Tobat: Syarat Menyambut Tuhan (Renungan Minggu Adven II/C, 6 Desember 2015)
Hari Minggu Adven II (6 Desember 2015)
Bar 5:1-9; Flp 1:4-6;8-11;
MINGGU INI Gereja memasuki Minggu ke dua Adven. Itu berarti selangkah lebih jauh Gereja mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Sang Juru Selamat. Liturgi pun mendukung suasana ini dengan menghadirkan bacaan-bacaan yang menggaris-bawahi akan datangnya keselamatan dari Tuhan, apabila manusia mau bertobat di hadapan Tuhan.
Kitab Barukh ditulis untuk menghibur orang-orang Israel yang sedang kehilangan harapan dalam pembuangan di Babylon. Hiburan itu berbentuk penyampaian janji keselamatan yang datang dari Tuhan sendiri. Situasi buruk orang-orang Israel itu digambarkan oleh penulis kitab Barukh secara simbolik. Yerusalem sedang sedih dan menderita sekali, terutama karena anak-anaknya telah meninggalkan kota yang mulia itu digiring oleh musuh, yakni para serdadu negeri Babylon yang perkasa. Syukurlah bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka samasekali. Tuhan akan segera menyelamatkan mereka. Janji keselamatan yang telah dekat itu pun digambarkan secara simbolik: Yerusalem segera boleh mengenakan perhiasan kemuliaan Allah untuk selama-lamanya. Allah segera menunjukkan keelokan Yerusalem di seluruh bumi, dan memberi nama yang indah kepadanya; Yerusalem dapat segera bangkit dan berdiri tegak di atas ketinggian, sambil melihat bagaimana anak-anaknya kembali berkumpul dan bersukaria, diusung dengan hormat di atas tandu kebesaran.
Janji keselamatan serupa itu juga disampaikan oleh Yohanes Pemandi kepada orang-orang Isarel yang mendengarkan pewartaannya. Anak dari Imam Zakharia itu mengulang warta keselamatan yang sudah pernah disampaikan oleh nabi dalam kitab Yesaya, dengan menyatakan bahwa “semua orang akan melihat keselamatan yang datang dari Tuhan”. Namun disamping janji keselamatan itu, Yohanes menuntut dari para pendengarnya persiapan yang sesuai dengan luhurnya anugerah keselamatan tersebut. Mereka harus sungguh bertobat dan mau dibaptis, supaya Allah mengampuni dosa-dosa mereka. Mereka harus “mempersiapkan jalan untuk Tuhan meluruskan jalan bagi-Nya, dengan menimbun setiap gunung dan meratakan setiap bukit, meluruskan yang berliku-liku, meratakan yang berlekuk-lekuk”. Pembaptisan yang pada waktu itu biasanya dilaksanakan atas orang-orang kafir yang bersedia menjadi pengikut agama Yahudi, oleh Yohanes Pemandi dilaksanakan atas orang-orang yang sudah beragama Yahudi namun masih mau memperbaiki semangat hidup mereka supaya pantas menerima kedatangan Sang Penyelamat.
Karena Lukas menulis Injilnya untuk orang-orang Yunani dan orang-orang Romawi yang terpelajar dan amat memperhatikan historisitas (nilai sejarah) dari tiap-tiap peristiwa, maka Lukas memberi “tanggal” yang jelas pada peristiwa pembaptisan oleh Yohanes Pemandi itu, yakni dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberias, ketika Pontius Pilatus menjadi walinegeri Yudea, Herodes menjadi raja wilayah Galilea, Filipus menjadi raja wilayah Trakhonitis; waktu itu yang jadi imam agung adalah Hanas dan Kayafas. Setelah kematian Herodes Agung, wilayah Israrel memang dibagi dan diperintah oleh ketiga anaknya, yakni Herodes Antipas, Filipus, dan Arkhelaus. Tetapi Arkhelaus hanya berkuasa sebentar saja. Ia segera terguling karena tak mampu memerintah, wilayahnya dikuasai penguasa Romawi, antara lain Pontius Pilatus itu. Tentang Lisanias, kita sebenarnya tidak tahu banyak. Ia bukan anak Herodes Agung.
Dalam bacaan kedua, Paulus mengharapkan agar umat beriman di Filipi menanggapi keselamatan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yesus Kristus dengan sikap hidup yang sesuai. Ajaran Paulus kepada umat beriman di Filipi itu senada dengan ajakan Yohanes Pemandi kepada orang-orang Israel Ajakan untuk menanggapi anugerah keselamatan dari Tuhan dengan sikap yang tepat. Yang telah memulai pekerjaan yang baik di antara mereka meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari kedatangan kembali Kristus Yesus. Oleh karena itu marilah kita mengamalkan perbuatan yang baik kepada semua orang agar menanggapi kedatangan Tuhan Yesus dengan sikap yang sesuai.