GEMA Maret 2015: “Menjaga Semangat Aksi Puasa Pembangunan”

Menjaga Semangat Aksi Puasa Pembangunan

gema 2015 maret cetakSaudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Puasa dan pantang tanpa aksi (gerakan dan sikap) memang dalam dirinya tidak memiliki makna yang mendalam dalam praktek keagamaan Katolik. Puasa harus memiliki makna sosial secara positif yakni membangun sesama yang lebih manusiawi yang sejahtera, adil dan bebas sebagai bentuk pembaharuan hidup di hadapan Allah. Kita menyebut aksi ini sebagai Aksi Puasa Pembangunan yakni suatu gerakan khusus selama masa prapaskah.

Benar bahwa inti dari masa prapaskah adalah masa merenungkan cintakasih dan pengorbanan Yesus Kristus bagi manusia yang terbelunggu dosa. Yesus Kristus rela menebus dan menyelamatkan manusia melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Permenungan akan cinta kasih dan pengorbanan Yesus ini melahirkan sikap tobat dalam diri kaum beriman kristiani. Sikap tobat itu tampak melalui puasa dan pantang. Nabi Yesaya menegaskan bahwa puasa yang dikehendai Allah bukanlah sekedar tidak makan dan minum, pun pula tidak berpuas dengan diri dengan penampilan lahiriah dengan menundukkan kepala seperti gelagah kemudian membentangkan kain karung dan menaburinya dengan abu sebagai lapik tidur (Yes 58:5). Nabi Yesaya mengatakan bahwa puasa yang dikehendaki Tuhan ialah “supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7).

Tentang puasa dan pantang memang jelas aturannya. Pada hari yang ditentukan kita hanya sekali dalam sehari makan kenyang serta tidak mengkonsumsi rokok, atau daging, atau garam atau manisan, atau hiburan yang menyenangkan. Logikanya, memang pengeluaran berkurang. Untuk apa? Apakah agar pada paskah kita bisa membeli pakaian baru, atau makanan enak untuk diri sendiri? Tentu tidak. Sebagai ungkapan tobat, dana yang terkumpul kita sebut sebagai dana APP yang diserahkan kepada paroki dan dengan aturan yang ada diserahkan kepada Panitia APP Keuskupan.
Tentu banyak aksi puasa yang lahir dari semangat tobat, yakni kebaharuan hidup di hadapan Allah dan sesama. Namun semangat inilah yang harus tetap kita jaga dan tingkatkan agar kita tidak terjebak dalam praktek puasa dan pantang saja. Selamat merenungkan dan membaharui hidup dalam Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit untuk keselamatan sesama.
Selamat membaca!
Salam
P. Fransiskus Riduan Naibaho, Pr.Tahun diakonia Maret 2015

Gereja Diutus Untuk Melayani

Gambaran seorang pelayan atau hamba tidak selalu dapat diterima dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa kata pelayan atau hamba (budak) selalu dikaitkan dengan pekerjaan yang rendah atau hina. Gambaran ini masih melekat dalam mentalitas para murid ketika Yesus yang adalah Tuhan dan Guru membasuh kaki para murid (bdk. Yoh 13:4-15). Persisnya, ketika tiba giliran Petrus, dengan alasan pada ketidak pantasan ia mengatakan: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?… Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya”. Bagi Petrus tugas pembasuhan kaki hanya dilakukan oleh budak terhadap tuannya, atau orang yang memiliki status sosial yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi. Kalau terjadi sebaliknya, seorang tuan yang membasuh kaki budak maka itu merupakan tanda penghinaan.
Namun Yesus, yang tentang Dia dikatakan “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”(Mat 20:28), menyadari bahwa pelayanan bukan sekedar untuk “cap kebaikan” atau ajang meraup simpati tetapi semata-mata demi keselamatan umat manusia. Untuk itu Dia yang adalah Tuhan “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:7). Dia yang begitu besar, yang begitu berbeda dengan mahkluk ciptaan-Nya, telah bersedia datang menjadi serupa dengan ciptaan-Nya untuk misi penyelamatan umat ciptaanNya. Dia telah membungkuk begitu rendah untuk melayani manusia. Hal ini memperkaya pengetahuan dan pengalaman iman kita terhadap Allah. Pengetahuan dan pengalaman kita terhadap Allah tidak lagi terikat pada kemahakuasaan atau yang serba “super”.

Para murid yang telah dibasuh kakinya oleh Yesus dengan membungkuk diundang dan diutus untuk melakukan hal yang sama:”Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”(Yoh 13:14-15). “Membasuh kaki” atau melayani menjadi tugas para murid dan Gereja kemudian terkait erat dengan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Gereja sudah dimampukan untuk itu. Gereja yang sudah dianugerahi Roh-Nya pada hari pentaskosta memungkinkannya untuk mampu berkata seperti Kristus sendiri: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.

Diakonia dalam Kitab Suci
Secara harafiah, kata diakonia dalam bahasa Yunani berarti memberikan pertolongan atau pelayanan. Orangnya disebut diakonos yang berarti penolong atau pelayan. Sedangkan diakonein merupakan kata kerja yang berarti melayani.
Dalam Kitab Kejadian kata “penolong” menunjuk pada hakekat manusia itu sendiri: “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej 2:18). Dan penolong yang sepadan itu hanyalah manusia bukan makhluk lain: “Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (Kej 2:20). Demikianlah, Allah – yang menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (Ex Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31) – tidak menciptakan manusia sendirian. Martabat manusia yang luhur sebagai “gambar dan rupa Allah” (Kej 1: 26) untuk mengurus bumi dan segala isinya dilengkapi dengan identitas sebagai pelayan, manusia diciptakan untuk melayani. Dalam Perjanjian Baru, identitas pelayan ini diterapkan kepada para murid(Gereja) oleh Yesus sendiri yang sudah memberi teladan: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk 10:42-44).

Pelayanan Gerejani
Sepeninggal Yesus, Gereja perdana menyadari bahwa pelayanan bagi mereka yang membutuhkan harus mendapat prioritas. Tugas yang diperoleh ini justru melekat dengan martabat sakramen Baptis yang diterima sebagai anak-anak Allah. Sebagai himpunan dalam persekutuan, Gereja perdana berusaha mencukupi dirinya sendiri dalam semangat berbagi dan saling membantu. Perhatian terhadap para janda, orang-orang miskin dan yatim-piatu tidak terlepas dari tugas-tugas lain. Demikianlah Gereja sebagai himpunan Umat Allah menghidupkan peribadatan yang menguduskan (Liturgia), mengembangkan pewartaan Kabar Gembira (Kerygma), menghadirkan dan membangun persekutuan (Koinonia), dan memberi kesaksian sebagai murid-murid Tuhan Yesus Kristus (Martyria), juga berusaha memajukan karya cinta kasih/pelayanan (Diakonia).
Berbicara tentang tugas pelayanan Gereja, pandangan kita masih terpaku tentang perhatian para pastor, suster atau sie. Sosial di paroki untuk warga Gereja sendiri. Dengan kata lain kita masih terpaku pada pelayanan intern, yakni pelayanan terhadap orang-orang Katolik. Ada mentalitas di dalamnya bahwa orang-orang Katolik harus mendapat prioritas dalam pelayanannya. Mungkin dalam hal ini kita masih memberikan gambaran Gereja yang masih berkutat dengan dirinya. Rahmat demi rahmat yang kita terima dari Kristus tidak pernah cukup untuk menggerakkan kita sebagai persekutuan untuk terjun ke jalan menjadi penolong bagi seseorang yang dirampok dalam kondisi yang mengenaskan. Dari pada berkotor-kotor kita lebih memilih untuk melalui sisi jalan yang lain. Paus Fransiskus mengatakan: “Saya lebih bersimpati pada Gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan, ketimbang sebuah Gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri”(Evangelii Gaudium).
Santo Paulus mengatakan: “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Orang yang mau menolong orang lain adalah orang yang memiliki kasih. Kasih itu bukan untuk diri sendiri. Kasih yang ada pada diri seseorang adalah diperuntukkan untuk orang lain, diluar dirinya yang membutuhkan kasih itu. Kasih itu adalah hidup Kristus yang dibagikan kepada dunia. Dan berdasarkan kasih inilah Gereja melayani di tengah dunia. Gereja mampu merasakan kegembiraan dan kecemasan dunia menjadi kegembiraan dan kecemasannya.
Dewasa ini pelayanan Gerejani di tengah dunia dapat digolongkan dalam tiga kelompok yakni pelayanan yang bersifat karitatif, reformatif dan transformatif. Dengan pelayanan karitatif dimaksudkan bahwa Gereja berjuang untuk meringankan penderitaan sesama dengan cara : memberi makan orang lapar, membantu orang sakit, memberi pakaian orang yang membutuhkan, menghibur yang sedih, atau memberi tumpangan bagi yang membutuhkan. Dengan pelayanan reformatif dimaksud bawha Gereja ikut ambil bagian dalam pembaharuan masyarakat ke arah yang lebih baik dan sejahtera melalui kursus keterampilan, pengolahan ekonomi, dll. Ketiga, pelayanan Gerejani juga bersifat transformatif, artinya ikut ambil bagian dalam membentuk umat manusia melalui pendidikan.

P. Riduan Fransiskus Naibaho, Pr.

Tinggalkan Balasan