P. Sandharma, P. Mikael Hutabarat, P. Simon Saragih, P. Ambrosius, P. Theo­dorus, hingga kini oleh P. Juventius,” tutur Jelita.

Salah satu umat Katolik Dusun Tua­lang, Desa Siambul, Ajumai (58) mengaku puas dengan perhatian para pastor. Warga Stasi St. Albertus, Metunggau ini mengaku pastor tidak selalu rutin datang ke tem­patnya, namun Ajumai beserta anak-menantu dan 13 cucunya pasti hadir ke gereja stasi saat Natal dan Paskah. Walau jarak tempuh jauh dari tempat tinggalnya menuju gereja stasi, ‘rom­bongan’ ini tidak memedulikannya. Ia pun hadir saat doa lingkungan (doling) ber­giliran dari rumah ke rumah, biasanya mulai dari rumah ketua rukun tetangga (RT).

Ajumai mengaku tidak bisa banyak mengingat lagi pelajaran agama yang didapatkannya dari katekis dan guru agama. “Maklum, sudah tua! Tetapi, beberapa cucu saya bersekolah, bahkan sampai di Seberida dan berkuliah. Mereka sadar pentingnya bersekolah. Makanya, saya senang ada “sekolah hutan” yang didirikan pastor di Tualang ini selama dua tahun silam,” ucapnya.

Antusias Belajar

DSC_0698,Lukas Juhen,ketua stasi SIAMANG
Lukas Juhen

Ketua Stasi Siamang yang juga guru sekolah setempat, Lukas Juhen (29) mengaku prihatin melihat kondisi anak-anak setempat. “Tidak ada guru, tidak ada belajar-mengajar. Setelah diketahui paro­ki, dibuka ‘sekolah hutan’ di Pengayoan, lima kilo meter dari Siamang, 17 Agustus 2014 silam. Tempat belajarnya pun sederhana, layaknya gubuk. Pelajaran ini untuk 26 murid kelas I SD agar mampu calistung. Selain itu, saya juga mem­beri­kan pengajaran dasar agama Katolik,” ujarnya.

Juhen gembira melihat antusiasme anak-anak. ‘Jam sekolah’ di Pengayoan pukul 8 pagi hingga 11 siang. Untuk menuju lokasi dari Siamang, setiap hari, Juhen butuh waktu satu jam berjalan kaki naik-turun bukit – menyusuri jalan setapak. Di rumahnya, di Siamang, keluar­ga Juhen menampung dua anak Penga­yoan, kini kelas enam SD, telah mampu calistung. “Saya ingin anak Talang Ma­mak di Pengayoan mendapat pendidikan dasar. Kini, ‘sekolah hutan’ ini menjadi filial SD Negeri 004, Desa Rantau Langsat. Honor guru dari dana BOS,” ungkapnya. Peserta baptis massal lainnya, Suwandi (64), sehari-harinya penyadap getah pohon karet dan bertanam cabe – yang pada waktu tertentu menjadi ‘tabib’ bagi warga Talang Mamak yang memerlukan bantuannya. Suami Osom (45) ini menangani peng­obatan kampung. Profesi sebagai ‘tabib kam­pung’ telah dijalaninya dua puluh tahun. Ia menerima ‘warisan’ dari ayahnya. Suwandi meng­obati pasien menggunakan rera­muan yang dicarinya di hutan. Suwandi juga selalu mengikuti ibadat di kapel Stasi Metung­gau, di depan rumahnya.

Marak Penjualan Lahan

DSC_0885,Joni Afrika
Joni Afrika

Satu peristiwa aktual Suku Talang Ma­mak adalah maraknya ‘penjualan lahan’ ke­pada perusahaan tambang batu­bara. Joni Afrika (25) sempat ‘menikmati’ ke­ber­adaan perusahaan tersebut. Warga De­sa Siambul ini bekerja sebagai helper me­chanic selepas SMA Muhammadiyah 7, Desa Siberida, Kecamatan Siberida (2009). Ia tidak menyoal jual-beli lahan. Ada 20-an teman sebayanya orang Talang Ma­mak di perusahaan tersebut. Selesai kontrak (2010-2011), Joni mendapat kon­trak lagi selama tiga tahun di perusahaan tambang lain (2011-2014). Selesai kon­trak (2015), perusahaan tidak beroperasi lagi, Joni menganggur, kembali ke pekerjaan lama menyadap getah karet. Maraknya ‘penjualan lahan’ dengan imbalan segepok uang menjadi daya tarik tersendiri bagi warga. ‘Teriakan’ Gereja melalui para pastor dan katekis, seperti angin lalu. Sebagian Suku Talang Mamak kini ‘terasing’ di nege­rinya sendiri. Aktivis OMK Stasi Siambul, Tito Estiko meng­ungkapkan, “Warga menjual tanah karena terpaksa, ditakut-takuti, diintimidasi, dan ‘ditekan’. Per­­usa­haan membawa oknum aparat ke­amanan, lahan masyarakat diobok-obok tanpa izin pemiliknya untuk diteliti kan­dungan batu­baranya. Saya pernah dihajar polisi saat membela pemilik lahan,” tutur­nya.

Satu kelemahan suku ini, bukti pemi­likan lahan hanya mengandalkan batas-batas alam. “Masyarakat belum mengenal surat tanah. Posisi pemilik lahan sangat lemah, tatkala bukti kepemilikan lahan dipertanyakan. Selain merangkul sejumlah tokoh masyarakat Talang Ma­mak ber­pengaruh, perusahaan pun meng­adu domba antarpemilik lahan sehingga berujung pertentangan warga. Tahun 2005, lahan seluas 1.500-an hektar terjual,” ungkap­nya. Setelah tidak punya lahan lagi, warga men­cari jernang di hutan atau buruh menya­dap getah karet milik orang lain. Sejak per­usahaan tidak ber­ope­rasi lagi pa­da per­tengahan 2014, lahan bekas ga­lian dibiar­kan begitu saja, keru­sak­an ling­kungan terjadi di mana-mana.

Februari 2013, perwakilan Suku Ta­lang Mamak mengirim surat ke Om­busd­man Republik Indonesia. Langkah ini mendapat sokongan dan dampingan Ge­reja, lewat Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi-Caritas Keuskupan Pa­dang. Upaya ini dilakukan setelah upaya peng­aduan sebelumnya ke Kepala Desa, Kepala Kepolisian Sektor, Kepala Ke­polisian Resor tidak mendapat tang­gap­an positif. Pengaduan kami ke Om­busdman mendapat tanggapan, utusannya turun ke lapangan melakukan peninjauan lapangan setahun kemudian (2014). Laporan ke Ombusdman ditembuskan ke berbagai instan­si, di antaranya Bupati Inhu, Kom­nas HAM. (hrd)

 

BERKATEKESE LEWAT KEMATIAN

DSC_0594
Leonardus Sudarno

Saya memenuhi permintaan Pastor Antoine Vitte, MEP – imam misio­na­ris asal Perancis yang berkarya di Paroki St. Theresia, Air Molek – melayani masyarakat Suku Talang Mamak (1987). Dua tahun sebelumnya (1985), telah ada pelayanan misi untuk suku Talang Ma­mak, atas permintaan kepala suku Nafsun (juga dipanggil Tek Sun) kepada Pastor Vitte. “Apakah agama yang dianut pastor cocok bila diajarkan kepada penduduk suku Talang Mamak?” tanya Tek Sun kepada Pastor Vitte.

Setiba di Air Molek, saya mem­pelajari hal-ikhwal kehidupan suku ini. Efektif, tahun 1989, saya berpastoral di tengah suku ini, di Siambul, Talang Lakat, Metunggau. Saya dan Pastor Vitte masuk hing­ga ke daerah terpencil (hulu), ke wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menggunakan sampan. Tugas saya ber­akhir di tahun 2005, setelah fisik tidak sekuat di waktu muda.

Saat itu di Siambul, telah ada pemu­kiman buatan pemerintah. Namun, me­reka jarang di rumah, tetapi di ladang atau hutan. Hidup mereka berpindah-pindah tempat. Saya merasa mereka takut-takut dengan ‘pendatang baru’. Dari anak-anak hingga orang tua pun takut melihat orang asing. Mereka bersembunyi dan melihat dari balik semak-semak. Perbedaan bahasa menjadi kendala saya di tengah mereka. Pertama kali datang saya tinggal di rumah penghulu (kepala desa) sekaligus mempelajari bahasa mereka. Selain bahasa, minimnya alat transportasi bolak-balik Siambul dan pastoran menjadi kendala. Saya, dua minggu sekali pulang ke Air Molek. Pada awal kedatangan, saya juga tidak langsung berkatekese. Saya mela­kukan pendekatan, lewat kehidupan harian, misalnya tentang kesehatan dan mengajari anak-anak “calistung” (baca, tulis, hitung). Setelah nyaman ber­ada di tengah mereka, katekese pun dimulai menggunakan media film (sli­de). Pada malam hari, di rumah peng­hulu, kami memutar slide.

Setelah dike­nal warga, saya melakukan kunjungan ke rumah warga, berdialog dari hati ke hati – terkadang bersama Pastor Vitte. Kateke­se model ini efektif. Berbekal lampu petromak, kunjungan dilakukan ma­lam hari, karena siang harinya mereka ke ladang atau hutan. Tidak jarang, saya dan pastor tidur di rumah umat. Sewaktu live-in di tengah suku Talang Mamak, saya merasa, mereka tidak sesulit yang diba­yang­kan, ‘per­adabannya’ sudah terbuka, tidak tertutup dengan orang asing.

Soal asal-usul dan kepercayaan orang Talang Mamak, cukup banyak versinya. Ada ujaran, mereka berasal dari keturunan puteri ke-7 dari kayangan. Dari studi Pastor Vitte lewat kepustakaan, mereka keturunan Pagaruyung yang ‘mengungsi’ ke arah timur, yakni Taluk Kuantan hingga Batang Gansal, Siambul. Orang Talang Mamak menganut animisme. Saat orang Talang Mamak meninggal, misalnya, arah kepala jenazah menghadap ke timur, arah matahari terbit. Mereka meyakini, orang yang mati pun ‘dianggap’ masih hidup, hanya berpindah tempat.

Kepercayaan inilah yang menjadi ‘kunci’ bagi saya, untuk berkatekese. Saya bertanya, “Ke mana arwah jenazah pergi?” Saya menelusuri jawaban mereka, “Kare­na keturunan puteri kayangan, maka arwah jenazah kembali ke kayangan – nama lain surga.” Dari situ, perlahan, saya mem­perkenalkan ajaran Katolik tentang kema­tian. Saya merasa lebih mudah berkatekese di kalangan anak-anak dan orang muda, ketimbang orang-orang tua. Saya mem­perkenalkan tradisi Gereja Katolik ber­kaitan peristiwa kema­tian. Saya juga mengajar tentang kese­hatan dan peng­obatan modern, karena mereka masih kental dengan mistiknya.

Setelah hampir sepuluh tahun, Pastor Vitte (1985-1994) dibantu P. Yakobus Sandharma Akbar, Pr. atau lima tahun (1989-1994) pelayanan saya, pada hari Minggu Paskah, 9 April 1994, ber­lang­sung “baptis massal” di Siambul. Warga Suku Talang Mamak yang mene­rima baptis berasal dari dusun Tualang, Sialang, Siamang, Metunggau, Siambul, Talang Lakat, Datai, dan sebagainya. Suku Talang Mamak juga ada di Talang Jerinjing, Talang Kedabu, Sungai Limau, Durian Cecar, Sungai Tunu, Desa Usul, Talang Tanjung, Suwit. Usai baptisan massal, pel­ayanan pastoral tetap dilakukan. Memang perlu kesa­baran dalam pelayanan pastoral ini. Se­pengamatan saat ini, telah ada ‘buah’ atau hasil dari yang kami semai selama ini di bidang pendi­dikan, kesehatan, dan ekonomi. Ada beberapa anak muda bergelar sarjana menjadi PNS di bidang pendidikan dan kesehatan. Per­juangan terberat saya dan Pastor Vitte adalah mengingatkan warga suku ini untuk tidak menjual tanah kepada perusahaan tambang batubara. Sebab kalau ini terjadi, mereka akan terasing di atas tanahnya sendiri. (hrd)

(Disarikan dari wawancara dengan Leonardus Sudarno – Mantan Katekis Paroki St. Teresia, Air Molek,Riau,
Tahun 1987-2005)

Bertumpu Pada Kalangan Muda

DSC_0729,Cundong,ketua stasi Siambul
Samuel Cundang

Gereja Katolik Talang Mamak, kini sedikit banyak bertumpu di pundak Samuel Cundang (31). Sejak tahun lalu, ia dipercaya sebagai Ketua Stasi Santo Antonius Siambul, periode 2016-2018. Menurut pria kelahiran desa Siambul, 29 November 1985 ini tantangan utama yang dihadapinya adalah pola pikir warga­nya. Pengurus merasa kesulitan untuk meng­gerakkan umat, terutama dari orang-orang tua. Banyak dari antara mereka, ke gereja pun tidak pernah, meskipun di KTP ter­cantum agamanya Katolik. Kebanyakan umat masih berpendapat, Gereja ini adalah tanggungjawab pastor, guru (katekis), dan para pengurus. “Umat masih sulit untuk bergerak cepat, apalagi kalau yang me­nyang­kut dengan biaya-biaya,” katanya.

Sebagai ketua stasi, apalagi tergolong berusia muda, Cundang – yang juga Ke­pala Urusan Pemerintah Kantor Desa Siambul ini, karena sulit menggerakkan umat dari kalangan orang­ tua, maka harapannya ditumpukan kepada kelompok yang lebih muda, dari kalangan yang dulu saat baptisan massal berusia remaja dan kanak-kanak. Mereka kini, rata-rata sudah menjadi orangtua. Namun, kebanyakan orang muda di sini setelah menikah merasa terikat dengan keluarga dan merasa lepas tangung jawabnya terhadap Gereja.

Minimnya aktivitas di gereja menjadi keprihatinannya. Pada hari Minggu, saat Perayaan Ekaristi atau Ibadat Sabda, minim kehadiran umat. Berbeda suasa­nanya, pada saat hari Raya Natal dan Pas­kah. Kegiatan anak-anak seminggu sekali minim dari kehadiran anak-anak. Penye­babnya, dorongan orangtua yang kurang. Kegiatan Orang Muda Katolik (OMK) belum ada. “Doling” (doa lingkungan) yang diharapkan menjadi kesempatan umat berkumpul, tidak seperti yang diha­rapkan. “Doling seminggu sekali banyak dihadiri kaum ibu dan anak-anak, semen­tara kaum bapak lebih asyik nonton televisi”, imbuh ayah dari Fransiskus Kim Berlian Pratama ini.

Sebagai Gereja muda, Cundang me­ng­akui sangat membutuhkan bim­bingan dan pembinaan dari pastor. Ia sangat mengharapkan pastor bisa menetap di stasinya seperti dulu, sehingga setiap hari bisa berbaur dengan masyarakat. Namun ia sadar, selain terbatasnya tenaga pastor, yang menjadi beban pikiran pengurus, kalau pastor menetap di stasinya, tentu umat mesti memikirkan kebutuhannya. Semen­tara kesadaran umat yang rendah – belum mampu berpikir sampai sejauh itu. Kalau mengandalkan kolekte mingguan saat Misa dan Ibadat Sabda sangat kecil. Gerakan iuran “paroki mandiri” pun hanya bebe­rapa keluarga yang membayar. “Kalau iuran itu dipaksakan kepada umat, justru kami khawatir, umat akan semakin men­jauh dari Gereja,” katanya.

Menghadapi situasi ini, suami Petri Katarina ini tidak menyerah dan tetap opimis, karena semakin banyak orang muda yang melek pendidikan. Menu­rutnya, masa depan Gereja Katolik Talang Mamak berada di kalangan anak-anak, remaja, dan kaum muda. Kepada anak-anak muda yang sudah melek pendidikanlah Cundang ber­harap. Tinggal, kini bagaimana caranya memikirkan, merencanakan aneka kegiat­an rohani, sehingga Gereja semakin ramai dan hidup. (ws)

Sulitnya Merubah Pola Pikir

DSC_0832Pastor Juventius Saragih, OFMCap.
Pastor Rekan Paroki St. Teresia, Air Molek

Semua pastor yang berkarya di Paroki St. Teresia, Air Molek, Riau mempunyai perhatian yang sama untuk seluruh umat­nya, tak terkecuali umat Katolik suku Talang Mamak. Selama tiga tahun ini, saya yang lebih intens, ke­rap mengun­jungi dan berpastoral di tengah mereka. Dari sejarah paroki Air Molek, saya mengetahui ada kelompok umat yang khusus dan mendapat perhatian, yakni umat suku Talang Mamak. Pema­haman lengkap tentang suku ini sangat mem­bantu saya dalam karya pastoral. Salah satu yang unik dari suku ini adalah adat-istiadatnya yang khas dan sulit ‘ditembus’ untuk mengubahnya. Sistem keke­rabatan dan pola pikir masyarakat suku ini sungguh unik. Masyarakat suku ini menganut kekerabatan matrilineal. Mereka pun tak pernah terpisahkan dari adat-istiadat dan sistem tata krama yang dimilikinya.

Karena “kekuatan” inilah yang membuat begitu sulit untuk mengubah pola pikir mereka. Kami telah bebe­rapa kali menyelenggarakan pertemuan dan pelatihan, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang bagus, ber­fae­dah; namun dalam pelaksanaan sangat berbeda. Dari pemahaman tersebut, menjadi ‘bekal’ bagi para pastor – khu­susnya saya – dalam berpastoral.

Langkah pertama, saya membuat analisa sosial kecil-kecilan dengan metode SWOT (Strong, Weakness, Opportunity, dan Threat) – Kekuatan, Kelemahan, Kesem­patan, dan Ancaman. Saya berusaha mempelajari banyak hal tentang suku Talang Mamak ini setelah melihat secara langsung, mendekati, dan kemudian (akan) meneruskan hal baik yang dilaku­kan para pastor pendahulu. Saya meng­anggap fokus penting pela­yan­an bagi suku ini adalah bidang pendidikan (generasi muda) guna mengubah pola dan mem­perluas ca­kra­wala berpi­kirnya. Sebab itu, paroki mem­buka se­ma­cam ‘sekolah hutan’ di Durian Cacar, Tualang, Penga­yoan untuk memberi bekal pe­ngetahuan – termasuk penge­tahuan agama Katolik. Fokusnya pada generasi muda, karena sulit mengu­bah para­digma dan pola pikir kalangan generasi tua. Pelayanan pastoral di bidang pe­ngem­bangan sosial-ekonomi (PSE) juga penting dan perlu digiatkan, karena sebagai sumber utama peng­hidupan mereka. Begitu pun dengan pelayanan kesehatan. Untuk ini, perlu pola pikir warga yang lebih terbuka dan menerima wa­wasan baru. Untuk membe­rikan gam­baran cara bercocok tanam yang baik, bagus untuk masya­rakat. Kami memutar film, misalnya cara menanam pohon karet.

Selama dan setelah menonton tayangan tersebut, mereka menyatakan senang dan menilai positif. Namun sayang, dalam pelak­sanaan, tidak sebaik yang kami bayangkan. Mereka masih kuat melekat dengan tradisinya, yaitu: meramu, sehing­ga sulit diajak beralih ke pola pertanian modern. Hal negatif lain yang mencolok di tengah masyarakat suku ini adalah berjudi, sabung ayam, suka ber­hura-hura (berpesta), lebih mempercayai dukun ke­tim­bang pengobatan modern. Pernah ter­jadi, Perayaan Ekaristi batal karena pada saat bersamaan ada ‘acara berdukun’ yang terjadi tidak jauh dari kapel. Dalam kondisi terse­but, saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena umat tidak siap.

Apalagi kalau ada ‘gawe’ atau hajatan gereja akan kosong. Selama tiga tahun berkarya di tengah suku ini, sejak tahun 2013, kalau ada harapan dari umat agar – pastor dan katekis menetap di pastoran Stasi Siam­bul – di tengah keterbatasan tenaga imam, adalah sah-sah saja. Namun, wila­yah paroki ini sangat luas hanya dilayani empat pastor; jumlah stasi dari tahun ke tahun terus ber­tambah. Di bulan Mei 2016, terdapat 52 stasi, belum terma­suk ling­kungan di pusat paroki ini. Setiap Minggu, saya atau pastor lain, dari hari Sabtu hingga Selasa tinggal di Siambul dan ber­kunjung ke stasi-stasi yang dihuni suku Talang Ma­mak. Saya pernah ber­malam di Stasi Siamang (peda­laman). Tinggal sen­diri sebagai komu­nitas (me­netap) juga tidak pas, kecuali kalau Batang Gansal menjadi paroki sendiri.

Merunut pada baptis massal pada Paskah 1994, tepatnya 9 April 1994, maka pelayanan umat di masa depan patut memberikan perhatian pada aspek pendidikan. Dengan pendi­dikan, gene­rasi muda Katolik berubah pola pi­kirnya dan mudah bergerak (dina­mis). Kami terus mendorong, agar orangtua menye­ko­lahkan anak-anak mereka. Di bidang pertanian, untuk mengubah men­talitas dan pola pikir mereka, kami telah me­mulai dengan per­contohan (pilot project) mena­nam pohon karet unggul seluas dua hektar, proses pena­nanam dengan ketentuan dan standar yang ba­gus, dengan edu­kasi/pen­didikan seper­lunya. Untuk program ini mem­butuh­kan keter­libatan umat, terutama dalam pera­watan. Karena pada umumnya, cara bercocok tanam mereka masih ‘asal tanam’ saja, ka­mi juga membuat pilot project ber­tanam padi sehingga bisa me­mo­ti­vasi dan mereka tiru. Tentang pela­yan­an Eka­­risti, perayaan Sab­da, dan kate­kese ber­lang­sung, mes­­kipun dengan tena­ga dan waktu ter­batas.

Selama lebih dua puluh tahun pe­la­yanan Pastor Kapusin, khususnya tiga tahun ‘hidup bersama’ dengan umat Kato­lik suku Talang Mamak, saya merasa belum puas. Kalau mengharapkan “pa­nen­an” memang tidak serta-merta lang­sung dapat dilihat. Butuh proses panjang, yang belum tentu mem­buahkan hasil yang me­muaskan. Selama ini, ada bebe­rapa orang muda yang diseko­lahkan, namun se­tamat sekolah atau kuliah, ternyata setelah kembali ke kam­pung, mereka kembali kepada kebiasaan hidup lama. (hrd)

Tinggalkan Balasan