Surat Gembala Paskah 2022
Para Ibu dan Bapak, saudari dan saudara yang budiman,
Para Pastor, Suster, Bruder, Frater, kaum muda, remaja dan anak-anak,
seluruh umat Keuskupan Padang yang terkasih dalam Kristus,
- Dua minggu menjelang Pekan Suci, Pastor Agustinus Mujihartono, Pr, yang kita cintai meninggalkan kita, “berpulang ke rumah Bapa”.
Mungkin benar kita sudah tahu bahwa penyakit yang dideritanya itu akan membawa kematian, tetapi tetap saja kepergiannya menimbulkan rasa duka yang mendalam. Kita sungguh merasa kehilangan figur seorang imam yang baik dan rendah hati, seorang gembala yang dekat dengan semua orang. Kehadiran banyak rohaniwan, biarawati dan umat yang sebegitu mencintai Rm. Agus dalam rangkaian upacara mengantar beliau sampai ke peristirahatan terakhir di Columbarium, membawa pesan tersendiri yang istimewa. Peristiwa ini mengundang kita untuk menyatukan hati dalam menyongsong perayaan Paskah tahun ini dengan iman dan pengharapan kristiani yang semakin mendalam, sebagaimana dikatakan dalam doa Prefasi Arwah yang pertama:
“Dalam Dia terbitlah bagi kami harapan akan kebangkitan mulia, supaya orang-orang yang berduka karena kematian yang tak terhindarkan, dapat terhibur oleh janji hidup abadi yang akan datang. Sebab, bagi mereka yang mengimani Engkau, Tuhan, hidup diubah, bukan dilenyapkan, dan bila rumah kediaman di dunia ini telah hancur, tersedialah tempat kediaman kekal dalam Surga.”
- Teks doa ini dalam TPE yang lama sedikit berbeda bunyinya sesudah ungkapan “kebangkitan mulia”: “sehingga kami yang sering takut akan maut yang tak terelakkan itu sungguh-sungguh dihibur oleh hidup abadi yang telah dijanjikan kepada kami”. Refleksi tentang pengharapan akan Kebangkitan dalam Kristus berangkat dari satu naluri manusiawi yang wajar, yakni ketakutan yang tak terelakkan akan kematian. Bagi orang beriman, ketakutan itu tidak berubah menjadi kecemasan yang melumpuhkan budi dan batin. Mengatasi ketakutan akan kematian itu langkah pertama yang perlu, namun sesungguhnya kita menipu diri jika berpikir bahwa kita dapat melakukannya dengan kekuatan sendiri. Dalam kenyataan keberadaan manusiawi yang rapuh ini, kita hanya dapat mengalahkan ketakutan akan maut dengan cara “menjatuhkan diri” dalam pelukan Bapa yang penuh kasih, dalam kepasrahan yang merupakan buah dari doa terus menerus untuk menaklukkan diri sendiri dan memupuk kepercayaan kepada Allah yang setia sampai akhir. Hidup tidak lain berarti belajar untuk membuka diri kepada misteri kehidupan, di mana maut seolah-olah menjadi batasnya. Misteri itu sesungguhnya menampakkan wajah kerahiman Allah Bapa yang penuh kasih, namun sering tidak dikenali dan disadari secara spontan juga oleh orang yang mengaku diri Kristen.
- Kisah perumpamaan terkenal dalam Injil Lukas 15:11-32 menjadi bahan untuk renungan APP umat kita di Keuskupan Padang. Seperti kedua anak dalam perumpamaan itu, kita juga tidak langsung menyadari bila sedang “menjauh dari rumah Bapa” ketika jatuh dalam dosa, atau bahkan lebih sering lagi, tidak mengakui bahwa kita sesungguhnya tidak mengenal Bapa, karena terlena dengan prasangka dan gambaran kita akan Allah dan sifat-Nya seperti yang kita sendiri kehendaki. Si Bungsu dalam perumpamaan tersebut menyia-nyiakan martabat keputeraannya, sampai baru menyadari bahwa harga dirinya lebih rendah daripada babi-babi yang dijaganya karena punya nilai jual. Tersiksa dalam kesepian dan kesendirian semacam itulah rasanya jika orang menyongsong maut tanpa pengharapan. Namun, Si Bungsu ini masih mempunyai pengharapan akan rumah Bapanya, meskipun sadar akan kerapuhan dan keterbatasannya: tidak pantas disebut anak. Ia pulang dan mendapati wajah Bapanya yang tetap setia dan tidak pernah berubah. Demikian juga bila kita berbicara tentang kematian sebagai satu jalan “pulang kembali ke rumah Bapa” yang selalu siap untuk memaafkan dan menerima kita, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Kita tahu ini pun satu proses perjalanan yang panjang, karena pada umumnya kita tidak mudah menerima bahwa Allah sungguh-sungguh menanti kita, bahkan menyongsong kita dengan berlari untuk menjadi lebih dekat dengan kita. Kitalah yang sering menjadi ragu dan tawar hati akan kesetiaan Allah, karena kita memiliki kriteria dan ukuran sendiri dalam menentukan nilai-nilai kebahagiaan, seperti Si Sulung yang selalu tinggal dengan Bapanya tetapi tidak pernah merasa bersukacita.
- Keduabelas murid Yesus juga sering merasa ragu dan tergoda untuk meninggalkan Yesus. Sampai satu saat Yesus harus dengan penuh keprihatinan bertanya kepada mereka: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh. 6:67). Di sinilah, dalam saat-saat kritis seperti di hadapan kematian, seharusnya timbul bisikan iman yang berani untuk mengakui seperti Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal!” (Yoh. 6:68). Percaya tidak lain berarti pasrah secara total kepada Yesus dan membiarkan diri dibawa oleh-Nya menuju tujuan akhir, tanpa berpikir untuk mengetahui segala-galanya ketika berjalan mengikuti Dia, hanya percaya saja bahwa bersama Dia kita tahu ke mana kita pergi dan yakin bahwa kita akan sampai pada tujuan yang sama, yakni kembali ke pangkuan Bapa.
- Di sinilah menjadi jelas makna terdalam dari kematian itu. Jika lahir bagi orang beriman berarti dipanggil untuk satu tujuan kehidupan kekal, sebagaimana kita akui dalam syahadat, mati berarti pergi menyongsong pemenuhan tujuan tersebut, sekali pun dengan perjuangan fisik dan moral, seperti penderitaan melawan penyakit. Yesus yang telah menanggung penderitaan dan sakrat maut sejak di Getsemani menjadi penolong dan penghibur kita supaya kita bisa turut lahir kembali bersama dia dalam kematian dan kebangkitan. Kematian dengan demikian adalah saat yang menentukan karena hanya dengan melaluinya Kasih yang menyelamatkan itu nampak di atas salib yang menyatukan semua, bagaikan “rahim” yang merangkul segala penderitaan dunia. Kebangkitan menandai kemenangan Yesus Kristus atas maut yang melahirkan sukacita besar. Paskah Tuhan Yesus Kristus adalah satu penciptaan kembali, satu kelahiran baru kemanusiaan. Dalam peristiwa yang unik ini, satu-satunya di alam semesta, ada harapan yang tak terpadamkan bagi semua, satu kerinduan yang tak akan pernah sirna, bahwa kematian itu bukanlah kata terakhir bagi kehidupan. Hal ini bukan mau mengatakan bahwa kita tidak akan mengalami kematian, atau dibebaskan dari beban penderitaan. Ini berarti bahwa dengan kekuatan Tuhan yang bangkit yang menemani kita, hidup seberat apa pun dapat kita jalani dengan tenang. Dengan penuh kepasrahan kita mampu berjalan menuju kehidupan baru yang sejati yang menantikan kita, yaitu hidup dalam persatuan dengan Allah Bapa. Karena itu, tiada yang lebih menghibur daripada mengetahui dengan pasti bahwa tubuh kita pun akan dibangkitkan bersama Dia, karena Kristus lah buah sulung kebangkitan (1Kor. 15:23) yang menjadi jaminan kebangkitan kita.
- Saudari-saudara yang terkasih dalam Kristus, kita percaya pula bahwa keabadian itu sudah dimulai sejak sekarang, di dunia ini, dalam pengalaman Paskah mereka yang hari demi hari percaya dan berharap, menderita dan mengasihi bersama Yesus. Dalam dinamika iman semacam ini, dengan segala jatuh bangunnya, kehidupan adalah antisipasi kebangkitan. Artinya, satu pencerahan yang progresif, semakin lama semakin jelas bagi mereka yang mendengarkan Sabda Tuhan dan menghayatinya dalam satu proses transformasi menjadi semakin serupa dengan gambaran Yesus Kristus sendiri. Antisipasi hal-hal di masa depan yang dijanjikan dan akan dikaruniakan oleh Tuhan ini adalah pengharapan yang membuat saat-saat kita di dunia ini bercitarasakan keabadian. Karena waktu dan kesempatan yang dihidupi dalam pengharapan adalah saat rahmat yang sekarang ini kita jalani dalam penantian untuk dipanggil menjadi “penghuni keabadian.” Demikianlah, ketika tiba saatnya kematian menjemput, kita siap untuk menyongsong peralihan kepada persekutuan hidup yang lebih penuh. Memang dalam tradisi kristiani kematian orang beriman disebut sebagai dies natalis, hari kelahiran dalam Allah. Mempersiapkan diri untuk hari yang besar itu berarti membangun “jalan cahaya” (via lucis) kepada Bapa, melalui berbagai penghayatan “jalan salib” (via crucis) kita masing-masing. Dalam iman dan pengharapan akan Kebangkitan Kristus yang terus menerangi jalan kita semua, saya mengucapkan Selamat Paskah dan saya menutup sapaan kegembalaan ini dengan pesan Rasul Paulus yang berkata:
“Syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1Kor. 15:57-58)
Salam belas kasih,
Tuhan memberkati kita semua.
+ Vitus Rubianto Solichin
Uskup Padang