Tahun Koinonia: Memantapkan Persekutuan Gereja (Gema, Januari 2016)
Tahun Diakonia dengan segala pernik-perniknya sudah berlalu. Sekarang kita memasuki Tahun Koinonia (2016) yakni Tahun Persekutuan untuk keuskupan kita. Penetapan Tahun Koinonia ini muncul dari kesadaran bahwa kehadiran Gereja yang satu dan kudus merupakan wujud nyata cinta kasih Allah terhadap kita karena Putera Tunggal Allah telah diutus oleh Bapa ke dunia, untuk menjadi manusia, dan dengan karya penebusan-Nya melahirkan kembali seluruh umat manusia, serta menyatukannya. Sebelum mempersembahkan diri sebagai korban tak bernoda di altar salib, Ia berdoa kepada Bapa bagi umat beriman: “Semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita : supaya percayalah dunia, bahwa Engkau telah mengutus aku” (Yoh17:21).
Demikianlah dalam Gereja-Nya, Kristus telah menetapkan Sakramen Ekaristi yang mengagumkan dan melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja. Kepada para murid-Nya Ia telah memberi perintah baru untuk saling mengasihi, serta menjanjikan Roh Penghibur, untuk menyertai mereka selamanya sebagai Tuhan sumber kehidupan. Itulah misteri kudus kesatuan Gereja, dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus, disertai oleh Roh Kudus yang mengerjakan kemacam-ragaman kurnia. Pola dan Prinsip terluhur misteri misteri itu ialah kesatuan Allah Tri Tunggal dalam tiga Pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Dalam rapat redaksi Gema untuk edisi Januari 2015 muncul kesepakatan untuk memberi judul: “Tahun Koinonia: Memantapkan Persekutuan Gereja”. Persekutuan Gereja bukanlah sekedar kumpulan atau pertemuan orang yang lumayan banyak. Persekutuan Gereja, atau persekutuan kaum beriman, dalam berbagai ragam dan dinamikanya, selalu bersumber dan akan bermuara kepada Allah yang telah bersekutu dengan manusia dalam diri Yesus Kristus.
Maka selayaknya dalam Tahun Koinonia ini bukanlah pertama-tama kita mempersoalkan dan mencari solusi tentang mengapa gereja sepi, pertemuan rayon yang hanya dihadiri oleh ibu-ibu dan anak-anak kemudian mengadopsi bentuk kegiatan yang dapat mendatangkan banyak peminat. Persekutuan bukanlah berdasarkan minat. Karenanya pantas kita merefleksikan bagaimana kita sebagai pribadi dan anggota komunitas memahami persekutuan dengan Allah dan sesama? Akhirnya kami Menghaturkan selamat Tahun Baru 2016.
Tahun Koinonia:
Saatnya Umat Bangkit Bersekutu
Sesuai hasil Musyawarah Pastoral (Muspas) Keuskupan Padang Tahun 2011, Tahun 2016 ‘dicanangkan’ sebagai Tahun Koinonia (Persekutuan). Pencanangan ini sebagai upaya atau cara lebih memerhatikan persekutuan umat Katolik di Keuskupan Padang.
Dalam bingkai umat di tingkat ‘akar rumput’ (grass root), persekutuan hidup di tingkat basis; dengan nama rayon/kring/lingkungan menjadi penopang hidupnya persekutuan di tingkat paroki dan keuskupan. Ada banyak rupa gerak persekutuan hidup di tingkat ‘akar rumput’ tersebut; ada yang aktif-dinamis, namun tak sedikit pula yang pasif-loyo-lesu.
Lantas bagaimanakah realitas umat basis di Keuskupan Padang membangun persekutuan hidupnya? Ketua Rayon St. Andreas (Kampung Nias 3-5-8) Paroki Katedral, St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang, Leony Adeli (55) mengungkapkan situasi-kondisi rayonnya. ”Sebagian besar warga rayon kami cukup kompak! Pertemuan rutin berlangsung setiap bulan, bila tidak ada kegiatan pendalaman bahan Kitab Suci atau doa Rosario. Banyak di antaranya hadir dan mendukung kegiatan-kegiatan rayon, bersedia menjadi ‘tuan rumah’ bila diselenggarakan pertemuan rayon. Jika ada warga rayon yang sakit, pengurus memberitahukan dalam grup blackberry mesenger (BBM) dan dibezuk,” ujarnya.
Namun, Leony juga tidak menyangkal ada di antara warga rayonnya yang tidak mau mengikuti kegiatan, bahkan terkesan tidak mau peduli dengan kegiatan umat Katolik. Pengurus rayon berganti, umat tersebut tidak juga mau berubah. Pola tingkah laku warga rayon memang sungguh bervariasi. Ada yang rajin mengikuti pertemuan atau kegiatan rayon, ada pula cuek tidak peduli. ”Saya selalu memberitahukan tentang kegiatan rayon, namun ada warga yang menanggapi dengan enteng: ‘… kami tidak ada rayon-rayon!’ Kesabaran kami sebagai pengurus rayon sungguh diuji. Mereka juga tidak memberitahukan alasan mengapa bersikap demikian. Saya tidak tahu apa alasannya!
Leony berharap, kelak tumbuh kesadaran dalam diri warganya yang berujar ” … kami tidak ada rayon-rayon!” Semoga mereka memahami pentingnya suatu komunitas atau persekutuan sebagai saudara seiman, saling membutuhkan dan mendukung. Dalam hidup bersama itu, kita saling membutuhkan, maka tidak tepatlah seorang Katolik bersikap demikian.
Sementara itu, salah satu warga di Stasi Santa Lucia, Rumbai, Paroki St. Paulus, Pekanbaru, Cahyadinarta Suyudi (61) melihat persekutuan umat di tempatnya berlangsung baik. ”Semua kring rutin mengadakan pertemuan sesuai jadwal. Seperti saya alami sendiri, di Kring St. Theresia, selalu ada renungan pada minggu-minggu biasa. Malah, pada selama Mei dan Oktober, doa Rosario dilakukan setiap malam dan selalu ramai pesertanya. Pemimpin ibadat pun bergantian sebagai bentuk pembinaan dan kaderisasi. Dalam kehidupan sehari-hari pun, jika ada warga yang sakit, melahirkan, maupun meninggal dunia, pemberitaannya pun cepat tersebar, sehingga kehadiran umat selalu ramai,” ujarnya. Suyudi berpendapat agar persekutuan di antara umat Katolik terjalin akrab dan hangat, kompak, pengurus Gereja mesti bermental proaktif, rajin, transparan mengelola keuangan, dan bersemangat melayani. ”Pengurus tidak boleh bermental ‘ndoro’ menganggap dirinya berpunya kuasa terhadap warganya atau menganggap diri lebih tinggi daripada lainnya. Bermental ‘ndoro’ juga bisa diartikan bahwa dengan menjadi ketua atau pengurus kring, dirinya sudah menjadi orang-orang suci, merasa diri paling baik, paling tahu, lebih tinggi derajat dari umat lainnya,” tandasnya.
Belum Maksimal
Sementara itu, dalam kacamata salah satu pengurus Dewan Pastoral Paroki (DPP) St. Maria A Fatima, Pekanbaru, Scholastica Sinta Buana (51) hidup bersekutu dalam keluarga tidak terlalu sulit melaksanakannya. Tetapi, saya melihat, dalam kelompok kategorial, persekutuan belum berlangsung maksimal, begitu juga dalam bermasyarakat. Kalau dalam keluarga, skalanya lebih kecil dan tidak terlalu heterogen! Dalam kelompok kategorial dan masyarakat, berskala lebih luas dan heterogen. Persekutuan hidup bisa terwujud jika ada kebersamaan, persaudaraan. Tentu saja, sikap egois atau individualis harus dihilangkan. Kemuliaan Tuhan menjadi tujuan utama dan bersama. Walau saat ini koinonia belum maksimal tapi sudah terasa. Di keuskupan ini, dapat dirancang aneka kegiatan yang dapat mendorong hidup bersekutu di kalangan umat,” ungkap Sinta.
Usai Muspas 2011 hingga kini, Sinta melihat perkembangan hidup bersekutu umat di paroki St. Maria a Fatima Pekanbaru, khususnya di lingkungan domisili mengalami peningkatan. “Warga antusias mengikutinya, terutama momen doa Rosario. Memang agak berkurang pesertanya bila pertemuan berisi pendalaman iman. Sepertinya, warga takut atau enggan bila diminta sharing pengalaman, padahal sudah disampaikan tidak ada yang benar dan salah atas sharing tersebut. Bukan untuk berbantah-bantahan. Banyak warga di lingkungan dipercaya di DPP, sehingga bila ada pertemuan lingkungan bertepatan waktunya dengan pertemuan DPP, peserta pertemuan agak berkurang. Atau, banyak di antaranya menjadi lektor, sehingga bila pertemuan bertepatan pada hari Kamis, peserta pun berkurang, karena sedang latihan persiapan tugas lektor,” tuturnya.
Lain pula hasil pengamatan Sinta terhadap kelompok kategorial yang ada. “Sepenglihatan saya, masih agak terkotak-kotak. Kalau ada kegiatan yang diselenggarakan Choice, PMKRI, OMK, Persekutuan Doa, Marriage Encounter (ME), Legio Maria, Among Mitro belum tampak semuanya hadir, kecuali kalau acaranya berskala besar, lebih bisa bergabung; misalnya saat Natal, Paskah, ulang tahun paroki. Saya berpikir positif, mungkin karena setiap kelompok kategorial tersebut mempunyai agenda dan kesibukan masing-masing,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Legio Maria Presidium Ratu Surgawi, Helentina Lim (28) mengungkapkan sangat minimnya antusiasme warga OMK untuk ‘hidup bersekutu’. “Kemajuan teknologi komunikasi membuat kaum muda, termasuk anak muda Katolik, asyik dengan dirinya sendiri. Dari pengalaman saya saat berstatus mahasiswa baru, beberapa tahun silam, ada ajakan bagi mahasiswa baru bergabung dalam kelompok kategorial gereja yang diminati. Ternyata, dari sekian banyak anak muda berstatus mahasiswa baru, hanya sedikit yang berminat. Ada yang pertama kali mengikuti kegiatan Legio Maria beralasan karena disuruh guru agama, namun seiring waktu, terjadi perubahan cara pandang, dari hanya karena nilai agama semata hingga akhirnya sungguh-sungguh mau melakukan pelayanan,” tukasnya.
Mantan Ketua OMK Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang ini mengaku belum melakukan ‘penelitian’ tentang latar belakang masa silam legioner tersebut dan warga OMK. “Dalam percakapan dengan mereka, ada yang beralasan ingin lebih mendekatkan diri kepada Bunda Maria serta menambah pengetahuan agama atau iman. Tentu ada motivasi lainnya. Saya berusaha agar tidak ada ‘jurang pemisah’ antara anggota baru maupun lama. Kepada anggota lama, saya katakan, kita ada bersama-sama dengan anggota baru. Bukan anggota baru untuk kita. Jadi, kita mesti mengakrabkan diri satu dengan lainnya, serta bersikap ramah dan saling menghargai,” ucapnya lagi.
Helen mengaku tidak mengalami kesulitan berarti mengajak para legioner presidiumnya, tiga puluhan orang muda yang belum menikah. Sepuluh tahun di presidium, aku Helen, menjadi bekal pengalaman berharga baginya. Meski demikian, Helen melihat ada kesulitan mengajak legionernya untuk ikut bergabung dalam organisasi lain. “Mereka hanya bergumul dalam satu kelompok. Hal yang sama juga terjadi saat saya masih ketua OMK. Saya melihat ada kecenderungan menutup diri, bergaul dalam kelompok sendiri saja, kurang menjalin kerjasama dengan kelompok lain segereja. Mungkin, ada pemikiran dan anggapan yang baru bergabunglah mestinya ‘mengikuti’ aturan. Sebelum Muspas berlangsung, hingga kini, cara pandang seperti itu masih ada. Sulit mengubah sifat tersebut,” tukasnya.
Di Tahun Koinonia (2016) ini, Helen berharap setiap umat Katolik hidup rukun, bersatu, kompak, berbagi antara saudara-seiman, tanpa memandang perbedaan ras; serta bukan hanya berkumpul-kumpul untuk hura-hura, namun mempunyai nilai positif. Kelompok-kelompok yang ada dapat mengambil inspirasi dari hidup jemaat perdana.
Menurut Manager Ferrerius Pandiangan (45), keluarga menjadi contoh hidup persekutuan terkecil. Mantan peserta Muspas 2011 dari Paroki Hati Kudus Yesus (HKY), Pangkalan Kerinci, Riau ini melihat ada perkembangan cukup berarti. Persekutuan hidup dikembangkan dari kelompok-kelompok kecil; dari keluarga dan lingkungan-lingkungan. “Setiap lingkungan diurus pengurusnya dan tampak mulai mandiri. Kegiatan sakramentali mampu diselenggarakan pengurus. Dalam aktivitas doa, di luar Perayaan Ekaristi ditangani awam. Itulah dinamika enam lingkungan di pusat paroki,” ungkapnya.
Anggota tim atau kelompok katekese di stasi induk ini mengakui banyak yang terjadi usai Muspas hingga kini, termasuk pergantian kepengurusan. Namun, setelah dua periode sebagai pengurus, kini menjadi mantan, ia kurang tahu secara detail, namun ia melihat pastor paroki sangat konsen dan peduli dengan tema-tema tahunan pasca-Muspas 2011.
Untuk kelompok kategorial yang dipandunya, Pandiangan mengaku ada kesulitan menemukan waktu yang pas dan cocok antara pelatih dan peserta paduan suara. Apalagi, sambungnya, pelatih tersebut juga membentuk kelompok pemazmur tersendiri. “Waktu berjumpa bersama sangat sulit didapatkan turut memengaruhi dinamika kelompok kategorial yang ada. Juga ditemukan adanya kesulitan umat yang berdomisili jauh dari pusat paroki atau gereja dan berlatar belakang ekonomi sangat berbeda. Terkadang, ada pelatih, peserta koor tidak ada atau sebaliknya. Hingga kini, belum didapat solusi untuk menemukan waktu bertemu dan berlatih bersama yang tepat, apalagi saat atau momen tertentu semakin dekat,” ungkapnya.
Berbeda situasinya dengan OMK yang kini sedang berkembang dan membutuhkan pendampingan dari pastor maupun DPP. Kegiatan kelompok Bina Iman Remaja (BIR) bergabung dengan aktivitas OMK. Aktivitas kelompok Bina Iman Anak (BIA) sangat tergantung pada komitmen orangtua, apalagi kegiatan BIA berlangsung usai Perayaan Ekaristi. Orangtua pulang, anak pun pulang. Orangtua tak sabar mendampingi anak dengan berbagai alasan. Selain itu, aktivitas kelompok Wanita Katolik, kelompok lektor dan misdinar masih berlangsung mingguan. Kelompok Legio Maria juga termasuk masih baru di paroki ini. Sebagai salah satu mantan peserta Muspas 2011, lanjut Manager, dirinya berkonsentrasi di bidang katekese paroki. Tak bosan-bosannya, Manager menyarankan pentingnya peran orangtua dalam keluarga sebagai ‘Gereja Mini’. “Tak cukup hanya ‘muncul’ saat baptis anak, komuni pertama, dan seterusnya; tetapi berkelanjutan. Saya menyoroti peran wali baptis yang nyaris tak berfungsi, bahkan dicomot begitu saja. Padahal, perannya penting setara dengan orangtua. Mistagogi mesti mendapat perhatian, termasuk dalam bidang koinonia,” ungkapnya.
Sementara itu, seorang warga Stasi Tembilahan, Paroki St. Teresia, Air Molek, Riau, Immaculata Surjani (50) mendambakan persekutuan/koinonia terbentuk sebagai komunitas bila umat secara sukarela mau berkumpul, sebagai pengurus maupun anggota. Ia berharap pencanangan Tahun Koinonia dapat mengarahkan perhatian dan juga menggerakkan umat saling melayani serta lebih bersekutu. “Komunitas yang ideal bila ada keterbukaan, keaktifan warganya, tumbuh perasaan senasib-seperjuangan, semangat persaudaraan semakin meningkat, serta rasa sayang dan cinta pada Gerejanya,” ungkapnya.
Sikap terbuka dalam persekutuan dibutuhkan agar dapat bekerjasama dan berdialog, baik dalam internal Gereja maupun dengan umat beragama lain. Berkaitan dengan hidup bersekutu dengan umat agama lain, Surjani menganggap butuh teladan dari hirarki/kaum tertahbis. “Ada kalanya, awam merasa kesulitan memulai dialog antarpenganut agama, karena dialog dalam intern Gereja pun tidak lancar; karena ada kecenderungan pembenaran pendapat pribadi yang mesti diikuti. Maka, perlulah para hirarki/tertahbis meluangkan waktu berbincang-bincang dengan umatnya, guna memperlancar komunikasi dan dialog. Kerinduan seperti inilah yang dialami banyak umat diberbagai tempat,” katanya.
Mulai Banyak Berubah
Mantan peserta Muspas 2011 dari Paroki St. Petrus Claver Bukittinggi, Mesriana Nainggolan (31) melihat telah banyak perubahan yang terjadi tentang persekutuan umat di parokinya; terlebih di kalangan umat yang berusia muda. Ia menyatakan adanya dinamika yang terjadi di kalangan warga Orang Muda Katolik (OMK), Karyawan Muda Katolik, Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Remaja (BIR), maupun di antara rayon-rayon yang ada.
Diakui Mesri, walau tidak langsung terlibat aktif berkontak dengan para orang muda Katolik, karena telah ada pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan mereka, namun sejauh pengamatan Mesri terasa dan terlihat adanya perubahan dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Mesri melihat adanya dukungan penuh dari para pastor terhadap kaum muda Katolik, khususnya seorang pastor rekan dari Serikat Misionaris Xaverian (SX) bernama P. Zhou qu lu Valentin dari Afrika. “Pastor Valentin mengumpulkan kaum muda , dikelompokkan batasan-batasan usianya. Ketika ada kegiatan yang harus melibatkan pastor, ia berusaha ikut serta di sela-sela kesibukannya, Ia juga dekat dengan anak-anak dan kaum muda. Ia juga pembicara yang bijaksana dan cerdas. Begitupun dengan persekutuan di rayon-rayon semakin bagus, karena pendamping rayon juga bertambah, sehingga bisa melayani sepuluh rayon di paroki ini. Memang, masalah terbesarnya masih ‘klasik’ yakni kehadiran kaum bapak yang sangat minim dalam kegiatan rayon. Kalau ada pertemuan rayon, jumlah anak yang hadir bisa mencapai tujuh puluh persen dari jumlah warga rayon. Sungguh ramai,” tuturnya.
Mesri mencontohkan rayon di tempatnya berada. “Persekutuan yang kami galakkan khusus para murid SD. Persekutuan kelompok devosi doa Rosario, berhubung banyak murid sekolah di rayon saya. Ada kesulitan mengajak kaum bapak bersekutu. Kebanyakan kaum bapak tidak peduli, cuek. Hal ini diperparah dengan banyaknya warung tuak, masih belum pulang kerja sebagai kreditor. Pastor paroki dan rekan, katekis, bahkan tenaga guru mengalami kesulitan mendapatkan solusi dari minimnya kehadiran kaum bapak ini. Kayaknya lebih mudah mengorganisir persekutuan bagi para pelajar, remaja, bahkan kalangan ibu,” tukas Mesri.
Memantapkan Persekutuan Gereja
Saya berharap, dengan pencanangan Tahun Koinonia ini kita sebagai Gereja lebih menyatu sebagai satu persekutuan. Cara hidup Jemaat Perdana menjadi icon, teladan, contohnya. Dalam kehidupan keluarga misalnya, hendaknya menjadi lebih baik. Ada kebersamaan dalam keluarga saat makan bersama dan doa bersama, adanya saling kunjungan antarkeluarga. Kalau pun belum banyak dari sekian ribu keluarga Katolik di keuskupan ini, misalnya hanya satu persen, bagi saya hal tersebut suatu hal yang bagus.
Begitupun dengan Komunitas Basis Gerejani (KBG) – sebagai cara baru menggereja – di rayon/kring/lingkungan hendaknya lebih hidup dan dinamis. KBG memiliki empat sifat dasar: persekutuan, Kitab Suci menjadi pusat dan dasar, Perayaan Ekaristi, dan kegiatan bersama.
Untuk merealisir hasil Muspas 2011, telah dibentuk Tim Pastoral Keuskupan Padang oleh Bapa Uskup, usai penyelenggaraan Musyawarah Pastoral (Muspas) Keuskupan Padang Tahun 2011. Ketua dibantu anggota yakni para ketua komisi lembaga keuskupan. Tim ini telah menuangkan hasil Muspas ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Keuskupan Padang. Dalam Renstra termaktub langkah konkrit dalam program kegiatan, namun dalam pelaksanaan tugasnya, tim mengalami sejumlah kendala atau kesulitan.
Berkaitan pencanangan Tahun Koinonia (2016), dalam pertemuan para imam keuskupan di Pekanbaru (17-20 Desember 2015) ada satu sesi evaluasi berkaitan penyelenggaraan Tahun Diakonia (Pelayanan) di paroki maupun lembaga dan komisi keuskupan. Saat itu, dibuka seluas-luasnya bagi para pastor berbicara tentang pelaksanaan Tahun Diakonia. Secara umum, memang dilakukan banyak kegiatan – dalam konteks Tahun Diakonia – ada catatan kritis bahwa kegiatan yang dibuat terlebih pada kegiatan yang bersifat rutin, hal biasa. Belum ada kegiatan atau program yang khas, spesifik untuk Tahun Pelayanan. Nah, hal ini, menjadi perhatian saat memasuki tahun 2016, Tahun Koinonia.
Maka, langkah memasuki Tahun Koinonia ada tiga hal. Pertama, konsep atau makna persekutuan – sebagaimana termuat dalam Kitab Suci dari tinjauan Biblis – juga dibahas dalam pertemuan tersebut. Tujuannya agar kita dapat menggali kekayaan makna Koinonia. Juga dilihat, bagaimana pelaksanaan Persekutuan, sebagai kendaraan atau sarana KBG. Dalam pertemuan para imam, peserta mendengarkan sharing pelaksanaan KBG dari Keuskupan Pangkal Pinang dan Komisi Keluarga, untuk mengungkapkan “bagaimana persekutuan dalam keluarga dikembangkan?” Atas bahan ini, para pastor bersama Dewan Pastoral Paroki (DPP) bisa membicarakannya di parokinya: bagaimana ‘mengisi’ Tahun Koinonia? Kedua, para pastor dan DPP, harus melihat kembali buku kuning, buku yang memuat hasil Muspas Keuskupan Padang Tahun 2011, sebagai pegangan! Di dalamnya memuat ‘daftar’ permasalahan, hasil Muspas, Renstra. Ini patut mendapat perhatian atau panduan, pedoman, pegangan saat paroki membuat program di sepanjang tahun 2016, Tahun Koinonia, sebagai program visioner selain program rutin (misalnya Natal, Paskah, dan sebagainya). Ketiga, karena merupakan Renstra Keuskupan Padang sehingga tidak melulu diserahkan pada program paroki saja, namun harus ada kegiatan bersama tingkat keuskupan. Tim pastoral mesti bekerja lebih efektif. Dalam pertemuan Dewan Harian (awal Desember 2015) disepakati untuk melihat kembali Tim Pastoral Keuskupan, agar sungguh efektif dan mengimplementasikan Renstra; serta ingin melihat hakekat tim pastoral. Tim Pastoral ingin lebih diefektifkan dan lebih fungsional untuk mengimplementasikan hasil Muspas. Sehubungan Renstra Keuskupan Padang, hendaknya didalami dan ditempatkan dalam kerangka kebijakan dan pastoral di setiap paroki dan lembaga. Itu arah kita dengan visi menuju Gereja yang mandiri dan berbuah, melalui lima hal (katekese, liturgi, pelayanan, persekutuan, kesaksian).
Patut kita perhatikan, bahwa tidak mungkin berbagai persoalan yang diinventarisir dan dibahas dalam Muspas 2011 bisa diselesaikan sesegeranya, instan. Muspas membantu kita untuk lebih membaharui kehidupan menggereja, kita berpastoral tidak menggunakan hitung-hitungan matematis – apalagi berkaitan dengan situasi sosial yang selalu berubah. Masalah sosial juga tidak bersifat tunggal. Saya bisa mengerti ada harapan dari sebagian kalangan agar Muspas dapat memberi solusi dalam waktu singkat, segala persoalan teratasi, dan segera ada perubahan. Muspas hanyalah cara dan sarana membantu kita! Kalau ada perubahan, terlebih pada peningkatan iman, patut kita syukuri sebagai karya Allah. (hrd)