Renungan Hari Minggu Biasa XXIII: Kabar Baik Yang Membebaskan

Kabar Baik Yang Membebaskan
Hari Minggu Biasa XXIII (6 September 2015)
Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-37

Kalau mukjizat sekedar mukjizat akan kehilangan maknanya. Bagi orang beriman, mukjizat tidak pernah berdiri sendiri. Mukjizat itu selalu dilihat dalam rangka pewartaan. Jika mukjizat hanya dilihat sebatas tanda heran, maka Kitab Suci akan kehilangan maknanya. Sebaliknya jika nilai pewartaan ini sungguh diperhatikan, maka Kitab Suci akan menjadi sumber air hidup yang tiada kering untuk ditimba. Dalam setiap kisah mukjizat membawa iman kepada pengenalan akan Allah yang selalu peduli akan keselamatan manusia. Itu berarti Allah selalu peduli kepada hidup manusia. Manusia diselamatkan dalam perjalanan hidupnya. Sejak Yesus, sejarah manusia tidak pernah menjadi sejarah perjuangan manusia semata, tetapi menjadi sejarah manusia bersama Allah yang ingin mewujudkan dan menghadirkan keselamatan. Sejarah manusia mempunyai nilai Ilahi. Kita tahu bahwa sejarah manusia tidak pernah terpisah dari kenyataan hidup sehari-hari. Oleh karena itu keselamatan manusia pun selalu terjadi dalam pengalaman hidup.

Dengan tegas kisah mukjizat dalam Injil Markus yang kita renungkan hari ini menunjukkan ada keterbukaan iman. Dari kisah mukjizat yang hanya milik Markus ini, kita melihat seolah-olah orang bisu menjadi bisu karena lidahnya terikat. Dalam Injil dituliskan: “… terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya.” Antara pendengaran dan lidah memang erat hubungannya. Bisa jadi orang itu sebenarnya tidak bisu tetapi karena lidahnya diikat, maka dia menjadi orang yang sungguh terikat. Bisa juga orang ini pun tidak tuli. Karena orang akan menjadi bisu karena ia tuli. Tidak adanya kata yang masuk ke telinga, menyebabkan alat bicaranya pun tidak dapat memproduksi jenis kata dan bunyi yang mempunyai arti bagi orang di sekitar.

Yang lebih mendalam dalam kisah ini adalah, kebisuan dan ketulian itu bukan hanya sekedar bisu tuli pada alat indera, tetapi lebih menyangkut hati. Orang yang hatinya tuli dan bisu, tidak mungkin mau mendengarkan sapaan Allah. Orang yang demikian juga tidak dapat meluhurkan Allah. Bagi Santo Markus hal ini nampaknya tidak asing. Dari sekian banyak kisah mukjizat yang ditulis dalam kisah Injilnya hanya satu yang kemudian diikuti suatu sikap bersedia memuliakan Allah yaitu dalam kisah Bartimeus (10:46-52). Hal itu pun dimaksudkan untuk menarik pendengar pada kisah perjalanan Yesus yang sudah mendekati Yerusalem, kota kesengsaraan. Ada pesan bahwa lingkungan di sekitar hidup Yesus belum terbuka pada nilai lebih dari mukjizat Yesus.

Di akhir kisah dikatakan: “Mereka takjub dan tercengang dan berkata; Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” Orang di sekitar Yesus itu sebenarnya bukan orang jahat, mereka orang baik dan terbuka akan kebaikan. Tetapi hal ini tidaklah cukup bagi Santo Markus. Dalam ayat 37 ini Santo Markus mengarahkan perhatian pendengar pada kisah penciptaan. Syalom di firdaus dulu kembali hadir dalam diri Yesus itu. Bahkan lebih lagi, Mesias yang datang di dalam diri Yesus itu adalah Masias yang aktif untuk melepaskan lidah yang terikat, membuka telinga yang tertutup, membereskan lingkungan yang menyebabkan lidah-lidah terikat kelu. Hal ini sungguh cocok dengan bacaan pertama yang bernada sangat membujuk: “Katakanlah kepada orang yang tawar hati…” Dalam permulaan Bulan Kitab Suci ini kita mencoba merenungkan Kisah Para Rasul bagian kedua, artinya kita akan mencoba merenungkan bagaimana Sabda Allah itu sungguh membawa Kabar Gembira atau membuka daerah-daerah yang belum kenal dengan sabda kasih yang membebaskan.

Tinggalkan Balasan