Tahun Martyria 2017: “Kamu adalah Saksi dari Semuanya ini” (Majalah Gema Edisi Januari 2017)

Tahun Martyria 2017:
“Kamu adalah Saksi dari Semuanya ini”

Cover Gema Januari 4Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Kita masuki tahun 2017 yang dicanangkan oleh umat Katolik Keuskupan Padang pada Musyawarah Pastoral 21-25 November 2011 sebagai Tahun Martyria atau Tahun Kesaksian untuk keuskupan kita. Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni “marturion” yang artinya kesaksian. Dalam kesa­daran Gereja, martyria adalah syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk menjadi murid Kristus yang sesungguhnya, yang dipanggil untuk bersaksi tentang Tuhan yang menjadi manusia, sengsara, wafat dan bangkit. Kesaksian tentang Tuhan ini berhadapan dengan segala macam kesulitan, ketidakadilan, penganiayaan fisik dan spiritual, paham yang salah dalam berbagai bentuk (tentang Allah, manusia dan ciptaan) dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau merenungkan tentang kesaksian ini, maka Kitab Suci merujuk kepada ragi atau pun garam dan terang dunia yang merupakan inti dari kesaksian kita yang dengan itu menambah jumlah orang-orang baik di tengah dunia. Ragi, garam dan terang akan bermanfaat bila melebur, tanpa kehilangan hakekatnya: meragi, menggarami dan menerangi sehingga menghasilkan orang-orang baik. Istilah orang-orang baik ini merujuk pada orang-orang yang sungguh mengenal dan mengalami kasih Allah dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan manusia. Di tempat lain sering disebut bahwa orang baik karena percaya kepada Allah yang benar yang disebut sebagai orang-orang yang diselamatkan.

“Kamu adalah saksi dari semuanya ini” Sabda Kristus (Luk 24:48). Kita adalah saksi Kristus, Allah yang menjadi manusia: yang menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem (bdk Luk 24:46-47). Bagaimana kita bersaksi dalam Tahun Martyria ini? Majalah GEMA edisi ini mencoba memaparkan kommitmen Gereja untuk bersaksi sebagai ragi, garam dan terang dengan melebur dalam kehidupan masyarakat dan membawanya untuk mengenal Allah yang benar serta melakukan kehendak-Nya. Santo Paulus mengajak kita “janganlah malu bersaksi tentang Tuhan” dalam perkataan maupun perbuatan (2Tim 1:8).
Selamat membaca!

Temukan Ladang Kesaksian Baru

fokus,agnes bemoe
Maria Agnes Bemoe

Lahan kesaksian umat Katolik sedemikian beragam. Maria Agnes Bemoe (48) berhasrat beranjak dari “zona nyaman” dan mene­mukan lahan baru sebagai medan kesaksian dan pelayanan. Setelah menjadi pendidik belasan tahun di lingkungan Yayasan Prayoga Riau (YPR), perempuan berdarah Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini memilih jalannya sendiri. Ia memilih “pensiun dini” sebagai guru formal. Ia ingin meng­ajar banyak orang dengan buah pikiran dan karya-karyanya sebagai penulis sejak tahun 2010. Hasil karyanya berupa novel, artikel, dan buku cerita rohani Ka­tolik dan profan untuk anak-anak diter­bitkan penerbit terkenal di Jakarta.

Agnes mengambil keputusan berani menjadi penulis. “Sangat menyenang­kan! Mudah-mudahan saya bisa berguna bagi orang lain. Selalu ada ide-ide kreatif untuk menulis. Namun, keterbatasan fisik karena sakit menjadi kendala. Saya kadang mendapatkan ide dari cerita-cerita orang dan buku-buku,” ucapnya.

Mulanya, Agnes menulis untuk se­mua kategori, baik berupa artikel maupun novel. Seturut perjalanan waktu, Agnes memilih kelom­pok anak-anak sebagai target pembacanya. “Merekalah sebagai dasar. Mereka memerlukan dasar yang kuat, terutama anak-anak Katolik perlu ada bacaan yang menuntun pada iman Katolik yang benar. Ini pula yang menjadi tan­tangan bagi saya, karena merasa belum banyak berbuat untuk anak-anak Katolik. Saya terpanggil untuk menulis buku bagi anak-anak Katolik,” tukasnya.

Menjadi penulis (buku), inilah ladang kesaksian baru baginya. “Bagi saya, dunia tulis-menulis juga lahan kesaksian efektif dan “yang nikmat” bahkan sangat luas. Dunia tulis-menulis memang bukan lahan yang sama sekali baru baginya. Saat men­ja­di guru pun ia telah aktif menulis. Ia me­ng­aku, minatnya menulis “terang­sang” sa­at mengikuti kursus jurnalistik yang dise­lenggarakan Majalah GEMA di akhir tahun 1990-an. Berbicara tentang kesak­sian (mar­tyria) menurut Agnes, menjadi saksi Kristus adalah menghadirkan Allah dalam pikiran, terwujud dalam perkataan dan tindakan. “Menjadi saksi Kristus ber­arti menjadi perpanjangan kasih Allah bagi orang lain, sehingga orang lain mengenal dan ‘mengalami’ Allah sendiri. Kita ini hanya­lah alat! Sumber dan muaranya Allah sendiri,” katanya. Berkaitan pemahaman martyria, lanjutnya, “Umat Katolik harus berpikir, berbuat, berkata sedemikian rupa sehingga membawa kebaikan, membuat orang lain mampu merasakan sendiri Allah Yang Maha Baik itu.” Agnes menegaskan menjadi saksi itu bermula dari diri sendiri. Bukan kedudukan atau pangkat yang mem­buat seseorang bermakna atau tidak bagi orang lain; tetapi seberapa niat dan kon­sistensi diri terhadap nilai-nilai dan ajaran Katolik dan diwujudkan dalam tindakan. Baginya, menjadi saksi Kristus itu tidak harus melakukan hal-hal yang heroik atau spektakuler.

“Sebagai umat beriman, secara priba­di, saya mendidik diri untuk tekun dan patuh menjalankan ajaran Katolik. Peri­laku jujur dan disiplin saya upayakan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu ini, tidak lantas selesai begitu saja, mela­in­kan terus dinamis, bahkan meng­alami pasang surut atau turun naik. “Di tengah masyarakat saat ini (bahkan di dalam Gereja) yang agamis dan religius, kadang ada bahkan banyak kemunafikan. Maka bagi saya, perilaku bersahaja sesuai tata ni­lai ajaran iman dalam kondisi demikian merupakan kelangkaan dan kepahlawan yang perlu diperjuangkan setiap saat,” tandasnya lagi.

Agnes mengungkapkan, kualitas ke­sak­sian kita yang menilai adalah orang lain, bukan klaim diri atas karya dan perbuatan sendiri. “Sebagai penulis, saya menuliskan hal-hal yang saya yakini baik, sehingga membuat orang yang membaca senang dan beroleh manfaat. Beberapa buku saya berisi cerita rohani Katolik, karena saya ingin anak-anak Katolik sedini mungkin mengenal kekaya­an iman mere­ka, sehingga mendarah­daging dan mereka tidak meninggal­kannya,” tuturnya.

Agnes tidak ingin mengklaim dirinya telah menjadi saksi Kristus lewat upaya yang dilakukannya. “Biarkanlah orang lain yang menilai, saya telah memenuhi standar atau tidak?! Saya berusaha melakukan yang terbaik. Saya hanya ingin hidup, menghidupi dan melakukan nilai-nilai yang saya yakini baik,” tuturnya.

Agnes mengaku tidak aktif dalam kelompok masyarakat, terutama tiga tahun terakhir ini, karena kondisi kesehatan yang membuatnya tidak bebas beraktivitas. “Saya pernah ajak teman facebookers untuk mengum­pulkan buku-buku layak baca untuk anak-anak di NTT. Ternyata, banyak teman facebookers bergabung. Itu bukan kegiatan akbar dan megah, hanya langkah kecil namun nyata,” ungkapnya.

Sebagai pendidik, Agnes meng­aku prihatin dengan kondisi ke­hidupan saat ini. Kita di­ha­dapkan pada realitas adanya umat Katolik yang tak acuh atas pendidikan iman dan tak acuh pada nilai-nilai yang diusung Gereja. Di dalam keluarga pun, ada suami istri yang tak acuh dengan nilai-nilai per­kawinan. Di luar negeri lebih parah lagi, umat Katolik menghadapi isu aborsi dan pernikahan sejenis. “Oleh sebab itu, bagi saya, memahami ajaran Katolik dengan benar serta hidup sesuai dengan ajaran itu me­rupakan kesaksian yang tidak kecil,” katanya mengakhiri perbin­cang­an.

Saya Tidak Eksklusif

fokus,adrianus hermanto
Adrianus Hermanto Irawan bersama anak-anaknya

Sejak tahun 2005, dalam berelasi dengan umat beragama lain di Padang­panjang, saya menghindari topik tentang agama. Saya akui, topik tentang agama saya sangat terbatas, cetek sehingga lebih mengutamakan hal-hal yang umum. Pengetahuan agama Katolik saya peroleh lewat akun Facebook Gereja Katolik. Sekali waktu, saya memposting tentang Katolik. Saya juga membaca-baca buku dan majalah rohani. Kalau ditanya soal agama Katolik, saya menjawab sebagaimana termaktub dalam Syahadat Iman. Kalau ditanya penja­barannya lebih lanjut, saya memang mengalami kesulitan.

Saya pindah ke Padangpanjang sejak tahun 2005, tetapi masih hilir-mudik kerja di Padang, kadang ke Bukittinggi, pergi pagi pulang malam. Walaupun lelah, saya mengikuti kegiatan ronda malam di Rukun Tetangga (RT) tahun 2009. Hingga kini, belum ada yang bertanya-tanya tentang agama kepada saya, baik dalam per­cakapan resmi maupun tidak resmi. Hal ini disebabkan karena masyarakat di Padang­panjang sudah lama saling berinteraksi, sudah mengenal etnis Tiong­hoa dan kalangan Katolik serta Kristen.

Saya dan keluarga rutin ke gereja, juga membantu kegiatan yang ada. Bagi saya, kesaksian adalah membagikan pengalaman pribadi, yang berkaitan dengan iman kepada orang lain, diakhiri dengan kesan dan pesan positif. Bersaksi sering dihubungkan dengan ‘garam, terang, dan ragi’. Saya menjalaninya dalam bentuk kehidupan konkrit, mi­salnya tatkala berada di tengah teman kuliah yang Muslim, aktif kegiatan ikatan alumni, dalam kegiatan RT, dan dalam pekerjaan. Selama ini, saya merasa tidak menarik diri apalagi eksklusif dalam pergaulan. Bahkan saya merasa lebih cenderung reaksioner daripada aksioner, artinya menjawab tatkala ada pertanyaan. Di tengah komunitas non-Katolik, saya tidak mau menonjolkan diri. Namun, di lingkungan Katolik, saya menjadi koordinator Seksi Kepemudaan, wakil dari Padangpanjang dalam jajaran Yayasan Prayoga Bukittinggi hingga kepengurusan tahun 2017. (Disarikan dari wawancara dengan Adrianus Hermanto Irawan)

Saya Semakin Tertantang

fokus,mateus
Mateus Samolaggan

Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, hanya saya dan istri yang beragama Katolik. Kami telah dua tahun berdinas di kantor ini. Se­belumnya, kami bertugas di Taman Nasional Siberut (TNS) Kepulauan Mentawai.

Di tempat kerja yang lama, tidak ada yang mempersoalkan agama. Berbeda di tempat yang baru, boleh dikatakan, ‘ujian’ tersendiri bagi kami. Inilah resiko, yang penting, iman kami tidak goyah. Cukup banyak rintangan yang kami hadapi, sehingga harus “pandai-pandai” memba­wakan diri. Menurut saya, sejauh tidak ‘mengusik’ mereka, akan aman-aman saja. Di antara rekan sejawat kami, ada beberapa yang cukup fanatik, tetapi itu urusan mereka. Atas kondisi seperti itu, saya memegang prinsip, yang juga mereka pahami, yaitu: kita mempunyai hak yang sama di mata hukum dan dunia kerja. Menghadapi situasi ini, saya meng­gunakan banyak strategi. Seha­rusnya, kalau profesional, soal agama tidak perlu dibawa-bawa dalam urusan kerja. Apalagi saat kasus Pak Ahok sedang marak-ma­raknya dibahas, selalu dikaitkan dengan agama.

Pernah ada yang merayu saya pindah agama, alasannya di kantor semuanya seagama dengannya. Dengan tegas saya katakan kepadanya, “Bagi saya agama dan keluarga adalah harga mati!” Kesempatan itu saya manfaatkan untuk “mencerahkan” dia dengan memberikan pandangan dengan dasar hukum yang ada. Namun dengan enteng ia menanggapi bahwa itu sebatas saran agar aman dalam pekerjaan. Saya pun tidak mau kalah dengan menjawab iseng juga, “Saya nyaman-nyaman saja, apalagi dengan kebe­ragaman yang ada!” Seka­rang ini, tidak ada lagi bujuk rayu atau ajakan untuk pindah agama. Sejak awal saya tegaskan, bahwa saya pindah dari Siberut ke Padang melulu urusan dinas dan berkarir, bukan urusan agama.

Beda tempat, memang beda pula suasananya. Di tempat baru ini, saya merasa tertantang untuk semakin berani bersaksi sebagai murid Kristus. Bila ada teman yang bertanya tentang agama Katolik, saya pun “siap melayani”. Ada pula pertanyaan atau seloroh dari teman sekantor, “Mengapa orang Katolik tidak pernah berdemonstrasi atau melakukan tindakan yang bersifat anarkis?” Saya jawab enteng, “Ajaran Katolik tidak dibenarkan mengganggu kepentingan umum, apalagi merugikan orang lain. Ajaran Katolik selalu menerapkan cinta kasih!”
(Disarikan dari wawancara dengan Mateus Samolaggan)

Jangan Kosong Pengetahuan Iman

fokus,natalia suryani d,2Saya mengartikan, menjadi saksi Kristus adalah ‘menjadi garam dan terang dunia’ yang tampak dalam sikap hidup, bukan berhenti pada pemahaman, pengetahuan, dan o­mongan doang (omdo). Bersaksi berarti mela­kukan tindakan yang mencer­minkan sebagai pengikut Kris­tus, bukan sekedar berteori. Hidup kita mesti “berasa” (baik) bagi orang lain.

Sebagai salah satu umat Katolik di Paroki Katedral St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Padang, saya mulai dari mem­perbaiki cara dan sikap yang belum sepenuhnya bisa mema­afkan. Target saya mau mengubah diri. Saya membe­kali diri dengan ikut Kursus Evange­lisasi Pri­badi (KEP) dan kelompok kha­rismatik. Menjadi saksi Kristus, bagi saya mesti menjadi diri sendiri.

Sebelum bekerja di toko alat listrik di Padang, saya beberapa kali berpindah kerja, antara lain di dealer operator telepon seluler dan pabrik pengolahan santan. Banyak pengalaman yang saya dapatkan, terutama dalam berkontak dan berelasi dengan sesama yang beraneka latar belakang kehidupannya. Dalam berelasi, sering tidak hanya bicara soal pekerjaan dan bisnis saja, tetapi juga ten­tang agama. Kalau dari antara mereka ber­bicara atau bertanya tentang agama Katolik, saya berpikir positif saja dan mem­berikan penjelasan agar mereka tahu. Pengalaman saya, di antara teman-teman kerja ada yang bertanya, misalnya tentang Natal atau kebiasaaan orang Katolik. Ada juga yang berani bertanya: mengapa saya tidak shalat? Pada umumnya, mereka tidak memper­soalkan agama saya, kalau ada yang terkesan “ekstrim” bagi saya wajar. Dari pengalaman itu, saya berke­simpul­an, sebagai penganut Katolik, kita jangan sampai ‘kosong pe­ngetahuan” akan iman Katolik dan Gereja. Maka, kita harus terus belajar, aktif dalam kelom­pok karena di sana ada kesempatan untuk membahas dan mendalami Kitab Suci dan ajaran iman. Kita tidak cukup hanya mengandalkan dari pelajaran agama di sekolah, karena sangat ter­batas. Kalau kita mempunyai bekal yang cukup, tidak akan grogi atau minder ketika ditanya tentang agama kita.
(Natallia Suryani Dermawan – Karyawan swasta Tinggal di Padang)

Bersaksi di Jalur Birokrasi

DSC_0066
Henrikus Jomi, S.Ag

Henrikus Jomi, S.Ag
Pembimas Katolik Kantor Kemenag Propinsi Sumatera Barat

Saya dan rekan-rekan Aparatur Sipil Negara (ASN) – dulu Pe­gawai Negeri Sipil (PNS) adalah orang Katolik yang bekerja di birokrasi pe­merintahan. Karena kami orang Katolik, maka dalam tugas sehari-hari adalah wujud kesaksian sebagai orang Katolik. Mem­beri kesaksian adalah salah satu dari lima bidang tugas Gereja – merupakan konse­kuensi dari baptisan yang ditegaskan lagi melalui Sakramen Krisma. Lewat Sa­kramen Krisma, kita menjadi orang yang dewasa dalam iman sehingga mesti berani bersaksi, terutama lewat sikap hidup, tingkah laku, segala melaksanakan aturan dalam Gereja dan pemerintah.

Bersaksi itu sebagai pelaksanaan pang­gilan hidup, sekaligus lahan pewar­taan. Kristus sendirilah yang memanggil kita (bdk. Mat.28:19-20). Kesaksian melalui profesi merupakan lahan bagi awam Katolik, yang tidak bisa dan tidak mungkin dilakukan para klerus dan biarawan-biarawati. Saya dan para staf di Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Propinsi Sumatera Barat mengalaminya. Dalam memberikan kesaksian, orang lainlah yang dapat ‘merasakan’-nya. Menjadi saksi itu, tidak cukup hanya berbicara, tetapi mesti ada langkah nyata atau aksi. Tidak teng­gelam dalam rutinitas pekerjaan, mem­punyai ‘nilai plus’, terlibat dan ber­par­tisi­pasi dalam aktivitas kebersamaan adalah bagian dan bantu kesaksian.

Berkaitan dengan penetapan tahun 2017 sebagai Tahun Kesaksian Keus­kupan Padang, saya melihat sebenarnya umat Katolik sudah berani menjadi saksi Kristus, namun dalam “kadar” yang berbeda-beda. Umat Katolik Keuskupan Padang perlu menegaskan kembali akan pang­gilannya sebagai saksi Kristus. Penetapan ini, selain memberikan bobot lebih, seka­ligus meng­ingatkan lagi bahwa setiap kita mempunyai tanggung jawab dan peran sebagai saksi Kristus, menjadi ‘garam, terang, dan ragi’. 

Kita Dipanggil untuk Bersaksi!

Setelah tahun 2016, Keuskupan Padang menetapkan sebagai Tahun Persekutuan (Koinonia), tahun 2017 ditetapkan sebagai Tahun Kesaksian (Martyria). Menurut kamus, martir berarti orang yang rela menderita atau mati daripada menyerah karena mempertahankan agama atau keper­cayaan. Pengertian lain berarti orang yang mati dalam memperjuangkan kebenaran agama. (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI edisi II).

Lantas, bagaimana seharusnya umat Katolik di Keuskupan Padang mengisi Tahun Kesaksian (Martyria) di se­pan­jang tahun 2017? Apakah seperti penger­tian dalam kamus? Beberapa nara sum­ber GEMA menyatakan, penetapan tahun 2017 sebagai Tahun Kesaksian pasca Muspas 2011 merupakan momen­tum bagi umat Katolik untuk melihat kembali kesaksian hidup selama ini. Para narasumber menyatakan, menjadi saksi Kristus, ‘martir’ zaman kini, tidak selalu atau mesti menum­pahkan darah – sebagaimana terjadi di zaman silam.

Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Prayoga Padang, Yohanes Tuaderu,S.S,M.Hum. mengungkapkan dirinya berusaha menjadi ‘garam, te­rang, dan ragi’ dalam pengalaman hidup sehari-hari. Menjadi ‘garam’ dimaknai John, panggilannya, sebagai pembawa pengaruh baik bagi tim kerja atau komu­nitas di mana dirinya bekerja dan berada. “Kehadiran saya haruslah membuat orang di sekitar menjadi lebih baik. Jika sebelum bersama saya, mereka tidak disiplin misalnya, maka setelah bersama saya menjadi lebih disiplin,” ucapnya.

Sementara menjadi ‘terang’ dipa­hami John sebagai pemberi solusi dan kelegaan ketika orang lain mengalami kesulitan hidup. “Saya hadir sebagai sumber inspirasi, agar sesuatu yang pelik menjadi lebih mudah diselesaikan. Begitupun dengan ‘ragi’. Menjadi ‘ga­ram, terang, dan ragi’ dan saksi Kristus melekat dalam diri tokoh-tokoh yang keberadaannya membawa keba­hagiaan dan kesejahteraan bagi sesama.

Prajurit Satu (Pratu) Adrianus Saleleubaja’ (25) yang bertugas di Ba­talyon Artileri Pertahanan Udara (Yon Arhanudse) 13 Pekanbaru menyatakan di kesatuan tempatnya bertugas hanya dirinya beragama Katolik. Lulusan Tan­tama Tahun 2012 gelombang 2 ini telah empat tahun berdinas di batalyon ini.

Adri membagikan penga­laman­nya. Saat pertama masuk batalyon, 23 De­sember 2012, di Pekanbaru, adalah saat-saat bagi umat Kristiani menyambut Natal. “Saat itu, saya sangat sedih tidak bisa bersama keluarga untuk menyambut Sang Juru Selamat. Tetapi, dengan ada­nya para senior yang beragama Katolik, saya senang bisa merayakan bersama mereka,” katanya.

Putra Kepulauan Mentawai ini meng­aku tidak rendah diri atau malu dengan agama yang diyakininya. Bah­kan, di antara mereka bisa saling tukar pikiran, berdiskusi tentang agama. Da­lam latihan pun, katanya tidak membeda-bedakan berdasarkan suku, etnis maupun agama. Sebagai umat Katolik, Adri sadar bahwa di dalam dirinya “ada tuntutan” menjadi ‘garam dan terang’ bagi ling­kungannya. “Saya tetap menun­jukkan kekatolikan saya, misalnya menghargai teman beragama lain. Saya tetap bersikap rendah hati, tidak ikut hura-hura. Kepada teman seiman, kami saling meng­ingat­kan dan mengajak mengikuti Misa dan ibadah di asrama. Doa menjadi kekuatan bagi saya dan mengandalkan Tuhan dalam menjalankan tugas,” ujarnya lagi.

Tidak hanya di lingkungan keten­taraan. Mariany Lindawati Si­mar­mata, sejak 4 Februari 2013 menjadi auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Sumatera Barat. Sebelumnya, sejak 9 September 2007 hingga 28 Januari 2013, ia berdinas di BPK RI Pro­pinsi Nusa Tenggara Timur/NTT. Linda mengaku tidak suka membi­carakan soal agama di ling­kungan kerjanya. “Untuk meng­hindari konflik! Saya suka meng­ingatkan teman-teman yang beragama lain kalau waktu atau jam ibadah mereka tiba. Saya juga meng­ingatkan atau memberikan masukan (input) bila ada sikap mereka yang keliru,” tukasnya.

Linda tidak terlalu memikirkan, perbuatan baik yang dilakukannya itu sebagai “menjadi garam, terang, dan ragi” atau bukan? Bagi Linda, di mana pun dirinya berada, ia akan senang kalau tidak merepotkan orang lain, sebaliknya menjadi solusi. “Orang lain melihat kita sebagai pengikut Kristus manakala kita membawa kedamaian. Orang lain merasakan damai saat bergaul dan bekerjasama dengan kita. Menjadi saksi Kristus berarti hidup dengan baik dan berdampak bagi orang lain,” tambah Linda yang sedang tugas belajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

fokus,dian barnawan,1
Agus­tinus Dian Barnawan

Lain lagi pengalaman Agus­tinus Dian Barnawan (31). Pemuda asal Paroki Santo Fran­siskus Assisi Padang­baru yang bekerja di bagian leasing mobil di Pekanbaru ini selalu “ber­gumul” dengan sesama yang beraneka agama. “Selain bicara bisnis, ada kalanya muncul pertanyaan dari pelang­gan tentang agama Kato­lik. Saya mela­deninya sejauh tidak melebar ke mana-mana. Di antara mereka, ada yang sekedar ingin tahu, ada juga yang ingin tahu lebih dalam,” ungkap Dian.

Menurut Dian, pertanyaan yang sering muncul di kalangan pelanggan etnis Melayu, di Bengkalis dan Sungai Apit adalah: “Apa beda Katolik dengan Kristen?” Bagi Dian pertanyaan tersebut wajar. Dian me­rasa perlu untuk menje­laskannya. Kalau orang Melayu di per­kotaan, sambung Dian, yang lebih berbaur umumnya tidak terlalu sentimen. “Bagi saya, kalau mereka bertanya karena tidak tahu. Bukan karena tidak suka atau ngetes,” ujarnya lanjut. Menjadi saksi Kristus, bagi Dian adalah me­nyang­kut pem­bawaan saat bergaul dengan se­sama. Kalau kita kasar, me­reka akan mem­berikan cap negatif terhadap umat Katolik. Nilai-nilai kekatolikan kita bawa da­lam tindakan yang baik dan me­nyejukkan. Inilah bentuk ke­saksian yang efektif dan ampuh, lanjutnya.

Bagi Dian, bersaksi bukanlah sesuatu yang berat. Akan menjadi berat bila membuat dirinya “aneh”. Tampil­lah apa adanya. Kita tidak perlu (tam­pil) eksklusif, misalnya memakai Ro­sa­rio besar-besar, mem­buat tatoo salib, atau hal lain yang aneh-aneh. Aksesoris seperti itu kadang bukan menjadi daya tarik, malah membuat jarak.

Hampir sama disampaikan aktivis Paroki Hati Kudus Yesus, Pangkalan Kerinci, Riau, Stefanus Gharu (48). Menurutnya, setiap pengikut Kristus adalah saksi Kristus; maka di mana pun berada (di rumah, tempat kerja, masya­rakat) harus mampu menam­pilkan jati diri sebagai saksi Kristus. “Umat Katolik, harus mene­ladani cara hidup Kristus dan para kudus. Kita harus mampu menghadirkan gambaran Kris­tus itu dalam hidup sehari-hari,” tandasnya.

Dalam penerapannya di tengah pergaulan, Stef membagi dalam tiga golongan. Pertama, orang yang tahu adanya cara, sikap, semangat sebagai saksi Kristus dan mau melak­sana­kannya. Kedua, orang yang tahu adanya tetapi tidak atau belum melaksa­nakannya. Ketiga, orang yang tidak tahu – bahkan ada pula yang tidak mau tahu cara, sikap, semangat sebagai saksi Kristus – apalagi melak­sanakannya. “Pertanyaan reflektifnya, sebagai umat Katolik kita di posisi mana,” tanya Stef.

Bersaksi itu Berbuat Baik

fokus,huiniati 2
Maria Magdalena Huiniati dan keluarga

Sementara itu, dalam kaca mata aktivis Paroki St. Paulus, Pekanbaru, Maria Magdalena Huiniati, kesak­sian adalah perbuatan hidup sehari-hari yang mencerminkan ajaran Yesus Kristus. “Kita harus berbuat baik dalam ukuran universal, yaitu sesuai ajaran iman dan hukum ne­gara yang berlaku. Kalau kita sudah melaku­kannya sesuai ajar Tuhan Yesus, pastilah sudah memenuhi unsur baik tersebut,” ucapnya.

Menurut Huiniati semua agama mengajarkan kebaik­an, namun yang khas dari umat Katolik adalah maksi­malitas dan totalitas dalam kasih, yaitu mengasihi musuh sekalipun. Menjadi saksi Kristus itu pasti ada suka-dukanya. “Akan banyak suka­nya, kalau kita melaku­kannya dengan bebas, karena tanpa beban. Dukanya, karena kadang kita akan melawan arus. Pengalaman saya sewaktu saya menja­di hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial sering dianggap sok suci, tetapi hal itu tidak menyu­rutkan se­mangat saya untuk melakukannya dengan jujur dan baik,” ungkapnya.

Menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ juga dilakukan guru karate Kyo­kushinkai Pa­dang, Gunawan Chan­dra (48) sejak sekitar dua puluh lima tahun silam. Murid Guna­wan berasal dari berba­gai latar belakang etnis dan agama. Bagi Gunawan, pada prin­sipnya semua agama meng­ajarkan kebaikan. “Ter­gan­tung

fokus,gunawan chandra KYOKUSHINKAI
Gunawan Chan­dra

orangnya saja, mau men­jadi baik atau tidak,” ujarnya.

Sebagai penganut Katolik, Guna­wan merasa telah menjadi ‘garam, terang, dan ragi’ bagi murid-murid di dalam cabang olahgara karate. Banyak muridnya yang berha­sil, namun tetap rendah hati. Bila berjumpa, tak lupa menyampaikan salam dengan sikap yang sopan. Menurutnya, di dalam olahraga ada nilai-nilai luhur, seperti taat pada orangtua dan guru, disiplin dalam segala hal, membangun karakter kepemimpinan, bersikap rendah hati, halus budi, sopan santun, berjiwa kesatria, jujur, mandiri, penuh percaya diri, stamina fisik yang prima berkat latihan terus-menerus, dan pola hidup sehat. Sebagai guru, setelah dalam rentang waktu yang panjang, Guna­wan melihat hasil karyanya. “Kalau semua itu bisa dilaksanakan, berarti kita telah memberikan kesaksian akan hal-hal yang baik,” katanya.

Kita Masih Kurang Berani untuk Bersaksi

Pastor KUS 1
P. Fransiskus Aliandu, Pr

“Sesuai rencana strategis Keuskupan Padang, pasca Musyawarah Pastoral  Tahun 2011,  tahun 2017 ditetapkan sebagai Tahun Kesaksian atau Tahun Martyria.  Tahun Martyria menjadi program terakhir menuju arah Gereja yang mandiri dan berbuah, setelah kita beranjak dari program-program sebelumnya,” ucap Sekretaris Keuskupan Padang, P. Fransiskus Aliandu, Pr (51). Wawancara selengkapnya dengan GEMA.

Bagaimana kita seharusnya memaknai Tahun 2017 sebagai Tahun Martyria atau Kesaksian?
Sebelum sampai ke tahun 2017, sebagai Tahun Kesaksian (Martyria), setiap tahun kita lalui bersama tema-tema dengan penekanan tersendiri. Tahun 2012: Tahun Sosialisasi, Tahun 2013: Tahun Katekese (Kerygma), Tahun 2014: Tahun Liturgi (Lieitourgia). Tahun 2015: Tahun Pelayanan (Diakonia). Tahun 2016: Tahun Persekutuan (Koinonia).
Beranjak dari program Tahun Pewartaan (Kerygma), kita berpendapat dengan mulai mewartakan iman, kita juga menyadari pengetahuan dan penghayatan yang masih lemah. Setelah mulai dengan pewartaan selanjutnya ‘dirayakan’ dengan Tahun Liturgi. Selanjutnya, harus diungkapkan dalam pelayanan (Tahun Pelayanan). Itu semuanya untuk membentuk persekutuan, baik ke dalam Gereja (intern) maupun ke luar Gereja (ekstern). Tidak berhenti di sini, karena ada tugas lain, yakni memberikan kesaksian. Maksudnya, kita menghadirkan Allah yang memberi nafas (kehidupan) bagi semua orang, yang mencintai semua orang, Allah yang menyelamatkan, Bapa bagi semua. Itulah yang (akan) kita laksanakan pada tahun 2017.

Apa yang dapat dilakukan di sepanjang tahun 2017 sebagai Tahun Kesaksian?
Pertama, kita mesti melihat titik tolak dari kondisi dasar dari kesaksian itu sendiri; sehingga kita fokus memberikan perhatian pada kesaksian. Muspas 2011 merefleksikan bahwa kesaksian kita lemah, kurang greget, orang atau umat (Katolik) tidak berani bersaksi dan tidak mau berbaur ke mana-mana. Kondisi ini terasa sekali.
Atas hasil refleksi Muspas itulah, kita harus mendorong orang/umat, memberanikan orang/umat untuk menjadi saksi Kristus. Kita masing-masing mempunyai tugas untuk memberikan kesaksian, menunjukkan iman yang hidup dan mem­persatukan. Fokus kita bertitik tolak dari kelemahan dasar kesaksian inilah, selanjutnya kita dapat semakin berani memberikan kesaksian.

Dari ‘kelemahan dasar’ tersebut, apa yang dapat dilakukan oleh awam dan klerus?
Dalam pertemuan terakhir para imam Keuskupan Padang di tahun 2016 (15-17 November), para imam membicarakan dari pertanyaan: “Apa yang dapat dilakukan?” Menurut kami, langkah yang dapat dilakukan: pertama adalah melakukan sosialisasi kepada umat. Kita menyadari, inilah saatnya kita bersaksi! Waktunya setelah kita mewartakan iman, berliturgi, melayani, dan bersekutu. Kinilah saatnya bersaksi.
Kedua, kita melakukan pembinaan dan kaderisasi. Karena sasaran kita juga terarah kepada awam, baik di kelompok kategorial dan lainnya (misal: KBG). Diharapkan, kita menyadari, bersaksi dan mewartakan dalam segala kehidupan kita; baik di pasar, kantor, sekolah, kampus, dalam pergaulan hidup, program organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya. Itulah yang menjadi ‘lahan’ kesaksian hidup kita.

Maka, setiap kita dapat menjadi martir yang bersaksi?
Untuk bersaksi dan memberikan kesaksian, tidak terfokus (saja) menjadi martir yang menumpahkan darahnya, walau bisa jadi ada seperti itu. Tetapi, pada dasarnya, lebih terarah pada “bagaimana kita mempersaksikan iman kita lewat perilaku, kegiatan, tugas pengabdian kita. Pengorbanan kesaksian tidak melulu darah, bisa juga pengorbanan keringat, tenaga, waktu, perasaan, materi atau dana untuk berbagi kepada orang lain.

Dari pertemuan para imam lalu (15-17/11), adakah program konkrit tingkat Keuskupan Padang?
Menurut rencana strategis (renstra), dilakukan sosialisasi dan kaderisasi. Kami menyadari banyak ragam di Keuskupan Padang kita ini. Diharapkan, setiap paroki dapat merancang sendiri program konkrit untuk Tahun Kesaksian ini, sesuai situasi-kondisi konkrit di dalam rencana kerja Dewan Pastoral Paroki (DPP). Di tingkat keuskupan, sesuai Renstra, diminta Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) beserta komisi lain yang terkait, misalnya Komisi Kateketik (Komkat) untuk meng­animasi, melakukan banyak pembinaan, kaderisasi dan paket-paket untuk penyadaran kembali, memunculkan keberanian untuk kesaksian dan aktif bersaksi. (hrd)

Tinggalkan Balasan