GEMA APRIL 2015 “Jalan Salib” Membangun Rumah Tuhan
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk oleh orang-orang dari berbagai suku, agama maupun aliran kepercayaan. Negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan landasan Pancasila dan UUD 1945 menjadi payung kesatuan dalam kemajemukan (Bhinneka Tunggal Ika) sesuai dengan cita-cita dan perjuangan para pendiri bangsa ini. Kalau Negara menjadi payung pastilah yang dimaksud Negara secara konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi setiap warganya termasuk di dalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan. Tidak ada sejengkal tanah pun dari negeri ini yang haram untuk menjadi tempat beribadah bagi warganya.
Namun kenyataan berkata lain. Masih banyak umat minoritas yang tidak dapat melaksanakan kewajiban keagamaannya secara bebas. Bukan saja menyangkut izin pendirian rumah ibadat yang kerap sulit (bdk. Izin pendirian rumah ibadat yang sudah keluar dapat ditarik kembali), tetapi beribadat di rumah-rumah pun tidak jarang mendapat intimidasi, pelemparan batu, ancaman, dan lain-lain. Penolakan dari masyarakat yang terganggu kerapkali menjadi alasan pembenaran dari kelompok tertentu untuk melancarkan aksinya. Bukankah sebaliknya kita merasa lebih terganggu ketika orang-orang beragama tidak dapat melaksanakan kewajiban agamanya secara bebas?
Bagi umat Katolik khususnya yang berdomisili di Indonesia bagian Barat, dalam berbagai kasus, proses pembangunan rumah ibadat bagaikan “jalan salib” yang harus dilalui dengan jatuh bangun, perjuangan yang keras dan harus menghadapi syarat yang terkesan berlebihan dan dibuat-buat. Namun iman dan daya juang Gereja: seluruh umat Allah, menjadikannya tetap setia berjalan di “jalan salib” itu untuk membangun rumah Tuhan; membangun tempat yang layak dan pantas untuk beribadat. Di penghujung jalan salib terbentang kegembiraan Paskah.
Selamat Hari Raya Paskah! Selamat menjalani kehidupan baru bersama Kristus yang bangkit dalam pelayanan.
Selamat membaca!
Salam
P. Fransiskus Riduan Naibaho, Pr.
TAHUN PELAYANAN April 2015
Gereja Melayani Melalui Pendidikan
Pendidikan mempunyai arti penting sebagai proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Dengan pendidikan manusia berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya yang merupakan faktor penting dalam kehidupannya untuk menjadi manusia yang baik dan berkarakter serta tetap bergembira dalam berbuat baik. Pendidikan yang baik mendorong manusia menuju sikap yang berorientasi kepada kebajikan. Ia memberikan perlindungan dan membebaskan dari perasaan takut, dari ingat diri dan kesombongan, dari perasaan bersalah yang palsu, dan rasa puas diri, yang semuanya dapat timbul oleh kelemahan dan kesalahan manusia (KGK, 1784).
Gereja Hadir
Gereja menyadari bahwa tidak akan ada kemajuan sejati dan manusiawi tanpa pendidikan yang memadai bagi masyarakat sekitar. Dan dengan sekuat tenaga Gereja menyumbang untuk kesejahteraan orang lain melalui pendidikan dengan ajaran yang menghormati kebenaran, sifat-sifat hati, dan martabat manusia yang bersifat susila dan rohani. Gereja meyakini bahwa inilah salah satu bentuk pelayanan dan pelaksanaan dari pendiri Gereja yakni Kristus sendiri yang “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” sebagaimana dituliskan oleh Paulus (1 Timotius 2:4).
Sebagai dasar pelayanan Gereja dalam pendidikan dapat disebut adalah manusia. Paus Yohanes Paulus II,dalam ensiklik Evangelium Vitae, mengutip kembali apa yang sudah diajarkan oleh Konsili Vatikan II bahwa kehidupan manusia itu kudus. Kekudusan manusia itu tidak terikat pada suku, agama, bangsa melainkan bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki “gambar dan rupa Allah”(Bdk. Kej 1:26). Dengan melayani masyarakat manusia dalam bidang pendidikan Gereja menunjukkan kesanggupannya untuk mengabdi bagi kemajuan manusiawi yang sesungguhnya dengan mendukung dan melibatkan diri dalam melaksanakan program-program pendidikan bagi manusia yang kudus itu.
Hal ini mencontoh dilakukan oleh Gereja dengan meniru teladan pendirinya yaitu Yesus Kristus. Setelah penginjil Matius memperkenalkan Yesus: silsilah, kelahiran, pembaptisan dan pencobaan di padang gurun (Mat 1:-4:11) Penginjil kemudian memaparkan pelayanan mesianis Yesus di dan sekitar Galilea (Mat 4:12-18:35). Pelayanan mesianis mencakup pengajaran dan perbuatan-perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh Yesus. Matius menceritakan bahwa Yesus berkeliling dari desa ke desa, dari kota ke kota dan masuk dalam pertemuan-pertemuan untuk mengajar tentang Kerajaan Allah yang berdasar pada kebenaran, keadilan, kejujuran dan cinta kasih yang sangat berguna bagi kebaikan manusia secara pribadi dan kebaikan sesama. “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala pengakit dan kelemahan” (Mat 9:35).
Keluarga
Tugas pelayanan pendidikan melekat pada Gereja dalam arti keseluruhan yakni, Gembala dan segenap umat beriman. Namun secara khusus orang tua mengambil bagian dalam pelayanan ini. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting yang dengan semangat kristiani mendidik dan mengusahakan pendidikan anak-anak mereka sebagai bentuk konkret dari tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga yang mengabdi kepada kehidupan (Familiaris Consortio, 28).
Keluarga adalah “sekolah kehidupan Kristen yang pertama”(KGK, 1657) dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS, 52). Di dalam keluarga orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, mengabdi kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup. Agar keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan tugas pelayanannya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami-isteri, dan kerja sama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka tetapi juga pengurusan rumah tangga oleh ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan.
Selain keluarga sebagai sekolah kehidupan Kristen yang pertama, dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, Gravissimum Educationis (GE) art. 8, antara lain dikatakan: “Konsili memperingatkan para orang tua Katolik akan kewajiban mereka untuk mempercayakan anak-anaknya bila dan di mana mungkin, kepada sekolah-sekolah Katolik, dan untuk mendukung sekolah-sekolah Katolik sekuat tenaga serta bekerja sama dengannya demi kepentingan putera-puterinya”. Kalau disederhanakan, Konsili Vatikan II mengingatkan “kewajiban orang tua Katolik untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik, bila mungkin”. Seruan ini menjadi sangat penting bila sekolah katolik tetap mempertahankan ciri khasnya yakni dijiwai oleh semangat Injil Kebebasan dan cinta kasih serta di dukung oleh guru-guru yang terlebih dahulu menghidupi semangat tersebut dan dengan caranya menjadi panutan bagi para murid.
Sekolah Katolik
Mewartakan misteri keselamatan kepada semua orang dengan memelihara perihidup manusia seutuhnya merupakan perintah Kristus kepada Gereja yang sekaligus hakekat Gereja di tengah dunia yang hadir untuk melayani. Dan dengan pendidikan manusia semakin menyadari martabatnya yang luhur serta panggilannya untuk berperan semakin aktif dalam kehidupan sosial, terutama di bidang ekonomi dan politik. Karenanya semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan.
Kehadiran dan sumbangan Gereja untuk masyarakat luas kerap kali dikenal melalui kehadiran sekolah-sekolah Katolik. Dalam berbagai situasi termasuk situasi sulit Gereja sampai sekarang memainkan peranan penting dan relevan di dunia pendidikan. Gereja melalui sekolah-sekolah Kereja sering menyediakan peluang-peluang pendidikan bagi masyarakat yang merindukan pendidikan dan tanpa kecuali ditujukan bagi masyarakat miskin dan tinggal di tempat dimana sekolah-sekolah yang bermutu masih sangat jarang ditemukan. Bahkan boleh dikatakan bahwa sekolah-sekolah Katolik yang ada sekarang secara umum muncul dari situasi demikian dan menjadi tempat pembinaan manusiawi yang meyeluruh yang didasarkan pada ajaran-ajaran Kristus. Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akalbudi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-gerasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami. Kecuali itu sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia.
Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis (Pernyataan tentang Pendidikan Kristen) menganjurkan, supaya putera-puteri Gereja dengan jiwa yang besar menyumbangkan jerih payah mereka diseluruh bidang pendidikan, terutama dengan maksud, agar buah hasil pendidikan dan pengajaran sebagaimana mestinya selekas mungkin terjangkau oleh siapapun di seluruh dunia. Lebih lanjut para bapa Konsili menegaskan kepada para Gembala Gereja dan segenap umat beriman: “supaya tanpa melewatkan pengorbanan manapun membantu sekolah-sekolah katolik, untuk semakin sempurna menjalankan tugasnya, dan terutama untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka, yang miskin harta duniawi, atau hidup tanpa bantuan atau kasih sayang keluarga, atau masih jauh dari kurnia iman” (GE, 9).
P. Riduan Fransiskus Naibaho, Pr