SUKU TALANG MAMAK: GEREJA DAN TANTANGANNYA (Majalah Gema Edisi Juli 2016)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Tahun 2016 merupakan tahun kelima puluh majalah GEMA meyapa dan membina iman umat sebagai majalah Keuskupan Padang. Melalui tangan-tangan yang terampil dan pemikiran-pemikiran yang tulus banyak orang telah berusaha menyampaikan dan membahasakan visi dan misi keuskupan melalui penerbitan majalah GEMA setiap bulannya. Dalam rangka syukur atas ulang tahun yang kelima puluh ini, tim GEMA merayakannya dengan mengadakan kunjungan singkat dan refleksi tentang iman dan kehidupan harian umat Katolik Suku Talang Mamak yang berjumlah sekitar seribuan jiwa yang tersebar di beberapa stasi Paroki St. Theresia Air Molek.
Dua puluh dua tahun yang silam, penduduk asli Suku Talang Mamak menentukan pilihannya untuk memeluk agama Katolik. Baptis massal 460 orang pada tanggal 9 April 1994 menjadi awal sejarah lahirnya Gereja di tempat ini, yang kepadanya Kristus bersabda: “Kalian ini garam dunia. Jika garam menjadi tawar, dengan apakah dapat diasinkan lagi? Tiada gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang”(Mat 5:13) atau “Kalian ini cahaya dunia. Hendaknya cahayamu bersinar di depan orang, agar mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuji Bapa di surga. (Mat 5:14a.16).
Sabda Kristus ini berisi undangan bahwa Gereja harus menjadi garam dan cahaya yang mampu mewarnai budaya, adat istiadat, hidup harian dan perjuangan nilai skala prioritas dalam hidup. Untuk melihat hal ini, tim GEMA hadir secara langsung dengan melakukan wawancara di rumah penduduk, gereja, serta masuk areal perkebunan karet. Terungkap beberapa tantangan yang harus diolah oleh Gereja setempat. Tantangan tersebut adalah masih lumrahnya perkawinan dini misalnya menikah di usia 13 tahun, pendidikan yang belum dianggap penting oleh sebagian orang misalnya masih banyak penduduk yang tidak bisa membaca/menulis dan anak-anak usia sekolah yang tidak tamat sekolah dasar ataupun tidak melanjutkan ke sekolah lanjutan yang lebih tinggi, penghayatan tentang sakramen yang rendah seperti mendahulukan perkawinan adat daripada nikah Gereja, dll. Hal ini disajikan dalam GEMA edisi kali ini.
Selamat membaca!
Menggereja di Talang Mamak
Hari Sabtu, Malam Paskah, 9 April 1994, momen bersejarah bagi masyarakat Suku Talang Mamak dan umat Katolik Keuskupan Padang, khususnya di Paroki St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Air Molek, Riau. Hari itu, 460-an orang suku ini menyatakan diri bagian dari Gereja Katolik. Uskup Padang Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap dan Uskup Bogor Mgr. Harsono, beserta 10 imam membaptis mereka di teras halaman pastoran Siambul.
Baptisan massal ini tidak serta-merta terjadi. Sebab, masyarakat Suku Talang Mamak mengenal iman Katolik sejak tahun 1985, kala berjumpa dengan P. Vitte. Tahun inilah babak awal pelayanan Gereja kepada Suku Talang Mamak yang berdiam di perbatasan Propinsi Riau-Jambi ini. Lima tahun kemudian, masyarakat suku ini sungguh-sungguh membutuhkan pelayanan yang serius. Karena keterbatasan tenaga, Keuskupan Padang meminta bantuan Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap). Sebelumnya Pastor Vitte Anton Raymond Jules, MEP (P. Vitte) dan P. Yakobus Sandharma Akbar, Pr telah memulai pelayanan di wilayah ini. Dengan kehadiran para imam Kapusin ini, P. Vitte dapat lebih khusus memerhatikan Suku Talang Mamak, dibantu pastor lain, serta katekis Leonardus Sudarno.
Bulan Juli 1987, P. Vitte dan P. Sandharma melayani masyarakat suku ini di Desa Siambul dan sekitarnya atas permintaan dan undangan perwakilan Suku Talang Mamak, Bapak Nafsun (atau dipanggil Teksun). Setelah enam tahun ‘masa perkenalan’ tersebut, perwakilan Suku Talang Mamak di Siambul dan sekitarnya berkirim surat kepada Uskup Padang. Surat bertanggal 1 Desember 1993 tersebut ditandatangani Bapak Teksun selaku wakil umat, Kimsong (Kepala Adat), Cenggeh (Batin-pemuka adat), Nasib (Ketua RT), dan Maharadi (Sekretaris Desa Siambul). Bagian akhir surat tersebut memuat permintaan agar Uskup Padang membaptis masyarakat Suku Talang Mamak pada Paskah 1994. Surat dengan isi hampir sama juga dilayangkan oleh perwakilan Suku Talang Mamak yang berdomisili di Talang Lakat. Surat permintaan untuk baptisan tersebut ditandatangani Samsudin, Abdul Gani, Erna Susila, Rustam Eppendi, Yusrianto, dan Gimis.
Setelah baptisan massal tersebut, pelayanan pastoral tetap diberikan kepada umat Katolik Suku Talang Mamak. P. Vitte dan para imam OFMCap meneruskan pelayanan ini. Kepala adat Suku Talang Mamak, Desa Siambul, Sem Peng (60) mengaku salah satu dari peserta baptis massal tersebut. Lelaki kelahiran Siambul 1957 ini mengenang, sebelum ‘perkenalan’ suku ini dengan P. Vitte, pemerintah telah membangun surau di daerah ini. Namun, kehadiran rumah ibadah ini dipandang ‘ancaman’ bagi adat-istiadat Suku Talang Mamak. “Kami tak mau menerimanya. Kami takut adat kami berubah,” ucap Sem Peng mengenang.
Perjuangan P. Vitte pun bukan tanpa halangan. Beberapa kali, P. Vitte mengalami ancaman dan hambatan, bahkan difitnah atas tuduhan kristenisasi. Berbagai surat protes atas pelayanan P. Vitte kepada suku Talang Mamak dilayangkan, terutama dari aparat pemerintah setempat. Namun, P. Vitte tidak bergeming dan tetap melanjutkan karya, agar masyarakat “tertebus” dan bisa sejajar dengan suku-suku lain di republik ini. Tatkala P. Vitte pensiun, karena berusia sepuh dan akhirnya meninggal di Perancis (2013), ‘kontak’ umat Katolik Suku Talang Mamak terus berlanjut dengan para imam Kapusin hingga kini. Kepala adat sejak tahun 2007 ini berujar, “Sembilan puluh lima persen, Suku Talang Mamak beragama Katolik. Masyarakat kami tidak bisa melupakan jasa dan peran P. Vitte. Bila dulu, P. Vitte sempat berdiam di Pastoran Siambul, namun sekarang dengan jumlah imam yang terbatas sementara daerah yang dilayani sedemikian luas, tidak memungkinkan sama seperti dulu. Saya lihat, para pastor berusaha selalu memberi perhatian kepada Suku Talang Mamak.”
Sem Peng juga melihat ada pihak lain yang berusaha ‘menarik’ umat Katolik ke tempat lain. Dulu katanya, sempat dibangun sebuah gereja non-Katolik, masih ada sampai sekarang dan tidak berfungsi. Memang ada di salah satu sudut kampung Tualang dominan kalangan Muslim – Suku Melayu. “Agama Katolik lebih cocok dan ‘lebih dekat’ dengan adat-istiadat Suku Talang Mamak daripada agama lain. Agama lain ‘terlalu keras’ sehingga mungkin
menghilangkan adat-istiadat suku ini. Hampir semua suku ini Katolik karena ‘sejalan’ dengan adat Suku Talang Mamak,” ujarnya.
Peserta baptisan massal lainnya, Albertus Satar (54) mengisahkan persiapan baptis yang dijalaninya. “Tahun 1985, kami belajar agama Katolik sebagai katekumen di gereja Stasi Rengat dua kali sebulan. Sebelumnya P. Vitte ‘bertandang’ ke Siambul untuk bersilaturahmi. Saat itu, kami belum menganut satu agama pun. Kami menganut ‘agama kampung’ dan menjalankan ‘adat kampung’,” ungkapnya. Mantan Ketua Stasi St. Albertus, Metunggau ini mengatakan, “Saat itu, saya diajak penghulu Siambul ke Rengat untuk belajar agama Katolik, bersama 7 teman. Di Rengat, kami belajar membuat Tanda Salib dan doa-doa pokok Katolik. Selanjutnya, kami tidak lagi ke Rengat, tetapi belajar di Siambul bersama katekis Leonardus Sudarno.
Setia Katolik
Setelah menjadi Katolik, Satar menjadi ketua Stasi Metunggau. Katekis Leonardus Sudarno berkunjung ke rumahnya bersama beberapa umat Katolik yang baru dibaptis di Metunggau. Rumahnya terasa sempit karena turut belajar warga Talang Mamak yang tertarik mempelajari agama Katolik. Ada 40-an orang hadir setiap kali diajar katekis. Setelah transportasi lancar dan mobil bisa menjangkau Metunggau, sekali waktu P. Vitte hadir mengajar agama, katekis mengajar di Tualang, pelosok pedalaman Metunggau.
“Dalam perjalanan waktu, saya pernah diajak pindah ke salah satu agama, namun saya tidak mau karena banyak ketidakcocokan dengan adat-istiadat Talang Mamak. Saya berjuang dari nol hingga kini mengenal agama Katolik dan tidak mau lepas begitu saja. Saya sungguh meyakini agama Katolik. Saya saksi mata adanya ‘gangguan’ penganut agama lain di tengah Suku Talang Mamak. Suatu saat saya bertegas-tegas agar pihak lain ‘tidak mengganggu’ pastor dan anggotanya! Parang ‘siap bicara’! Juga ada pihak lain ingin membongkar bangunan gereja dan mengganggu umat Katolik beribadah,” tandasnya mengenang.
Istri Satar, Jelita (46), juga ikut dalam baptis massal 1994 saat berusia 24 tahun. Jelita ingat, setiap Senin, ia dan rombongannya belajar agama di Rengat. Ia dan rombongan berupaya lebih mengenal agama Katolik, belajar Senin sore hingga jelang siang esok harinya. “Saya dan rombongan Talang Mamak dijemput Kwat, umat Katolik Rengat, di rumah Bapak Teksun di Siambul. Dari Metunggau kami jalan kaki ke Siambul. Setelah baptisan, kami tetap dikunjungi dan diperhatikan, mulai dari P. Vitte, P. Sandharma, P. Mikael Hutabarat, P. Simon Saragih, P. Ambrosius, P. Theodorus, hingga kini oleh P. Juventius,” tutur Jelita.
Salah satu umat Katolik Dusun Tualang, Desa Siambul, Ajumai (58) mengaku puas dengan perhatian para pastor. Warga Stasi St. Albertus, Metunggau ini mengaku pastor tidak selalu rutin datang ke tempatnya, namun Ajumai beserta anak-menantu dan 13 cucunya pasti hadir ke gereja stasi saat Natal dan Paskah. Walau jarak tempuh jauh dari tempat tinggalnya menuju gereja stasi, ‘rombongan’ ini tidak memedulikannya. Ia pun hadir saat doa lingkungan (doling) bergiliran dari rumah ke rumah, biasanya mulai dari rumah ketua rukun tetangga (RT).
Ajumai mengaku tidak bisa banyak mengingat lagi pelajaran agama yang didapatkannya dari katekis dan guru agama. “Maklum, sudah tua! Tetapi, beberapa cucu saya bersekolah, bahkan sampai di Seberida dan berkuliah. Mereka sadar pentingnya bersekolah. Makanya, saya senang ada “sekolah hutan” yang didirikan pastor di Tualang ini selama dua tahun silam,” ucapnya.
Antusias Belajar
Ketua Stasi Siamang yang juga guru sekolah setempat, Lukas Juhen (29) mengaku prihatin melihat kondisi anak-anak setempat. “Tidak ada guru, tidak ada belajar-mengajar. Setelah diketahui paroki, dibuka ‘sekolah hutan’ di Pengayoan, lima kilo meter dari Siamang, 17 Agustus 2014 silam. Tempat belajarnya pun sederhana, layaknya gubuk. Pelajaran ini untuk 26 murid kelas I SD agar mampu calistung. Selain itu, saya juga memberikan pengajaran dasar agama Katolik,” ujarnya.
Juhen gembira melihat antusiasme anak-anak. ‘Jam sekolah’ di Pengayoan pukul 8 pagi hingga 11 siang. Untuk menuju lokasi dari Siamang, setiap hari, Juhen butuh waktu satu jam berjalan kaki naik-turun bukit – menyusuri jalan setapak. Di rumahnya, di Siamang, keluarga Juhen menampung dua anak Pengayoan, kini kelas enam SD, telah mampu calistung. “Saya ingin anak Talang Mamak di Pengayoan mendapat pendidikan dasar. Kini, ‘sekolah hutan’ ini menjadi filial SD Negeri 004, Desa Rantau Langsat. Honor guru dari dana BOS,” ungkapnya. Peserta baptis massal lainnya, Suwandi (64), sehari-harinya penyadap getah pohon karet dan bertanam cabe – yang pada waktu tertentu menjadi ‘tabib’ bagi warga Talang Mamak yang memerlukan bantuannya. Suami Osom (45) ini menangani pengobatan kampung. Profesi sebagai ‘tabib kampung’ telah dijalaninya dua puluh tahun. Ia menerima ‘warisan’ dari ayahnya. Suwandi mengobati pasien menggunakan reramuan yang dicarinya di hutan. Suwandi juga selalu mengikuti ibadat di kapel Stasi Metunggau, di depan rumahnya.
Marak Penjualan Lahan
Satu peristiwa aktual Suku Talang Mamak adalah maraknya ‘penjualan lahan’ kepada perusahaan tambang batubara. Joni Afrika (25) sempat ‘menikmati’ keberadaan perusahaan tersebut. Warga Desa Siambul ini bekerja sebagai helper mechanic selepas SMA Muhammadiyah 7, Desa Siberida, Kecamatan Siberida (2009). Ia tidak menyoal jual-beli lahan. Ada 20-an teman sebayanya orang Talang Mamak di perusahaan tersebut. Selesai kontrak (2010-2011), Joni mendapat kontrak lagi selama tiga tahun di perusahaan tambang lain (2011-2014). Selesai kontrak (2015), perusahaan tidak beroperasi lagi, Joni menganggur, kembali ke pekerjaan lama menyadap getah karet. Maraknya ‘penjualan lahan’ dengan imbalan segepok uang menjadi daya tarik tersendiri bagi warga. ‘Teriakan’ Gereja melalui para pastor dan katekis, seperti angin lalu. Sebagian Suku Talang Mamak kini ‘terasing’ di negerinya sendiri. Aktivis OMK Stasi Siambul, Tito Estiko mengungkapkan, “Warga menjual tanah karena terpaksa, ditakut-takuti, diintimidasi, dan ‘ditekan’. Perusahaan membawa oknum aparat keamanan, lahan masyarakat diobok-obok tanpa izin pemiliknya untuk diteliti kandungan batubaranya. Saya pernah dihajar polisi saat membela pemilik lahan,” tuturnya.
Satu kelemahan suku ini, bukti pemilikan lahan hanya mengandalkan batas-batas alam. “Masyarakat belum mengenal surat tanah. Posisi pemilik lahan sangat lemah, tatkala bukti kepemilikan lahan dipertanyakan. Selain merangkul sejumlah tokoh masyarakat Talang Mamak berpengaruh, perusahaan pun mengadu domba antarpemilik lahan sehingga berujung pertentangan warga. Tahun 2005, lahan seluas 1.500-an hektar terjual,” ungkapnya. Setelah tidak punya lahan lagi, warga mencari jernang di hutan atau buruh menyadap getah karet milik orang lain. Sejak perusahaan tidak beroperasi lagi pada pertengahan 2014, lahan bekas galian dibiarkan begitu saja, kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana.
Februari 2013, perwakilan Suku Talang Mamak mengirim surat ke Ombusdman Republik Indonesia. Langkah ini mendapat sokongan dan dampingan Gereja, lewat Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi-Caritas Keuskupan Padang. Upaya ini dilakukan setelah upaya pengaduan sebelumnya ke Kepala Desa, Kepala Kepolisian Sektor, Kepala Kepolisian Resor tidak mendapat tanggapan positif. Pengaduan kami ke Ombusdman mendapat tanggapan, utusannya turun ke lapangan melakukan peninjauan lapangan setahun kemudian (2014). Laporan ke Ombusdman ditembuskan ke berbagai instansi, di antaranya Bupati Inhu, Komnas HAM. (hrd)
BERKATEKESE LEWAT KEMATIAN
Saya memenuhi permintaan Pastor Antoine Vitte, MEP – imam misionaris asal Perancis yang berkarya di Paroki St. Theresia, Air Molek – melayani masyarakat Suku Talang Mamak (1987). Dua tahun sebelumnya (1985), telah ada pelayanan misi untuk suku Talang Mamak, atas permintaan kepala suku Nafsun (juga dipanggil Tek Sun) kepada Pastor Vitte. “Apakah agama yang dianut pastor cocok bila diajarkan kepada penduduk suku Talang Mamak?” tanya Tek Sun kepada Pastor Vitte.
Setiba di Air Molek, saya mempelajari hal-ikhwal kehidupan suku ini. Efektif, tahun 1989, saya berpastoral di tengah suku ini, di Siambul, Talang Lakat, Metunggau. Saya dan Pastor Vitte masuk hingga ke daerah terpencil (hulu), ke wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menggunakan sampan. Tugas saya berakhir di tahun 2005, setelah fisik tidak sekuat di waktu muda.
Saat itu di Siambul, telah ada pemukiman buatan pemerintah. Namun, mereka jarang di rumah, tetapi di ladang atau hutan. Hidup mereka berpindah-pindah tempat. Saya merasa mereka takut-takut dengan ‘pendatang baru’. Dari anak-anak hingga orang tua pun takut melihat orang asing. Mereka bersembunyi dan melihat dari balik semak-semak. Perbedaan bahasa menjadi kendala saya di tengah mereka. Pertama kali datang saya tinggal di rumah penghulu (kepala desa) sekaligus mempelajari bahasa mereka. Selain bahasa, minimnya alat transportasi bolak-balik Siambul dan pastoran menjadi kendala. Saya, dua minggu sekali pulang ke Air Molek. Pada awal kedatangan, saya juga tidak langsung berkatekese. Saya melakukan pendekatan, lewat kehidupan harian, misalnya tentang kesehatan dan mengajari anak-anak “calistung” (baca, tulis, hitung). Setelah nyaman berada di tengah mereka, katekese pun dimulai menggunakan media film (slide). Pada malam hari, di rumah penghulu, kami memutar slide.
Setelah dikenal warga, saya melakukan kunjungan ke rumah warga, berdialog dari hati ke hati – terkadang bersama Pastor Vitte. Katekese model ini efektif. Berbekal lampu petromak, kunjungan dilakukan malam hari, karena siang harinya mereka ke ladang atau hutan. Tidak jarang, saya dan pastor tidur di rumah umat. Sewaktu live-in di tengah suku Talang Mamak, saya merasa, mereka tidak sesulit yang dibayangkan, ‘peradabannya’ sudah terbuka, tidak tertutup dengan orang asing.
Soal asal-usul dan kepercayaan orang Talang Mamak, cukup banyak versinya. Ada ujaran, mereka berasal dari keturunan puteri ke-7 dari kayangan. Dari studi Pastor Vitte lewat kepustakaan, mereka keturunan Pagaruyung yang ‘mengungsi’ ke arah timur, yakni Taluk Kuantan hingga Batang Gansal, Siambul. Orang Talang Mamak menganut animisme. Saat orang Talang Mamak meninggal, misalnya, arah kepala jenazah menghadap ke timur, arah matahari terbit. Mereka meyakini, orang yang mati pun ‘dianggap’ masih hidup, hanya berpindah tempat.
Kepercayaan inilah yang menjadi ‘kunci’ bagi saya, untuk berkatekese. Saya bertanya, “Ke mana arwah jenazah pergi?” Saya menelusuri jawaban mereka, “Karena keturunan puteri kayangan, maka arwah jenazah kembali ke kayangan – nama lain surga.” Dari situ, perlahan, saya memperkenalkan ajaran Katolik tentang kematian. Saya merasa lebih mudah berkatekese di kalangan anak-anak dan orang muda, ketimbang orang-orang tua. Saya memperkenalkan tradisi Gereja Katolik berkaitan peristiwa kematian. Saya juga mengajar tentang kesehatan dan pengobatan modern, karena mereka masih kental dengan mistiknya.
Setelah hampir sepuluh tahun, Pastor Vitte (1985-1994) dibantu P. Yakobus Sandharma Akbar, Pr. atau lima tahun (1989-1994) pelayanan saya, pada hari Minggu Paskah, 9 April 1994, berlangsung “baptis massal” di Siambul. Warga Suku Talang Mamak yang menerima baptis berasal dari dusun Tualang, Sialang, Siamang, Metunggau, Siambul, Talang Lakat, Datai, dan sebagainya. Suku Talang Mamak juga ada di Talang Jerinjing, Talang Kedabu, Sungai Limau, Durian Cecar, Sungai Tunu, Desa Usul, Talang Tanjung, Suwit. Usai baptisan massal, pelayanan pastoral tetap dilakukan. Memang perlu kesabaran dalam pelayanan pastoral ini. Sepengamatan saat ini, telah ada ‘buah’ atau hasil dari yang kami semai selama ini di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ada beberapa anak muda bergelar sarjana menjadi PNS di bidang pendidikan dan kesehatan. Perjuangan terberat saya dan Pastor Vitte adalah mengingatkan warga suku ini untuk tidak menjual tanah kepada perusahaan tambang batubara. Sebab kalau ini terjadi, mereka akan terasing di atas tanahnya sendiri. (hrd)
(Disarikan dari wawancara dengan Leonardus Sudarno – Mantan Katekis Paroki St. Teresia, Air Molek,Riau,
Tahun 1987-2005)
Bertumpu Pada Kalangan Muda
Gereja Katolik Talang Mamak, kini sedikit banyak bertumpu di pundak Samuel Cundang (31). Sejak tahun lalu, ia dipercaya sebagai Ketua Stasi Santo Antonius Siambul, periode 2016-2018. Menurut pria kelahiran desa Siambul, 29 November 1985 ini tantangan utama yang dihadapinya adalah pola pikir warganya. Pengurus merasa kesulitan untuk menggerakkan umat, terutama dari orang-orang tua. Banyak dari antara mereka, ke gereja pun tidak pernah, meskipun di KTP tercantum agamanya Katolik. Kebanyakan umat masih berpendapat, Gereja ini adalah tanggungjawab pastor, guru (katekis), dan para pengurus. “Umat masih sulit untuk bergerak cepat, apalagi kalau yang menyangkut dengan biaya-biaya,” katanya.
Sebagai ketua stasi, apalagi tergolong berusia muda, Cundang – yang juga Kepala Urusan Pemerintah Kantor Desa Siambul ini, karena sulit menggerakkan umat dari kalangan orang tua, maka harapannya ditumpukan kepada kelompok yang lebih muda, dari kalangan yang dulu saat baptisan massal berusia remaja dan kanak-kanak. Mereka kini, rata-rata sudah menjadi orangtua. Namun, kebanyakan orang muda di sini setelah menikah merasa terikat dengan keluarga dan merasa lepas tangung jawabnya terhadap Gereja.
Minimnya aktivitas di gereja menjadi keprihatinannya. Pada hari Minggu, saat Perayaan Ekaristi atau Ibadat Sabda, minim kehadiran umat. Berbeda suasananya, pada saat hari Raya Natal dan Paskah. Kegiatan anak-anak seminggu sekali minim dari kehadiran anak-anak. Penyebabnya, dorongan orangtua yang kurang. Kegiatan Orang Muda Katolik (OMK) belum ada. “Doling” (doa lingkungan) yang diharapkan menjadi kesempatan umat berkumpul, tidak seperti yang diharapkan. “Doling seminggu sekali banyak dihadiri kaum ibu dan anak-anak, sementara kaum bapak lebih asyik nonton televisi”, imbuh ayah dari Fransiskus Kim Berlian Pratama ini.
Sebagai Gereja muda, Cundang mengakui sangat membutuhkan bimbingan dan pembinaan dari pastor. Ia sangat mengharapkan pastor bisa menetap di stasinya seperti dulu, sehingga setiap hari bisa berbaur dengan masyarakat. Namun ia sadar, selain terbatasnya tenaga pastor, yang menjadi beban pikiran pengurus, kalau pastor menetap di stasinya, tentu umat mesti memikirkan kebutuhannya. Sementara kesadaran umat yang rendah – belum mampu berpikir sampai sejauh itu. Kalau mengandalkan kolekte mingguan saat Misa dan Ibadat Sabda sangat kecil. Gerakan iuran “paroki mandiri” pun hanya beberapa keluarga yang membayar. “Kalau iuran itu dipaksakan kepada umat, justru kami khawatir, umat akan semakin menjauh dari Gereja,” katanya.
Menghadapi situasi ini, suami Petri Katarina ini tidak menyerah dan tetap opimis, karena semakin banyak orang muda yang melek pendidikan. Menurutnya, masa depan Gereja Katolik Talang Mamak berada di kalangan anak-anak, remaja, dan kaum muda. Kepada anak-anak muda yang sudah melek pendidikanlah Cundang berharap. Tinggal, kini bagaimana caranya memikirkan, merencanakan aneka kegiatan rohani, sehingga Gereja semakin ramai dan hidup. (ws)
Sulitnya Merubah Pola Pikir
Pastor Juventius Saragih, OFMCap.
Pastor Rekan Paroki St. Teresia, Air Molek
Semua pastor yang berkarya di Paroki St. Teresia, Air Molek, Riau mempunyai perhatian yang sama untuk seluruh umatnya, tak terkecuali umat Katolik suku Talang Mamak. Selama tiga tahun ini, saya yang lebih intens, kerap mengunjungi dan berpastoral di tengah mereka. Dari sejarah paroki Air Molek, saya mengetahui ada kelompok umat yang khusus dan mendapat perhatian, yakni umat suku Talang Mamak. Pemahaman lengkap tentang suku ini sangat membantu saya dalam karya pastoral. Salah satu yang unik dari suku ini adalah adat-istiadatnya yang khas dan sulit ‘ditembus’ untuk mengubahnya. Sistem kekerabatan dan pola pikir masyarakat suku ini sungguh unik. Masyarakat suku ini menganut kekerabatan matrilineal. Mereka pun tak pernah terpisahkan dari adat-istiadat dan sistem tata krama yang dimilikinya.
Karena “kekuatan” inilah yang membuat begitu sulit untuk mengubah pola pikir mereka. Kami telah beberapa kali menyelenggarakan pertemuan dan pelatihan, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang bagus, berfaedah; namun dalam pelaksanaan sangat berbeda. Dari pemahaman tersebut, menjadi ‘bekal’ bagi para pastor – khususnya saya – dalam berpastoral.
Langkah pertama, saya membuat analisa sosial kecil-kecilan dengan metode SWOT (Strong, Weakness, Opportunity, dan Threat) – Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, dan Ancaman. Saya berusaha mempelajari banyak hal tentang suku Talang Mamak ini setelah melihat secara langsung, mendekati, dan kemudian (akan) meneruskan hal baik yang dilakukan para pastor pendahulu. Saya menganggap fokus penting pelayanan bagi suku ini adalah bidang pendidikan (generasi muda) guna mengubah pola dan memperluas cakrawala berpikirnya. Sebab itu, paroki membuka semacam ‘sekolah hutan’ di Durian Cacar, Tualang, Pengayoan untuk memberi bekal pengetahuan – termasuk pengetahuan agama Katolik. Fokusnya pada generasi muda, karena sulit mengubah paradigma dan pola pikir kalangan generasi tua. Pelayanan pastoral di bidang pengembangan sosial-ekonomi (PSE) juga penting dan perlu digiatkan, karena sebagai sumber utama penghidupan mereka. Begitu pun dengan pelayanan kesehatan. Untuk ini, perlu pola pikir warga yang lebih terbuka dan menerima wawasan baru. Untuk memberikan gambaran cara bercocok tanam yang baik, bagus untuk masyarakat. Kami memutar film, misalnya cara menanam pohon karet.
Selama dan setelah menonton tayangan tersebut, mereka menyatakan senang dan menilai positif. Namun sayang, dalam pelaksanaan, tidak sebaik yang kami bayangkan. Mereka masih kuat melekat dengan tradisinya, yaitu: meramu, sehingga sulit diajak beralih ke pola pertanian modern. Hal negatif lain yang mencolok di tengah masyarakat suku ini adalah berjudi, sabung ayam, suka berhura-hura (berpesta), lebih mempercayai dukun ketimbang pengobatan modern. Pernah terjadi, Perayaan Ekaristi batal karena pada saat bersamaan ada ‘acara berdukun’ yang terjadi tidak jauh dari kapel. Dalam kondisi tersebut, saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena umat tidak siap.
Apalagi kalau ada ‘gawe’ atau hajatan gereja akan kosong. Selama tiga tahun berkarya di tengah suku ini, sejak tahun 2013, kalau ada harapan dari umat agar – pastor dan katekis menetap di pastoran Stasi Siambul – di tengah keterbatasan tenaga imam, adalah sah-sah saja. Namun, wilayah paroki ini sangat luas hanya dilayani empat pastor; jumlah stasi dari tahun ke tahun terus bertambah. Di bulan Mei 2016, terdapat 52 stasi, belum termasuk lingkungan di pusat paroki ini. Setiap Minggu, saya atau pastor lain, dari hari Sabtu hingga Selasa tinggal di Siambul dan berkunjung ke stasi-stasi yang dihuni suku Talang Mamak. Saya pernah bermalam di Stasi Siamang (pedalaman). Tinggal sendiri sebagai komunitas (menetap) juga tidak pas, kecuali kalau Batang Gansal menjadi paroki sendiri.
Merunut pada baptis massal pada Paskah 1994, tepatnya 9 April 1994, maka pelayanan umat di masa depan patut memberikan perhatian pada aspek pendidikan. Dengan pendidikan, generasi muda Katolik berubah pola pikirnya dan mudah bergerak (dinamis). Kami terus mendorong, agar orangtua menyekolahkan anak-anak mereka. Di bidang pertanian, untuk mengubah mentalitas dan pola pikir mereka, kami telah memulai dengan percontohan (pilot project) menanam pohon karet unggul seluas dua hektar, proses penananam dengan ketentuan dan standar yang bagus, dengan edukasi/pendidikan seperlunya. Untuk program ini membutuhkan keterlibatan umat, terutama dalam perawatan. Karena pada umumnya, cara bercocok tanam mereka masih ‘asal tanam’ saja, kami juga membuat pilot project bertanam padi sehingga bisa memotivasi dan mereka tiru. Tentang pelayanan Ekaristi, perayaan Sabda, dan katekese berlangsung, meskipun dengan tenaga dan waktu terbatas.
Selama lebih dua puluh tahun pelayanan Pastor Kapusin, khususnya tiga tahun ‘hidup bersama’ dengan umat Katolik suku Talang Mamak, saya merasa belum puas. Kalau mengharapkan “panenan” memang tidak serta-merta langsung dapat dilihat. Butuh proses panjang, yang belum tentu membuahkan hasil yang memuaskan. Selama ini, ada beberapa orang muda yang disekolahkan, namun setamat sekolah atau kuliah, ternyata setelah kembali ke kampung, mereka kembali kepada kebiasaan hidup lama. (hrd)