MENGHORMATI KAUM LANSIA (Majalah Gema ed. September 2015)
Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!
Menjadi tua bukanlah pilihan melainkan kepastian. Hal ini terjadi karena hidup manusia terikat dengan waktu yang terus berjalan mengiringi pertambahan usia. Namun apakah ketika seseorang memasuki usia lanjut dan disapa dengan panggilan oma atau opa, nenek atau kakek , merupakan hal yang perlu ditakuti? Atau anak-anak memandang mereka sebagai beban karena dianggap cenderung merepotkan dan tidak berguna?
Dalam terang iman, kita dapat melihat bahwa memasuki usia lanjut dengan rambut mulai memutih merupakan berkat dan bukan kutukan: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel 20:12). Usia lanjut yang mereka jalani adalah anugerah dan tanda kasih Allah. Inilah yang melatarbelakangi perintah Allah ‘hormat kepada orang tua” yang sama artinya hormat kepada hidup. Dan hidup itu bermartabat luhur dan senantiasa dihormati secara pantas dan layak, karena semata-mata tidak dapat dipisahkan dari Sang Pemberi Hidup yakni Allah, termasuk hormat kepada kaum lanjut usia sebagai ungkapan syukur.
Bagi anak-anak dan kaum muda hendaknya mereka berani melihat bahwa kehadiran kaum lansia di tengah mereka merupakan hal yang pantas disyukuri dan bukan sebagai beban. Dengan berhiaskan kekuatan, mereka melihat bahwa keindahan orang tua adalah usia lanjut. (Lih. Amsal 20:29). Demikianlah “mereka akan membalas budi kepada orangtua dengan rasa syukur terima kasih, cinta mesra serta kepercayaan mereka, dan seperti layaknya bagi anak-anak akan membantu orang tua di saat-saat kesukaran dan dalam kesunyian usia lanjut”(GS 48)”.
Bagaimanakan situasi kaum lansia dewasa ini dan perlakuan terhadapnya? Apakah mereka sedang memohon: “Janganlah membuang aku pada masa tuaku, janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis”(Mzm 71:9)?. Gema dalam edisi ini mencoba memaparkan realitas di atas.
Selamat membaca!
Salam
P. Fransiskus Riduan Naibaho, Pr.
FOKUS UTAMA: Nikmatnya Bahagia di Masa Tua
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan menjadi tua. Para manusia lanjut usia (lansia) mempunyai kebajikan, kearifan, dan pengalaman hidup yang bisa diteladani generasi penerusnya. Semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh semakin menurun, baik faktor alamiah maupun penyakit. Penuaan penduduk berdampak pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan terutama kesehatan.
Bagaimana realitas kehidupan para lansia? Lansia yang dimaksud menurut Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1998, tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia), adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh (60) tahun ke atas. Ada lansia potensial (seseorang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, tetapi masih memiliki kemampuan fisik-intelektual-emosional-sosial yang dapat didayagunakan untuk mampu memenuhi kebutuhan hidupnya) dan ada pula lansia tidak potensial (hidupnya bergantung pada bantuan orang lain).
Permasalahan yang dihadapi manusia lansia: (1) pemenuhan kebutuhan fisik/kesehatan – para lansia kurang memahami arti pentingnya kesehatan , bila sakit tidak mempunyai kemampuan melakukan pengobatan, (2) pemenuhan kebutuhan sosial – para lansia merasakan dan menyadari keberadaannya tidak diperlukan lagi di tengah masyarakat, (3) pemenuhan kebutuhan ekonomi – para lansia tidak bekerja sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik dan menggantungkan hidupnya pada anak dan saudaranya.
Tokoh umat Katolik di Stasi Saibi Samukop, Paroki St. Damian, Saibi, Siberut Tengah – yang termasuk golongan lansia, Jeremias Sageileppak (65 tahun) karena dianggap teteu (kakek) kerap dimintai pertimbangan, nasihat, saran, atau setidaknya memberikan informasi tentang adat-istiadat tradisi orang Mentawai. Ayah 10 anak, kakek 17 cucu, dan suami Rusna Saudeinnuk (45) ini merasa sangat dihormati. Di kampungnya, bila teteu tidak kuat fisiknya, karena usia akan dibantu yang muda. Para teteu di dihormati, karena dianggap lebih berpengalaman.
Situasi berbeda yang penuh kenyamanan dialami Tin Sulastri/Tan Soan Cung (87) saat menjalani masa tuanya. Istri Lim Keng Goan (alm) yang mempunyai enam anak ini tinggal bersama seorang anaknya David Darmawan. Oma Tin masih bisa melakukan aktivitas rutin, termasuk kesukaannya memainkan alat musik (piano mini), turut menjaga toko anaknya. Di usia tuanya, ia tidak mau berdiam diri. Ia rajin menyapu lantai, bahkan mencuci pakaian dalamnya sendiri. Daya ingatnya pun masih kuat. Sebagai
anak sulung, ia hafal betul dan menyebutkan nama adik-adiknya, anak, dan cucunya satu per satu. Oma dengan lebih sepuluh cucu ini juga suka memerhatikan orang berlalu lalang di depan toko anaknya di kawasan Pasar Raya Padang. Ia menyatakan bersyukur kepada Tuhan karena anak-anak dan cucunya sangat pengertian terhadapnya. Saat Imlek, sangat membahagiakan karena keluarga besarnya berkumpul. Anak-anaknya memberikan angpau kepadanya. Karena merasa fisiknya masih memungkinkan, ia pun sering mengunjungi anak-anak dan cucunya, baik di Padang maupun luar Padang.
Keuskupan Padang melalui Wisma Cinta Kasih (WCK) yang terletak di belakang RS Yos Sudarso, Padang memberikan perhatian khusus kepada para lansia. Panti jompo ini didirikan atas inisiatif Sr. Agnes Syukur, SCMM (alm) dua puluhan tahun silam. Salah satu penghuni WCK sejak tahun 2009, Helmi Widjaja/Oei Sui Keng (69) menuturkan masuk ke panti ini setelah terkena stroke dan dirawat dua bulan di RS Stroke Nasional di Bukittinggi. Helmi sempat tinggal bersama adiknya di Bukittinggi. Anak kedua dari 8 bersaudara ini tidak menikah. Meskipun ia tinggal di panti jompo, adik-adik dan keponakannya tidak melupakannya. “Saya senang kala dikunjungi adik, kerabat, dan handai-taulan. Saya juga senang tinggal di sini, walaupun kadang merasa bosan, apalagi bila tidak ada yang mengunjungi,” ungkapnya. *****
Teteu Butuh Perhatian
Hidup nyaman di masa lansia adalah idaman setiap orang. Namun harapan itu tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Warga dusun Simalegi Betaet, Kecamatan Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, Paulina Takjiningen Saruru (36) menceritakan tiga lansia (teteu, istilah Mentawai) di kampungnya yang “tidak terjamin” di masa tuanya.
Teteu Melek Taelagat (80) di dusun Betaet mempunyai tiga anak dan 9 cucu, tinggal bersama satu anak lelakinya. Teteu ini sesekali masih ke ladang (mone), meski tak mampu lagi bekerja berat.
Teteu Uka Sakombatu (82) di Simalegi Tengah dikaruniai satu anak perempuan, 7 cucu, dan 11 cicit. Semula tinggal jauh dari pusat kecamatan, karena sakit-sakitan dan tidak ada yang mengurusnya, kini ia tinggal bersama puterinya.
Teteu Tuppek Taelagat (90), mempunyai tiga anak, 20 cucu, dan 1 cicit. Ia tinggal dengan salah satu cucunya dan ‘diurus’ istri cucunya. Bila keluarga cucunya tidak berada di rumah, tinggallah teteu sendirian. Menurut Paulina, dalam perbincangan dengan Teteu Tuppek Taelagat, tersirat teteu ini sangat mengharapkan perhatian dari anak-anaknya. “Saat anak dan cucunya berkunjung, ia terlihat bahagia sekali,” ungkapnya.
Paulina mengungkapkan, selain kunjungan, karena keterbatasan fisik, para teteu mengharapkan pasokan makanan dan kebutuhan lain seperti tempat tidur yang nyaman, karena tidur beralaskan tikar rotan tidak cocok untuk suhu badan lansia. Di Mentawai ada kebiasaan, ayah atau ibu tinggal bersama anak laki-lakinya, tetapi karena faktor ekonomi, para teteu ini tidak demikian. Paulina menyatakan, pada umumnya perhatian anak-anak terhadap mereka kurang; makanan mereka pun kadang kurang terjamin. Selain kebutuhan jasmani, pemenuhan ‘makanan rohani’ pun kurang. Mereka mendapatkan pelayanan rohani, hanya saat kunjungan pastor waktu Natal dan Paskah. Perhatian dari pemuka Gereja (baja’ Gereja) atau pemuka umat (sipugagalai) juga kurang. Paulina menduga minimnya pelayanan Gereja terhadap para lansia ini, karena kurangnya perencanaan dalam karya pastoral dari parokinya, terutama untuk para lansia.** ***
Mama Ingin Terus Berguna
Mertua perempuan saya Fransiska Maria Siti Sutatmi, 83 tahun. Saya tinggal bersama dengannya setelah menikah dengan anaknya Petrus Danang Agus Wiseso (40). Mertua lelaki saya, mantan tentara, meninggal sekian tahun silam. Di usianya berkepala delapan, beliau masih beraktivitas rutin, fisiknya masih kuat, tetap rajin ke gereja. Baginya, pekerjaan fisik itu menjadi hiburan tersendiri, sebagai pengisi waktu.
Saya merasakan suatu karunia luar biasa dinikmatinya. Mertua saya ini masih aktif dalam kegiatan organisasi veteran Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Paguyuban orang Jawa Katolik “Among Mitro” Pekanbaru. Ia pun jarang absen kalau ada undangan berdoa dan memerhatikan orang yang kemalangan. Jiwa dan semangatnya terus berkobar-kobar dan suka bergaul dengan siapa pun. Ia suka berkumpul dengan teman-teman, bertukar pikiran, dan tidak mau ‘terkurung’ di rumah saja. Mertua saya kalau tidak beraktivitas, malah merasa pegal-pegal. Karena tinggal bersama dengannya, sebagai menantu saya memberikan perhatian layaknya kepada orangtua kandung. Namun, terkadang saya merasa beda keadaannya. Yang terjadi malah sebaliknya, beliau yang memperhatikan saya. Bagi saya, ibu mertua ini menjadi sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan ini. Dengan usianya yang sepuh, banyak pengalaman hidupnya, hidup agamanya yang kuat menjadi contoh bagi kami; anak, menantu dan cucu-cucunya. Walaupun telah uzur, beliau juga mengikuti perkembangan terbaru, bahkan kalau perlu berdebat. Beliau berpandangan modern; kaum perempuan tidak hanya di rumah saja, bisa berarti bagi masyarakat. Beliau juga mendukung saya berkarir, bekerja di perusahaan swasta. Saya beruntung mempunyai mertua seperti dirinya. (Disarikan dari penuturan Agnes Yulita)*****
Orangtua Tanggungjawab Anak
Tatkala manusia menua dan berkurang kemampuan fisik-intelektualnya, akan menjadi tanggungjawab anak. Warga Paroki St. Yosef, Duri, Ejon Jeronimus (49) mengatakan para orang tua lansia menjadi tanggungjawab anak atau keluarga besarnya. Menurut Ejon perhatian stasi terhadap para lansia Katolik belum ada. Selama ini, yang dilihatnya kegiatan stasi masih dominan di seputar altar. “Memang ada, sesekali ada kelompok, misalnya para ibu, paduan suara, kelompok Kitab Suci mengunjungi para lansia”. tukasnya.
Teddy Pratama Darmawi (22), mahasiswa semester akhir jurusan akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Putra Indonesia (UPI) Padang merasa beruntung mempunyai nenek (Oma) Emerensia Mak Kim Tjoei Nio (68). “Saya bisa bertukar pikiran, berdiskusi dengan Oma. Banyak pengalaman hidupnya yang dapat saya pelajari. Saya menjadikan Oma layaknya seorang sahabat,” ungkap Teddy.
Karena omanya pernah terkena stroke terkadang seperti mulai pikun. Ia tidak jengkel, tetap berusaha menghargai, dan menerima keadaan yang dialami omanya. Teddy pun memahami semakin menurunnya kekuatan fisik, daya ingat omanya. “Setiap orang akan menjadi tua, tak ada yang bisa menolaknya. Yang dialami para lansia sekarang, suatu ketika akan kita alami juga,” ujar Teddy.
Bahagia di masa lansia tidak selalu diukur dengan berkecukupan harta. Perhatian dan kasih sayang anak-cucu juga menentukan. Sebagai cucu, Alexander Rinaldo Fahmi Sonny (32) berusaha memerhatikan omanya, Ana Umar (80). “Sepeninggal mama, saat saya tujuh belas tahun, saya hidup bersama oma. Maka Omalah pengganti mama saya. Sebagai perhatian kepada oma, saya memerhatikannya dari hal-hal kecil, membantunya berjualan asinan di depan rumah dan menolongnya bila ada keperluan ke pasar. Saya bersyukur oma masih kuat di usia tuanya, walaupun ada masalah pengapuran tulang dan asam urat di kakinya,” ucapnya.
Jualan asinan ini telah dilakoni oma sejak Alex kanak-kanak hingga kini. “Kalau tidak ada kegiatan di masa tua, saya yakin, oma akan cepat pikun. Oma pun menyadari hal tersebut. Walaupun anak-anaknya telah mandiri dan bisa menolongnya, oma tetap mau berjualan. Suatu ketika, ada anaknya yang minta oma tidak berjualan asinan lagi, namun ditolaknya. Oma ingin produktif, walaupun tidak banyak hasil dari jualan asinan ini. Saat muda, oma pun tidak suka berpangku tangan. Setelah gempa 30 September 2009 tidak berjualan, oma sering gelisah karena menganggur,” tutur Sonny lagi.
Para Lansia Butuh Perhatian
Perhatian kepada lansia tidak hanya kepada orangtua kandung maupun mertua, tetapi juga kepada sanak-famili yang rata-rata telah berusia 70 tahun, sebagaimana dilakukan Mellinda (46). Perhatian dalam bentuk kontak-kontakan melalui telepon dengan beberapa kerabat ayahnya yang berdomisili di Sungai Pakning dan Selat Panjang, Riau. “Percakapan di telepon, mengobrol dengan mereka merupakan suatu kesenangan tersendiri bagi mereka. Obrolan biasanya tidak hanya menanyakan kabar, terselip cerita tentang aktivitas kegerejaan. Pada waktu-waktu tertentu, saya mengunjungi kerabat lansia dan menghabiskan waktu bersama mereka beberapa saat. Terkadang, muncul ungkapan perasaan kesepian bila tak dikunjungi,” ucap Mellinda. Sepenglihatan Mellinda, dalam tradisi masyarakat Tionghoa di Dumai, Bengkalis, Sungai Pakning, Selat Panjang; orang tua lansia mendapat cukup perhatian dari anak-anaknya. Bila dalam keadaan sehat, bertepatan hari ulang tahunnya, anak-cucu merayakannya, bahkan cukup meriah, apalagi momen ulang tahun kelahiran dan ulang tahun pernikahan orang tua bersangkutan. Namun ia juga tidak menutup mata, ada orang tua lansia terlantar; antara lain karena konflik keluarga.
Berkaitan pelayanan pastoral terhadap para lansia, warga Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai ini belum melihat langkah yang diambil Dewan Pastoral Paroki (DPP), kalau pun ada saat Natal dan Paskah, termasuk untuk kalangan kurang mampu. Memang ada program kepedulian Wanita Katolik RI (WKRI) Cabang Dumai berulang tahun lewat kegiatan pastoral care. Anggota ormas ini mengujungi lansia. Saat Imlek, lanjut Mellinda, juga memerhatikan para janda dan lansia.
Perhatian dan kepedulian terhadap penghuni panti jompo, WCK, dilakukan sejumlah tenaga pendamping dan perawat. Salah satu pendamping, Neneng Rita (49) mengaku kenyang dengan suka-duka mendampingi para lansia. “Ada lansia yang bandel, menjengkelkan, sebaliknya ada yang menurut. Melihat mereka, saya teringat mama yang berusia 76 tahun, tinggal bersama saya di Tabing. Melayani dan mengurusi mereka butuh kesabaran,” ujarnya. Selama dua puluh lima tahun mendampingi lansia di WCK, Neneng mengamati, para penghuni terhibur ketika ada yang mengunjunginya. Di Padang, anggota Kelompok Doa Koronka, Legio Maria termasuk ‘rajin’ bertandang ke WCK.
Neneng berpesan, sesibuk-sibuknya keluarga, jangan biarkan mereka kesepian. Kalau diperhatikan, mereka suka melihat ke arah pintu masuk WCK, untuk melihat tamu yang datang. Kalau yang datang, mereka kenali, menjadi hiburan tersendiri. Para penghuni membutuhkan perhatian dan kasih sayang keluarganya, sama halnya dengan orangtua yang tinggal di rumah. Mengurusi orangtua jadikanlah bukti bakti kepada orangtua,” tuturnya mengakhiri perbincangan.
Hal senada disampaikan pendamping lansia di rumah (homecare), Elisabet Patty (36). Elisabet pernah mendampingi empat lansia. Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia mendampingi lansia, dari memandikan berjemur, membersihkan kuku, tangan, mengajar gerakan tubuh bila terasa kaku, menyuapkan makanan, hingga menjadi teman. “Pendamping harus bisa membujuk bila ngambek, membesarkan hati yang frustasi, memberi semangat para lansia. Merawat lansia membutuhkan kesabaran ekstra,” tuturnya. Elisabet melihat ada kesamaan di antara para lansia, yakni butuh perhatian dan kasih sayang anak-cucu dan keluarganya. Para lansia akan berkeluh kesah, merasa kecil hati bila kurang diperhatikan; bahkan ada yang ingin mati saja katanya. Ada juga yang memahami kondisi anaknya yang punya kesibukan masing-masing dan tidak terlalu menuntut. Sebagai pendamping, Elisabet mengajak mereka untuk berserah diri pada Tuhan dalam menjalani hari-hari tuanya. “Saya selalu mengajak mereka untuk memberikan kenangan terindah untuk anak-cucu bila kelak menghadap Tuhan. Kalau merasa kesepian, saya ajak berdoa, apalagi kalau seiman dengannya. Saya ajak mereka mendengar lagu rohani untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya pun dengan sabar mendengarkan bila mereka mengisahkan pengalaman masa lalunya – walaupun sudah berulang-ulang disampaikan. Saya juga berkoordinasi dengan anak atau keluarga termasuk dengan petugas pembagi komuni/prodiakon yang datang ke rumahnya,” tukas Elisabet. (hrd)
Gereja Memerhatikan Manula
Semasa hidupnya Sr. Agnes Syukur, SCMM (Alm) jauh ke depan memikirkan dan merencanakan karya pastoral bagi para lansia. Lewat kelompok Pastoral Care (PC) yang digagas dan dibentuknya, Sr. Agnes berhasil menggerakkan kaum awam Katolik di kota Padang untuk memalingkan muka dan rasa bagi para lansia. Walau pendirinya telah meninggal dunia, kelompok ini setiap Kamis sore melayani para lansia dari rumah ke rumah.
Ketua Kelompok PC, Paula Sumiati Astuti Wijaya (59), menuturkan anggotanya berkumpul di samping Gedung Bergamin, Katedral Padang setiap Kamis sore sebelum mengunjungi orang sakit dan para lansia. Setiap kunjungan, anggota PC mengajak lansia bersama keluarganya berdoa dan pengobatan ala kadarnya dibantu seorang tenaga perawat dari Poliklinik Santa Elisabeth. Ada 60 keluarga yang dikunjungi bergantian, karena jumlah anggota PC terbatas. Banyak keluarga yang dikunjungi sementara tenaga dan sarana penunjangnya terbatas.
Paula menyatakan terharu, ada kegembiraan dan kepuasan batin dapat membantu mereka. Dinyatakannya, sangat beragam kondisi lansia yang dikunjungi; ada yang masih bisa berjalan, ada pula yang tergeletak di tempat tidur. Ada juga yang merasa kesepian, kurang mendapat perhatian anak. Dukungan anggota keluarga pun katanya sangat beragam. “Kami berharap lewat kunjungan tersebut, pemeriksaan kesehatan, doa dan bincang-bincang dari hati ke hati bisa menghibur mereka. Dalam kondisi serba kurang itu, mereka butuh perhatian, ingin juga didengarkan uneg-unegnya. Idealnya, tidak hanya anggota PC yang memerhatikan para lansia, terlebih lagi adalah para anggota keluarganya,” tukas Paula lagi.
Di Padang, selain PC, ada Kelompok Doa Koronka, Legio Maria yang juga secara rutin memperhatikan para lansia. Bagaimana dengan beberapa paroki lain di Keuskupan Padang?
GEMA mendapatkan informasi, di Paroki St. Theresia, Air Molek, Riau, pelayanan terhadap umat lansia masih terbatas saat perayaan Natal. Saat itu, paroki memberikan paket bingkisan Natal dan memberi komuni bagi yang sakit dan tidak mampu lagi ke gereja. Pastor yang melaksanakan tanggungjawab tersebut.
Di stasi lainnya belum dijalankan, kecuali saat pastor kunjungan stasi. Biasanya, pastor berkunjung bersama ketua lingkungan. Sebelumnya, keluarga diberitahu dulu, sehingga bersiap diri. Setiba di rumah, pastor mengajak lansia dan keluarganya berdoa bersama, menerimakan komuni, dilanjutkan bincang-bincang dari hati ke hati. Saya lihat, mereka sangat senang mendapat perhatian dan kunjungan, apalagi mendapat pelayanan komuni.” ungkap pastor paroki P. Theodorus Sitinjak, OFMCap
Dari pengalaman ini, P. Theo menyatakan, sebenarnya ada kepedulian anak dan cucu terhadap para lansia, namun karena terus-menerus harus dirawat dan dibantu, terkadang mereka (anak dan cucu) tampak jadi kurang sabar; apalagi mereka mempunyai aktivitas lain (bekerja, bersekolah). Mereka (generasi muda) sibuk dengan urusan pribadi, sehingga perhatian terhadap orangtua kurang. “Yang dapat dilakukan Gereja tentu memerhatikan dan mendampingi kaum muda, lewat aktivasi Bina Iman Remaja (BIR) dan Orang Muda Katolik (OMK) agar mereka dibina dan dapat menghayati nilai-nilai injili, nilai moral dan budaya,” ungkapnya lagi.
Sementara itu, pastor rekan Paroki St. Yosef, Sipora, Mentawai, P. Bernard Lie, Pr – yang bertugas di Stasi St. Petrus, Tuapeijat, mengatakan ada pelayanan pastoral untuk para lansia berupa pembagian komuni setiap Minggu sore oleh pastor bersama suster, dan sejumlah awam. Kegiatan lain, bersifat insidentil, misalnya dari stasi dan lingkungan/kring. “Keluarga juga turut mendukung pelayanan ini. Mereka care dan peduli terhadap para lansianya.” tukas P. Bernard.
Diakuinya, pengurus Stasi St. Petrus, Tuapeijat, Paroki Sipora berniat memasukkan perhatian kepada para lansia ini dalam program kerja stasi di Tahun Pelayanan/Diakonia ini.
P. Bernard mengakui pelayanan untuk para lansia belum merata sampai ke stasi lain seperti di: Betumonga, Goiso’ Oinan. Namun pada saat kunjungan, P. Bernard tidak melupakan para lansia itu dengan mengunjungi untuk berdoa bersama dan menerimakan komuni.
Di Paroki St. Yosef, Duri, Riau, perhatian terhadap para lansia lebih banyak dipantau pengurus stasi dan kring/lingkungan. “Para lansia juga mendapat perhatian dari Seksi Sosial Paroki (SS) Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan petugas pastoral secara periodik, minimal dua kali setahun. Para lansia juga mendapat pelayanan viaticum atau komuni oleh prodiakon setiap minggu,” ungkap Pastor Paroki Pastor Otto Hasugian, Pr.
Pastor Rekan Paroki St. Fransiskus Xaverius, Dumai, Riau, Pastor Klitus da Gomez, Pr mengaku reksa pastoral untuk manusia usia lanjut (manula) di parokinya masih sebatas pada pelayanan Komuni Kudus satu kali sebulan. “Dalam rancangan kami di waktu mendatang, paroki mau merayakan Ekaristi bersama para manula untuk memberikan peneguhan-peneguhan kepada mereka,” ungkapnya. Pada kesempatan terpisah, Pastor Paroki Keluarga Kudus, Pasaman, Pastor Fransiskus Aliandu, Pr mengakui pihaknya belum membuat langkah khusus untuk para lansia. (hrd)
Panti Jompo Bukan Tempat Pembuangan
“Panti Jompo Wisma Cinta Kasih (WCK) tidak mengambil alih tanggungjawab keluarga. WCK bukanlah tempat pembuangan para orang tua untuk menghabiskan sisa-sisa usianya hingga akhir hayat,” tandas Ketua Pengurus WCK, Magriet Tjendrawati (69) kepada Gema. Petikan selengkapnya.
“Apa langkah pengurus ketika ada permintaan menjadi penghuni WCK?”
Ada survei berupa kunjungan ke rumah calon penghuni untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Hasil survei menjadi dasar pengambilan keputusan. Kalau ada permintaan dari luar Padang, pengurus memercayakannya pada anak dan keluarganya, dengan catatan, kalau tidak diterima, calon berstatus penghuni sementara. Kalau dari kalangan tidak mampu, mesti ada rekomendasi pastor paroki (calon penghuni berdomisili). Berkaitan dengan pembiayaan, pengurus menerapkan asas dan prinsip subsidi silang.
Apa langkah saat pertama melaksanakan tugas “mengurusi” WCK?
Delapan belas bulan pertama, pengurus langsung menangani hal teknis di WCK. Tugas pengurus menjadi lebih ringan tatkala ada seorang suster (Biarawati SCMM) sebagai pelaksana lapangan. Langkah pertama pengurus memerhatikan peningkatan kualitas kebersihan panti dan gizi penghuni. Pengurus menganggap penting memerhatikan aspek kebersihan agar tidak semakin ‘mendukung’ anggapan seakan WCK sebagai tempat ‘pembuangan’ lansia. Saya banyak mendengar rumor, isu tentang hal ini sebelum dipercaya sebagai salah satu pengurus WCK. Perhatian juga diarahkan pada perbaikan kualitas dan menu gizi makanan bagi para penghuni WCK.
Pengurus menjalin kerjasama dengan banyak pihak untuk menjadi penyumbang. Ada teman yang bersedia membantu minyak goreng, beras, gula pasir, air minum, bahkan dana lewat rekening bank. Kami gembira dan senang, karena semakin banyak orang peduli dengan WCK, sehingga meringankan biaya operasional panti dan ‘meringankan’ tugas pengurus. Hingga saat ini, WCK ini satu-satunya panti jompo di Keuskupan Padang. Saat ini ada 42 penghuni (rata-rata 60 tahun ke atas), dengan 16 perawat, 1 tenaga sekretariat, 1 suster pelaksana di lapangan. Para lansia berasal dari lingkungan paroki, dari berbagai agama. Kami mengalami kendala, keterbatasan ruangan, sehingga hanya mampu menampung paling banyak 47 orang, sekarang tinggal 42 penghuni, karena ada yang telah meninggal dunia. Tenaga operasional pun terbatas dengan waktu shift-an. Kami ‘tertolong’ adanya mahasiswa jurusan keperawatan yang menjalani magang di WCK.
Panti jompo milik keuskupan, maka tata cara Katolik dan nuansa kekatolikanlah ditumbuhkembangkan di sini. Kehidupan keagamaan dan kerohanian para penghuni sangat diperhatikan. Kami bekerjasama dengan para pastor Paroki St. Fransiskus Asisi Padang. Dulu, kami mempunyai rencana, bekerjasama dengan organisasi kemasyarakatan atau Orang Muda Katolik (OMK), namun tidak terealisir karena keterbatasan tenaga, sarana transportasi,pengurus yang mempunyai kesibukan tersendiri, dan sebagainya. Kalau pun ada kunjungan kelompok atau organisasi, mereka tetap mendambakan kunjungan keluarganya. Sungguh berbeda bila keluarga yang membezuk mereka.
Bagaimana Anda mengamati kesan dan perasaan penghuni panti jompo ini?
Jujur, ada di antara mereka yang beranggapan panti jompo sebagai ‘tempat pembuangan’. Ia merasa tidak lagi dipedulikan, diperhatikan oleh anak-cucu-keluarganya. Namun, ada juga yang mengerti, memahami, sehingga dengan kemauan sendiri masuk WCK dan menikmatinya. Ada pula, anak yang masih bisa melayani orang tuanya di panti ini, walaupun punya banyak kesibukan atau aktivitas kerja. Kami juga selalu mengingatkan keluarga tetap memerhatikan dan memberikan kasih sayang pada orang tua yang dititipkan di panti ini. Kami ingatkan, bila tiada perhatian keluarga, apalagi tiada kunjungan, pengurus WCK akan mengembalikan kepada anak-cucu-keluarganya.
Menurut saya, yang utama adalah keluarga. Ada beberapa keluarga yang mengajak orang tuanya berjalan-jalan, beraktivitas, bahkan membawa pulang ke rumah sebentar. Bahkan, dimungkinkan, keluarga membawa pulang Sabtu sore untuk tidur di rumah dan kembali lagi ke WCK Minggu sore. Itu pertanda anak atau keluarga memerhatikan orang tuanya, menggembirakan hatinya. Para lansia itu haus perhatian. Saya melihat, mereka suka mengarahkan pandangan ke pintu masuk panti, pasti mereka berharap ada anak-cucu-keluarga mengunjungi. Bila tidak diperhatikan, mereka stres.(hrd)