Renungan Minggu Biasa XXVII/B: TUGAS KELUARGA KRISTIANI (4 Oktober 2015)
TUGAS KELUARGA KRISTIANI
Hari Minggu Biasa XXVII (4 Oktober 2015)
Kej 2:18-24; Ibr 2:9-11; Mrk 10:2-16
SETIAP HARI, melalui media cetak dan elektronik kita disodori berita atau tayangan tentang tragedi yang terjadi dalam keluarga. Yang menghebohkan baru-baru ini adalah pembunuhan seorang gadis kecil di pulau dewata, penculikan anak di mall, penganiayaan seorang bocah oleh orangtuanya sendiri, seorang suami yang tega membunuh istrinya, perceraian, dan masih banyak kisah lainnya. Yang memiriskan lagi, bahwa berita-berita seperti itu dilaporkan seolah-olah sebagai menu utama, bukan selingan.
Dalam suasana seperti itu, membaca berita keluarga harmonis, yang mensyukuri pesta perak atau bahkan pesta emas perkawinan mereka dapat memberikan kesejukan. Berjumpa dengan pasutri berusia lanjut yang berjalan bersama-sama juga dapat menimbulkan rasa kagum. Dari wajah mereka terpancar perjuangan, kesetiaan, kesabaran, harapan dan tentu saja kasih yang telah mendasari semuanya itu. Hidup mereka menjadi berkat bagi anak cucu dan yang mengalami kehadiran mereka. Mereka bertahan dalam kesetiaan janji perkawinan karena mereka mempunyai nilai-nilai tinggi yang mereka perjuangkan, bukan sekedar senang – tidak senang, cocok – tidak cocok.
Sabda Tuhan yang diwartakan hari ini mengajak kita untuk merenungkan nilai hidup berkeluarga yang merupakan sakramen di dalam Gereja. Dalam Kitab Kejadian (Kej 2:18-20) diceritakan bahwa manusia diberi tugas untuk memberi nama kepada semua binatang yang diciptakan oleh Allah dari tanah. Memberi nama dalam alam pikiran Kitab Suci berarti sama dengan menguasai. Salah satu bentuk kehidupan kasih adalah perkawinan, hidup berkeluarga yang dalam penghayatan iman Kristiani bersifat tunggal. Injil pada hari ini mengajak kita untuk memusatkan perhatian kepada hal perceraian. Dalam hal ini dengan sendirinya kita diajak untuk bermenung mengenai kesetiaan dalam hidup berkeluarga. Yesus ditanya oleh orang-orang Farisi, apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya (Mrk 10:2)? Sebenarnya hal ini bukan masalah bagi orang-orang Yahudi, karena mereka mempunyai hukum Musa yang mengizinkan hal ini. Tetapi sekarang Yesus mengguncang ketenangan itu dengan mengatakan: “Karena ketegaran hatimulah Musa menuliskan perintah ini untuk kamu”. Dengan kata lain, yang sampai saat itu mereka anggap baik dan benar karena berlandaskan pada hukum Taurat, sekarang tidak dapat dibenarkan. Ternyata kehendak Allah sejak manusia diciptakan tidak seperti itu. Dengan dasar kisah penciptaan disimpulkan apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Baik diperhatikan bahwa dalam Injil Markus diskusi tentang perkawinan ini terjadi ketika Yesus berangkat ke daerah Yudea. Ini berarti Ia sudah sampai pada tahap terakhir perjalanan-Nya menuju Yerusalem dalam rangka memaklumkan Kerajaan Allah. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa hidup berkeluarga sangat erat hubungannya dengan pewartaan Kerajaan Allah. Allah yang diwartakan Yesus adalah Allah yang kasih dan kesetiaan-Nya tanpa batas. Dia adalah Bapa, yang menciptakan segala sesuatu sebagai yang baik adanya. Hidup perkawinan adalah sakramen dalam Gereja. Itu berarti, semestinya setiap keluarga Kristiani menjadi tanda kehadiran dan karya Allah yang kasih setiaan-Nya tanpa batas dan menjadikan segala-galanya baik adanya. Kerajaan Allah bukan berarti keadaan damai sejahtera yang sudah mapan, melainkan perjuangan dan kerja keras untuk mewujudkannya. Setiap keluarga Kristiani diajak untuk mewujudkan hal itu.