LILIN DALAM HIDUP GEREJA
Dalam kehidupan kita sehari-hari, lilin bukanlah sesuatu yang asing. Dalam berbagai kesempatan kita menggunakan lilin. Lilin dinyalakan ketika ada acara ulang tahun. Lilin juga banyak dinyalakan ketika listrik padam.
Selain digunakan untuk aneka kebutuhan yang bersifat profan, lilin juga sering digunakan dalam banyak upacara gerejani. Mula-mula lilin dipakai hanya sebagai alat penerangan dalam upacara-upacara dini hari di ruang yang gelap (katakombe). Sudah sejak abad ke-4 lilin digunakan di Yerusalem untuk menghiasi dan memeriahkan ruang gereja. Dalam Ritus Romawi mula-mula para akolit yang mengiringi Uskup, membawa lilin sebagai tanda penghormatan. Baru dalam abad ke-11 ditempatkan di meja altar sebagai alat penerangan sekaligus tanda penghormatan. Dengan demikian lilin menjadi sarana liturgi dan merupakan lambang kehangatan dan terang ilahi. Lilin juga melambangkan Kristus Yang mengatakan: ‘Aku Cahaya dunia’. Lilin membuat terang dengan membiarkan diri terbakar, meleleh dan hancur, suatu lambang pengurbanan dan kasih.
Lilin Baptis
Lilin baptis dinyalakan dari Lilin Paskah lambang Kristus, Cahaya Dunia, dan diserahkan waktu ‘Upacara penyerahan Lilin’ kepada orang yang baru dibaptis atau kepada ayah (pada baptisan bayi) atau kepada wali baptisnya. Imam yang membaptis menyerukan: ‘Hiduplah selalu sebagai putra cahaya dan tetap bertekun dalam iman’, supaya orang beriman ini berusaha menjadi ‘cahaya dalam dunia’ (Mat 5:14). Karena lilin baptis itu lambang hidup baru selaku putra-putri cahaya, maka sebaiknya dihiasi dengan lambang tertentu dan tanggal pembaptisan. Lambang itu misalnya berupa gambar burung merpati, salib dan/ atau air.
Setelah dipergunakan dalam pembaptisan, lilin baptis hendaknya disimpan baik-baik, supaya ketika orang yang bersangkutan mengalami sakit keras atau menjelang ajal dapat dinyalakan untuk terakhir kalinya sebagai tanda kesetiaan dalam iman yang diakui waktu dibaptis. Dalam hal ini perlu dihindari bahaya praktik magis. Lilin baptis yang dinyalakan kembali pada waktu mengalami sakit keras atau mendekati ajal, tidak dimaksudkan sebagai ‘obat mujarab’ yang dapat menyembuhkan sakitnya atau memperpanjang usianya, melainkan upaya untuk tetap menunjukkan kesetiaan imannya akan Yesus Kristus, sebagaimana dahulu telah dinyatakan dalam pembaptisan. Tentu saja disertai harapan agar pada waktunya dapat ikut mulia bersama Kristus.
Lilin Paskah
Lilin Paskah adalah sebuah lilin besar yang diberkati dan dinyalakan waktu perayaan Malam Paskah sebagai lambang Kristus yang bangkit dari kematian, ibarat cahaya mengusir kegelapan (=dosa). Lilin ini selama masa paskah ditempatkan di dekat altar dan dinyalakan setiap perayaan liturgi. Sesudah Pentakosta lilin ini dipindah ke samping bejana pembaptisan dan dinyalakan bila ada upacara pembaptisan.
Lilin Paskah dihiasi dengan lima butir dupa besar, yang melambangkan kelima luka Kristus dan ditancapkan dalam bentuk salib; huruf Yunani Alfa dan Omega melambangkan ‘Kristus sebagai awal dan akhir’ segala zaman, dan huruf itu ditempatkan di atas dan di bawah gambar salib; angka ‘Tahun Keselamatan’ dicantumkan pada keempat sudut salib tersebut.
Lilin Altar
Dinamakan lilin altar, karena dinyalakan dan diletakkan di atas altar ketika ada Perayaan Ekaristi atau perayaan liturgi lainnya. Lilin altar umumnya dibuat dengan ukuran relatif cukup besar, meskipun tidak sebesar lilin paskah. Ukuran itu dapat disesuaikan dengan ukuran altar dan ruangan gereja atau panti imam. Lilin altar merupakan sarana liturgi yang seyogianya ada. Bukan sekedar sebagai perhiasan dan kepatutan dalam peribadatan, melainkan sebagai simbol yang dapat membantu kita untuk menyadari akan kehadiran Kristus dalam perayaan liturgi yang kita rayakan. Ada praktik yang memasukkan lilin altar ke dalam suatu tabung berwarna putih, menyerupai lilin. Ketika dinyalakan, ‘lilin’ itu tetap utuh, bersih dan rapi serta lelehannya tertampung di dalam, sehingga tidak mengotori altar. Praktek seperti itu kelihatan bijaksana, namun kurang tepat secara liturgis.
Lilin Corona Adven
Pada masa Adven, di banyak paroki dan keuskupan tiap hari minggu dinyalakan satu lilin yang dipasang pada corona adven. Lilin yang dipasang pada corona tersebut ada 4, melambangkan 4 minggu menjelang Natal. Pada hari minggu ke-4 masa Adven, keempat lilin dinyalakan, melambangkan ‘waktunya telah genap’ untuk kelahiran Yesus Kristus, Cahaya Dunia. Lilin yang dipasang pada corona Adven tidak berbeda dengan lilin pada umumnya, namun karena memiliki fungsi khusus, kita dapat menyebutnya secara khusus pula, yaitu Lilin Corona Adven.
Pada pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah (2 Feb) ada kebiasaan lilin-lilin diberkati dengan upacara khidmat, supaya dibawa pulang oleh umat beriman dan dinyalakan untuk keperluaan ibadat dan doa dalam keluarga. Ketika keluarga-keluarga kristiani berdoa pribadi atau bersama, seyogianya menyalakan lilin, agar suasana doa dapat tercipta. Demikian pula ketika ada kegiatan doa-berdoa di lingkungan umat basis (rayon/kring) sebaiknya dinyalakan lilin. Menurut adat kebiasaan Gereja, lilin juga dinyalakan di depan patung/ gambar orang-orang kudus sebagai tanda bakti. Misalnya di depan patung Bunda Maria, patung Yesus, atau di depan gambar Yesus pada Devosi Kerahiman Ilahi. Selain itu lilin juga biasa dinyalakan di samping peti jenazah. Lilin yang dinyalakan bila seseorang menghadapi ajalnya, kiranya dihubungkan dengan Lilin Paskah dan/ atau lilin baptisnya.
Seyogianya keluarga-keluarga kristiani senantiasa menyediakan lilin, terlebih yang sudah diberkati, bukan dipergunakan sebagai alat penerangan ketika gelap atau ketika listrik padam, melainkan sebagai sarana berdoa pribadi atau bersama dalam keluarga atau pada lingkungan umat basis.