PEMAKAMAN: CARA YANG PALING PANTAS (Refleksi atas Instruksi “Ad resurgendum cum Christo”)

img_2391Semakin maraknya penaburan/pelarungan abu kremasi ke laut/sungai, entah dari udara atau dari pantai, atau penyimpanan abu kremasi di rumah sanak keluarga dengan beragam ide dan alasan praktis yang melatar belakanginya, telah mendorong Kongregasi Ajaran Iman untuk mengeluarkan instruksi Ad resurgendum cum Christo (Untuk bangkit bersama Kristus) yang diterbitkan 15 Agustus 2016 dan dipublikasikan pada tanggal 25 Oktober 2016. Instruksi ini menegaskan kembali pedoman pemakaman jenazah, kremasi dan penyimpanan abu jenazah setelah kremasi.

Meskipun kremasi tidak dilarang dengan syarat yang tegas, namun Gereja Katolik menganjurkan agar umat beriman yang meninggal dimakamkan di pemakaman atau tempat-tempat suci lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengikuti tradisi kristen yang paling tua serta cara yang paling pantas dalam mengungkapkan iman dan harapan akan kebangkitan badan dalam Kristus yang telah wafat, dimakamkan namun bangkit pada hari ketiga. Hal ini diungkapkan dalam KHK 1983: “Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani” (Kan. 1176$3).

Mengapa Gereja menganjurkan pemakaman daripada kremasi? Alasannya dapat kita temukan dalam instruksi ini, khususnya no. 3, sebagaimana termuat di bawah ini.

Dengan memakamkan jenazah umat beriman, Gereja menegaskan imannya akan kebangkitan badan, dan bermaksud menunjukkan martabat agung tubuh manusia sebagai bagian integral dari pribadi manusia, yang tubuhnya membentuk bagian identitas mereka. Oleh sebab itu, ia tidak bisa membenarkan atau mengizinkan ritus-ritus yang melibatkan gagasan keliru mengenai kematian, seperti menganggap kematian sebagai pemusnahan pribadi secara definitif, atau momen peleburan dengan Ibu Pertiwi atau alam semesta, atau sebagai tahap dalam siklus regenerasi, atau sebagai pembebasan definitif dari “penjara” tubuh.

Lebih lanjut, pemakaman di pemakaman atau tempat suci lainnya, secara memadai berhubungan dengan kesalehan dan penghormatan yang diberikan kepada jenazah umat beriman, yang melalui baptisannya telah menjadi bait Roh kudus yang telah melaksanakan begitu banyak perbuatan baik”. Sebagaimana Tobias, orang benar, dipuji atas jasa yang ia peroleh di hadapan Allah karena menguburkan orang mati, Gereja pun menganggap pemakaman orang mati merupakan salah satu karya belas kasih jasmani.

IMG_1942_1280x853Terakhir, pemakaman umat beriman yang telah meninggal di pemakaman atau tempat suci lainnya mendorong anggota keluarga dan seluruh komunitas Kristiani untuk berdoa dan mengenang mereka yang dipanggil Tuhan, sembari pada saat yang sama memelihara penghormatan kepada para martir dan orang kudus. Hal ini lebih diperjelas khususnya instruksi no. 5: “Dari masa-masa yang paling awal, umat Kristen telah menghendaki agar umat beriman yang meninggal menjadi objek doa dan kenangan komunitas Kristiani. Makam mereka telah menjadi tempat doa, kenangan, dan permenungan. Umat beriman yang telah meninggal tetap merupakan bagian Gereja yang percaya “dalam persekutuan semua umat beriman Kristus, yang adalah peziarah di bumi, orang mati yang sedang dimurnikan, dan para kudus di surga, semua bersama-sama membentuk satu Gereja.”

Bagaimana dengan kremasi?

Melalui Instruksi Piam et Constantem pada 5 July 1963, sembari menegaskan bahwa pemakaman adalah cara yang paling hormat dan luhur, Gereja mengizinkan kremasi dengan alasan-alasan yang ditegaskan kembali dalam instruksi Ad resurgendum cum Christo no 4. Dalam situasi-situasi ketika kremasi dipilih karena alasan kebersihan, ekonomi, atau karena pertimbangan sosial, pilihan ini tidak pernah boleh melanggar keinginan-eksplisit atau keinginan implisit umat beriman yang telah meninggal. Gereja tidak mengajukan keberatan doktrinal terhadap praktik ini, karena kremasi terhadap jenazah tidak mempengaruhi jiwanya, tidak juga mencegah Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, untuk membangkitkan jenazah dalam kehidupan baru. Karena itu, kremasi, dalam dan dari dirinya sendiri, secara objektif tidak menyangkal ajaran Kristen mengenai keabadian jiwa ataupun kebangkitan badan.
Dalam ketiadaan alasan yang bertentangan dengan ajaran Kristen, Gereja, setelah perayaan ritus pemakaman, mendampingi pilihan kremasi, memberikan arahan liturgis dan pastoral yang relevan, dan mengambil langkah khusus guna menghindari setiap bentuk skandal atau penampilan indiferentisme religius.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah sikap dan perlakuan yang pantas yang ditujukan abu jenazah setelah kremasi?

Semakin maraknya, dan menganggap sebagai yang wajar, umat Katolik menaburkan abu kremasi ke laut/sungai, entah dari udara atau dari pantai, atau penyimpanan abu kremasi di rumah sanak kerabat atau sahabat. Secara tegas Gereja melarang praktek ini melalui instruksi Ad resurgendum cum Christo no 5.
Abu umat beriman harus diletakkan untuk beristirahat di tempat suci, yaitu di pemakaman, atau dalam kasus tertentu, di gereja atau di sebuah area yang dikhususkan untuk tujuan ini, dan didedikasikan oleh otoritas gerejawi yang kompeten.

Penyimpanan abu mereka yang telah meninggal di tempat suci memastikan bahwa mereka tidak dikecualikan dari doa dan kenangan keluarga mereka atau komunitas Kristen. Hal ini dilakukan agar umat beriman yang telah meninggal tidak dilupakan, juga agar peninggalan mereka tetap dihormati, yang mungkin terjadi, sesegeranya setelah generasi selanjutnya juga telah meninggal. Hal ini juga mencegah terjadinya praktik-praktik tahayul atau yang tidak pantas.
Untuk penyimpanan abu umat beriman di rumah kediaman tidak diizinkan, kecuali setelah mendapat izin dari Uskup dalam persetujuan dengan Konferensi Waligereja abu umat beriman dapat dimakamkan di rumah kediaman. Meskipun demikian, abu tersebut tidak boleh dibagi-bagikan di antara anggota keluarga dan rasa hormat harus dijaga mengenai situasi-situasi penyimpanan abu tersebut. Demikian juga bila almarhum yang terkenal jahat telah meminta kremasi dan penyebaran abu dengan alasan-alasan yang bertentangan dengan iman Kristen, pemakaman Kristiani harus ditolak terhadap orang tersebut seturut norma-norma hukum.

Gagasan. Gereja menganjurkan agar abu kremasi dimakamkan atau disemayamkan di mausoleum atau columbarium agar ada tempat untuk mengingat pribadi yang meninggal sekaligus tempat kita berziarah dan berdoa. Namun mengingat bahwa masih sangat jarangnya ditemui mausoleum atau columbarium ini, sudah saatnya, Gereja dalam persaudaraan kekal dengan kaum beriman,, terutama di paroki-paroki dimana umat lebih memilih untuk kremasi, memikirkan pengadaannya. (RD. Riduan Fransiskus Naibaho).

Tinggalkan Balasan