Tidak Lupa Bersyukur (Renungan Hari Minggu Biasa XXVIII, 9 Oktober 2016)
Tidak Lupa Bersyukur
Renungan Hari Minggu Biasa XXVIII, 9 Oktober 2016
2Raj 5:14-17; 2Tim 2:8-13;
Lukas 17:11-19
BIASANYA SEJAK kecil anak-anak dilatih untuk mengucapkan terima kasih bila mereka diberi sesuatu oleh seseorang. “Ayo bilang terima kasih. Atau ayo bilang apa?” ujar si ibu kepada anaknya. Inilah pendidikan etika dan budaya yang baik. Kita semua pernah mengalaminya. Budaya berterima kasih setelah menerima pemberian dari seseorang itu dikenal baik dalam semua budaya manusia di manapun berada. Tetapi anehnya, dalam prakteknya ada orang yang mudah lupa berterima kasih walaupun telah menerima pemberian yang begitu besar dari Tuhan. Setiap hari, bahkan setiap saat, kita menerima banyak pemberian dari Tuhan, Sang Pencipta. Matahari yang bersinar siang hari, bulan di waktu malam, udara bersih, air yang jernih, pohon yang menghasilkan oksigen, organ-organ tubuh yang selalu berfungsi setiap saat, alat indera yang juga bekerja setiap saat.
Bagaimana orang menjadi lupa untuk berterima kasih dan bersyukur setelah mendapatkan pemberian dari Tuhan terungkap jelas dalam Injil hari ini. Yesus menyembuhkan sepuluh orang yang sakit kusta. Mereka berteriak-teriak dari jauh dan mohon mendapat belas kasihan Yesus. “Yesus guru, kasihanilah kami,” kata mereka. Tanpa banyak bicara Tuhan Yesus mengabulkan permintaan mereka dengan menyuruh pergi kepada imam. Pergi kepada imam berarti melaporkan diri bahwa mereka telah sembuh. Dengan demikian perintah Tuhan Yesus itu sama dengan sabda penyembuhan. Hal itu jelas terjadi pada kalimat berikut ”… dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir”. Tetapi dari sepuluh yang disembuhkan ternyata hanya satu orang saja yang kembali kepada Yesus untuk bersyukur, berterimakasih dan memuliakan Allah. Tuhan Yesus pun heran dan berkata, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Dimanakah yang sembilan orang itu?” Dari sepuluh orang yang disembuhkan, hanya satu orang saja yang ingat untuk bersyukur dan berterima kepada Tuhan Yesus.
Betapa sulitnya kita mensyukuri dan berterima kasih kepada Tuhan dan sesama. Betapa hidup ini sebenarnya hanyalah anugerah dan karunia Allah? Kita lahir, hidup, dan berkembang bukanlah itu melulu kasih karunia Allah? Bukankah itu melulu kebaikan orangtua dan sanak saudara kita? Tetapi mengapa kita begitu mudah muram, susah, bermuka gelap dan suka mengritik siapa saja yang baik kepada kita? Sebandingkah sikap kita yang suka tidak puas dan mencela satu kesalahan atau kekurangan sesama kita dengan apa yang telah mereka berikan kepada kita?
Orang kusta yang disembuhkan dan kembali kepada Tuhan Yesus untuk berterima kasih adalah orang Samaria. Orang Yahudi memandang orang Samaria adalah kafir. Tetapi mengapa justru orang Samaria yang kembali dan ingat untuk berterima kasih kepada Tuhan? Hal ini mau menegaskan bahwa karya Tuhan tidak terbatas atau dibatasi pada kelompok tertentu; karya Tuhan itu universal, untuk semua orang. Allah berkarya dimana pun dan kapan pun, untuk siapa pun seturut kehendak-Nya. Kenyataan iman ini mengajak kita untuk terbuka akan kemungkinan bahwa Allah bisa menggunakan orang lain di luar anggapan kita dalam menolong atau mengajar kita. Orang lain itu, bisa siapa saja – yang mungkin di luar perkiraan atau perhitungan kita. Melalui mereka Tuhan bisa berkarya untuk membantu kita ataupun memperingatkan kita. Demikian pula Allah dapat berkarya melalui cara dan di luar jalan pikiran kita, karena yang sering kita anggap baik, belum tentu baik bagi Allah. Apa yang sering kita abaikan malah bisa menjadi apa yang paling penting di hadapan Allah. Kita jangan hanya berpikir Allah adalah Allah kita saja. Marilah kita mohon agar selalu bersyukur dan terbuka pada berbagai kemungkinan karya Allah dalam kehidupan ini dengan cara apa pun dan melalui siapa pun.
Liturgi hari ini: MINGGU BIASA XXVIII/c, 9 OKTOBER 2016…. Klik disini!!