Tahun Martyria 2017: “Kamu adalah Saksi dari Semuanya ini” (Majalah Gema Edisi Januari 2017)
Tahun Martyria 2017:
“Kamu adalah Saksi dari Semuanya ini”
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Kita masuki tahun 2017 yang dicanangkan oleh umat Katolik Keuskupan Padang pada Musyawarah Pastoral 21-25 November 2011 sebagai Tahun Martyria atau Tahun Kesaksian untuk keuskupan kita. Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni “marturion” yang artinya kesaksian. Dalam kesadaran Gereja, martyria adalah syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk menjadi murid Kristus yang sesungguhnya, yang dipanggil untuk bersaksi tentang Tuhan yang menjadi manusia, sengsara, wafat dan bangkit. Kesaksian tentang Tuhan ini berhadapan dengan segala macam kesulitan, ketidakadilan, penganiayaan fisik dan spiritual, paham yang salah dalam berbagai bentuk (tentang Allah, manusia dan ciptaan) dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau merenungkan tentang kesaksian ini, maka Kitab Suci merujuk kepada ragi atau pun garam dan terang dunia yang merupakan inti dari kesaksian kita yang dengan itu menambah jumlah orang-orang baik di tengah dunia. Ragi, garam dan terang akan bermanfaat bila melebur, tanpa kehilangan hakekatnya: meragi, menggarami dan menerangi sehingga menghasilkan orang-orang baik. Istilah orang-orang baik ini merujuk pada orang-orang yang sungguh mengenal dan mengalami kasih Allah dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan manusia. Di tempat lain sering disebut bahwa orang baik karena percaya kepada Allah yang benar yang disebut sebagai orang-orang yang diselamatkan.
“Kamu adalah saksi dari semuanya ini” Sabda Kristus (Luk 24:48). Kita adalah saksi Kristus, Allah yang menjadi manusia: yang menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem (bdk Luk 24:46-47). Bagaimana kita bersaksi dalam Tahun Martyria ini? Majalah GEMA edisi ini mencoba memaparkan kommitmen Gereja untuk bersaksi sebagai ragi, garam dan terang dengan melebur dalam kehidupan masyarakat dan membawanya untuk mengenal Allah yang benar serta melakukan kehendak-Nya. Santo Paulus mengajak kita “janganlah malu bersaksi tentang Tuhan” dalam perkataan maupun perbuatan (2Tim 1:8).
Selamat membaca!
Temukan Ladang Kesaksian Baru
Lahan kesaksian umat Katolik sedemikian beragam. Maria Agnes Bemoe (48) berhasrat beranjak dari “zona nyaman” dan menemukan lahan baru sebagai medan kesaksian dan pelayanan. Setelah menjadi pendidik belasan tahun di lingkungan Yayasan Prayoga Riau (YPR), perempuan berdarah Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini memilih jalannya sendiri. Ia memilih “pensiun dini” sebagai guru formal. Ia ingin mengajar banyak orang dengan buah pikiran dan karya-karyanya sebagai penulis sejak tahun 2010. Hasil karyanya berupa novel, artikel, dan buku cerita rohani Katolik dan profan untuk anak-anak diterbitkan penerbit terkenal di Jakarta.
Agnes mengambil keputusan berani menjadi penulis. “Sangat menyenangkan! Mudah-mudahan saya bisa berguna bagi orang lain. Selalu ada ide-ide kreatif untuk menulis. Namun, keterbatasan fisik karena sakit menjadi kendala. Saya kadang mendapatkan ide dari cerita-cerita orang dan buku-buku,” ucapnya.
Mulanya, Agnes menulis untuk semua kategori, baik berupa artikel maupun novel. Seturut perjalanan waktu, Agnes memilih kelompok anak-anak sebagai target pembacanya. “Merekalah sebagai dasar. Mereka memerlukan dasar yang kuat, terutama anak-anak Katolik perlu ada bacaan yang menuntun pada iman Katolik yang benar. Ini pula yang menjadi tantangan bagi saya, karena merasa belum banyak berbuat untuk anak-anak Katolik. Saya terpanggil untuk menulis buku bagi anak-anak Katolik,” tukasnya.
Menjadi penulis (buku), inilah ladang kesaksian baru baginya. “Bagi saya, dunia tulis-menulis juga lahan kesaksian efektif dan “yang nikmat” bahkan sangat luas. Dunia tulis-menulis memang bukan lahan yang sama sekali baru baginya. Saat menjadi guru pun ia telah aktif menulis. Ia mengaku, minatnya menulis “terangsang” saat mengikuti kursus jurnalistik yang diselenggarakan Majalah GEMA di akhir tahun 1990-an. Berbicara tentang kesaksian (martyria) menurut Agnes, menjadi saksi Kristus adalah menghadirkan Allah dalam pikiran, terwujud dalam perkataan dan tindakan. “Menjadi saksi Kristus berarti menjadi perpanjangan kasih Allah bagi orang lain, sehingga orang lain mengenal dan ‘mengalami’ Allah sendiri. Kita ini hanyalah alat! Sumber dan muaranya Allah sendiri,” katanya. Berkaitan pemahaman martyria, lanjutnya, “Umat Katolik harus berpikir, berbuat, berkata sedemikian rupa sehingga membawa kebaikan, membuat orang lain mampu merasakan sendiri Allah Yang Maha Baik itu.” Agnes menegaskan menjadi saksi itu bermula dari diri sendiri. Bukan kedudukan atau pangkat yang membuat seseorang bermakna atau tidak bagi orang lain; tetapi seberapa niat dan konsistensi diri terhadap nilai-nilai dan ajaran Katolik dan diwujudkan dalam tindakan. Baginya, menjadi saksi Kristus itu tidak harus melakukan hal-hal yang heroik atau spektakuler.
“Sebagai umat beriman, secara pribadi, saya mendidik diri untuk tekun dan patuh menjalankan ajaran Katolik. Perilaku jujur dan disiplin saya upayakan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu ini, tidak lantas selesai begitu saja, melainkan terus dinamis, bahkan mengalami pasang surut atau turun naik. “Di tengah masyarakat saat ini (bahkan di dalam Gereja) yang agamis dan religius, kadang ada bahkan banyak kemunafikan. Maka bagi saya, perilaku bersahaja sesuai tata nilai ajaran iman dalam kondisi demikian merupakan kelangkaan dan kepahlawan yang perlu diperjuangkan setiap saat,” tandasnya lagi.
Agnes mengungkapkan, kualitas kesaksian kita yang menilai adalah orang lain, bukan klaim diri atas karya dan perbuatan sendiri. “Sebagai penulis, saya menuliskan hal-hal yang saya yakini baik, sehingga membuat orang yang membaca senang dan beroleh manfaat. Beberapa buku saya berisi cerita rohani Katolik, karena saya ingin anak-anak Katolik sedini mungkin mengenal kekayaan iman mereka, sehingga mendarahdaging dan mereka tidak meninggalkannya,” tuturnya.
Agnes tidak ingin mengklaim dirinya telah menjadi saksi Kristus lewat upaya yang dilakukannya. “Biarkanlah orang lain yang menilai, saya telah memenuhi standar atau tidak?! Saya berusaha melakukan yang terbaik. Saya hanya ingin hidup, menghidupi dan melakukan nilai-nilai yang saya yakini baik,” tuturnya.
Agnes mengaku tidak aktif dalam kelompok masyarakat, terutama tiga tahun terakhir ini, karena kondisi kesehatan yang membuatnya tidak bebas beraktivitas. “Saya pernah ajak teman facebookers untuk mengumpulkan buku-buku layak baca untuk anak-anak di NTT. Ternyata, banyak teman facebookers bergabung. Itu bukan kegiatan akbar dan megah, hanya langkah kecil namun nyata,” ungkapnya.
Sebagai pendidik, Agnes mengaku prihatin dengan kondisi kehidupan saat ini. Kita dihadapkan pada realitas adanya umat Katolik yang tak acuh atas pendidikan iman dan tak acuh pada nilai-nilai yang diusung Gereja. Di dalam keluarga pun, ada suami istri yang tak acuh dengan nilai-nilai perkawinan. Di luar negeri lebih parah lagi, umat Katolik menghadapi isu aborsi dan pernikahan sejenis. “Oleh sebab itu, bagi saya, memahami ajaran Katolik dengan benar serta hidup sesuai dengan ajaran itu merupakan kesaksian yang tidak kecil,” katanya mengakhiri perbincangan.
Saya Tidak Eksklusif
Sejak tahun 2005, dalam berelasi dengan umat beragama lain di Padangpanjang, saya menghindari topik tentang agama. Saya akui, topik tentang agama saya sangat terbatas, cetek sehingga lebih mengutamakan hal-hal yang umum. Pengetahuan agama Katolik saya peroleh lewat akun Facebook Gereja Katolik. Sekali waktu, saya memposting tentang Katolik. Saya juga membaca-baca buku dan majalah rohani. Kalau ditanya soal agama Katolik, saya menjawab sebagaimana termaktub dalam Syahadat Iman. Kalau ditanya penjabarannya lebih lanjut, saya memang mengalami kesulitan.
Saya pindah ke Padangpanjang sejak tahun 2005, tetapi masih hilir-mudik kerja di Padang, kadang ke Bukittinggi, pergi pagi pulang malam. Walaupun lelah, saya mengikuti kegiatan ronda malam di Rukun Tetangga (RT) tahun 2009. Hingga kini, belum ada yang bertanya-tanya tentang agama kepada saya, baik dalam percakapan resmi maupun tidak resmi. Hal ini disebabkan karena masyarakat di Padangpanjang sudah lama saling berinteraksi, sudah mengenal etnis Tionghoa dan kalangan Katolik serta Kristen.
Saya dan keluarga rutin ke gereja, juga membantu kegiatan yang ada. Bagi saya, kesaksian adalah membagikan pengalaman pribadi, yang berkaitan dengan iman kepada orang lain, diakhiri dengan kesan dan pesan positif. Bersaksi sering dihubungkan dengan ‘garam, terang, dan ragi’. Saya menjalaninya dalam bentuk kehidupan konkrit, misalnya tatkala berada di tengah teman kuliah yang Muslim, aktif kegiatan ikatan alumni, dalam kegiatan RT, dan dalam pekerjaan. Selama ini, saya merasa tidak menarik diri apalagi eksklusif dalam pergaulan. Bahkan saya merasa lebih cenderung reaksioner daripada aksioner, artinya menjawab tatkala ada pertanyaan. Di tengah komunitas non-Katolik, saya tidak mau menonjolkan diri. Namun, di lingkungan Katolik, saya menjadi koordinator Seksi Kepemudaan, wakil dari Padangpanjang dalam jajaran Yayasan Prayoga Bukittinggi hingga kepengurusan tahun 2017. (Disarikan dari wawancara dengan Adrianus Hermanto Irawan)
Saya Semakin Tertantang
Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, hanya saya dan istri yang beragama Katolik. Kami telah dua tahun berdinas di kantor ini. Sebelumnya, kami bertugas di Taman Nasional Siberut (TNS) Kepulauan Mentawai.
Di tempat kerja yang lama, tidak ada yang mempersoalkan agama. Berbeda di tempat yang baru, boleh dikatakan, ‘ujian’ tersendiri bagi kami. Inilah resiko, yang penting, iman kami tidak goyah. Cukup banyak rintangan yang kami hadapi, sehingga harus “pandai-pandai” membawakan diri. Menurut saya, sejauh tidak ‘mengusik’ mereka, akan aman-aman saja. Di antara rekan sejawat kami, ada beberapa yang cukup fanatik, tetapi itu urusan mereka. Atas kondisi seperti itu, saya memegang prinsip, yang juga mereka pahami, yaitu: kita mempunyai hak yang sama di mata hukum dan dunia kerja. Menghadapi situasi ini, saya menggunakan banyak strategi. Seharusnya, kalau profesional, soal agama tidak perlu dibawa-bawa dalam urusan kerja. Apalagi saat kasus Pak Ahok sedang marak-maraknya dibahas, selalu dikaitkan dengan agama.
Pernah ada yang merayu saya pindah agama, alasannya di kantor semuanya seagama dengannya. Dengan tegas saya katakan kepadanya, “Bagi saya agama dan keluarga adalah harga mati!” Kesempatan itu saya manfaatkan untuk “mencerahkan” dia dengan memberikan pandangan dengan dasar hukum yang ada. Namun dengan enteng ia menanggapi bahwa itu sebatas saran agar aman dalam pekerjaan. Saya pun tidak mau kalah dengan menjawab iseng juga, “Saya nyaman-nyaman saja, apalagi dengan keberagaman yang ada!” Sekarang ini, tidak ada lagi bujuk rayu atau ajakan untuk pindah agama. Sejak awal saya tegaskan, bahwa saya pindah dari Siberut ke Padang melulu urusan dinas dan berkarir, bukan urusan agama.
Beda tempat, memang beda pula suasananya. Di tempat baru ini, saya merasa tertantang untuk semakin berani bersaksi sebagai murid Kristus. Bila ada teman yang bertanya tentang agama Katolik, saya pun “siap melayani”. Ada pula pertanyaan atau seloroh dari teman sekantor, “Mengapa orang Katolik tidak pernah berdemonstrasi atau melakukan tindakan yang bersifat anarkis?” Saya jawab enteng, “Ajaran Katolik tidak dibenarkan mengganggu kepentingan umum, apalagi merugikan orang lain. Ajaran Katolik selalu menerapkan cinta kasih!”
(Disarikan dari wawancara dengan Mateus Samolaggan)
Jangan Kosong Pengetahuan Iman
Saya mengartikan, menjadi saksi Kristus adalah ‘menjadi garam dan terang dunia’ yang tampak dalam sikap hidup, bukan berhenti pada pemahaman, pengetahuan, dan omongan doang (omdo). Bersaksi berarti melakukan tindakan yang mencerminkan sebagai pengikut Kristus, bukan sekedar berteori. Hidup kita mesti “berasa” (baik) bagi orang lain.
Sebagai salah satu umat Katolik di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang, saya mulai dari memperbaiki cara dan sikap yang belum sepenuhnya bisa memaafkan. Target saya mau mengubah diri. Saya membekali diri dengan ikut Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) dan kelompok kharismatik. Menjadi saksi Kristus, bagi saya mesti menjadi diri sendiri.
Sebelum bekerja di toko alat listrik di Padang, saya beberapa kali berpindah kerja, antara lain di dealer operator telepon seluler dan pabrik pengolahan santan. Banyak pengalaman yang saya dapatkan, terutama dalam berkontak dan berelasi dengan sesama yang beraneka latar belakang kehidupannya. Dalam berelasi, sering tidak hanya bicara soal pekerjaan dan bisnis saja, tetapi juga tentang agama. Kalau dari antara mereka berbicara atau bertanya tentang agama Katolik, saya berpikir positif saja dan memberikan penjelasan agar mereka tahu. Pengalaman saya, di antara teman-teman kerja ada yang bertanya, misalnya tentang Natal atau kebiasaaan orang Katolik. Ada juga yang berani bertanya: mengapa saya tidak shalat? Pada umumnya, mereka tidak mempersoalkan agama saya, kalau ada yang terkesan “ekstrim” bagi saya wajar. Dari pengalaman itu, saya berkesimpulan, sebagai penganut Katolik, kita jangan sampai ‘kosong pengetahuan” akan iman Katolik dan Gereja. Maka, kita harus terus belajar, aktif dalam kelompok karena di sana ada kesempatan untuk membahas dan mendalami Kitab Suci dan ajaran iman. Kita tidak cukup hanya mengandalkan dari pelajaran agama di sekolah, karena sangat terbatas. Kalau kita mempunyai bekal yang cukup, tidak akan grogi atau minder ketika ditanya tentang agama kita.
(Natallia Suryani Dermawan – Karyawan swasta Tinggal di Padang)
Bersaksi di Jalur Birokrasi
Henrikus Jomi, S.Ag
Pembimas Katolik Kantor Kemenag Propinsi Sumatera Barat
Saya dan rekan-rekan Aparatur Sipil Negara (ASN) – dulu Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah orang Katolik yang bekerja di birokrasi pemerintahan. Karena kami orang Katolik, maka dalam tugas sehari-hari adalah wujud kesaksian sebagai orang Katolik. Memberi kesaksian adalah salah satu dari lima bidang tugas Gereja – merupakan konsekuensi dari baptisan yang ditegaskan lagi melalui Sakramen Krisma. Lewat Sakramen Krisma, kita menjadi orang yang dewasa dalam iman sehingga mesti berani bersaksi, terutama lewat sikap hidup, tingkah laku, segala melaksanakan aturan dalam Gereja dan pemerintah.
Bersaksi itu sebagai pelaksanaan panggilan hidup, sekaligus lahan pewartaan. Kristus sendirilah yang memanggil kita (bdk. Mat.28:19-20). Kesaksian melalui profesi merupakan lahan bagi awam Katolik, yang tidak bisa dan tidak mungkin dilakukan para klerus dan biarawan-biarawati. Saya dan para staf di Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Propinsi Sumatera Barat mengalaminya. Dalam memberikan kesaksian, orang lainlah yang dapat ‘merasakan’-nya. Menjadi saksi itu, tidak cukup hanya berbicara, tetapi mesti ada langkah nyata atau aksi. Tidak tenggelam dalam rutinitas pekerjaan, mempunyai ‘nilai plus’, terlibat dan berpartisipasi dalam aktivitas kebersamaan adalah bagian dan bantu kesaksian.
Berkaitan dengan penetapan tahun 2017 sebagai Tahun Kesaksian Keuskupan Padang, saya melihat sebenarnya umat Katolik sudah berani menjadi saksi Kristus, namun dalam “kadar” yang berbeda-beda. Umat Katolik Keuskupan Padang perlu menegaskan kembali akan panggilannya sebagai saksi Kristus. Penetapan ini, selain memberikan bobot lebih, sekaligus mengingatkan lagi bahwa setiap kita mempunyai tanggung jawab dan peran sebagai saksi Kristus, menjadi ‘garam, terang, dan ragi’.
Kita Dipanggil untuk Bersaksi!
Setelah tahun 2016, Keuskupan Padang menetapkan sebagai Tahun Persekutuan (Koinonia), tahun 2017 ditetapkan sebagai Tahun Kesaksian (Martyria). Menurut kamus, martir berarti orang yang rela menderita atau mati daripada menyerah karena mempertahankan agama atau kepercayaan. Pengertian lain berarti orang yang mati dalam memperjuangkan kebenaran agama. (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI edisi II).
Lantas, bagaimana seharusnya umat Katolik di Keuskupan Padang mengisi Tahun Kesaksian (Martyria) di sepanjang tahun 2017? Apakah seperti pengertian dalam kamus? Beberapa nara sumber GEMA menyatakan, penetapan tahun 2017 sebagai Tahun Kesaksian pasca Muspas 2011 merupakan momentum bagi umat Katolik untuk melihat kembali kesaksian hidup selama ini. Para narasumber menyatakan, menjadi saksi Kristus, ‘martir’ zaman kini, tidak selalu atau mesti menumpahkan darah – sebagaimana terjadi di zaman silam.
Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Prayoga Padang, Yohanes Tuaderu,S.S,M.Hum. mengungkapkan dirinya berusaha menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ dalam pengalaman hidup sehari-hari. Menjadi ‘garam’ dimaknai John, panggilannya, sebagai pembawa pengaruh baik bagi tim kerja atau komunitas di mana dirinya bekerja dan berada. “Kehadiran saya haruslah membuat orang di sekitar menjadi lebih baik. Jika sebelum bersama saya, mereka tidak disiplin misalnya, maka setelah bersama saya menjadi lebih disiplin,” ucapnya.
Sementara menjadi ‘terang’ dipahami John sebagai pemberi solusi dan kelegaan ketika orang lain mengalami kesulitan hidup. “Saya hadir sebagai sumber inspirasi, agar sesuatu yang pelik menjadi lebih mudah diselesaikan. Begitupun dengan ‘ragi’. Menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ dan saksi Kristus melekat dalam diri tokoh-tokoh yang keberadaannya membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi sesama.
Prajurit Satu (Pratu) Adrianus Saleleubaja’ (25) yang bertugas di Batalyon Artileri Pertahanan Udara (Yon Arhanudse) 13 Pekanbaru menyatakan di kesatuan tempatnya bertugas hanya dirinya beragama Katolik. Lulusan Tantama Tahun 2012 gelombang 2 ini telah empat tahun berdinas di batalyon ini.
Adri membagikan pengalamannya. Saat pertama masuk batalyon, 23 Desember 2012, di Pekanbaru, adalah saat-saat bagi umat Kristiani menyambut Natal. “Saat itu, saya sangat sedih tidak bisa bersama keluarga untuk menyambut Sang Juru Selamat. Tetapi, dengan adanya para senior yang beragama Katolik, saya senang bisa merayakan bersama mereka,” katanya.
Putra Kepulauan Mentawai ini mengaku tidak rendah diri atau malu dengan agama yang diyakininya. Bahkan, di antara mereka bisa saling tukar pikiran, berdiskusi tentang agama. Dalam latihan pun, katanya tidak membeda-bedakan berdasarkan suku, etnis maupun agama. Sebagai umat Katolik, Adri sadar bahwa di dalam dirinya “ada tuntutan” menjadi ‘garam dan terang’ bagi lingkungannya. “Saya tetap menunjukkan kekatolikan saya, misalnya menghargai teman beragama lain. Saya tetap bersikap rendah hati, tidak ikut hura-hura. Kepada teman seiman, kami saling mengingatkan dan mengajak mengikuti Misa dan ibadah di asrama. Doa menjadi kekuatan bagi saya dan mengandalkan Tuhan dalam menjalankan tugas,” ujarnya lagi.
Tidak hanya di lingkungan ketentaraan. Mariany Lindawati Simarmata, sejak 4 Februari 2013 menjadi auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Sumatera Barat. Sebelumnya, sejak 9 September 2007 hingga 28 Januari 2013, ia berdinas di BPK RI Propinsi Nusa Tenggara Timur/NTT. Linda mengaku tidak suka membicarakan soal agama di lingkungan kerjanya. “Untuk menghindari konflik! Saya suka mengingatkan teman-teman yang beragama lain kalau waktu atau jam ibadah mereka tiba. Saya juga mengingatkan atau memberikan masukan (input) bila ada sikap mereka yang keliru,” tukasnya.
Linda tidak terlalu memikirkan, perbuatan baik yang dilakukannya itu sebagai “menjadi garam, terang, dan ragi” atau bukan? Bagi Linda, di mana pun dirinya berada, ia akan senang kalau tidak merepotkan orang lain, sebaliknya menjadi solusi. “Orang lain melihat kita sebagai pengikut Kristus manakala kita membawa kedamaian. Orang lain merasakan damai saat bergaul dan bekerjasama dengan kita. Menjadi saksi Kristus berarti hidup dengan baik dan berdampak bagi orang lain,” tambah Linda yang sedang tugas belajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lain lagi pengalaman Agustinus Dian Barnawan (31). Pemuda asal Paroki Santo Fransiskus Assisi Padangbaru yang bekerja di bagian leasing mobil di Pekanbaru ini selalu “bergumul” dengan sesama yang beraneka agama. “Selain bicara bisnis, ada kalanya muncul pertanyaan dari pelanggan tentang agama Katolik. Saya meladeninya sejauh tidak melebar ke mana-mana. Di antara mereka, ada yang sekedar ingin tahu, ada juga yang ingin tahu lebih dalam,” ungkap Dian.
Menurut Dian, pertanyaan yang sering muncul di kalangan pelanggan etnis Melayu, di Bengkalis dan Sungai Apit adalah: “Apa beda Katolik dengan Kristen?” Bagi Dian pertanyaan tersebut wajar. Dian merasa perlu untuk menjelaskannya. Kalau orang Melayu di perkotaan, sambung Dian, yang lebih berbaur umumnya tidak terlalu sentimen. “Bagi saya, kalau mereka bertanya karena tidak tahu. Bukan karena tidak suka atau ngetes,” ujarnya lanjut. Menjadi saksi Kristus, bagi Dian adalah menyangkut pembawaan saat bergaul dengan sesama. Kalau kita kasar, mereka akan memberikan cap negatif terhadap umat Katolik. Nilai-nilai kekatolikan kita bawa dalam tindakan yang baik dan menyejukkan. Inilah bentuk kesaksian yang efektif dan ampuh, lanjutnya.
Bagi Dian, bersaksi bukanlah sesuatu yang berat. Akan menjadi berat bila membuat dirinya “aneh”. Tampillah apa adanya. Kita tidak perlu (tampil) eksklusif, misalnya memakai Rosario besar-besar, membuat tatoo salib, atau hal lain yang aneh-aneh. Aksesoris seperti itu kadang bukan menjadi daya tarik, malah membuat jarak.
Hampir sama disampaikan aktivis Paroki Hati Kudus Yesus, Pangkalan Kerinci, Riau, Stefanus Gharu (48). Menurutnya, setiap pengikut Kristus adalah saksi Kristus; maka di mana pun berada (di rumah, tempat kerja, masyarakat) harus mampu menampilkan jati diri sebagai saksi Kristus. “Umat Katolik, harus meneladani cara hidup Kristus dan para kudus. Kita harus mampu menghadirkan gambaran Kristus itu dalam hidup sehari-hari,” tandasnya.
Dalam penerapannya di tengah pergaulan, Stef membagi dalam tiga golongan. Pertama, orang yang tahu adanya cara, sikap, semangat sebagai saksi Kristus dan mau melaksanakannya. Kedua, orang yang tahu adanya tetapi tidak atau belum melaksanakannya. Ketiga, orang yang tidak tahu – bahkan ada pula yang tidak mau tahu cara, sikap, semangat sebagai saksi Kristus – apalagi melaksanakannya. “Pertanyaan reflektifnya, sebagai umat Katolik kita di posisi mana,” tanya Stef.
Bersaksi itu Berbuat Baik
Sementara itu, dalam kaca mata aktivis Paroki St. Paulus, Pekanbaru, Maria Magdalena Huiniati, kesaksian adalah perbuatan hidup sehari-hari yang mencerminkan ajaran Yesus Kristus. “Kita harus berbuat baik dalam ukuran universal, yaitu sesuai ajaran iman dan hukum negara yang berlaku. Kalau kita sudah melakukannya sesuai ajar Tuhan Yesus, pastilah sudah memenuhi unsur baik tersebut,” ucapnya.
Menurut Huiniati semua agama mengajarkan kebaikan, namun yang khas dari umat Katolik adalah maksimalitas dan totalitas dalam kasih, yaitu mengasihi musuh sekalipun. Menjadi saksi Kristus itu pasti ada suka-dukanya. “Akan banyak sukanya, kalau kita melakukannya dengan bebas, karena tanpa beban. Dukanya, karena kadang kita akan melawan arus. Pengalaman saya sewaktu saya menjadi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial sering dianggap sok suci, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat saya untuk melakukannya dengan jujur dan baik,” ungkapnya.
Menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ juga dilakukan guru karate Kyokushinkai Padang, Gunawan Chandra (48) sejak sekitar dua puluh lima tahun silam. Murid Gunawan berasal dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Bagi Gunawan, pada prinsipnya semua agama mengajarkan kebaikan. “Tergantung
orangnya saja, mau menjadi baik atau tidak,” ujarnya.
Sebagai penganut Katolik, Gunawan merasa telah menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ bagi murid-murid di dalam cabang olahgara karate. Banyak muridnya yang berhasil, namun tetap rendah hati. Bila berjumpa, tak lupa menyampaikan salam dengan sikap yang sopan. Menurutnya, di dalam olahraga ada nilai-nilai luhur, seperti taat pada orangtua dan guru, disiplin dalam segala hal, membangun karakter kepemimpinan, bersikap rendah hati, halus budi, sopan santun, berjiwa kesatria, jujur, mandiri, penuh percaya diri, stamina fisik yang prima berkat latihan terus-menerus, dan pola hidup sehat. Sebagai guru, setelah dalam rentang waktu yang panjang, Gunawan melihat hasil karyanya. “Kalau semua itu bisa dilaksanakan, berarti kita telah memberikan kesaksian akan hal-hal yang baik,” katanya.
Kita Masih Kurang Berani untuk Bersaksi
“Sesuai rencana strategis Keuskupan Padang, pasca Musyawarah Pastoral Tahun 2011, tahun 2017 ditetapkan sebagai Tahun Kesaksian atau Tahun Martyria. Tahun Martyria menjadi program terakhir menuju arah Gereja yang mandiri dan berbuah, setelah kita beranjak dari program-program sebelumnya,” ucap Sekretaris Keuskupan Padang, P. Fransiskus Aliandu, Pr (51). Wawancara selengkapnya dengan GEMA.
Bagaimana kita seharusnya memaknai Tahun 2017 sebagai Tahun Martyria atau Kesaksian?
Sebelum sampai ke tahun 2017, sebagai Tahun Kesaksian (Martyria), setiap tahun kita lalui bersama tema-tema dengan penekanan tersendiri. Tahun 2012: Tahun Sosialisasi, Tahun 2013: Tahun Katekese (Kerygma), Tahun 2014: Tahun Liturgi (Lieitourgia). Tahun 2015: Tahun Pelayanan (Diakonia). Tahun 2016: Tahun Persekutuan (Koinonia).
Beranjak dari program Tahun Pewartaan (Kerygma), kita berpendapat dengan mulai mewartakan iman, kita juga menyadari pengetahuan dan penghayatan yang masih lemah. Setelah mulai dengan pewartaan selanjutnya ‘dirayakan’ dengan Tahun Liturgi. Selanjutnya, harus diungkapkan dalam pelayanan (Tahun Pelayanan). Itu semuanya untuk membentuk persekutuan, baik ke dalam Gereja (intern) maupun ke luar Gereja (ekstern). Tidak berhenti di sini, karena ada tugas lain, yakni memberikan kesaksian. Maksudnya, kita menghadirkan Allah yang memberi nafas (kehidupan) bagi semua orang, yang mencintai semua orang, Allah yang menyelamatkan, Bapa bagi semua. Itulah yang (akan) kita laksanakan pada tahun 2017.
Apa yang dapat dilakukan di sepanjang tahun 2017 sebagai Tahun Kesaksian?
Pertama, kita mesti melihat titik tolak dari kondisi dasar dari kesaksian itu sendiri; sehingga kita fokus memberikan perhatian pada kesaksian. Muspas 2011 merefleksikan bahwa kesaksian kita lemah, kurang greget, orang atau umat (Katolik) tidak berani bersaksi dan tidak mau berbaur ke mana-mana. Kondisi ini terasa sekali.
Atas hasil refleksi Muspas itulah, kita harus mendorong orang/umat, memberanikan orang/umat untuk menjadi saksi Kristus. Kita masing-masing mempunyai tugas untuk memberikan kesaksian, menunjukkan iman yang hidup dan mempersatukan. Fokus kita bertitik tolak dari kelemahan dasar kesaksian inilah, selanjutnya kita dapat semakin berani memberikan kesaksian.
Dari ‘kelemahan dasar’ tersebut, apa yang dapat dilakukan oleh awam dan klerus?
Dalam pertemuan terakhir para imam Keuskupan Padang di tahun 2016 (15-17 November), para imam membicarakan dari pertanyaan: “Apa yang dapat dilakukan?” Menurut kami, langkah yang dapat dilakukan: pertama adalah melakukan sosialisasi kepada umat. Kita menyadari, inilah saatnya kita bersaksi! Waktunya setelah kita mewartakan iman, berliturgi, melayani, dan bersekutu. Kinilah saatnya bersaksi.
Kedua, kita melakukan pembinaan dan kaderisasi. Karena sasaran kita juga terarah kepada awam, baik di kelompok kategorial dan lainnya (misal: KBG). Diharapkan, kita menyadari, bersaksi dan mewartakan dalam segala kehidupan kita; baik di pasar, kantor, sekolah, kampus, dalam pergaulan hidup, program organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya. Itulah yang menjadi ‘lahan’ kesaksian hidup kita.
Maka, setiap kita dapat menjadi martir yang bersaksi?
Untuk bersaksi dan memberikan kesaksian, tidak terfokus (saja) menjadi martir yang menumpahkan darahnya, walau bisa jadi ada seperti itu. Tetapi, pada dasarnya, lebih terarah pada “bagaimana kita mempersaksikan iman kita lewat perilaku, kegiatan, tugas pengabdian kita. Pengorbanan kesaksian tidak melulu darah, bisa juga pengorbanan keringat, tenaga, waktu, perasaan, materi atau dana untuk berbagi kepada orang lain.
Dari pertemuan para imam lalu (15-17/11), adakah program konkrit tingkat Keuskupan Padang?
Menurut rencana strategis (renstra), dilakukan sosialisasi dan kaderisasi. Kami menyadari banyak ragam di Keuskupan Padang kita ini. Diharapkan, setiap paroki dapat merancang sendiri program konkrit untuk Tahun Kesaksian ini, sesuai situasi-kondisi konkrit di dalam rencana kerja Dewan Pastoral Paroki (DPP). Di tingkat keuskupan, sesuai Renstra, diminta Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) beserta komisi lain yang terkait, misalnya Komisi Kateketik (Komkat) untuk menganimasi, melakukan banyak pembinaan, kaderisasi dan paket-paket untuk penyadaran kembali, memunculkan keberanian untuk kesaksian dan aktif bersaksi. (hrd)